Untung saja hari ini tidak ada tugas yang harus dikumpul sehingga pagiku bisa tenang tanpa harus kewalahan mengerjakan tugas.
Ya, aku memang lebih sering mengerjakan tugas di sekolah. Bukan karena aku malas mengerjakannya, hanya saja, aku merasa suasana akan lebih menegangkan dan memesona bila aku mengerjakan tugas di sekolah.
Aku tahu ini sedikit aneh, tapi kusarankan kau untuk mencobanya sekali-kali. Karena percayalah, dengan mengerjakan tugas di sekolah, kecepatan tangan serta keterampilan tangan saat menulis sangat dilatih.
“Marsya!” panggil seseorang.
Aku menoleh ke sumber suara dan mendapati Fika berdiri di ambang pintu kelasku.
Aku pun bangkit dari kursiku dan berjalan ke arah Fika.
“Ada apa, Fik?” tanyaku.
“Lo ada bawa artikel buat minggu ini gak?” tanya Fika.
Aku menganggukkan kepalaku. Aku memang selalu membawa buku berisi artikel yang kutulis karena aku tahu ide untuk menulis bisa datang kapan saja dan di mana saja. Dan sedia payung sebelum hujan adalah empat kata yang cocok untukku.
“Nanti, setelah pulang sekolah, langsung ke ruang ekskul, ya, Sya, jangan lupa bawa artikel lo juga,” pesan Fika. “Gue mau kasih tau sesuatu sama lo dan yang lainnya.”
Aku menganggukkan kepalaku.
“Gue balik, ya, Sya,” pamit Fika lalu ia berjalan menjauhiku.
Aku kembali menganggukkan kepalaku. Sebenarnya aku tidak termasuk anggota ekskul yang diketuai oleh Fika, yaitu ekskul jurnalis. Aku hanya ditugaskan untuk menulis artikel mingguan dan setiap artikel yang kutulis akan ditempel di mading gedung A sekolahku.
Sebenarnya mading tak hanya berada di gedung A, tetapi karena gedung A adalah gedung utama maka konten-konten menarik difokuskan pada mading yang terdapat di gedung A.
***
“Berhubung materi kita pada bab ini adalah mengenai hak asasi manusia. Maka, saya harapkan kalian menghafal pasal 28A sampai dengan pasal 28J,” kata Pak Restu sembari menutup buku pegangan milik beliau lalu bangkit dari kursinya.
“Minggu depan dites, Pak?” tanya Archie.
Pak Restu menganggukkan kepalanya. “Minggu depan kalian akan saya uji satu persatu dan harus sudah bisa. Sekarang kalian saya bebaskan karena saya ada urusan di kesiswaan. Selamat pagi menjelang siang.”
Setelah Pak Restu keluar dari kelasku, aku langsung membuka buku Undang-Undang Dasar yang selalu kubawa di dalam tasku. Kemudian aku pun melihat pasal 28.
“Panjang banget, gila,” komentar Cindy yang ternyata memperhatikan apa yang sedang kulakukan.
“Kata-kata depannya hampir sama semua pula,” kataku setelah membaca beberapa pasal.
“Halah, gitu doang mah gue bisa,” kata Archie yang duduk di belakangku dan Cindy.
Aku dan Cindy pun menoleh ke belakang.
“Bisa apaan?” tanyaku.
“Bisa matilah,” jawab Archie.
“Amin, ya Tuhan,” kata Cindy.
“Marsya!” panggil Thomas yang entah sejak kapan sudah berdiri di ambang pintu kelas.
Thomas memang selalu berdiri di ambang pintu kelas saat tidak ada guru. Thomas berdiri di situ karena dia mendapat mandat sebagai pemberi peringatan kepada kelasku ketika guru yang akan masuk ke kelasku sedang berada di dalam perjalanan menuju kelas.
“Ada apa, Thom?” tanyaku dengan sedikit berteriak karena jarak kursiku dengan pintu kelas dapat dikatakan cukup jauh.
“Ada yang manggil,” jawab Thomas dengan suara yang tak kalah kuat dari suaraku.
Aku pun bangkit dari kursiku dan melangkahkan kakiku menuju tempat Thomas berdiri.
“Ini si Marsya,” ucap Thomas kepada orang yang memanggilku.
Aku memperhatikan orang itu dengan saksama. Aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Apa dia murid baru? Atau dia adalah murid lama tetapi mataku terlalu buta untuk melihat lelaki tampan sepertinya?
“Lo Marsya, ‘kan?” tanya orang itu.
Aku menganggukkan kepalaku. Semoga saja dia tak sadar kalau aku sedaritadi sedang mengagumi wajahnya yang memiliki kadar ketampanan di atas normal.
“Lo dipanggil sama Bu Rania,” kata orang itu.
Sayang sekali, aku belum dapat mengetahui namanya karena ia sedang memakai jaket. Andai saja dia tidak memakai jaket, pasti aku akan mengetahui namanya.
“Ibu itu di mana?” tanyaku.
“Di kelas gue, yuk,” ajaknya lalu melangkahkan kakinya.
“Thom, kalau misalnya ada yang nyariin gue, bilang gue dipanggil Bu Rania, ya,” pesanku kepada Thomas sebelum aku mengikuti langkah orang itu.
Orang itu membawaku ke bagian kelas XII IPS. Aku mulai punya pemikiran bahwa dia adalah murid IPS. Pantas saja aku tidak pernah melihatnya.
Kami berdua berhenti di depan pintu kelas XII IPS 3 yang sedang tertutup.
Orang itu mengetuk pintu yang kurasa adalah kelasnya dan setelah mendapat balasan dari dalam kelas, ia langsung mmebuka pintu dan masuk, begitu juga denganku.
“Pagi, Bu,” sapaku sembari menyalam Bu Rania.
“Pagi, Nak,” balas Bu Rania.
“Ibu manggil saya karena apa, ya, Bu?” tanyaku.
“Begini, Sya, kelas Ibu ini akan pergi ke sebuah acara yang diselenggarakan oleh sebuah lembaga kemasyarakatan. Jadi, Ibu minta tolong sama kamu, kamu ikut sama kelas ini pergi ke sana dan setelah itu kamu buat artikel mengenai acara itu,” jawab Bu Rania. “Bisa tidak?”
Tanpa berpikir panjang, aku langsung menganggukkan kepalaku. Jika aku ikut dengan kelas ini, maka sudah pasti aku akan mengetahui nama orang itu dan bagaimana sikapnya.
“Informasi lebih lanjut akan saya beritahu lusa, sekarang kamu bisa balik ke kelas,” pinta Bu Rania.
Aku menganggukkan kepalaku lalu pamit kepada Bu Rania dan melangkahkan kaiku kembali ke kelasku.
Selama di perjalanan menuju kelasku, orang yang tadi mengantarku berhasil mengambil-alih pemikiranku. Aku sangat penasaran dengan namanya. Aku juga penasaran dengan sifat dan tingkah lakunya. Dan aku sangat penasaran dengan statusnya.
Jika ia sudah punya pacar, tak mungkin aku mengerjarnya. Cukup kepada Arsen aku seperti itu, tak usah kepada orang lain, apalagi orang yang baru kukenal.
“Astaga,” ucapku dengan spontan karena aku baru saja menabrak seseorang atau seseorang baru saja menabrakku.
Aku pun medongakkan kepalaku untuk melihat orang yang menabrakku.
Astaga, kenapa aku bisa bertabrakan dengannya? Apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus meminta maaf? Tapi, apakah ini memang salahku? Sepertinya mungkin saja, karena sedaritadi aku sedang tidak fokus.
“Eh, maaf, maaf, gue gak sengaja,” ucapku.
Ia tidak menjawab, ia hanya menatapku lalu berjalan melaluiku.
Aku menatapi kepergiannya dengan tatapan bingung.
Kenapa dia terlihat sangat membenciku? Apakah aku pernah berbuat salah kepadanya? Kali terakhir aku mengobrol dengannya adalah ketika kami kelas delapan SMP, sekitar tiga atau empat tahun yang lalu. Dan kurasa aku tak pernah berbuat salah kepadanya saat kami berada di kelas yang sama sewaktu kami kelas delapan.
Aku dan Arsen memang sudah kenal sejak lama. Kami saling kenal karena berada di kelas yang sama selama dua tahun, yaitu saat kelas tujuh dan delapan. Namun sayang, waktu kelas sembilan, aku harus pindah ke kota lain dan ketika kelas sepuluh, aku kembali ke sini. Dan baru kelas dua belaslah aku tahu bahwa dia sudah berpacaran dengan orang lain. Dan lebih menyedihkan lagi, pacar Arsen adalah teman dekatku.
Kalau boleh jujur, aku sudah menyukai Arsen sejak kami bertemu untuk pertama kalinya, yaitu sewaktu kami sedang tes untuk memasuki sekolah. Saat itu dia duduk di sebelahku dan dia sering meminjam penghapusku.
Dan ketika aku tahu bahwa kami berdua berada di sekolah yang sama untuk yang kedua kalinya, rasa yang dulu pernah ada tiba-tiba muncul kembali. Dan sekarang, rasa yang muncul itu adalah sebuah rasa terlarang.