PAN P.O.V
Dia tiba- tiba berdiri, "Oh! Aku tidak tahu. Mungkin alasan kenapa keluargamu membunuh keluargaku?!"
"Apa? Apa yang kau bicarakan?"
Aku benar- benar tidak mengerti apa yang dia katakan. Keluargaku membunuh keluarganya?
"Kau tidak tahu?" Tanyanya.
Aku menggeleng, "Aku bahkan tidak mengerti apa yang kau katakan."
"Kau serius?" Tanyanya lagi melihat mataku dalam- dalam, "Pan Herrington kau tidak sedang berbohongkan denganku?"
"Tidak. Apa sih yang sedang kau bicarakan."
Dia menguburkan kepalanya di tangannya. Dia mengatur nafasnya dan tiba- tiba bilang.
"Keluargamu Pan..." katanya, "Kalian membunuh keluargaku. Kalian bukan apa- apa kecuali pembunuh."
"Apa!?" Tanyaku kaget dan berdiri. Sekarang jadi aku yang emosi.
Aku tahu masalah yang dia miliki, tapi menuduh keluargamu yang bukan- bukan? Aku tidak bisa terima itu. Dari mana buktinya kalau keluargaku pembunuh. Apa yang dia tahu tentang keluargaku sehingga bisa menyebut keluargaku itu pembunuh?
"Beritahu aku kalau kau tidak serius mengatakan itu!" Kataku nadaku sedikit meninggi.
Dia melihatku, tatapannya serius, "Apa aku terlihat bercanda?"
"Bukti dari mana kau sehingga menyebut keluargaku pembunuh?!" Tanyaku emosi, "Kenapa kau menyalahkan keluargaku? Apa benar kata Wendy? Kau itu sebenarnya dalang dibalik kecelakaan itu makanya sekarang kau menuduh orang untuk menutupi kerjaan kotormu. Mungkin kaulah yang membunuh..."
Aku langsung diam melihat dia menangis. Di situlah aku tahu kalau aku sudah salah bicara.
"Kau... jangan pernah menunduh aku membunuh keluargaku sendiri. Aku menyayangi keluargaku!"
"Kau juga jangan menyebut keluargaku yang macam- macam kau dengar!?" balasku.
Dia duduk lagi menguburkan wajahnya ke tangannya lagi. Dia menangis. Aku ingin mengontrol emosiku jadi aku pergi meninggalkannya. Jika aku lama- lama di situ aku pasti akan bertengkar lebih parah dengannya.
Saat aku kembali ke kelas teman- temanku menanyakan apa yang terjadi, aku bilang pada mereka kalau aku belum mau membicarakannya. Mereka tentu jadi penasaran jadi kubilang kalau aku akan menceritakannya nanti saat kita sudah pulang dan berkumpul di rumahku. Saat pulang aku juga harus bertanya dengan papa, tapi dia akan pulang malam hari ini. Tidak apa, ketika dia pulang akan langsung kutanyakan.
Pelajaran akan dimulai dan Ash kembali ke kelas dan langsung duduk di tempatnya. Matanya jatuh sebentar ke arahku tapi dia langsung memalingkan wajahya dan begitu pula aku. Matanya tidak terlihat sehabis menangis. Baguslah jika matanya merah teman- temanku akan lebih penasaran. Mereka bingung dengan perilaku aku dan Ash, tapi aku memberi tahu mereka kalau tidak usah bertanya.
~~~
Pulang sekolah aku bahkan tidak menunggunya seperti biasa. Aku langsung menyuruh teman- temanku pulang. Tim dan Gary tidak langsung pulang, dia menunggu Ash sementara John menemaniku pulang. Tim dan Gary bilang kalau nanti mereka akan ke rumahku.
Saat sudah sampai rumah, aku langsung membuang semua barangku ke kasur dan membanting diri. Kepalaku langsung ke bantal. Aku merasa ada yang memukul kakiku. Pertama aku diam saja, tapi dia tetap tidak berhenti.
"Apaaaaa?" Jawabku dengan malas.
"Kau baik- baik saja bung?" Tanya John. Aku hanya meresponnya dengan hmmm. "Kau bagaimana sih? Belum juga pacaran tapi sudah bertengkar saja."
"Hmmmmm," responku lagi.
"Mau cerita?" Katanya.
"Mau..." jawabku, "Tapi belum ada bukti apa- apa dan tidak ada niat. Jadi... tidak."
"Baiklah," katanya, "Aku akan di sini jika kau mau cerita."
Kenapa dia bisa berpikir seperti itu ya? Bagaimana dia bisa berpikir kalau keluargaku membunuh keluarganya? Akh harus tanya papa cepat. Tapi apa mama tahu? Setelah beberapa waktu berpikir aku akhirnya memutuskan untuk langsung bertanya dengan mama. Karena sepertinya aku tidak bisa menunggu papa. Aku langsung bangun dan John bertanya aku akan ke mana.
"Ikut saja," kataku, "Tapi tolong jangan beritahu siapa- siapa."
Aku mencari mama dan ternyata dia sedang menonton TV di ruang tamu.
"Mama," panggilku.
"Iya?" Jawabnya dengan lembut, "Ada apa?"
"Heiiii mamaku dari alam lain," panggil John. Iya teman- temanku memang seperti itu dengan orangtuaku. Sudah seperti orangtua sendiri.
"Hai anakku yang tidak pernah kulahirkan," balas mama.
"Eiiii," rengek John, "Kau jahat."
Mama hanya tertawa dan menepuk kepalanya. Ibuku cantik, wajahnya muda. Aku dan ibuku sudah seperti saudara. Orang- orang pun selalu mengira kalau kita itu saudara bukan ibu anak.
"Mama. Aku ingin bertanya," kataku dan duduk di sebelahnya, "Tolong jawab jujur."
"Apa itu?" Tanya mama.
"Ma... mama kenalkan dengan keluarga Reshton?"
Dia sepertinya terkejut, "Iya," jawabnya, "Mama kenal mereka. Memang ada apa?"
"Apa hubungan keluarga kita dengan kecelakaan mereka?"
Mama sekarang makin terkejut, dia melihatku dengan tidak percaya. "Apa maksudmu?"
"Mama mengertikan maksudku," kataku, "Tolong jawab jujur."
Mama menggeleng, "Mama benar- benar tidak mengerti."
"Ma..." kataku sedikit geram. Bukan karena mama, aku tidak tahu kenapa aku marah. "Ma... teman sekelasku itu Ashelyn Kay Reshton ma, dan dia bilang kalau keluarga kita itu dalang dibalik kecelakaan keluarga Reshton!"
"Pan," kata mama. Dia sepertinya mencoba menenangkan diri. "Dengarkan mama baik- baik. Apa yang kau dengar itu tidak benar."
"Bagaimana aku tahu mama berkata jujur," kataku tegas. Memang iya dia ibuku dan aku tahu aku kurang ajar. Tapi ada satu hal yang kalian harus tahu tentang aku. Aku sangat tidak suka dibohongi.
"Pan!" Kata mama, "Mama ini ibumu. Aku akan selalu jujur denganmu dan jika berbohong pasti mama mempunyai alasan yang kuat. Aku tidak berbohong, keluarga kita tidak akan pernah mencelakai sahabat kami sendiri."
"Sahabat?" Tanyaku.
"Iya Pan," jawab mama, "Mereka itu sahabat dekat kami. Papamu dan Cody itu sahabat. Sampai tiba- tiba Cody menjelek- jelekkan papamu dan mereka bertengkar hebat. Tapi kita tidak pernah membalasnya karena Papamu masih menganggap dia seperti saudaranya sendiri. Saat mengetahui kecelakaan itu Pan, papamu sangat sedih, dia juga jadi tidak fokus. Dia seperti kehilangan saudaranya sendiri dan hal yang kau bilang tadi hanyalah rumor. Memang tidak banyak beredar, karena mereka lebih percaya kalau Kay yang melakukannya. Sangat konyol menurut mama. Yang mama tahu, Kay sangat sayang dengan kedua orangtuanya dan dia juga anak yang baik. Bagaimana orang bisa menuduhnya dengan hal keji seperti itu."
"Jadi," kataku, "Apa yang Kay katakan itu salah?"
"Apa kau tidak mendengarkan dari tadi?" Balas mama, "Kau harus coba mengerti dia Pan. Dia kehilangan keluarganya tanpa alasan jelas mungkin itu kenapa dia akan cepat percaya. Beri tahu dia kebenarannya, beritahu kalau apa yang dia dengar itu tidak benar. Ceritakan padanya cerita tentang ayah kalian berdua. Kalau aku mengenal Kay, aku tahu pasti dia akan mendengarkannya."
"Mama mengenalnya?"
"Dia teman lamamu kan? Perempuan yang selalu bermain denganmu saat kau kecil? Tetangga kita?"
Aku mengangguk, "Jika kau kenal dia yang dulu kau tidak akan mengenalinya sekarang."
"Kenapa?"
"Dia sudah berubah ma," jawabku, "Kehilangan orangtuanya benar- benar merubahnya."
"Yah. Mama tidak kaget karena yang mama tahu. Kay sangat sayang dengan orangtuanya dan juga adiknya. Jadi pasti kehilangan mereka mengguncangnya," kata mama, "Tapi dia tahu dari mana hal itu? Kenapa dia bisa berasumsi seperti itu? Apa mungkin dari tantenya?"
"Tantenya?" Tanyaku bingung.
"Iya," jawab mama mengangguk, "Semenjak orangtuanya meninggal dia tinggal dengan tantenya. Kau tidak tahu?"
"Kenapa mama tahu semua ini?"
"Aku harus tahu tentang calon menantuku kan." Katanya dan membuatku bingung. John yang dari tadi mendengarkan juga sepertinya sangat bingung, dia membuka mulutnya sangat lebar.
"Menantu?"
"Ah iya," kata mama, "Kau tidak tahu ya. Kau dan Kay sudah kami jodohkan sejak kecil Pan."
"Apa?!" Kataku dan John bersamaan. Dan kita berdua berdiri.
Mama terkekeh, "Kalian berdua kenapa sih? Mama hanya bercanda. Duduk saja. Tapi masalah ini akan mama beri tahu papamu. Sudah terlalu lama keluarga Reshton dan Herrington bertengkar. Mama tidak akan membiarkannya lagi."
"Yang tadi mama bilang hanya bercanda?" Tanyaku dan mama mengangguk. "Tapi tunggu, mama bilang kalau papa masih menganggap Tuan Cody saudara. Beberapa hari yang lalu, saat papa membicarakannya dia sangat terlihat marah dengannya."
"Dia terkejut Pan," kata mama, "Sudah lama dia tidak mendengar nama itu. Jadi perasaannya akan campur aduk."
Aku mengangguk. Tiba- tiba aku mendengar suara pintu terbuka. Lalu Gary dan Tim datang.
"Heii semuanyaaa," kata mereka berdua.
"Kenapa kalian berdua terlambat?" Tanya mama.
"Sedikit urusan," jawab Tim.
"Baiklah ma," kataku, "Terima kasih. Aku naik ke kamar ya."
Mama mengangguk, "Pan dengarkan kata mama oke?"
Aku mengangguk. Saat sudah di kamarku, Tim dan Gary langsung duduk.
"Jadi..." kata Tim.