Untuk yang kesekian kalinya, Marsya memeriksa kembali tasnya. Seingatnya dia sudah membawa kunci pagar itu, tetapi sekarang kunci itu tidak ada di dalam tasnya.
“Lo kenapa, Sya?” tanya Cindy yang sedikit heran melihat Marsya yang sibuk sendiri dengan tasnya.
Marsya hanya menggelengkan kepalanya sambil terus memeriksa tasnya.
“Ada yang ketinggalan?” tanya Cindy.
Marsya kembali menggelengkan kepalanya. Marsya sedikit panik karena ia tidak menemukan kunci pagar itu. Pasalnya, pagi ini Marsya ingin membaca tulisan yang ada di mading gedung D. Marsya sangat yakin ada sesuatu yang baru di mading itu dan ucapan selamat bukanlah sesuatu yang baru itu.
“Lo kenapa sih, Sya?” tanya Cindy yang sekarang sedikit panik melihat Marsya yang juga terlihat panik.
Untuk yang ketiga kalinya, Marsya kembali menggelengkan kepalanya. “Cin, gue pergi dulu, ya? Kalau nanti guru pelajaran pertama masuk bilang gue lagi ada urusan sama Bu Rania.”
Tanpa bertanya apa alasan Marsya pergi, Cindy menganggukkan kepalanya. Cindy tidak bertanya bukan karena dia tidak peduli dan tidak penasaran dengan Marsya, hanya saja Cindy merasa ada waktu yang lebih tepat untuk bertanya keapda Marsya.
Marsya pun melangkahkan kakinya keluar kelas dan berjalan menuju pos satpam.
Setibanya di pos satpam, Marsya tidak menemukan Pak Bambang. Ia malah menemukan Arsen yang baru saja masuk dari gerbang samping sekolah.
Karena Marsya tahu kemungkinan besar Arsen akan bertanya mengapa ia berada di pos satpam, Marsya pun memutuskan untuk kembali ke gedung sekolah.
“Marsya!”
Marsya memberhentikan langkahnya. Tanpa menoleh ke belakang, Marsya tahu bahwa Arsen adalah orang yang memanggilnya. Ia pun langsung menyiapkan mentalnya untuk menjawab pertanyaan Arsen yang kemungkinan akan dijawabnya dengan sedikit bumbu kebohongan.
“Lo kenapa ada di sini?” tanya Arsen ketika ia sudah berdiri di samping Marsya.
“Gue lagi nunggu orangtua gue, ada barang yang tinggal,” jawab Marsya.
“Oh, gue kira lo mau cari Pak Bambang,” kata Arsen.
Dari mana Arsen mengetahui dirinya mencari Pak Bambang adalah pertanyaan yang saat ini muncul di benak Marsya. Ia tidak tahu sejak kapan Arsen dapat membaca gerak-geriknya. Dan Marsya juga tidak tahu mengapa belakangan ini Arsen mau berbicara dengannya.
“Ngapain gue nyari Pak Bambang coba?” tanya Marsya.
“Ya, siapa tau,” jawab Arsen. “Gue masuk duluan, ya? Pak Karno soalnya.”
Marsya menganggukkan kepalanya lalu memandangi Arsen yang melangkahkan kakinya menjauhi dirinya. Marsya memandangi Arsen dengan penuh rasa dan Arsen meninggalkan Marsya sendiri, tanpa rasa.
Sadar bahwa apa yang telah ia lakukan adalah salah, Marsya menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba untuk kembali kepada kehidupannya. Kembali kepada kenyataan yang sangat menyedihkan.
***
“Tadi pagi gue lihat lo ngobrol sama Arsen,” kata Lala kepada Marsya saat mereka sedang menonton pertandingan basket kecil-kecilan antara kelas Lala dengan kelas Marsya.
Saat ini guru olahraga mereka berdua sedang memberikan kebebasan kepada mereka untuk melakukan olahraga apa saja. Dan bagi Marsya dan Lala serta beberapa siswi lainnya menggosip bisa dikategorikan sebagai cabang olahraga.
“Sejak kapan dia mau ngomong sama lo?” tanya Lala.
“Sejak dia lihat gue meriksa pagar yang waktu gue mau balik ke sana sendirian,” jawab Marsya.
“Lo serius?” tanya Lala.
Marsya menganggukkan kepalanya.
“Udah berapa kali dia lihat lo meriksa pagar?” tanya Lala.
Marsya terdiam sejenak. Ia mencoba mengingat berapa kali ia bertemu dengan Arsen. “Dua kali.”
“Tunggu, lo gak curiga sama dia?” tanya Lala yang mulai merasakan ada sesuatu yang aneh dengan perubahan sikap Arsen kepada Marsya.
“Curiga kenapa?” tanya Marsya.
“Dia itu udah lama gak ngomong sama lo, tapi tiba-tiba dia mau ngomong sama lo sejak dia lihat lo meriksa pagar gedung D. Aneh, ‘kan?” tanya Lala.
“Jadi, menurut lo Arsen tau tentang mading itu?” tanya Marsya.
“Atau mungkin memang dia yang nulis,” jawab Lala.
Marsya terdiam. Perkataan Lala mungkin saja ada benarnya. Mengingat Arsen selalu pulang lama dan akhir-akhir ini jarang bersama Cindy karena, Cindy pernah mengatakan bahwa, Arsen ada urusan. Dan bisa saja, menempel kertas di mading adalah urusan Arsen belakangan ini.
“Ya ampun, La, kenapa gue gak kepikiran coba?” tanya Marsya kepada Lala. “Akhir-akhir ini Cindy bilang si Arsen ada urusan dan bisa jadi urusan Arsen itu berkaitan dengan mading gedung D.”
“Kita harus kasih tau Fira secepat mungkin,” kata Lala dan disertai anggukan oleh Marsya.
***
“Kalau itu benaran Arsen, kenapa dia menyibukkan dirinya dengan nempelin kertas di mading?” tanya Fira setelah mendengar pembicaraan Marsya dan Lala mengenai Arsen yang diduga sebagai penulis kertas yang ada di mading gedung D.
“Mungkin si Arsen mau terlihat misterius gitu, Fir, setahu gue, Arsen suka misteri,” jawab Marsya yang sudah sangat yakin bahwa Arsen adalah penulis kertas yang ada di mading gedung D walau sebenarnya Marsya masih tidak percaya dan tidak menyangka Arsen ada di balik mading gedung D.
“Lo beneran gak bawa kuncinya, Sya?” tanya Lala.
Marsya menganggukkan kepalanya. “Gue tadi pagi udah meriksa sampai muak, tapi gak dapet juga.”
“Coba gue yang periksa,” kata Fira sembari mengambil tas Marsya yang terletak di dekatnya. Setelah memeriksa tas Marsya, Fira mendapatkan sesuatu, sesuatu yang mereka butuhkan saat ini. “Ini apaan, Sya?”
Marsya terkejut melihat benda kecil itu berada di tangan Fira. Ia sangat yakin benda itu tidak ada di tasnya tadi. “Demi apapun, tadi kunci itu gak ada di tas gue.”
“Kalau gitu ada seseorang yang masukin kunci ini di tas lo, Sya,” kata Fira.
“Dan gue yakin, orang itu adalah Arsen,” ucap Lala. “Dia mau kita meriksa mading itu hari ini juga, makanya dia masukin kunci baru di dalam tas Marsya.”
“Siapapun yang taruh kunci ini di tas gue itu gak penting, yang penting sekarang kita harus ke sana,” kata Marsya. “Perasaan gue dari tadi pagi udah gak enak.”
Fira dan Lala menganggukkan kepala mereka. Kemudian mereka bertiga pun berjalan menuju gedung D dengan kunci yanng sudah berada di genggaman tangan Marsya.
Apa yang terpikir di benakmu jika kau mendengar kata guru?
Jika yang muncul adalah orang yang mengajar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Maka kuakui, kau benar, jawabanmu tepat, kau tak salah.
Tapi, apakah kau pernah terpikir guru akan melakukan sesuatu yang terlarang?
Apakah kau pernah terpikir bahwa Pak M akan melakukan sesuatu yang sangat luar biasa kejamnya?
Dan apakah kau pernah terpikir bahwa N akan menjadi sosok yang dikenai kekejaman beliau?
Marsya, Fira, dan Lala saling tatap sesaat setelah mereka selesai membaca tulisan yang menurut mereka sedikit menyeramkan itu.
“Sya, lo harus temuin Arsen sekarang,” kata Fira yang tiba-tiba saja merasa Arsen bertanggungjawab atas apa yang telah mereka berbaca.
Lala menganggukkan kepalanya, menyetujui apa yang dikatakan oleh Fira. “Sya, untuk kali ini, kita harus tau siapa orang yang ada di kertas ini. Kalau kita gak tau secepatnya, si N pasti bakal kena bahaya.”
“Gue gak ada kontak Arsen,” kata Marsya. “Bentar, biar gue minta sama Cindy.”
“Eh, Sya, jangan,” cegah Fira. “Nanti Cindy malah curiga sama lo.”
“Bentar, biar gue minta sama Jevan, kayaknya dia ada kontak Arsen,” ucap Lala sembari mengambil ponselnya dari saku roknya.
Marsya menganggukkan kepalanya.
“Udah gue kirim ke lo, Sya,” kata Lala setelah ia mendapatkan kontak Arsen dan mengirimkannya kepada Marsya.
Marsya mengambil ponselnya dari saku roknya lalu mengirim pesan kepada Arsen.
Marsya Nadhifa: Arsen
Marsya Nadhifa: Lo masih di sekolah?
Marsya Nadhifa: P
Lima menit sudah berlalu tetapi Marsya belum mendapat balasan dari Arsen.
“’Gimana?” tanya Lala.
Marsya menggelengkan kepalanya. “Gak ada balasan dari dia.”
“Kayaknya dia emang mau kita yang caritahu sendiri tanpa nanya ke dia,” kata Fira.
“Pak M siapa coba?” tanya Lala.
“Guru yang awalnya M itu ada empat, Pak Mahmud, Pak M. Ryan, Pak M. Syarifuddin, sama yang terakhir Pak Minro,” jawab Fira.
“Pak Ryan lagi di luar kota, gak mungkin beliau yang di maksud Arsen,” kata Marsya.
“Pak Syarifuddin lagi umrah,” kata Fira.
“Oke, kalau begitu ada dua orang tersangka, Pak Mahmud dan Pak Minro,” ucap Lala mengambil kesimpulan.
“Kalau gitu, kita ke kantor guru sekarang, kayaknya Pak Mahmud belum pulang karena beliau ‘kan yang ngurus ekskul Pramuka yang lagi latihan hari ini,” kata Fira.
Sesampainya mereka di kantor guru, mereka tidak melihat seorang gurupun yang tinggal. Hanya ada Pak Mahmud yang berada di lapangan saat mereka lewat tadi.
“’Gimana kalau kita pencar?” usul Lala. “Lo berdua mantau Pak Minro, gue yang mantau Pak Mahmud di sini.”
“Lo gak apa-apa sendiri?” tanya Marsya.
“Gue gak sendiri, Sya, Jevan lagi kerja kelompok sekarang, paling bentar lagi selesai,” jawab Lala.
“Iyalah yang baru jadian itu,” sindir Fira.
“Alay, Fir, alay,” balas Lala.
“Oh ya, ‘gimana cara gue sama Fira mantau Pak Minro kalau kita gak tau Bapak itu di mana?” tanya Marsya.
“Lo berdua datengi rumah Bapak itu ceritanya lo berdua mau nanya tugas,” jawab Lala. “Bapak itu masuk kelas lo, ‘kan, Sya?”
Marsya menganggukkan kepalanya. “Tapi gue gak tau alamat Bapak itu.”
“Bentar, gue ada file alamat wali kelas 11, kalau gak salah Bapak itu wali kelas 11 IPS 1,” kata Lala sembari mengambil ponselnya lalu mengirimkan file yang ia maksud kepada Marsya.
“Eh, tapi gue gak bawa motor,” kata Fira.
“Iya, gue juga,” sambung Marsya. “Tapi kayaknya gue bisa pinjem sama satu orang.”
“Siapa?” tanya Lala.
“Archie, dia bilang hari ini dia mau puas-puasin main warnet,” jawab Marsya. “Warnet yang di dekat restoran Padang itu.”
“Ya udah, kita ambil tas dulu, baru kita pergi,” ucap Fira.
***
Alamat yang diberikan oleh Lala membawa mobil milik teman Archie yang dikemudikan oleh Marsya sampai di sebuah bangunan rumah yang besar dan ada keterangan yang menyatakan bahwa itu adalah tempat kos.
“Baru tau gue Pak Minro tinggal di kos,” kata Fira setelah mereka sudah keluar dari mobil teman Archie.
Marsya dan Fira tidak jadi meminjam kendaraan milik Archie karena ternyata Archie tidak membawa mobil melainkan membawa motor sport. Sangat tidak mungkin jika mereka berdua meminjam motor milik Archie. Dan untung saja teman Archie dengan berbaik hati meminjamkan mobilnya kepada Marsya dan Archie.
“Semoga aja Bapak itu gak ngerasa aneh karena kedatangan kita berdua,” ucap Marsya sebelum mereka berdua memasuki rumah itu.
“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?” tanya petugas yang menghampiri Marsya dan Fira saat mereka baru saja memasuki rumah itu.
“Kami berdua ingin bertemu dengan Pak Minro, Pak,” jawab Fira.
“Oh, Pak Minro, kalian naik saja ke lantai dua, Minro ada di kamar nomor lima,” ucap petugas itu lalu berjalan menjauhi Marsya dan Fira.
Marsya dan Fira pun langsung menuju lantai dua dan mencari kamar bernomor lima. Untung saja kamar itu berada di dekat tangga sehingga mereka berdua tidak terlalu susah untuk mencarinya.
Marsya menekan tombol bel yang berada di dekat pintu kamar itu dan memanggil nama Pak Minro.
Tak berapa lama kemudian, pintu terbuka dan menampilkan sesosok wanita yang merupakan istri dari Pak Minro.
“Maaf mengganggu, Bu, kami ke sini bermaksud untuk mencari Pak Minro,” kata Marsya. “Pak Minronya ada, Bu?”
“Suami saya belum pulang dari tadi,” jawab wanita itu.
Marsya dan Fira saling pandang ketika mendengar jawaban wanita itu. Tanpa mereka ketahui, mereka berdua memiliki pemikiran yang sama.
“Kalian ada perlu apa dengan suami saya?” tanya wanita itu.
“Kami mau mengumpul tugas, Bu,” jawab Fira.
“Lebih baik kalian kumpul besok saja, saya gak berani menerima yang bukan tanggungjawab saya,” ucap wanita itu.
“Kalau begitu kami pulang dulu, ya, Bu,” pamit Marsya.
Wanita itu menganggukkan kepalanya lalu beliau menutup pintu kamarnya.
“Fir,” ucap Marsya ketika mereka sedang berjalan menjauhi kamar nomor lima itu.
“Gue rasa, kita udah terlambat, Sya,” kata Fira.