Malam yang masih panjang. Tak ijinkan seorang Nhaya untuk cepat-cepat pulang ke apartemennya dan menghentikan hari yang cukup melelahkan ini. Karena meski dia bisa melewati hari ini dengan baik-baik saja, sebenarnya kesedihan itu masih ada. Masih terlalu banyak menyeruak di dalam hatinya. Yang perlahan, hati itu kian busuk dan mengeluarkan aroma yang membekukan air mata.
Dia pun mendatangi apartemen Ezha. Namun dia hanya diam di dalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan raya. Hanya ingin melihat dari jauh sebuah jendela besar yang masih terang, tempat dimana Ezha berada.
Seharian ini dia sama sekali belum mengabari Ezha. Begitu pun sebaliknya. Mereka semakin lama semakin jauh. Meskipun kemarin siang mereka sempat makan siang bersama, namun tetap saja jarak itu ada. Tak seperti biasanya, Nhay kali ini tak sebegitu memaksa Ezha untuk bertemu atau rajin menghubunginya. Entah kenapa dia semakin ragu jika harus mempertahankan hubungannya yang dari awal sudah tak bertulang itu.
Nhay pun menyandarkan punggungnya. Menghela napas panjang guna perasaan yang mungkin akan lebih tenang. Namun tak lama setelah itu, tiba-tiba pandangannya terganggu. Sebuah mobil yang dia ketahui adalah milik Ezha masuk ke dalam area parkir apartemen yang sedikit terlihat dari tempatnya berada. Dan tak lama, Ezha keluar dari dalam mobil dengan beberapa kantong plastik yang terisi penuh. Mungkin dia baru saja pulang dari minimarket atau semacamnya.
Nhay yang melihatnya langsung berniat untuk turun dan menemuinya. Namun belum sampai itu terjadi, sosok Vivi sudah lebih dulu muncul dan menyambut kehadiran Ezha di parkiran itu. Dia juga terlihat langsung membantu Ezha membawa barang-barang belanjaannya. Lalu masuk ke apartemen itu bersama-sama layaknya sepasang pengantin baru yang menunggu tanggal bulan madu.
Nhay pun sontak tercengang tiba-tiba. Amarah yang biasanya berhasil dia tahan kali ini terlihat jelas mengintip di sepasang mata indahnya yang diam-diam berubah menjadi tajam. Bibirnya pun gemetar. Berubah putih pucat dengan kedua tangan yang mencengkeram setir kemudinya. Lalu perlahan, dengan kesakitan yang luar biasa di hatinya, air matanya terjatuh. Entah harus terus menangis seperti itu atau balik menampar dirinya sendiri, dia tak tahu. Dia terlalu tolol untuk tahu.
“Zhia!” panggilnya keras ketika teleponnya sudah terhubung dengan Zhia, sahabat tersayangnya. Dia pun semakin menderaskan air matanya ketika dengan panik Zhia bertanya tentang apa yang terjadi.
“Apa yang harus aku lakukan, Zhi? Apa?!” Nhay semakin kualahan menahan dadanya yang terasa begitu sesak. Dia pukul pelan dadanya itu dengan terus terisak penuh arti dan bibir mungil yang gemetar tak terkendali. “Aku sudah melakukan semuanya! Aku sudah menahan semuanya!”
Zhia pun semakin ikutan panik. Beberapa kali terdengar dia bertanya tentang dimana Nhaya berada. Namun tetap saja Nhaya tak menjawabnya dan hanya menangis gila seperti itu.
“Katakan kau dimana?! Atau aku hubungi Ezha agar mencarimu!” Zhia terdengar mengancam. Tapi karena itu, Nhaya justru semakin memperdengarkan isakannya dengan tangan yang masih memukul pelan dadanya.
“Nhay?”
“Aku mencintainya! Aku benar-benar mencintainya, Zhi! Aku sangat mencintainya!”
“Nhay?”
“Tapi aku ingin dia bahagia! Meskipun itu sangat menyakitkan, tapi aku ingin dia bahagia, Zhi! Aku ingin!”
“Kalau begitu lepaskan dia, Nhay.” kata Zhia dengan suara yang mulai terdengar serak. “Cinta bukan segalanya. Tapi kebahagiaan adalah tujuan kita, Nhay! Agar kau dan dia bisa bahagia, kau harus melepasnya sekarang. Biarkan dia pergi! Biarkan dia memilih jalannya sendiri! Kau sudah melakukan tugasmu, Nhay! Sekarang waktunya kamu buat lepasin dia!!”
“Zhia,”
“Aku tahu itu tidak mudah. Delapan tahun bukan waktu singkat. Aku sangat tahu bagaimana susahnya kamu mempertahankan hubungan itu. Bagaimana seorang Nhaya berjuang untuk keberhasilannya. Aku sangat tahu itu, Nhay. Tapi,” Zhia terdengar terisak beberapa kali sebelum akhirnya melanjutkan, “aku juga ingin temanku bahagia. Aku ingin melihatmu selalu ceria, memiliki lelaki yang tak hanya kau cintai tapi juga yang mencintaimu.”
Nhay menghembuskan napasnya dengan berat. Lalu memutuskan sambungan teleponnya dan bersiap untuk keluar dari mobilnya.
Yah... cinta yang rumit ini memang harus segera diselesaikan. Entah bagaimana caranya, namun yang jelas dia tak ingin membunuh dirinya sendiri. Kekesalan itu, amarah yang meluap-luap di dirinya... dia harus mengeluarkannya. Harus! Karena dengan begitu dia akan tetap hidup. Dia tak bisa mati begitu saja di dalam mobil seperti ini hanya karena cinta yang membusukkan hatinya. Meskipun sangat sulit, namun untuk satu kali saja dia harus menyelamatkan dirinya sendiri.
-------------------
Malam yang berlabuh di hari yang keras ini... tak ijinkan begitu saja waktu terlelap atau terbangun dengan kebahagiaan yang kemarin diimpikan. Seperti sebuah jalan yang berasap, kali ini Nhaya harus menghirupnya demi hidup yang lebih baik lagi. Dia harus menguatkan diri sendiri demi kebahagiaan yang menunggunya jauh di pertigaan sana. Dan dengan segudang kenangan yang berarti, dia harus lebih keras lagi tuk menghapus semua yang sudah terjadi.
Yah... ternyata waktu delapan tahun ini harus berhenti di hari ini. Sebuah cinta yang dia simpan dari delapan tahun yang lalu, harus dibuangnya demi cinta yang lain yang lebih bermakna lagi. Karena ternyata, apa yang dipikirkannya dari awal salah. Meskipun uang mampu membeli seseorang. Namun membalikkan perasaannya adalah salah. Dan sekarang... demi kebahagiaan sebuah cinta yang sempat terpisah, Nhaya ingin mengembalikannya. Demi orang yang sangat dia cintai, dia ingin berkorban satu kali lagi. Bukan dengan materi lagi... melainkan dengan pembuktian cinta yang terakhir darinya. Meskipun pada nyatanya dia tahu pasti jika itu terlalu sulit juga terlalu sakit, namun tak ada yang tak bisa dia lakukan jika menyangkut tentang Ezha. Meskipun dia harus menahan dadanya yang semakin sesak atau air mata yang terus mengalir tanpa bisa dihentikan, jika untuk kebahagiaan lelaki yang dicintainya itu, tidak ada yang tidak mungkin untuk membunuh diri sendiri.
Nhaya sudah melakukan segalanya! Yah... dia sudah melakukannya. PR yang Ezha berikan padanya, dia sudah mengerjakannya dan mendorongnya menjadi dokter seperti yang dia citakan. Dia juga sudah memastikan jika ibunya Ezha akan tetap mendapatkan perawatan bagus dari psikiater yang sudah dia tunjuk. Jadi untuk hari ini, dia hanya perlu melengkapi semua itu. Memenuhi tugas terakhirnya dengan kerelaan yang sanggup melemahkan seluruh saraf di tubuhnya. Hanya untuk sebuah cinta... hanya untuk sebuah kebahagiaan... dia harus merelakannya.
-------------------
Nhaya diam di depan pintu apartemen Ezha. Tiba-tiba saja dia kesusahan menggerakkan kaki dan tangannya. Dadanya begitu sesak. Bagai ditusuk terlalu dalam, untuk sekedar bernapas saja sulit. Dia pun memejamkan kedua matanya. Menghela napas panjang guna mencari ketenangan. Namun meski sudah melakukannya, tetap tak ada hasil. Jari-jari tangannya masih gemetar, lengkap dengan mimik wajahnya yang semakin muram.
Beberapa detik setelah itu, bukannya menekan beberapa tombol untuk membuka pintu atau memencet bel, Nhaya justru mengeluarkan ponselnya. Dia tekan angka 1 hingga tersambung ke kontak Ezha. Lalu dengan setengah gugup, dia dekatkan ponselnya ke telinga kanannya.
“Kau dimana?” tanyanya pelan setelah Ezha mengangkat teleponnya. Dia pun harap-harap cemas menunggu jawaban dari Ezha. Apalagi ketika tahu jika Ezha tak langsung menjawabnya. Melainkan terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, “Aku di rumah sakit. Ada apa?”
Nhaya pun sontak mendengus keras. Dia tundukkan kepalanya pelan dengan kekecewaan yang semakin menyeruak di dirinya. Karena ternyata Ezha berbohong. Tepat ketika Nhaya ingin mencari kepastian, Ezha sudah lebih dulu memberikan keyakinan jika memang itu jalannya. Hubungan yang selama ini sudah dijaganya, kali ini memang harus diputusnya.
“Aku ada di depan pintu apartemenmu. Keluarlah!” kata Nhaya kemudian yang langsung mematikan sambungan teleponnya. Dia pun menurunkan tangannya dan segera mengangkat kepalanya. Dia hapus sisa air matanya itu lalu mulai meyakinkan diri jika dia bisa melakukannya. Dia pasti bisa menjalani hari tanpa Ezha, tanpa melihat lelaki yang delapan tahun ini selalu dilihatnya.
Setelah hampir satu menit menunggu, Ezha pun membukakan pintu untuknya. Lelaki tampan itu muncul dengan mukanya yang terlihat sangat kaku. Lengkap dengan sikap gugupnya yang tak seperti biasanya.
“Biarkan aku masuk!” tegas Nhaya sembari mendorong Ezha agar menjauh dari pintu. Namun lagi-lagi tak seperti biasanya, Ezha langsung merentangkan tangan kanannya untuk menghentikan langkah Nhaya.
“Aku sudah tahu semuanya. Jadi biarkan aku masuk!” Nhaya kembali mempertegas. Dan kali ini, sangat tampak jelas raut terkejut di wajah Ezha. Ia berubah kikuk. Sepertinya Vivi belum mengatakan padanya jika Nhaya sudah mengetahui segalanya.
“Apa maksudmu?” Ezha kembali menghentikan gerakan Nhaya. Kali ini dengan menarik paksa tangannya dan langsung menatap kedua matanya tajam. Namun Nhaya tak ingin menjelaskan. Dia tak ingin mengeluarkan kata-kata yang berhubungan dengan Vivi lagi. Hanya untuk saat ini, dia ingin mengakhirinya tanpa harus menangis gila di depan Ezha.
Nhaya pun menepis tangan Ezha dengan kasar dan langsung masuk ke apartemennya. Ada Vivi di dalam. Dia tengah berdiri terpaku seolah tengah menonton sebuah film komedi yang siap-siap membuatnya tertawa bahagia. Karena berbeda dari Ezha, tak ada sedikit pun mimik terkejut atau sungkan di wajahnya.
“Aku hanya ingin mengambil barang-barangku! Jangan merasa terganggu!” teriak Nhay yang langsung saja masuk ke dalam kamar yang sebelumnya dikhususkan untuknya. Lalu dia ambil koper pribadinya dan dia masukkan baju-baju miliknya. Dia juga masuk ke dalam ruang kerja Ezha. Dia ambil beberapa bukunya dan beberapa foto dirinya. Dia masukkan semua itu ke dalam koper. Tak lupa juga, dia menyingkirkan peralatan mandinya yang ada di kamar mandi. Dan seperti dugaannya, tidak hanya ada miliknya dan Ezha saja di situ, tetapi juga milik Vivi.
“Apa yang kau lakukan?!” teriak Ezha tiba-tiba sembari menarik tangan Nhaya dengan kasar. Namun lagi-lagi Nhaya menepisnya dan segera menutup kopernya dengan cepat. Langsung saja dia turunkan kopernya ke bawah lalu mulai ditariknya keluar dari kamar tamu itu.
“Nhay!” Ezha kembali menarik tangannya dengan kasar. Ia bahkan langsung menarik koper itu dan mendorongnya menjauh dari jangkauan Nhaya. “Apa yang kau lakukan?! HUH?! APA YANG KAU LAKUKAN?!”
Nhay yang menerima bentakan itu sontak memaku dirinya sendiri dengan kedua mata yang menatap dalam ke arah Ezha. Tak tahu apa yang harus dikatanya. Kali ini dia benar-benar kesusahan dalam mengungkapkan apa yang harus diungkapkan.
“Apa yang kau lakukan? Kenapa kau ambil semua barangmu? Huh?” Tiba-tiba Ezha merendahkan volume suaranya dan menatapnya lebih lembut lagi. Namun itu yang semakin membuat Nhaya terluka. Sikap pura-pura tidak tahu di wajah Ezha, adalah apa yang semakin membuatnya tersiksa.
Nhaya pun tak bisa lagi membendung air matanya yang kian mengamuk. Kekuatan yang tadi diyakininya langsung saja ambruk dan membuatnya kembali terlihat lemah seperti sebelum-sebelumnya.
“Sebenarnya tadi aku ingin menamparmu. Tepat ketika kau muncul, aku sangat ingin menamparmu! Aku ingin memukulmu! Mendorongmu! Bahkan menjambak rambutmu!! Aku ingin melakukan itu sebanyak aku ingin tetap hidup! Tapi apa yang aku lakukan?” Nhay kembali membiarkan air matanya turun tanpa halangan sedikit pun. Lalu kembali di tatapnya kedua mata yang juga menatapnya itu dengan kedalaman yang bertambah. “Lagi-lagi ketololanku muncul! Seperti seorang idiot aku hanya memaksa masuk dan mengambil barang-barangku. Padahal di sana,” Nhay melirik ke arah Vivi yang juga tengah menatap ke arahnya. “ada perempuan yang harusnya aku seret keluar!! Ada perempuan yang harusnya,” Dengan dada yang semakin terasa sakit, Nhay tak lagi mampu tuk meneruskan perkataannya. Dia bahkan sudah lebih dulu menundukkan kepalanya dan hanya menangis gila tanpa bisa dihentikan. Kembali bersikap bodoh layaknya Nhaya yang biasanya.
“Apa yang kau katakan padanya?” Tiba-tiba Ezha bertanya yang sontak mengejutkan Nhaya dan membuatnya mengangkat kepalanya seketika. Namun ternyata pertanyaan itu tidak ditujukan untuk Nhaya. Karena selanjutnya, Ezha langsung membalikkan tubuhnya dan balik menatap Vivi dengan tatapannya yang berubah ganas. “APA YANG KAU KATAKAN PADANYA?!!” bentaknya kemudian yang mampu membuat kedua perempuan itu terkejut bebarengan.
“Apa yang aku katakan padanya?!” Vivi mulai membuka mulutnya. “Aku hanya mengatakan yang sebenarnya! A-pa a-da-nya!” tegasnya kemudian yang seketika membuat Nhay semakin yakin atas pilihannya.
“Biarkan aku pergi.” kata Nhay pelan dengan nada tak bersemangat. “Kau sudah berusaha keras selama ini, Zha. Aku tak akan pernah melupakan itu. Kau harus hidup bahagia mulai sekarang, jadi biarkan aku pergi. Aku tak akan menyesal. Aku tak akan menyalahkanmu. Jadi biarkan aku pergi.”
Ezha mulai menundukkan kepalanya dalam diam. Entah apa yang tengah dipikirkannya. Namun yang jelas, dia masih menggenggam tangan Nhaya dengan erat. Justru lebih erat dari sebelumnya.
Keheningan pun mulai menyeruak. Satu orang yang tengah diam mengamati dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya, satu orang lagi yang sibuk menguatkan diri sendiri dan menekan air matanya agar tidak terjatuh lagi, juga satu orang lagi yang masih membiarkan waktu berjalan dalam sepi hingga dia bisa berpikir dengan lebih tenang lagi.
Namun sepertinya Tuhan tak membiarkan itu terlalu lama. Karena ini ending, maka Nhaya harus menyelesaikannya sebelum malam terlewat kecewa padanya. Juga sebelum hati terlewat sakit melebihi kapasitasnya.
“Terima kasih untuk semuanya. Dan maaf, aku sering membebanimu dan membuatmu marah.” Nhay diam sejenak ketika dirasanya jelas jika Ezha semakin mengeratkan genggaman tangannya. Namun kali ini dia tidak goyah! Terus di tatapnya Ezha dengan yakin meskipun Ezha masih belum bisa menatapnya. “Kau harus bahagia, Zha. Harus! Kau sekarang seorang dokter! Kau harus menjadi dokter yang hebat untuk pasien-pasienmu! Kau harus tetap sehat! Jangan terlalu sibuk hingga melupakan makan! Dan sekarang,” Nhay menurunkan pandangannya ke arah tangannya yang masih berada di genggaman tangan Ezha. “lepaskan tanganku! Kau harus bahagia, Zha!”
“Cukup.” kata Ezha yang perlahan mulai mengangkat kepalanya. Ia pun memandang ke arah Nhaya. Seakan ingin mempertegas sesuatu, kedua matanya mengisyaratkan jika ada yang salah saat ini.
“Karena sedari tadi kau menyuruhku untuk bahagia, apa kau tahu kapan tepatnya aku merasa paling bahagia?” tanyanya kemudian dengan tatapannya yang berubah tajam. Mimiknya pun semakin serius. Lengkap dengan aura gelapnya dan genggaman tangan yang terus dieratkannya.
Nhaya yang mendengarnya pun hanya diam. Karena tiba-tiba saja dia kebingungan. Perasaan ragu itu muncul di dirinya seperti seekor nyamuk yang memutus jaring laba-laba. Entah hanya pemikiran ngawur atau memang ada yang disembunyikan, namun baru kali ini Nhaya melihat Ezha yang seperti ini. Tatapan dan mimik wajah yang seolah tak ingin melepaskan tangannya, baru kali ini dia melihatnya. Dan itu tampak sangat jelas! Bahasa tubuh yang diperlihatkan Ezha, itu amat sangat mengejutkan.
“Jawab aku! APA KAU TAHU KAPAN TEPATNYA ITU?!” bentak Ezha keras-keras yang semakin membuat keterkejutan di wajah Nhaya bertambah. Dia semakin tak mengerti apa yang tengah dipikirkan Ezha atau apa yang sebenarnya ingin dikatakannya. Kenapa Ezha mengulur banyak waktu padahal bukankah Ezha akan lebih senang jika Nhaya memutuskan hubungannya?! Sepertinya semua berjalan dengan alur yang berbeda lagi.
“Jangan bicara yang tidak perlu! Kau hanya perlu melepaskan tangannya!” Tiba-tiba suara Vivi memecah suasana tegang di antara Nhaya dan Ezha.
Nhay pun segera sadar dengan tujuan awalnya. Yah! Bahwa menyelesaikan hubungan ini adalah yang terbaik yang harus dia lakukan. Dan dia tak ingin menundanya lebih lama lagi yang akan membuatnya lebih sakit hati lagi.
“Lepaskan tanganku!” tegasnya kemudian sembari berusaha menarik tangannya. Namun ternyata Ezha masih tak ingin melepaskan tangan itu. Ia bahkan terus menatap tajam ke arah Nhaya. Mengeratkan genggaman tangannya satu kali lagi tanpa merenggangkannya sedikit pun.
“Aku bilang LEPASKAN TANGANKU!” bentak Nhaya yang semakin mempertegas keinginannya. Tanpa memedulikan seerat apapun genggaman tangan Ezha, dia terus berusaha lepas darinya dengan kekuatan yang sesungguhnya hanya kemunafikan belaka. Karena sejujurnya hadir satu puing pengharapan dari genggaman tangan itu. Tapi meski begitu, Nhaya sadar betul jika saat ini pengharapan itu tidak boleh menggoyahkan dia lagi.
“Apa kau pikir aku memutuskan hubungan ini hanya karena kebahagiaanmu? Apa kau pikir begitu?” Tiba-tiba Nhaya menunjukkan raut kecewanya. Lengkap dengan aura dingin yang biasanya tak pernah dia tujukan di hadapan Ezha. “Jika kau pikir begitu, kau salah! Karena aku juga manusia, sama sepertimu! Aku terlahir dari dua orang tua yang mengharapkan kebahagiaan, sama sepertimu! Aku memiliki perasaan! Aku juga memiliki pemikiran! MESKIPUN AKU MENCINTAIMU DENGAN KERAS KEPALAKU,” Nhay membebaskan air matanya tuk terjun dengan tenang. Mempersembahkan perasaan yang sesungguhnya selalu dia simpan, tanpa ingin menyembunyikannya lebih lama lagi. Yang kemudian, dengan kejujuran dan ketulusan itu, dia kembali meneruskan. Kembali menerangkan. Kembali menunjukkan. Sebesar apa duri yang tumbuh dan dia simpan di hati-hatinya. “MESKIPUN AKU MENCINTAIMU DENGAN KERAS KEPALAKU, tapi bukan berarti aku ingin memperburuk hidupku. Karena aku juga ingin bahagia. TIDAK HANYA MENCINTAI!! Tapi aku juga ingin dicintai. Ingin dimanja, diperhatikan, diberi kejutan, aku ingin dihargai sebagai seorang wanita. Aku ingin bergandengan tangan dengan pasanganku, menyempatkan waktu untuk makan bersama, saling tersenyum sama-sama, tertawa sama-sama, dan yang paling penting adalah kebahagiaan yang tidak bertepuk sebelah tangan. Tapi keinginan-keinginan itu tidak terjadi di hubungan kita. Dari tahun pertama kita menjalin hubungan ini, bukankah semua berjalan hanya karena uang? Aku maupun dirimu! Kita terlalu munafik dan terlalu egois dengan keinginan masing-masing bukan? Tanpa memikirkan jika tak seharusnya kita menyiksa diri kita sendiri.”
“Apa itu begitu menyakitkan?” Ezha bertanya dengan kedua mata yang tiba-tiba berubah merah. Seolah tengah memohon, kedua mata itu terlalu menyedihkan untuk dikasihani.
Nhaya pun mengangguk pelan. Sempat memperdengarkan isakannya sebelum akhirnya kembali mengangguk dengan tegas. “Sangat!” katanya dengan air mata yang semakin terjun bebas. Sedangkan Ezha yang melihat dan mendengarnya, seketika menunduk diam dengan air mata yang turun tiba-tiba. Sesuatu yang baru kali ini tertangkap di kedua mata Nhaya.
“Baiklah aku akan melepaskanmu.” Ezha kembali mengeluarkan suaranya. Lalu diangkatnya kepalanya itu hingga kedua matanya kembali beradu dengan kedua mata Nhaya yang sama basahnya. Yang kemudian, dengan suara yang mulai serak dan terdengar berat, ia berkata, “Aku harap kau bahagia. Aku harap kau menemukan seseorang yang tidak seperti aku! Yang terlalu munafik! Egois! Pengecut! Terlalu takut pada kebenaran tanpa memikirkan perasaan wanitanya! Aku minta maaf! Benar-benar minta maaf! Bahkan jika setelah putus pun aku tetap membuatmu kecewa, aku minta maaf! Aku terlalu buruk untuk mendapatkan wanita sepertimu! Maaf!”
Ezha pun perlahan mulai merenggangkan genggaman tangannya. Yang kemudian, dengan mimik sama beratnya, Nhaya pun mulai menjauhkan tangannya dari jangkauan Ezha. Lalu dengan seuntas senyuman yang terlihat kaku, Nhaya mengambil kopernya dan melangkah menjauh dari Ezha yang masih terpaku di tempatnya.
Vivi yang menyaksikannya seketika tersenyum penuh kemenangan. Seolah tak memiliki satu pun penyesalan, dia tunjukkan mimik bahagianya dengan terus memperhatikan Nhaya hingga benar-benar keluar dari apartemen itu.
-------------------
Berakhir sudah. Alasan untuk melihatnya lagi, sudah terhenti di malam ini. Tidak akan ada lagi kenangan yang tercipta selain kenangan yang tinggal diingat. Namun itupun aku tak sebegitu yakin. Akankah ia mengingatku, akankah ia memikirkanku, aku tak sebegitu yakin. Tapi yang pasti, untuk saat ini aku harus kuat berdiri. Harus kuat melangkahkan kaki, apapun yang terjadi.
Untuk menjalani hari yang terpampang di depanku, aku harus lebih bahagia lagi. Tak mudah memang. Entah ini sebuah kekalahan atau justru kemenangan, namun untuk menerima kenyataan itu aku membutuhkan beribu kekuatan yang dasarnya aku belum punya.
Mungkin bagi sebagian orang, ini adalah saat yang paling melegakan dalam hidupku. Karena pada akhirnya aku bisa bebas bernapas. Aku bisa melakukan hal-hal yang belum pernah kulakukan sebelumnya. Aku tidak perlu lagi bersikap bodoh. Tidak perlu lagi berpura-pura baik padahal untuk memperjuangkan kebahagiaanku saja aku kesulitan.
Yah... Tuhan sudah melindungiku. Walaupun pada kenyataannya perpisahan ini adalah titik balik segala penderitaanku, tapi aku akan melewatinya. Seperti Ezha yang pantas bahagia, aku juga pantas mendapatkan itu.
Karena cinta bukan segalanya.
Tapi terkadang, apa yang kita lihat bukan yang semestinya terlihat. Begitu juga dengan apa yang kita dengar dan apa yang kita rasakan. Sesuatu yang tersembunyi, sanggup membutakan semua mata yang melihatnya.
Karena begitulah manusia.
Orang-orang hanya akan melihat sesuatu dari sisi yang dianggapnya benar. Sedangkan untuk sisi yang lain, untuk meliriknya saja mereka tak sudi. Mereka terlalu munafik! Terlalu egois dengan apa yang diyakininya benar. Tanpa ingin tahu, jika ada sesuatu yang lebih menyakitkan dari itu. Atau bahkan lebih membodohkan lagi dari cinta yang dibangga-banggakan seorang Nhaya.
Kalau alur sudah terlanjur seperti ini, masih adakah kesempatan untuk ending yang bahagia? Atau seperti halnya sebuah kertas yang terbakar. Sekali api menyentuhnya, maka tak akan ada lagi kertas yang kemarin dilihatnya. Selain abu yang mengering dengan air mata yang tak kunjung membasahinya.
Dan jika seperti itu adanya, akankah Tuhan kembali menunjukkan cerita yang lain? Atau seperti halnya Nao yang gila dengan dunia delusinya, Nhaya pun begitu.
Hanya karena sebuah luka lama, dia tak bisa melihat dengan jelas dan mengenal kekasihnya dengan lebih baik lagi.