“Marsya!!!”
“Ada apa, Put?” tanyaku kepada Putri. Putri adalah orang yang memanggilku dan saat ini dia sedang berada di ambang pintu kelas. Kurasa ia ingin menggantikan Thomas yang hari ini tidak sekolah karena penyakit umum para pelajar, yaitu penyakit malas.
“Fira sama Lala nyariin lo, nih,” jawab Putri.
Aku pun beranjak dari kursiku lalu berjalan keluar dari kelasku. Entah kenapa aku merasa ada sesuatu yang terjadi sehingga Fira dan Lala menemuiku.
“Ada apaan?” tanyaku ketika aku sudah berada di luar kelasku.
“Fika udah kelewatan, Sya,” ucap Lala.
Aku menatap mereka dengan tatapan bingung. Bingung karena mereka baru menyadari bahwa Fika sudah kelewatan. Ke mana saja mereka selama ini? Kenapa mereka baru sadar kaalu Fika kelewatan?
“Ayo, kita ke mading gedung D sekarang,” ajak Lala.
Aku pun menganggukkan kepalaku. Lalu kami bertiga pun berjalan menuju gedung D. Semenjak adanya artikel aneh itu di mading gedung A, pagar gedung D tidak lagi di kunci karena pihak sekolah merasa bahwa seluruh siswa harus tahu tentang tulisan yang ada di mading gedung D agar bisa berhati-hati.
Selamat pagi atau siang bagi kalian yang sedang membaca. Aku sengaja tidak mengatakan selamat sore atau malam karena aku tahu kalian tidak akan membaca tulisanku di waktu-waktu rawan seperti itu.
Sebelum aku memulai tulisanku ini, aku ingin mengucapkan terima kasih kepada orang yang menulis artikel di gedung A itu. Kau adalah orang terbaik yang pernah kutahu dan semoga saja aku bisa bertemu denganmu secepat mungkin. Aku ingin berterima kasih kepadamu secara langsung dan mungkin kita bisa bekerja sama dalam menulis artikel dan kita bisa bersama-sama membangkitkan mading gedung ini. Aku sangat yakin, jika kita bergabung, mading gedung D akan menjadi mading terbaik di sekolah ini.
Kali ini aku akan memberitahu kalian mengenai sesuatu yang sebenarnya sudah sangat klise di kalangan remaja. Hanya saja, karena aku merasa bahwa orang itu berhak untuk mendapatkan kebencian atas apa yang dirasakannya, aku memutuskan untuk memberitahukannya kepada kalian.
Seorang murid kelas XII dengan inisial MN ternyata menyukai pacar teman dekatnya sendiri. Inisial teman dekatnya itu adalah CA sementara pacarnya adalah AN. MN sudah menyukai AN sejak mereka berada di jenjang pendidikan menengah pertama. Dan sampai saat ini, ia masih menyukai AN walaupun dia tahu bahwa AN adalah kekasih CA.
Sangat klise, bukan? Sangat. Dan bukan itu yang ingin kuberitahukan karena itu merupakan sesuatu yang sangat biasa. Yang tidak biasa adalah MN dan AN kembali dekat tanpa sepengetahuan CA.
Aku melihat mereka bermesraan di dekat perpustakaan dengan tangan AN berada di pundak MN. Sangat menjijikkan, bukan? Kurasa sangat, karena mengingat hubungan mereka adalah hubungan yang terlarang.
Kurasa itu saja yang ingin kukatakan karena aku sebenarnya sangat muak melihat MN dengan segala ke-sok-jagoan yang ia miliki. Kuharap kalian juga memiliki pemikiran yang sama denganku. Dan marilah kita sama-sama berdoa agar MN segera sadar bahwa dia adalah orang yang sangat menjijikkan. Dan juga, marilah kita berdoa agar CA tetap sabar ketka mengetahui bahwa orang yang selama ini ia percayai adalah orang yang menusuknya dari belakang. Untuk CA, aku dan murid-murid di sekolah ini selalu mendukungmu dan semoga kau mendapatkan teman yang lebih baik daripada MN. Serta untuk AN, kau seharusnya bersyukur sudah berpacaran dengan CA, bukannya malah bermain belakang dengan orang yang jauh di bawah CA.
Aku benar-benar tidak tahu ingin berkata apa saat membaca tulisan yang ada di hadapanku ini. Aku benar-benar tidak menyangka penulis itu dengan teganya menuliskan tulisan tentangku dan merendahkanku di dalamnya. Penulis itu sudah pasti Fika, tidak ada orang lain yang membenciku selain daripada Fika. Aku sangat yakin.
“Sya, kasih tau kita apa yang mau lo lakuin sekarang,” ucap Fira, “Kita gak mau lo ngelakuin sesuatu yang gila.”
“Gue mau ketemu sama Fika sekarang,” balasku, “Gue mau lo berdua temenin gue, tapi jangan ikut ngomong. Gue gak mau Fika berpikiran gue orang yang lemah-“
“Oh, jadi sekarang lo udah kuat?”
Suara itu membuatku langsung menoleh ke sumber suara dan mendapati Fika sedang berjalan ke arahku.
“Fik, lo gue apain, sih? Kenapa lo tega banget nulis kayak gitu?” tanyaku kepada Fika. Saat ini aku berani untuk sedikit nge-gas kepada Fika karena hanya ada kami berempat di sini. “Kalau lo gak suka sama gue, bilang aja sama gue, gak usah sampai mempermalukan gue kayak gini.”
“Gue emang gak suka sama lo, tapi bukan gue yang nulis kayak gini,” jawab Fika. “Lo kira gue mau susah payah cuma buat lo malu? Lo kira gue punya banyak waktu cuma buat orang gak penting kayak lo?”
“Heh, lo kalau ngomong mikir dulu dong,” ujar Lala. “Lo kira dengan omongan lo yang kayak gitu bakal banyak orang yang peduli sama lo? Lo kira dengan jabatan yang lo punya bakal banyak orang yang respect sama lo? Lo gak suka sama Marsya karena banyak orang yang senang sama dia, ‘kan? Lo gak suka sama Marsya karena dia yang mendapat penghargaan sementara lo engga, ‘kan? Ingat, Fik, hidup ini bukan untuk iri terhadap orang lain. Kalau lo lihat teman lo senang, lo harusnya bangga, bukan malah menumbuhkan rasa gak suka. Sekarang lo jujur aja, Fik, lo ‘kan yang nulis ini semua?”
“Lala, gue bilangin, ya, sama lo, lo gak ada hak buat ngegas gue kayak gitu,” ujar Fika. “Dan gue ‘kan udah bilang sama lo bertiga, bukan gue yang nulis artikel ini dan yang di mading gedung A.”
“Jadi, kalau bukan lo siapa? ‘Kan cuma lo orang yang gak suka sama Marsya,” tanya Fira.
“Lo bertiga kok batu banget, sih? Ya, mana gue tau, gue peduli sama kalian aja engga,” jawab Fika. “Oh ya, Sya, gue ke sini sebenarnya cuma mau bilang, selamat. Selamat karena lo bakalan dijauhin oleh banyak orang, terutama Cindy dan Arsen.”
Setelah mengucapkan kata itu, Fika berbalik badan dan berjalan menjauhi kami bertiga.
Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Fika bukan penulisnya dan aku tidak tahu harus menduga siapa lagi. Yang kutahu sekarang adalah aku harus melepas tulisan itu sebelum semua orang membacanya, terutama Cindy dan Arsen.
“Tulisan ini kapan ditempel?” tanyaku.
“Baru aja,” jawab Fira.
“Ayo kita keluar sekarang, gue mau tanya sama Bu Rania tentang kunci mading ini, siapa tau Ibu itu tau,” ucapku.
“Lo bawa kunci pagar gak, Sya?” tanya Lala.
Aku menganggukkan kepalaku.
“Ya udah, ayo kita keluar,” jawab Lala.
Lalu kami bertiga pun berjalan keluar dari kawasan gedung D dan tak lupa kami mengunci pagar gedung D. Aku tidak mau orang lain membaca tulisan memalukan itu.
Sesampainya kami di depan kantor guru, aku langsung memasuki kantor guru sementara Fira dan Lala menunggu di luar.
“Siang, Bu,” sapaku kepada Bu Rania yang sedang memeriksa kertas ujian.
Bu Rania menghentikan kegiatannya lalu menoleh ke arahku. “Siang juga, Sya, ada apa kamu ke sini?”
“Saya mau nanya, Bu, Ibu masih ada simpan kunci mading gedung D?” tanyaku.
Bu Rania terdiam sejenak, sepertinya beliau sedang mencoba mengingatnya. “Kayaknya udah Ibu kasih ke Fika, tapi tunggu sebentar, coba kamu lihat di sini. Kunci mading D ada tanda hijaunya.” Bu Rania mengeluarkan sebuah kotak kecil lalu memberikannya kepadaku.
Aku menerima kotak kecil yang diberikan oleh Bu Rania, membukanya dan kemudian memeriksanya. Ada sebuah kunci yang tanda hijau di kepala kuncinya. Syukurlah.
“Bagaimana? Ada?” tanya Bu Rania.
Aku menganggukkan kepalaku.
“Kamu serius?” tanya Bu Rania yang terlihat terkejut dengan adanya kunci mading gedung D.
Aku kembali menganggukkan kepalaku dan menunjukkan kunci itu.
“Kok bisa ada, ya? Setahu saya, sudah saya berikan semua kunci mading kepada Fika,” tanya Bu Rania.
“Mungkin Ibu lupa kalau Ibu ada duplikatannya,” ucapku walaupun sebenarnya aku kurang yakin dengan hal itu.
“Iya, kali, ya?” tanya Bu Rania, “Ibu kadang suka lupa soalnya.”
“Saya pinjem kuncinya, ya, Bu,” ucapku sembari meletakkan kotak kecil itu di atas meja Bu Rania.
Bu Rania menganggukkan kepalanya kemudian menyimpan kembali kotak kecil itu. “Kamu aja yang pegang kuncinya, jadi kalau ada tulisan yang menurut kamu gak pantes ada di sana, kamu cabut.”
Aku menganggukkan kepalaku. “Baik, Bu, saya permisi, ya, Bu. Maaf udah ganggu, Ibu.”
“Iya, gak apa-apa, Sya,” jawab Bu Rania.
Aku pun menyalam Bu Rania sebelum aku keluar dari ruang guru dan menemui Fira dan Lala yang berada di luar.
“’Gimana? Ada gak?” tanya Fira.
Aku menganggukkan kepalaku dan menunjukkan kunci mading itu kepada Fira dan Lala.
“Ya udah, ayo, kita balik ke sana sekarang,” ajak Lala. “’Bentar lagi udah mau bel soalnya.”
Aku dan Fira pun menganggukkan kepala lalu kami bertiga berjalan ke gedung D. Semoga saja kunci ini memang merupakan kunci mading gedung D. Jika ini memang kuncinya, maka aku rasa, aku akan aman.
“Kunci lagi, ya, La,” ucapku setelah kami bertiga sampai di kawasan gedung D.
Lala menganggukkan kepalanya lalu ia mengunci pagar gedung D.
“Semoga aja ini beneran kuncinya,” ucapku sembari memasukkan kunci itu ke dalam lubang kunci. Cocok. Aku pun memutarnya dan mencoba menggeser kaca mading. Tergeser. “Ini beneran kuncinya.”
Aku bisa melihat kesenangan muncul di wajah Fira dan Lala, serta wajahku pastinya.
“Ayo kita cabut kertasnya,” ajak Fira.
Lalu kami bertiga pun mencabut kertas itu dari mading.
“Semoga aja Arsen dan Cindy belum lihat tulisan ini,” ucapku setelah kami bertiga berhasil mencabut kertas itu dari mading.
Fira dan Lala menganggukkan kepala mereka, pertanda mereka juga mempunyai harapan yang sama denganku.