Akhirnya, perjuangan setelah training, aku mulai hari pertamaku bekerja.
Hari pertamaku bekerja, sangatlah BURUK.
Aku mengakui, aku tidak pernah bekerja sebelumnya. Gadis berusia 18 tahun dan masih berstatus mahasiswa sepertiku, tentu saja belum merasakan bagaimana dunia kerja. Apalagi ini hotel. Aku sama sekali tidak ada bayangan bagaimana pekerjaan di hotel. Meskipun, kami melakukan training selama beberapa hari, tapi bukan berarti aku langsung bisa menjadi seorang karyawan. Aku mulai merasa terbebani dengan ini.
Pertama, aku memecahkan gelas. Salah meletakkan menu. Terlambat mengantarkan pesanan. Gugup saat berbicara, dan masih banyak lagi daftar yang lain. Tanpa segan-segan, Chief memarahiku dengan kasarnya. Aku hanya bisa meminta maaf. Tidak ada yang bisa ku lakukan. Aku bahkan pertama kali memegang tray berisikan gelas minuman. Aku tidak tahu bentuk dari menu yang namanya baru aku dengar. Aku juga sudah berusaha bergerak lebih cepat, tapi mau bagaimana lagi, aku baru pertama kali melakukannya. Berbicara ringan dengan karyawan dan berbicara sopan kepada tamu sangatlah berbeda, tentu saja itu membuatku gugup. Tidak hanya aku, yang lain juga mengalami kesialan yang sama.
Haah, siapa yang bisa membayangkan akan sesulit ini.
Rasanya, setiap gerakanku selalu terlihat salah. Apapun yang ku lakukan, aku selalu mendapat teguran dari Chief. Lama-lama aku juga kesal. Mana ada orang yang langsung sempurna di hari pertamanya bekerja? Benar-benar menguji kesabaranku. Tapi, aku harus memakluminya. Aku hanyalah karyawan magang di sini, orang asing, tidak punya pengalaman appaun tentang dunia kerja. Sedangkan, Chief, orang Jepang yang sangat disiplin terhadap apapun, lebih terkesan seperti perfeksionis. Bekerja lebih lama di sini, dan memiliki jabatan. Sikapnya sangatlah berbeda saat di soubetsukai. Aku tidak yakin bisa mengikuti alur yang seketat ini, yang kapan saja bisa mencekikku.
Karyawan yang lain berusaha untuk membesarkan hati kami, ikut membantu dan memberikan penjelasan singkat tentang apa yang harus kami lakukan. Bahkan Yash dan Tisha juga tidak bisa lolos dari amukan Chief, padahal mereka kuliah di jurusan perhotelan dan juga bekerja di hotel. Pengalaman tidak membantu apapun. Tapi, paling tidak, aku bisa belajar sedikit dari mereka tentang perhotelan.
Kami ditugaskan untuk bekerja di restoran. Aku bertugas sebagai pelayan yang menyambut tamu, mengantar tamu ke mejanya, dan mencatat menu. Tisha bertugas sebagai pengantar pesanan, dan membersihkan meja saat tamu pulang. Aku juga ikut membantu, saat aku senggang. Itulah kenapa aku berakhir dengan memecahkan gelas dan salah mengantar pesanan. Kak Diana bertugas di dapur, mengurus menu makanan yang disediakan. Lalu, Yash, bertugas sebagai bartender.
Sebenarnya, ini adalah pekerjaan menyenangkan, jika bisa terlepas dari amukan Chief. Entah kenapa, pria paruh baya itu sangat begitu emosional saat bekerja. Atau memang dia bertugas seperti itu, aku tidak tahu. Yang pasti, aku harus melakukan kesalahan seminimal mungkin. Ditambah, ini yang paling parah dan tidak terduga. Tetangga sebelah juga bertugas di restoran ini.
Pria itu bersikap sangat profesional di sini. Mengarahkan kami dengan baik. Membantu dengan sigap. Menenangkan saat kami dimarahi Chief. Hanya saja, terkesan menjaga jarak. Dia sama sekali tidak tersenyum saat berbicara. Ekspresi yang sama saat pertama kali ku lihat di hari pertama kami bertemu. Soal itu, dia bersikap seolah-olah tidak kenal sama sekali denganku. Saat Chief menyinggung soal itu, dia menjawab belum bertemu denganku.
Siapa yang tidak kesal diperlakukan seperti orang asing seperi itu? Kami sudah bertemu beberapa kali. Saling berbicara, meskipun mengesalkan. Aku bahkan melakukan tugasku sebagai tetangga baru yang baik, dengan memberikan sesuatu padanya. Berdiri di depan pintu, tersenyum semanis mungkin, mengatakan hal-hal yang bersikap formalitas dan penuh sopan santun. Tapi, apa yang dia katakan benar-benar tidak bisa dimaafkan. Belum pernah bertemu, katanya? Lalu, siapa yang selama ini ku lihat? Hantu? Yang benar saja.
Akupun akhirnya memutuskan hal yang sama. Tidak berbicara dengannya jika memang tidak perlu. Tapi, ku ingat-ingat lagi, aku tidak berbicara padanya di tempat kerja. Aku bahkan tidak bertatap mata dengannya. Aku menganggapnya tidak ada. Di asrama-pun, kami tidak bertemu apalagi secara kebetulan berpapasan. Dan, itu membuatku lega. Aku tidak harus berurusan dengannya di manapun.
Tanpa terasa, kami sudah menjalani kehidupan di sini selama sebulan. Masih dengan kecanggungan satu sama lain, dan diwarnai dengan omelan Chief yang kami anggap sebagai angin lalu. Kemudian, Sakura mulai bermekaran dan udara yang semakin menghangat setiap harinya.
***
Pertengahan bulan Mei, Sakura sudah mulai bermekaran, meskipun masih belum merata di seluruh Hokkaido. Pohon Sakura di depan hotel, yang bisa ku lihat dari balkon kamarku mulai muncul warna pink lembut di antara dedaunan hijau. Saat berada di pesawat yang akan mendarat ke Narita bulan lalu, aku bisa melihat hamparan Sakura yang penuh dengan warna pink dari berbagai gradasi. Tapi, tidak bisa melihat secara langsung karena harus terjebak di bandara, menunggu keberangkatan berikutnya. Dan, di sini, Sakura masih belum bermekaran. Harus menunggu sebulan kemudian untuk mendapatkan sensasi itu.
Aku melirik ke balkon tetangga, tidak ada siapapun, juga tidak ada tanda-tanda dia akan keluar. Cukup satu kejadian itu. Cukup aku bertemu dengannya di hotel, tidak perlu ditambah dengan harus bertemu di asrama juga. Aku mulai menikmati kehidupanku di sini, di antara kedisplinan kerja, kesibukan waktu, dan kecanggungan. Aku menghela nafas setiap kali memikirkannya. Aku sama sekali tidak berbicara dengan yang lain, selain di tempat kerja. Yang lain di sini adalah Kak Diana, Tisha dan Yash. Meskipun, kami memang sering ngobrol di tempat kerja, hanya tentang pekerjaan. Selain itu, kami hidup sendiri-sendiri.
Aku merasa kesepian.
Di saat seperti ini, aku biasanya menghubungi teman sekelompokku. Meskipun begitu, tidak banyak yang harus dibicarakan, selain keadaan di sini dan di sana. Sangat membosankan. Akan lebih menyenangkan jika kami berbicara langsung. Itu yang ingin ku lakukan bersama mereka. Dengan orang Jepang sendiri, aku merasa mereka menjaga jarak, dan aku tidak ingin terlalu sering berhubungan dengan mereka secara pribadi. Sama saja sebenarnya. Hhhhh.....
Tiba-tiba, bel pintu berbunyi. Aku langsung melompat masuk ke dalam dan berlari ke arah pintu, membuka pintu dan mendapati Yash yang seperti biasa, selalu nyengir setiap kali aku membuka pintu.
“Kau sibuk?,” tanyanya. Aku menggeleng, heran. Tanpa diminta, Yash langsung ngeloyor masuk ke kamarku, berkacak pinggang di tengah ruangan sambil mengamati seluruh ruangan. “Kau tipe perfeksionis, ya?,”
Aku menghela nafas, kembali ke dalam ruangan, membuka kulkas, meletakkan sebotol jus jeruk dan gelas di atas meja, kemudian menatap Yash yang masih berdiri. “Aku akan lebih senang jika kau memuji ruanganku, bukan sifatku,” ujarku sambil duduk, diikuti oleh Yash yang terkekeh.
“Jadi, apa keperluanmu? Ng, kau tidak Line aku, kan?,” tanyaku, meraih ponselku di ujung meja. Tidak ada notifikasi apapun dari Yash. “Tidak,” jawab Yash
“Aku hanya ingin meminta bantuanmu. Ku rasa hanya kau yang bisa ku minta bantuan, jadi.....aku memutuskan langsung ke mari,” ucapnya. Aku mengerutkan dahi, apa hanya perasaanku saja Yash sedang bersikap gugup sekarang? “Kau tahu, kan soal perasaanku pada Tisha?,” Ah! Tentang yang satu itu. Ku rasa aku bisa menebak ucapannya berikutnya. “Jadi, aku...ng...,”
“Mungkin tidak, Yash. Aku sangat ingin membantu, kau tahu. Tapi, aku tidak ingin membuat Tisha tersinggung. Perasaanmu padanya yang terlalu blak-blakan, sudah cukup membuatnya mengambil langkah seribu darimu. Apa kau yakin masih ingin terus maju?,”
Yash menunduk diam. “Aku tahu. Tapi, paling tidak aku bisa mengungkapkan perasaanku padanya. Apa menurutmu itu salah? Aku hanya ingin meluruskan semuanya. Hanya itu,”
Aku menatap Yash yang terlihat sangat tidak berdaya. Ku pikir, dia hanya bersenang-senang, karena cowok normal manapun pasti akan langsung menengok jika melihat Tisha. Tidak hanya Yash, bahkan karyawan pria di hotel juga dengan terang-terangan menatap Tisha dengan penuh minat. Tapi, apa yang ku lihat sekarang, seprtinya Yash benar-benar punya perasaan yang mendalam pada Tisha. Ahhh, kenapa aku harus terjebak dalam dilema perasaan seseorang seperti ini?
“Jadi, apa rencanamu?,” tanyaku akhirnya, menyerah. Bisa ku lihat perubahan ekspresi Yash yang suntuk menjadi berbinar-binar. Aku agak rikuh dengan ini.
“Aku tidak tahu,” jawabnya singkat dan penuh percaya diri.
“Hah?! Kau bercanda ya?!,” seruku kesal. Ku pikir dia punya rencana sendiri, tinggal aku yang membantu prosesnya. Ternyata sama sekali tidak berguna.
“Aku berusaha untuk berbicara empat mata dengannya, tapi kau tahu sendiri kan? Dia menghindariku. Itulah kenapa aku ingin kau berbicara padanya,”
Ah. Hanya itu yang harus ku lakukan?
“Baiklah. Tapi, aku tidak bisa janji ini akan berhasil. Akan ku coba,”
“Benarkah? Oh, terima kasih. Kau adalah pilihan yang tepat untuk hal seperti ini,” sahutnya senang. Tapi, aku sama sekali tidak senang. Ini merepotkan.
Ku teguk jus jeruk yang sudah ku tuang ke gelas sebelumnya, menatap keluar jendela. Saat itulah, aku terpikirkan sesuatu. Entah ini disebut ide cemerlang atau tidak.
“Kau tidak terburu-buru, kan? Aku punya rencanaku sendiri,” ujarku pada Yash.
“Tentu saja. Kau mau membantuku saja sudah luar biasa,”
“That’s good,” Aku meraih ponselku dan mengirim pesan Line. Paling tidak, aku juga bisa bersenang-senang.
Setelah itu, Yash memutuskan kembali ke kamarnya setelah berkali-kali berterima kasih padaku, dan menjanjikan akan menraktirku makan yang enak. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Traktiran itu bisa diurus lain kali. Setelah Yash menghilang di balik pintu kamarnya, aku segera keluar dan membunyikan bel pintu. Tidak lama kemudian, Kak Diana muncul.
Seperti yang dilakukan Yash, akupun melakukannya, langsung ngeloyor masuk ke kamar Kak Diana tanpa permisi. Ku perhatikan seisi ruangan yang penuh dengan barang. Tidak bisa dibilang rapi, tapi cukup teratur. TV sedang menyala, menayangkan salah satu acara ragam yang tidak membuatku tertarik.
“Kau mau sesuatu?,” tanyanya di belakangku. Aku membalasnya dengan anggukan dan duduk di sembarang tempat. Kak Diana menawarkan segelas jus apel padaku. Aku mengernyit, tapi demi kesopanan, akupun mencicipinya sedikit. Oh, enak. Rasanya berbeda dengan jus apel yang ku tahu.
“Apa merk-nya? Rasanya enak,” tanyaku. Kak Diana menyodorkan botol jus tersebut. Baiklah, akan ku ingat. Aku akan membelinya saat ada kesempatan.
“Ku pikir, kau tipe yang tidak peduli dengan orang lain,” ujarnya pelan. Aku menoleh padanya. Agak terkejut juga Kak Diana yang mengritikku seperti ini. Yeah, seperti kata pepatah, jangan pernah meremehkan orang pendiam.
Setelah ku pikir-pikir lagi, mungkin aku memang seperti itu. Aku tidak terlalu peduli dengan orang lain yang tidak berhubungan denganku secara pribadi. Aku juga tidak suka ikut campur dengan urusan orang lain. Aku lebih suka diam dan melihat. Tapi, sepertinya, itu tidak bisa diterapkan di sini. Tanpa ku sadari, ternyata aku masih membutuhkan orang lain, merasakan kesepian. Aku tidak suka merasa canggung dengan orang lain yang sering berinteraksi denganku. Rasanya sangat tidak nyaman. Aku ingin menghapus jarak tersebut dan mulai berteman dengan Kak Diana, Yash maupun Tisha. Karena, di sini hanya mereka yang bisa ku andalkan. Sesama orang Indonesia.
Bukan berarti aku tidak mau berinteraksi dengan orang Jepang, tapi karena kami berada di negara orang, akan lebih baik jika kami saling membantu. Yeah, mungkin ini termasuk pemikiran primitifku, tapi aku lebih tenang jika aku bisa bersama mereka. Aku juga harus berusaha untuk bisa berinteraksi dengan orang Jepang, seperti yang dilakukan Kak Diana.
Sejak mulai bekerja, Kak Diana sudah membangun relasi kasat mata dengan karyawan lain. Mereka saling bertukar ID Line, ngobrol di saat istirahat, dan sepertinya juga saling berkunjung. Yash juga mulai akrab dengan karyawan pria di hotel. Mereka kadang keluar bersama saat libur bareng. Dan, Tisha. Ah, dia sama sepertiku. Menghindar dari kerumunan, lebih memilih sendiri. Bekerja dengan diam dan bergerak cepat. Sepertinya, aku masih lebih baik.
“Yeah, ku pikir juga begitu. Anggap saja ini sifat egoisku. Aku akan sangat senang jika Kak Di mau membantu juga,” Ku teguk jus apel-ku. Aku harus segera membelinya.
“Aku akan membantu, tentu saja. Tapi, mungkin yang lain tidak akan nyaman bersamaku,” balas Kak Diana sambil menatap layar TV, yang memperlihatkan adegan orang Jepang yang sedang kagum akan sesuatu. Aku tidak tahu.
“Mungkin. Aku tidak akan meminta Kak Di untuk berpura-pura menikmatinya. Tapi, aku ingin Kak Di mencobanya,”
“Baiklah, karena ada kau, mungkin aku bisa mencobanya,”
“Oh, sankyuu,” (Terima kasih)
Setelah itu, kami mengobrol panjang kali lebar kali tinggi sampai jam kerja Kak Di. Hari ini, Kak Di mulai kerja dari siang, dan aku sedang libur. Jadi, aku cukup menikmati liburanku kali ini. Aku bisa berbincang banyak hal dengan Kak Diana dan juga merencanakan ide duntuk Yash. Aku akan menganggap ini sebagai kemajuan yang cukup bagus. Apalagi, Kak Diana mulai sedikit terbuka denganku. Patut untuk dirayakan.
Aku segera pamit, supaya Kak Diana bisa bersiap untuk bekerja. Saat di kamar, aku mulai merasa sepi. Apa yang harus ku lakukan sekarang? Selama liburanku sebulan ini, aku hanya menghabiskan waktu di kamar. Karena ini pertama kalinya aku bekerja, jadi tubuhku tidak kuat menahan beban kelelahan yang bertumpuk, jadi aku menjadikan hari liburku sebagai hari unuk beristirahat penuh, supaya aku bisa segar kembali bekerja keesokan harinya. Tapi, sekarang aku tidak sedang ingin beristirahat. Apa aku jalan-jalan saja di sekitar sini? Ah, aku bisa merencanakan acara Yash mulai sekarang.
Aku langsung bersiap mandi dan berdandan. Ku kenakan dress tosca selututku yang dilapisi dengan kardigan panjang warna krem. Ku gerai rambutku yang mulai sedikit panjang. Saat di sini sebulan lalu, rambutku masih di atas bahu, sekarang sudah melewati bahu. Rambutku memang panjang dengan cepat, jadi aku tidak terlalu khawatir saat memotong pendek rambutku, meskipun begitu aku lebih senang dengan rambut panjang. Setelah berhias, aku mengambil tas selempangku dan mengeluarkan sepatu kets putihku. Aku siapa untuk berpetualang hari ini.
Kak Diana pernah bercerita bahwa di ujung jalan ini ada sebuah taman. Taman itu adalah taman bunga yang membentuk sebuh jam besar, dan dikelilingi oleh padang rumput dan pepohonan. Sekali dibayangkan saja terasa sangat indah. Aku akan memutuskan ke sana, melihatnya sendiri. Mungkin saja, bisa jadi tempat Yash mengungkapkan perasaannya pada Tisha nanti.
Ku telusuri jalanan yang semakin naik dan lumayan jauh. Beruntunglah aku mengenakan sepatu kets. Dengan begitu, kakiku tidak akan terlalu lecet. Di setiap perjalanan, aku mengambil beberapa foto dari setiap objek yang bagus; jalanan yang menanjak, bunga-bunga kecil yang bermekaran di pinggir jalan, monumen batu, sawah yang menghijau, pepohonan yang merambat. Dan, akhirnya aku sampai di tempat yang ku tuju. Tokachigaoka Park.
Aku melewati pelataran parkir yang penuh dengan bus-bus besar. Sepertinya, banyak pengunjung. Di ujung parkiran, terdapat sebuh toko yang menyediakan makanan dan minuman. Ada jidouhanbaiki. Juga menjual soft cream, es krim vanila yang sangat dingin. Pertama kali, aku memakan soft cream saat di hotel. Setelah bersih-bersih akan pulang, Chief membagi segelas soft cream kepada kami semua. Aku yang memang penggemar es krim, dengan senang hati menerimanya dan mencobanya. Sendokan pertama, rasanya sangat sangat dingin di mulut sampai mengalir ke kepalaku. Sejak itu, aku tidak lagi makan soft cream.
Di anime yang sering ku tonton, terutama anime shoujo, pasti ada adegan para tokoh pergi ke festival musim panas. Mereka membeli kakigori – es serut yang diberi toping sirup, saat mencicipinya, mereka pasti mengerang dan memegang kepala saking dinginnya, dan segera menghabiskan kakigori mereka. Saat menontonnya, ku pikir itu adalah sikap yang berlebihan. Karena menurutku, yang namanya es atau es krim, dinginnya pasti masih lumrah, tapi saat merasakannya sendiri dengan soft cream, aku menarik pikiranku.
Ku lanjutkan langkahku menaiki undakan, menapaki jalan berbatu yang halus dengan dihiasi berbagai tanaman berbunga di pinggirnya yang sudah dikelilingi oleh padang rumput. Di kejauhan sana, ada beberapa kerumunan yang sedang berpiknik. Anak-anak kecil yang berlarian di sepanjang padang rumput. Orang-orang yang asik berfoto. Aku mengabadikan semuanya di lensa kamera digitalku. Melihat kebahagiaan seperti ini bisa membuat perasaanku jauh lebih baik. Di arah yang berlawanan, terdapat bangunan yang menyediakan air panas untuk relaksasi kaki.
Aku menyusuri jalan batu yang halus, menaiki undakan yang dipisah oleh pancuran air. Di atas sana tampaklah hamparan bunga berwarna-warni dan membentuk sebuah jam raksasa. Aku mendekati pagar pembatas, ada bunga mawar merah yang cantik menghiasi tepiannya. Aku mengambil beberapa foto dan juga selfie, kemudian menulusuri jalan berbatu mengelilingi taman. Taman ini tempatnya begitu luas, tapi karena hanya pemandangan hijau yang didapat, tidak terasa melelahkan. Di ujung jalan, ada bangunan unik yang terbangun dari kayu. Saat melihatnya lebih dekat, ternyata bangunan itu adalah toilet umum. Sangat berkelas. Tak jauh dari sana, jalanan semakin menanjak dan memasuki pohon-pohon tinggi yang lebat. Ada beberapa monumen batu di sekitar lahan di sisi jalan. Seperti sebuah pemakaman.
Aku memilih untuk kembali.
Menapaki cabang jalan yang lain, aku menemukan taman bermain dengan wahana permainan yang berbentuk unik. Kemudian, di sebelahnya terdapat sebuah jalan setapak dengan pohon lebat di masing-masing sisi, membentuk sebuah terowongan, seperti yang biasa ku lihat di foto-foto google. Aku langsung menangkap penampakan tersebut dengan lensa kameraku, dan menangkap sosok lain yang tertangkap. Aku memperhatikan bayangan hitam tersebut, bulu romaku mulai merinding. Ini bukan penampakan yang ‘itu’ kan?
Aku mendongak was-was ke arah terowongan pohon itu, menangkap sosok seseorang yang sedang membelakangiku. Aku memicingkan mata, memperhatikan dengan seksama; kakinya berpijak di tanah. Jadi, bukan makhluk astral, kan? Mungkin, aku harus segera pergi dari sini sebelum orang itu menyadarinya. Rasanya, tidak sopan mengganggu waktu orang lain. Aku langsung berbalik meninggalkan tempat tersebut.
“Moza?!,”
***
Aku berbalik dan terkesiap. Oh, Tuhan! Karma apa yang sudah ku lakukan di masa lalu, sampai harus mengalami hal mengerikan seperti ini? Apa ini kebetulan? Memangnya ada yang begitu? Aku sama sekali tidak percaya dengan kebetulan yang terencana seperti ini. Bertemu dengan pria ini di tempat seperti ini. Seharusnya, aku tidak menoleh tadi. Memangnya aku tahu kalau akan seperti ini? Aku kan tidak bisa melihat masa depan. Pikiranku berkecamuk saling menyalahkan tanpa henti.
“Konnichiwa, Okuoka-san,” (Selamat siang) sapaku. Ah, entahlah. Terima nasib saja.
Okuoka-san melangkah pasti menuju tempatku. Setiap langkah yang dilakukannya berasa seperti nyawaku perlahan tapi pasti berada di ujung tanduk. Tanpa sempat menyelesaikan pikiran anehku, Okuoka-san sudah berada di hadapanku. Ini pertama kalinya, aku berhadapan langsung dengan Okuoka-san. Dia ternyata sangat tinggi, atau yang aku terlalu pendek. Yang manapun itu, sangat tidak menguntungkan bagiku. Okuoka-san yang berdiri menjulang di atasku ini berasa sangat mengintimidasi. Apalagi senyum cerah yang ganjil di bibirnya. Jika orang lain yang melihat, dia memang seperti perwujudan seorang malaikat. Tapi, bagiku, dia jauh dari kata menakjubkan itu.
Bagaimana aku bisa berpikiran seperti itu? Bukan berarti kami dekat. Sama sekali tidak. Soubetsukai waktu itu adalah pertama dan terakhir kali aku bertemu dengannya. Tapi, kesan pertama sudah cukup bagiku, bahwa dia masuk dalam jajaran pria yang menyebalkan, seperti tetangga sebelah.
Aku tergugu. Kenapa aku harus memikirkan tetangga menyebalkan itu di saat seperti ini dan menyamakannya dengan Okuoka-san? Aku harus membersihkan pikiran jelek di otakku. Aku tidak tahu kenapa aku begitu sensitif jika menyangkut tentang mereka berdua. Mungkin, karena kesan pertama yang buruk. Pertama, tetangga sebelah yang bersikap seenaknya. Kedua, Okuoka-san yang bersikap sinis. Lalu, ada aku yang selalu merasa kesal jika berinteraksi dengan mereka.
Aku sudah cukup tertekan saat tetangga sebelah berada di tempat bekerja yang sama denganku. Bersyukur Okuoka-san adalah pegawai kantor, jadi kami jarang bertemu. Tapi, apa ini? Kenapa aku bertemu dengannya di sini? Akan lebih etis jika aku bertemu dengannya di hotel.
“Kau sendirian?,” tanya Okuoka-san, membuyarkan pikiran-pikiranku yang tidak terkendali.
“Ah, itu...iya, aku sendiri,” jawabku bingung.
“Libur hari ini?,”
“Hai,” Percakapan apa ini? Keluarkan aku segera dari situasi ini!
Okuoka-san tersenyum, menatapku intens. Aku hanya bisa mengalihkan perhatian ke arah lain, jangan sampai dia tahu kalau aku sedang gugup.
“Oh, kau suka foto-foto juga?,”
Aku mengerutkan dahi. ‘Juga’? Kepalaku menoleh dan mataku menatap bingung pada Okuoka-san. Dia yang sepertinya mengerti kebingunganku, melirik ke arah kamera digitalku. Aku menatap kamera digitalku dan menatapnya bergantian. Dia menunjukkan kameranya padaku. Oh, itu maksudnya ‘juga’.
“Foto-foto biasa selayaknya turis,” jawabku sekenanya. Dia manggut-manggut perlahan. Lalu, diam.
Oh, sial. Apa aku juga harus bertanya padanya, sekedar basa-basi? Atau aku pamit pulang saja? Bisa tidak sih, aku tidak terjebak dalam keadaan seperti ini setiap kali bersamanya? Aku ingin menjambak rambutku saat ini juga.
“Nee, Moza..,”
“Hai?!,” seruku sigap. Lalu, dia tertawa. Aku langsung menundukkan wajahku karena malu. Benar-benar deh, kenapa aku tidak bisa bersikap senormal mungkin dengannya?
“Ah, sumanai. Hontou, omaette yatsu omoshiroi na,” (Maaf. Kau, benar-benar orang yang menarik) ujarnya masih tertawa geli. Aku hanya meringis rikuh sebagai balasannya. “Oh, ya. Kau mau tidak jadi objek fotoku. Karena kau orang asing, jadi pas,”
“Kenapa?,” tanyaku bingung. Okuoka-san menatapku tajam. “Apa aku harus mengulanginya?,” tanyanya. Ada nada kesal di sana. Tuh, kan! Aku sudah menghancurkan semuanya.
“Bukan, maksudku, kenapa kau harus mengambil foto orang asing? Ku pikir, kau lebih suka mengambil foto pemandangan, misalnya?,” ralatku cepat. Ekspresi tajam Okuoka-san perlahan mulai menghilang. Ah, syukurlah.
“Hanya ingin saja,” jawabnya ringan.
Hah?! Memangnya itu bisa dijadikan alasan?
“Tapi, aku tidak bisa bergaya,” dalihku.
“Tenang saja, kau tidak perlu melakukan apapun,”
WHA-T?!
Okuoka-san sudah bergerak menjauh dan membidikkan kameranya padaku. Aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan. Karena dia bilang aku tidak perlu melakukan apapun, jadi mungkin aku diam saja. Mataku menatap Okuoka-san yang sedang sibuk dengan kameranya, membidik sosokku dengan kamera, menatapku dari balik lensa kamera. Entah kenapa, sosoknya yang berdiri di kejauhan sana, sambil membawa kamera, menatapku tidak langsung, memberikan getaran tersendiri di tubuhku. Sekali lagi, aku terperangkap dengan pesonanya.
Tanganku bergerak menghadang rambutku yang bergerak liar karena terhembus oleh angin. Udara yang hangat membuat sekelilingku terasa nyaman. Menatap sosok menawan yang berdiri di seberang sana, di antara pemandangan hijau yang menenangkan dan bunga kecil yang berwarna-warni. Dunia terlihat sangat indah di mataku. Semua berpusat pada orang itu. Tanpa sadar, aku tersenyum hangat saat mata kami bertemu.
Okuoka-san berjalan menghampiriku. Saat itulah, dunia nyata menarikku ke alam penuh kesadaran. Membuatku ikut melangkah mendekatinya untuk menghilangkan kegugupanku. Aku harus bersikap biasa saja.
“Mau lihat hasilnya?,” tawarnya. Aku mengangguk. Okuoka-san menyodorkan kameranya, aku bergerak mendekat sampai lenganku menyentuh lengannya. Serasa ada sengatan pelan, aku langsung menghindar dengan mengalihkan perhatian kembali kepada kameranya.
Aku terkesiap melihat refleksi diriku di sana. Aku hanya berdiri di tengah lorong pohon. Cahaya yang masuk di antara celah-celah pohon rimbun, menyinariku dengan gradasi warna yang mempesona. Aku terlihat menakjubkan di sana. Dengan rambut yang berkibar diterpa angin, senyum hangat yang lembut, wajah bahagia yang memerah, dan tatapan hangat yang penuh perasaan. Refleksi itu menatap lurus ke lensa kamera.
Aku langsung melepaskan tanganku dari kamera tersebut. Melirik Okuoka-san yang masih menatap lurus ke foto tersebut. Dia, tidak menyadarinya, kan? Bagaimana bisa aku membuat ekspresi seperti itu? Dan, dia menatapku melewati lensa kamera. Secara tidak langsung, kami saling bertatapan dengan tatapanku yang seperti ‘itu’. Tidak ada lagi yang memalukan dari ini.
Okuoka-san masih diam, masih menatap foto tersebut. Apa yang dia pikirkan?
“Fo-fotonya bagus. Aku, terlihat cantik di situ. Terima kasih,” ucapku, mencoba membuatnya teralihkan sejenak dari foto tersebut. Dia mendongak menatapku. Dalam hati, aku merasa lega.
“Yeah, kau benar. Seharusnya, aku yang berterima kasih, karena sudah menjadi objek fotoku. Aku akan menraktirmu. Ayo,” Okuoka-san langsung berbalik pergi. Aku mengikutinya dari belakang. Kami berjalan menuju toko yang ku temui tadi di ujung pelataran parkir.
“Soft cream di sini enak, loh. Kau mau?,”
“Tidak. Terima kasih,” jawabku cepat. Dahi Okuoka-san berkerut, menatapku penuh selidik.
“Baru kali ini aku tahu ada yang tidak suka soft cream. Menarik sekali,”
“Bukannya tidak suka. Aku tidak ingin memecahkan kepalaku,” Aku menoleh kepada Okuoka-san yang terkejut menatapku. “Ma-maksudku, soft cream sangat dingin, jadi_,”
“Ah, kau tidak suka dingin. Jadi, mau pesan sesuatu yang hangat?,”
Oh, God. Bagaimana bisa dia menyimpulkannya begitu?
“Tentu saja, aku suka dingin. Tapi, karena soft cream sangat dingin, jadi aku tidak bisa memakannya. Kau bisa membelikanku minuman di jidouhanbaiki,” ujarku cepat.
“Oh, baiklah. Kau ingin minum apa?,” tanyanya sambil memasukkan koin 500 yen ke lubangnya. Aku langsung memencet tombol dan terdengar suara jatuh. Dengan sigap, aku mengambilnya dan meminumnya. Tanpa tahu minuman apa yang telah ku minum.
Aku menemukan rasa buah masam di lidahku. Perpaduan rasa jeruk dan jambu, juga soda. Aku menahan diriku untuk tidak mengernyit dan memilih untuk menikmati minumanku. Ku lihat permukaan botol tersebut, tertulis Tropicana. Dalam hati, aku berjanji tidak akan pernah membelinya. Karena ini hasil traktiran, jadi aku harus bersyukur tidak membuang uang demi rasa ini.
Terdengar suara jatuh yang lain. Okuoka-san mengambil minumannya dengan santai dan langsung meneguknya sampai separuh. Dia meminum air putih dengan kemasan berwarna kuning. Ada gambar lemon di sana. Aku menelengkan kepala heran, bagaimana bisa air putih ada gambar lemon? Mungkin lain kali aku akan mencobanya. Rasa penasaranku lebih kuat daripada traumaku. Tapi, karena itu adalah air putih, pasti rasanya baik-baik saja.
“Terima kasih,” ucapku. Okuoka-san hanya tersenyum. Dia melangkah menuju tempat duduk yang kosong, mengajakku untuk duduk.
Sampai kapan aku harus bersamanya?
Okuoka-san kembali melihat kameranya. Hatiku langsung berteriak ingin membanting kamera itu. Terlalu ekstrim. Aku menarik nafas panjang untuk menenangkan diri, meneguk minumanku yang ku sesali berikutnya.
“Okuoka-san sedang libur hari ini?,” tanyaku membuka obrolan. Meskipun, aku tidak suka cara ini, tapi ini lebih baik. Terbukti dengan Okuoka-san yang mendongak menatapku.
“Ya,”
“Ke sini sendirian?,”
“Ya,”
Aku merutuki diriku yang hanya mengulang pertanyaannya tadi padaku. Ayolah, otakku bekerjalah sebentar. Pada akhirnya, aku memilih diam. Tidak tahu apa yang harus ku tanyakan lagi.
“Aku akan memberikan fotomu, jadi boleh aku minta ID Line-mu?,”
HAH?! Tunggu sebentar!
Okuoka-san merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponselnya. Mengutak-atik sebentar, kemudian menyodorkannya padaku. Aku dengan terburu-buru merogoh tasku guna mengambil ponsel, kemudian membuka aplikasi Line. Aku menyebutkan ID Line-ku, Okuoka-san mengetiknya dengan cepat. Detik kemudian, muncul di notifikasi ponselku. Ku buka notifikasi tersebut, membaca nama profilnya, hanya ada kanji Tsuki (Bulan) di sana. Dengan foto profil bulan sabit yang bersinar kemerahan dan foto beranda langit gelap yang bertaburan bintang. Sangat unik.
“Okuoka-san suka langit, ya?,” tanyaku.
“Yeah, begitulah. Tsuki adalah nama belakangku,”
“Oh...Hai?!,”
Okuoka-san langsung tergelak melihat ekspresiku yang kaget.