Read More >>"> 30 Days of Bless
Loading...
Logo TinLit
Read Story - 30 Days of Bless
MENU
About Us  

Masa bodoh dengan frasa yang mereka bilang “jadilah dirimu sendiri” kalau Mama berkata dia tidak akan mengajakku ke festival lampion bulan depan. Kecuali aku bisa merubah diriku—sifatku, tepatnya—selama sebulan ini. Aku tidak percaya mama menghukumku.

Pernahkah kamu melakukan sesuatu yang kau sadari bahwa hal itu salah, tetapi tetap kau lakukan juga? Ya, kuakui aku mencoba bolos dari sekolah kemarin bersama Tiara. Hal itu menyebabkan orangtuaku dipanggil dan alhasil aku dimarahi, tentu saja.Tapi sumpah, aku hanya penasaran bagaimana rasanya! Bukan bermaksud nakal atau dendam sama guru.

Huh, seperti orangtuaku tidak pernah melakukan kenakalan masa kecil saja.

“Mama mau kamu merenungkan perbuatanmu dan menunjukkan pada Mama kalau kamu bisa menjadi lebih baik lagi selama sebulan ini. Baru kita bisa pergi ke festival lampion,” kata Mama sebelum aku masuk kamar tadi.

Festival lampion hanya ada satu tahun sekali. Dan aku tidak tahu mengapa, tapi aku hanya sangat senang berada di sana. Malam-malam, dengan keadaan remang tapi hangat, aku bisa melihat semburat kebahagiaan dari wajah setiap orang yang ada di tempat itu. Apalagi, di sana banyak makanan. Dan diakhiri dengan sebuah dansa musikal. Terdengar cheesy, tapi aku suka. Setiap tahun aku dan Tiara datang ke sana.

Sebelum mataku tertutup aku menggumam, “Coba saja aku tahu apa yang bisa kulakukan untuk menunjukkan kepada Mama bahwa aku bisa lebih baik...”

Aku merasakan hembusan angin malam mengelus pipiku dari jendela yang terbuka. Makin lama makin terasa kencang. Mengernyit, aku membuka mataku. Kuperhatikan tirai jendela berkibar. Kedua badanku bertumpu pada siku di kedua tangan.

Tiba-tiba aku melihat sebuah cahaya terang berwujud bola terlempar dari luar memasuki jendela kamar. Detik berikutnya tanpa aku sadari, di depan tempat tidurku berdiri sesosok orang.

“Ha..ha..hantu!!” aku menjerit tertahan. Aku berusaha menutup mata. “Ini hanya mimpi.. hanya mimpi... aku harus tertidur lagi supaya bisa terbangun.”

Kemudian aku menutup seluruh tubuhku dengan selimut. Dan berdoa dalam hati.

“Hai, Felicity.” Nafasku terhenti sesaat. “Aku mendengar permohonanmu.”

Aku membuka selimut yang menutup sampai kepalaku. Mataku melotot saat melihat sosok tadi. “Ka..kau punya sayap?! Apa yang kau lakukan di sini? Kamu pasti orang gila! Pergi dari kamarku!” Seorang cowok berdandan seperti malaikat dengan baju putihnya dan sayap lebar di punggungnya. Kalau aku tidak bisa lebih waras lagi, mungkin aku sudah pingsan dari tadi.

“Panggil aku Hoffen. Aku akan membantumu memenuhi harapanmu.” Suaranya terdengar lembut tapi ringan dan bergema.

Aku hanya bisa melongo sambil memasang tampang seolah tengah menyaksikan sebuah fenomena paling tidak masuk akal. “Aku... pasti sudah gila.” Aku menghempaskan kepala ke belakang dengan mata terpejam.

***

Keesokan paginya, aku terbangun dengan perasaan lesu. Ini hari Sabtu. Dan biasanya aku akan keluar dan pergi berbelanja dengan teman-teman. Tapi tidak selama aku masih menjalankan masa hukuman.

Aku mengerjapkan mata, mengecek jam weker, lalu berguling ke samping tempat tidur. Seketika aku melihat sosok putih tadi tengah berdiri di dekat jendela.

“Aaaa...!” jeritku. Astaga,ternyata aku memang gila. “Apa yang kau lakukan di sana? Kalau ibuku melihatmu, aku akan tambah dihukum!” desisku. “Maksudku, kau cowok!” Cowok yang benar-benar tampan, bersuara indah. Dan memiliki sayap, batinku. Fakta yang terakhir membuat kumerasa semakin tidak waras.

“Kau berharap bisa berubah menjadi pribadi yang baik,” katanya kemudian. “Waktu kita hanya 30 hari. Aku akan membantumu, jadi jangan buang-buang waktu.”

"Astaga."

***

Kebaikan pertama: Membantu Mama Mengurus Taman

“Kau serius?” bisikku kepada Hoffen yang menuntunku berjalan ke taman rumah halaman samping.

“Anak yang baik dan berbakti senantiasa membantu orangtuanya,” katanya. “Jangan berbicara padaku. Karena orang lain tak akan bisa melihatku.”

Aku mendengus. “Untung wajahmu lumayan tampan untuk berbicara sebaku itu.”

Mama sempat terkejut saat aku menawarkan bantuan. Kuyakin dia berpikir, tumben-tumbennya putri sulungnya ini mau bekerja di taman yang biasanya dia hindari dengan alasan panas dan penuh tanah. Tapi dia terlihat senang melihatku menawarkan diri dan melakukan pekerjaan rumahan.

Aku mendapat tugas menyiram tanaman dan memanen tanaman yang sudah matang. Walau awalnya ogah-ogahan, aku akhirnya sudah berani memegang pupuk. Hoffen hanya tersenyum sepanjang waktu sambil sesekali memberi arahan kepadaku, seperti yang Mama lakukan.

***

Kebaikan kedua: Berbuat Baik Kepada Orang Asing

Ditemani Hoffen, pada hari Minggu saat keluargaku seperti biasa melakukan family time di sebuah restoran, dia benar-benar menyuruhku tersenyum setiap saat.

“Buang kebiasaanmu selalu memperlakukan pelayan seperti budak,” ujar Hoffen.

Aku meliriknya. “Aku tak pernah melakukan itu!” desisku.

“Kamu memesan dengan angkuh dan tidak pernah mengucapkan terima kasih.”

“Astaga, Hoffen, itu masalah sederhana. Jika dia mudah terbawa perasaan, tidak usah jadi pelayan!”

“Tapi dia juga manusia. Terima Kasih termasuk satu dari tiga kata ajaib setelah Maaf dan Tolong.”

Aku melotot lalu mendengus. Hoffen hanya memandangku dengan senyum menawannya yang mengganggu.

“Aku pesan salmon panggang dengan kentang tumbuk juga asparagus dan jus jeruk, terima kasih.” Dan aku kembali mengucapkan ‘kata ajaib’ itu saat makanannya tiba.

Selesai makan, Mama mengajakku berbelanja untuk kebutuhan bulanan yang biasanya lumayan kuhindari karena aku lebih suka berbelanja baju. Biasanya aku hanya menitip untuk dibelikan kudapan dan hal-hal lain.

Di dekat pintu masuk, seorang perempuan paruh baya tidak sengaja menjatuhkan belanjaannya dari kantong belanja. Di situasi seperti ini biasanya aku hanya menunggu orang lain untuk datang membantu yang biasa akan datang dalam dua detik. Tapi Hoffen menyuruhku bertindak lain.

“Jika seseorang membutuhkan bantuan, segeralah menolong. Jangan tunggu aksi lain dan menyia-nyiakan tawaran kebaikan yang ada di depan mata,” cowok berwujud malaikat—malaikat berwujud cowok, tepatnya—itu menatapku.

Aku mengangguk patuh dan mendatangi orang yang ada di jarak lima meter dari tempatku dan Mama berdiri itu. Meninggalkan Mama yang dengan melongo menatapku berjalan menjauh.

***

Hoffen sudah dua minggu mendampingiku. Atau mungkin aku bisa mengatakan sudah menjadi gila selama dua minggu. Tapi perlahan aku mulai menerima kenyataan gila bahwa seorang malaikat tengah membantuku berubah menjadi lebih baik. Bahkan ke sekolah dia juga ikut. Tapi aku tidak menceritakan apa-apa pada Tiara.

Aku sedang membaca buku di taman sekolah dengan Hoffen di sebelahku ketika Fiona melintas dan mengatakan sesuatu. “Wow, Felicity membaca buku. Di taman sekolah pula. Mengapa kau tidak melakukan percobaan kabur lagi saja?” lalu kedua teman di belakangnya tertawa.

Aku hanya diam tidak meladeninya. Hoffen melirikku lalu dia menyenggol, menunggu reaksiku. Melihat aku tidak melakukan apa-apa, dia berbisik. “Katakan, ‘Wow Fiona melintasi area anak cupu. Mengapa kau tidak memikirkan urusanmu sendiri dan kembali mencari perhatian para guru dengan contekan dari para budakmu, ha?’”

Aku memandang Hoffen dengan heran. Tumben sekali dia menyuruhku melakukan hal macam itu. Tapi aku menyuarakannya. Yang membuat Fiona melotot lalu mendengus dan pergi dengan gumaman penuh kebencian padaku.

Aku kembali menatap Hoffen dengan geli. “Apa itu barusan?”

“Berbuat baik bukan berarti menjadi bodoh dan tidak bisa membela diri sendiri,” jawabnya.

Aku menatapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Apa itu semacam peraturan para malaikat?”

Hoffen menaikkan sebelah alis tebalnya. “Itu demi hidup manusia yang pada dasarnya selalu punya rasa tidak mau kalah.”

Aku tertawa. Dia tidak selalu tahu tentang manusia. Tapi perkataannya bisa jadi benar secara umum. Aku menutup buku dan memutuskan untuk mengobrol.

“Apa sayapmu bisa membawamu terbang?”

“Kau pikir ini hanya hiasan?” ia memiringkan kepalanya.

Aku memutar bola mata. “Wow, kau bisa sarkastis juga. Apa malaikat mempunyai mood? Kau hari ini agak berbeda.”

Hoffen hanya tersenyum lebar mendengar perkataanku.

“Apa semua malaikat memang mempunyai rupa yang menawan? Itu agak sedikit tidak adil karena banyak manusia jelek.” Perkataanku membuat senyum manis Hoffen berubah menjadi lirikan.

“Bukan itu maksudku, astaga. Aku tidak memuji diri sendiri dan menghina orang lain! Aku juga tidak merasa begitu cantik, lho.”

“Kalau kau belum merasa cantik, setelah Perjalanan Kebaikan selama 30 hari ini kau akan merasakannya. Karena kecantikan sejati berasal dari hati.”

“Sangat klise. Tapi kedengarannya berbeda jika malaikat yang mengucapkannya,” ujarku. Hoffen hanya diam dan memainkan sayapnya. Perkataannya barusan membuatku memikirkan sesuatu. “Apa setelah 30 hari aku tidak bisa melihatmu lagi?”

“Tugasku sudah selesai,” katanya.

Aku memandangnya. Itu berarti ‘ya’. Saat aku membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, Hoffen kembali bersuara.

“Kita harus melakukan Kebaikan Ke-15. Ayo, Felicity.”

Dari awalnya aku dan Hoffen hanya melakukan kebaikan kecil, sekarang Hoffen mulai menuntunku melakukan kebaikan lebih besar (lumayan besar dalam pandanganku,sih). Seperti membantu adikku membuat kue untuk acara amal di sekolahnya—padahal aku biasa ke dapur hanya untuk mencolek adonan coklat buatan Mama, membawa anjing tetangga sebelahku yang sudah tua untuk berjalan sore, lalu belajar mengasuh bayi tanteku ketika dititipkan di rumah agar tidak merepotkan Mama.

***

Kebaikan ke-30: Prasangka Baik dan Keikhlasan

“Kebaikan tahap terakhir ini memang yang paling sulit dilakukan menurut banyak dari kalian. Tapi sekalinya kamu bisa mencapai perasaan ini, hatimu akan diselimuti ketenangan dan kedamaian. Seolah kamu sudah tahu dan percaya bahwa apa pun yang terjadi itu yang terbaik untukmu,” ceramah Hoffen saat malam itu kami berada di kamarku.

Aku hanya terdiam memperhatikannya berbicara dengan suara ringannya yang lembut. Sepertinya, praktik dalam tahap ini tidak akan melibatkan banyak orang tapi hanya diriku sendiri. Seharian tadi aku dan Hoffen hanya melakukan hal-hal biasa. Selain kepada orang lain, yang terpenting kita baik kepada diri sendiri, kan?

“Aku tahu kamu kesal karena sekarang nilai Fiona lebih unggul di atasmu. Tapi terimalah. Proses apa pun yang sudah ia lalui tidak penting sekarang, lagipula kau tidak bisa mengubahnya. Terima saja dan ingat Kebaikan ke-10, jangan membenci.”

Aku hanya bisa mengangguk-angguk. Sungguh mudah memang mendengarkan pembicaraan dari orang dan membayangkan bisa mempraktikannya suatu saat nanti. Tapi saat hari itu tiba, apa mentalku memang siap menerima segala sesuatu dengan modal omongan tentang sebuah keikhlasan? Aku jadi membayangkan, apa seorang malaikat bisa memiliki perasaan sedamai itu?

“Apa kamu dan sebangsamu selalu memiliki perasaan sebaik itu, Hoffen? Tidak pernah membuat kesalahan, selalu mengatakan hal-hal benar, melakukan hal-hal benar, menjadi hal yang benar...”

Hoffen menjawab pertanyaanku hanya dengan senyuman. Bodohnya aku mempertanyakan itu. Manusia selalu membuat kesalahan dan tidak pernah ada yang sempurna. Tapi dia berbeda. Hoffen adalah malaikat. Yang terlempar masuk ke jendelaku dalam bentuk bola putih bersinar.

“Pasti hidupmu sungguh sejahtera,” ujarku.

“Hidup manusia bisa sejahtera dengan berbuat kebaikan,” kata Hoffen. Perkataanya selalu klise, tapi selalu benar.

“Ini sudah 30 hari dan aku sudah menjalani semuanya. Apa aku sudah resmi menjadi cantik?” aku bertanya dengan iseng dan cengiran lebar ter-pedeku.

“Kamu selalu cantik.”

“Ya, ya, ya. Semua orang cantik dengan hati yang baik, begitu kan?”

Hoffen mengangguk “Percayalah, itu akan terlihat sendiri.” Klise.

Angin malam berhembus masuk melalui jendela kamarku. Membelai lembut pipiku lalu turun ke seluruh badanku, membuatku sedikit merinding

Aku menatap wajah Hoffen yang tanpa cacat, seperti potongan puzzle yang benar-benar disusun sempurna. Dia hanya terdiam sambil memandang ke luar jendela. “Apa aku bisa melihatmu lagi dengan mengucapkan harapan lain?”

“Aku tidak pernah tahu,” jawabnya. “Tapi jangan pernah berhenti berharap dan berbuat kebaikan. Sayonara, Felicity.”

 Aku tersenyum dan mundur beberapa langkah. Membiarkan angin malam membawa Hoffen pergi. Kehampaan yang aku rasakan setelahnya tak bisa dideskripsikan. Tapi kehangatan yang kurasa beberapa detik setelahnya sungguh menenangkan.

***

Aku dan Tiara saling berpelukan saat kami sudah melepas lampion kami ke langit. Biasanya, sebelum pelepasan lampion kita semua membuat harapan dalam hati. Tentu saja seperti sebelumnya aku berharap tentang hal-hal klise seperti ingin menjadi dokter, membahagiakan kedua orangtuaku, dan bersahabat dengan Tiara selamanya. Tapi kali ini aku menambah harapanku agar bisa bertemu orang seperti Hoffen lagi, yang selalu bisa mengingatkanku kebaikan. Dan diam-diam kuberharap bahwa bonusnya adalah wajah setampan Hoffen.

Saat dansa dimulai, aku berjalan menepi karena Tiara akan berdansa dengan kakaknya terlebih dahulu. Jadi aku lebih memilih untuk menjauh sekaligus mencari makanan.

Aku bersandar di suatu pot besar sambil memakan es krim. Perasaanku di festival lampion adalah salah satu momen pribadi favoritku dan diriku sendiri. Rasanya seperti aku tidak harus mengkhawatirkan apa-apa, karena aku bersenang-senang.

“Semua orang sedang berdansa. Apa yang dilakukan orang secantik dirimu hanya diam di sini?”

Aku memalingkan wajah ke samping saat mendengar sebuah suara. Mataku terbelalak saat mendapati siapa yang berdiri di sana. “A... apa aku mengenalmu?”

Orang itu terkekeh. “Kupikir tidak, tapi aku tidak masalah berkenalan.” Detik berikutnya ia mengajakku bersalaman. “Jake.”

Aku menerima jabatan tangannya dengan ragu. “Felicity,” kataku kemudian. Aku memperhatikan lagi bentuk wajahnya. Ini tidak mungkin dia. Aku tidak percaya bahwa malaikat bisa berkamuflase menjadi manusia. Tapi di sebuah festival lampion, keajaiban bisa datang kapan saja.

“May I have this dance, Felicity?” suara lembut dan ringan tanpa gema Jake memanggilku.

Aku tersenyum dan menerima tangannya yang menuntunku ke sekumpulan orang-orang di tengah lantai dansa.

How do you feel about this chapter?

0 2 2 0 0 0
Submit A Comment
Comments (4)
Similar Tags
God's Blessings : Jaws
1547      710     9     
Fantasy
"Gue mau tinggal di rumah lu!". Ia memang tampan, seumuran juga dengan si gadis kecil di hadapannya, sama-sama 16 tahun. Namun beberapa saat yang lalu ia adalah seekor lembu putih dengan sembilan mata dan enam tanduk!! Gila!!!
Search My Couple
485      260     5     
Short Story
Gadis itu menangis dibawah karangan bunga dengan gaun putih panjangnya yang menjuntai ke tanah. Dimana pengantin lelakinya? Nyatanya pengantin lelakinya pergi ke pesta pernikahan orang lain sebagai pengantin. Aku akan pergi untuk kembali dan membuat hidupmu tidak akan tenang Daniel, ingat itu dalam benakmu---Siska Filyasa Handini.
Game of Dream
1182      657     4     
Science Fiction
Reina membuat sebuah permainan yang akhirnya dijual secara publik oleh perusahaannya. permainan itupun laku di pasaran sehingga dibuatlah sebuah turnamen besar dengan ratusan player yang ikut di dalamnya. Namun, sesuatu terjadi ketika turnamen itu berlangsung...
Sadness of the Harmony:Gloomy memories of Lolip
580      309     10     
Science Fiction
mengisahkan tentang kehidupan bangsa lolip yang berubah drastis.. setelah kedatangan bangsa lain yang mencampuri kehidupan mereka..
MANGKU BUMI
94      86     2     
Horror
Setelah kehilangan Ibu nya, Aruna dan Gayatri pergi menemui ayahnya di kampung halaman. Namun sayangnya, sang ayah bersikap tidak baik saat mereka datang ke kampung halamannya. Aruna dan adiknya juga mengalami kejadian-kejadian horor dan sampai Aruna tahu kenapa ayahnya bersikap begitu kasar padanya. Ada sebuah rahasia di keluarga besar ayahnya. Rahasia yang membawa Aruna sebagai korban...
Bersama Bapak
614      443     4     
Short Story
Ini tentang kami bersama Bapak. Ini tentang Bapak bersama kami
Kinara
2392      1038     0     
Fantasy
Kinara Denallie, seorang gadis biasa, yang bekerja sebagai desainer grafis freelance. Tanpa diduga bertemu seorang gadis imut yang muncul dari tubuhnya, mengaku sebagai Spirit. Dia mengaku kehilangan Lakon, yang sebenarnya kakak Kinara, Kirana Denallie, yang tewas sebagai Spirit andal. Dia pun ikut bersama, bersedia menjadi Lakon Kinara dan hidup berdampingan dengannya. Kinara yang tidak tahu apa...
The Hidden Kindness
333      221     2     
Fan Fiction
Baru beberapa hari menjadi pustakawan di sebuah sekolah terkenal di pusat kota, Jungyeon sudah mendapat teror dari 'makhluk asing'. Banyak sekali misteri berbuntut panjang yang meneror sekolah itu ternyata sejak ada siswi yang meninggal secara serius. Bagaimana cara Jungyeon harus menghadapi semua hal yang mengganggu kerja di tempat barunya? Apakah ia harus resign atau bertahan?
ALACE ; life is too bad for us
986      593     5     
Short Story
Aku tak tahu mengapa semua ini bisa terjadi dan bagaimana bisa terjadi. Namun itu semua memang sudah terjadi
Inspektur Cokelat: Perkara Remaja
274      187     1     
Short Story
Elliora Renata, seorang putri dari salah satu keluarga ternama di Indonesia, hal itu tak menjamin kebahagiaannya. Terlahir dengan kondisi albinis dan iris mata merah tajam, banyak orang menjauhinya karena kehadirannya disinyalir membawa petaka. Kehidupan monoton tanpa ada rasa kasih sayang menjadikannya kehilangan gairah bersosialisasinya sampai akhirnya...serangkaian kejadian tak menyenangkan...