Sesampainya aku di depan kelasku, aku melihat Pak Sofyan, guru Kimia di kelasku, sudah duduk di kursi guru. Aku pun mengetuk pintu kelasku dan setelah dipersilakan masuk, aku pun masuk dan menghampiri Pak Sofyan.
“Kenapa kamu terlambat?” tanya Pak Sofyan.
“Saya habis dari mading gedung D, Pak,” jawabku.
“Ada tulisan yang baru tidak?” tanya Pak Sofyan.
Aku menggelengkan kepalaku. “Tidak ada, Pak.”
“Sayang sekali, padahal saya sedang ingin mendengar gosip ala anak muda sekarang,” ucap Pak Sofyan. “Ya sudah, kamu duduk sana.”
“’Makasih, Pak,” ucapku lalu aku pun melangkahkan kakiku menuju tempat dudukku.
“Nih, Sya, Pak Sofyan tadi ngasih soal, lo salin gih,” ucap Cindy lalu ia memberikan bukunya kepadaku.
Cindy masih bersikap biasa saja kepadaku. Semoga saja dia memang belum membaca tulisan itu.
“Lo udah siap emangnya?” tanyaku.
Cindy menggelengkan kepalanya. “Lo salin aja dulu soalnya, gue mau chat-an sama Arsen.”
Aku pun menganggukkan kepalaku lalu aku mengambil buku Kimia milikku dari dalam tasku.
“Sya, Sya,” panggil Archie.
“Apa, Arch?” tanyaku sembari menoleh ke arah Archie.
“Bukannya di gedung D ada tulisan baru, ya?” tanya Archie.
“Lo udah baca?” tanyaku balik.
Gawat. Archie tahu kalau ada tulisan baru di mading gedung D, itu artinya dia sudah membacanya atau paling tidak, temannya sudah membacanya dan memberitahu kepadanya. Baiklah, kurasa mati adalah jalan yang terbaik untukku saat ini.
Archie menggelengkan kepalanya. “Tadi, teman gue ada yang ke sana dan dia lihat ada tulisan di mading gedung D. Nah, waktu dia mau baca, dia dengar suara-suara aneh dari dalam gedung D. Jadi, dia pergi dan belum sempat baca tulisan itu.”
“Seriusan?” tanyaku dengan rasa syukur di dalam hatiku. Untung saja teman Archie belum sempat membaca tulisan itu.
Archie menganggukkan kepalanya. “Lo udah sempat baca, Sya?”
Aku menggelengkan kepalaku. “Tadi Fira juga lihat tulisan itu, tapi karena dia takut baca sendirian, dia ngajak gue sama Lala. Dan pas kita balik ke sana, tulisannya udah gak ada lagi.”
“Yah, padahal gue penasaran banget, soalnya kata teman gue, ada tulisan kelas dua belas di situ,” ujar Archie. “Kira-kira siapa, ya, yang di dalam tulisan itu?”
Aku mengedikkan bahuku pertanda aku tidak tahu. Padahal sebenarnya aku tahu dan aku adalah orang yang ada di dalam tulisan itu.
***
Akhirnya, bel yang paling kutunggu-tunggu berdering. Kalau aku boleh sedikit bercerita, suara bel itu adalah suara yang paling kusukai selain daripada suara emas miliki penyanyi favoritku.
“Cin, lo langsung balik?” tanyaku kepada Cindy yang sedang memasukkan buku miliknya ke dalam tasnya.
Cindy menggelengkan kepalanya. “Gue ada urusan sama Arsen, emangnya kenapa, Sya?”
“Gue mau minta lo temenin gue beli kado buat mama gue,” jawabku, “Hari Jum’at mama gue ulang tahun.”
“Yah, maaf banget, Sya, gue gak bisa temenin lo,” balas Cindy, “Lusa deh kita perginya, lusa gue gak ada bimbel.”
“Benar, ya, Cin?” tanyaku memastikan.
Cindy menganggukkan kepalanya lalu ia menyampirkan tas miliknya di bahu kanannya. “Gue keluar duluan, ya, Sya.”
Aku pun menganggukkan kepalaku dan menatapi kepergian Cindy. Dan tinggallah aku sendiri di dalam kelasku dan menunggu kedatangan Fira dan Lala.
“Marsyaku! Cintaku! Sayangku!” teriak Lala yang baru saja memasuki kelasku bersama dengan Fira dan berjalan ke arahku.
“Lo berdua alay banget, sumpah,” ujarku.
“Gue engga kali, Sya, si Lala tuh yang kesambet,” ujar Fira sembari duduk di kursi Cindy.
“Kok lo berdua datengnya lama?” tanyaku.
“Biasalah, Sya, ada yang pacaran dulu,” jawab Fira sembari melirik Lala.
“Iri banget jomblo,” ledek Lala.
“Oh ya, Sya, ‘gimana Cindy? Dia udah baca tulisan itu?” tanya Fira.
Aku menggelengkan kepalaku. “Dia biasa aja sama gue.”
“Kalau teman-teman sekelas lo yang lain?” tanya Lala.
“Kayaknya juga gak ada yang baca,” jawabku. “Tapi, ada yang tau.”
“Siapa?” tanya Fira.
“Archie,” jawabku, “Dia bilang kalau temannya ada yang lihat tulisan itu, tapi pas dia mau baca, ada suara aneh dan dia kabur. Jadi, dia belum sempat baca tulisan itu.”
“Syukurlah,” ucap Fira dan Lala hampir bersamaan.
“Sekarang kita mau ke mana?” tanyaku.
“Gue sama Lala mau pergi bimbel,” jawab Fira.
“Bukannya lo berdua bimbel online?” tanyaku.
“Iya, tapi kita ada pertemuan antarmuka juga,” jawab Lala.
“Ya udah, deh, lo berdua bimbel, gue balik,” ujarku. “Lo berdua perginya kapan?”
“Sekarang,” jawab Lala sembari menyimpan ponselnya. “Yuk, Fir.”
Fira pun beranjak dari kursinya, begitu juga denganku. Lalu kami bertiga pun berjalan menuju parkiran motor.
“Lo bawa mobil, Sya?” tanya Fira.
Aku menggelengkan kepalaku.
“Terus lo balik naik apa?” tanya Lala.
“Naik angkot,” jawabku.
“Hati-hati, ya, Sya,” pesan Fira sembari menaiki motor milik Lala.
Aku menganggukkan kepalaku. “Lo berdua juga hati-hati, ya.”
Fira dan Lala menganggukkan kepala mereka lalu Lala pun menjalankan motornya keluar dari parkiran sekolah.
“Marsya!” panggil seseorang saat aku hendak melangkahkan kakiku.
Aku pun menoleh ke belakang dan mendapati Arsen sedang berjalan ke arahku. Kenapa dia ada di sini? Bukannya seharusnya dia sedang bersama Cindy?
“Ada apa, Sen?” tanyaku.
“Lo mau balik?” tanya Arsen balik.
Aku menganggukkan kepalaku.
“Gue anter, ya?” tawar Arsen.
Dengan spontan, aku menggelengkan kepalaku. Aku tidak boleh menerima tawaran dari Arsen. Aku sangat yakin Cindy masih berada di sekolah dan jika dia melihatku dan Arsen berdua, pasti Cindy akan marah dan mungkin menjauhiku.
“Lo ngerasa gak enak sama Cindy?” tanya Arsen.
Dengan jujur, aku menganggukkan kepalaku.
“Ya ampun, Sya, biasa aja kali, ‘kan kita temanan,” ucap Arsen.
“Ya, walaupun, tetap aja, Sen, lo itu pacar teman gue,” balasku.
“Kalau Cindy yang nyuruh gue nganter lo ‘gimana?” tanya Arsen.
Pertanyaan Arsen sedikit aneh. Tidak mungkin Cindy menyuruh Arsen untuk mengantarkanku pulang sementara dia tidak pulang dengan Arsen. Dan sedikit aneh jika Arsen menggunakan nama Cindy untuk mengantarkanku pulang. Sebenarnya tujuan Arsen ingin mengantarkanku pulang apa, sih?
“Gak mungkin Cindy yang nyuruh lo,” ujarku.
“Lo mau bukti?” tanya Arsen.
Aku menganggukkan kepalanya.
Arsen memberikan ponselnya yang sedaritadi ia genggam kepadaku. “Lo buka chat gue sama dia.”
Aku menggelengkan kepalaku. “Gak, gue gak mau buka-buka chat orang, itu privasi.”
“Ribet banget lo jadi wanita,” ucap Arsen lalu ia membuka percakapannya dengan Cindy lalu memberikannya kepadaku.
Aku pun menerima ponsel Arsen dan membaca serentetan pesan dari Cindy.
Cindy Ariyanti: Sen
Cindy Ariyanti: Gue minta tolong dong
Cindy Ariyanti: Anter marsya pulang
Cindy Ariyanti: Kalo lo lagi ga sibuk
Cindy Ariyanti: Anterin dia cari kado mamanya dulu
Arsen Nicander: Oke
“Kenapa Cindy malah nyuruh lo?” tanyaku sembari mengembalikan ponsel milik Arsen.
Arsen mengedikkan bahunya. Ia juga tidak tahu mengapa Cindy menyuruhnya. “Sekarang lo mau, ‘kan?”
Aku tetap menggelengkan kepalaku. Aku tetap merasa tidak enak walaupun Cindy yang menyuruh Arsen.
“Sya, menolak rezeki itu dosa lho,” ujar Arsen.
“Kalau misalnya gue ngerasa ajakan lo itu gak rezeki, itu tetap dosa gak?” tanyaku.
Arsen terdiam sejenak. Sebenarnya aku hanya bercanda, tetapi Arsen terlihat terlalu memikirkan pertanyaanku.
“Iya, deh, iya, gue balik sama lo,” ujarku karena aku merasa tidak enak dengan Arsen.
“Nah, gitu, kek, ‘kan gue gak capek nyari kata buat bales perkataan lo,” kata Arsen.