Aku menyusuri lorong-lorong menuju kamarku paling ujung. Gelap sekali, listrik padam di saat yang tepat. Gelap berkuasa penuh di malam itu sampai menggetarkan jantungku. Setiap derap langkah yang aku lalui terasa lama sekali. Sesekali menoleh ke belakang seolah ada makhluk mengikuti. Tidak ada siapapun, hanya perasaan yang menghantuiku.
Gemuruh rintik air di luar rumah semakin nyaring. Tak terlewatkan kilat petir diikuti suara yang masuk lewat jendela tanpa tirai gorden. Menambah suasana mencekam di rumah besar yang gelap sempurna. Berteman dengan seberkas cahaya dari mobile phone yang kupegang di depan dada. Aku terus berjalan dengan yakin menuju kamar. Setidaknya bisa rebahan seraya menunggu listrik menyala lagi.
Prank!!
Sejenis benda dengan bahan aluminium terjatuh di dapur. Aku terkejut, walau kutahan teriakanku. Berusaha positive thinking, mungkin terkena angin badai yang menyelinap masuk lewat jendela yang terbuka.
Ku hentikan langkahku tiba-tiba. Bukan karena terpikirkan suara benda jatuh di dapur. Melainkan seperti isakan tangis seseorang. Kali pertamaku mendengar suara isakan sesekali ada jeritan di dalamnya. Tanganku mulai gemetar, menjalar cepat menuju jantung memacunya lebih cepat. Sesekali ku pejamkan mataku, walau usaha itu membuatku semakin takut. Rasanya tangan dan kakiku menjadi kaku akibat dingin yang semakin merasuk tajam.
“Gisel!” teriak seseorang di belakangku.
“Bi Ipah” kagetku menatap ke arah orang yang memanggilku.
“Bibi takut gelap. Kok ditinggal sendiri sih, neng?” ucapnya padaku gemetar.
“Gisel takut, Bi. Setidaknya kalo udah berdua jadi ga terlalu takut, Bi.” Balasku sedikit tenang dari sebelumnya.
“Bibi ikut masuk kamar ya, neng?” pinta Bibi langsung masuk kamar tanpa menunggu jawabanku.
“Mungkin bentar lagi udah nyala listriknya” tuturku berjalan menuju kasur.
Aku duduk berdampingan bersama Bi Ipah, sesekali memainkan ponsel canggihku.
“Tadi yang jatuhin barang itu, Bi Ipah?” tanyaku penasaran.
Ia menganggukkan kepalanya.
“Bi Ipah pucet. Bi Ipah masih takut?” tanyaku lagi.
“Bibi takut gelap, neng.” balasnya masih gemetar.
“Tadi Bibi sempet nangis?” tanyaku masih penasaran.
Anggukan kepala bibi membuatku lega.
Tak lama lampu kamar berkedip. Padahal listrik masih belum menyala. Aku merasa takut walau Bibi di sampingku. Bibi memelukku erat merasa ketakutan. Umurku jauh lebih muda daripada Bi Ipah, tapi ia malah lebih takut.
“Bi..” gumamku mendapati lampu kamar berkedip.
“Bibi takut” teriak Bibi masih memelukku erat.
Tanpa aku tahu alasannya, Bibi tiba-tiba melompat dari kasur berlari keluar kamar. Aku heran, ia meninggalkanku sendiri di saat kami sama-sama ketakutan.
“Bibi kenapa sih?” gumamku.
Suara ponselku yang nyaring membuatku terkejut. Tertera kata “Mama” di layar ponsel.
“Maaf ya, sayang. Kamu ditinggal sendirian di rumah.” suara Mama terdengar saat kutempelkan benda kotak itu di telingaku.
“Iya, Ma. Ga apa-apa. Disini mati lampu. Aku takut” balasku masih tersisa rasa takut.
“Papa sama Mama sudah sampai di rumah Bi Ipah. Mungkin Papa sama Mama balik ke rumah besok. Bi Ipah dikuburkan baru saja, Nak.” Tutur Mama dari seberang membuatku terperangah. Mama tetap memanggil namaku lewat telepon seiring tak ada suaraku terdengar.
Aku lupa. Gumamku dalam hati.
Aku benar-benar lupa. Gumamku lagi dalam hati.
Dan bodohnya, aku baru sadar. Gumamku terakhir sebelum berteriak kencang.