Read More >>"> ALUSI (Tak Terbatas) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - ALUSI
MENU
About Us  

            Kali ini Nhaya tengah berada di cafe favoritnya. Menikmati secangkir cappucino yang masih hangat sembari mendengarkan musik klasik yang membuat nyaman suasana. Sangat cantik. Malam ini penampilannya bak bidadari yang baru saja turun dari kayangan. Rambut panjang bergelombang yang tertata rapi dengan sentuhan pita merah, juga make up tipis yang semakin membuatnya terlihat manis. Namun bukan itu sisi yang spesial malam ini. Melainkan simple dress warna putih yang dikenakannya yang berhasil menunjukkan lekuk tubuh profesional. Ditambah lagi high heels dari Rizzo dan tas Celine yang semakin membuatnya tampil elegan. Sebuah paket lengkap. Karena memang dia tumbuh menjadi model cantik yang profesional. Yang setiap minggunya sibuk berlenggak-lenggok di atas cat walk dengan senyuman manis yang munafik.

            “Apa kau sudah lama menunggu?” Tiba-tiba datang Zhia bersama dengan seorang laki-laki dewasa yang mengenakan setelan jas dan terlihat sudah sangat dekat dengan Nhay. Karena seketika itu juga Nhaya langsung berdiri dan menyapanya dengan hangat. Dia bahkan sempat melayangkan kedua pipinya guna memberi sentuhan intens yang menghangatkan suasana. Begitu pun ke Zhia.

            “Aku memang sudah lama menunggu. Tapi tidak apa-apa. Lagian seharian ini aku hanya menganggur di butik.” kata Nhaya ramah yang kemudian segera memanggil waitress untuk kedua rekannya itu.

            “Bagaimana dengan kontrak yang kemarin? Apa kalian menyetujuinya?” Zhia memulai pembicaraan mengenai pekerjaan. Nhaya dan laki-laki itu pun saling menyahuti dan mulai beradu argumen. Saling bertukar pikiran dengan gurauan yang sesekali mencairkan suasana tegang.

            “Oh ya Nhay, kemarin ada yang mencarimu di studio. Seorang laki-laki tinggi. Sayangnya aku lupa menanyakan siapa namanya.” Tiba-tiba laki-laki yang lebih dewasa dari keduanya itu mengganti topik. Membuat Nhaya perlahan berpikir dan mengira-ngira siapa yang mencarinya ke studio bukan ke rumah atau apartemennya.

            “Apa mungkin si Nao?” tanya Nhaya dengan pikiran menerawang. Namun Zhia justru langsung mendecak keras-keras dengan tatapan geli bercampur penasaran.

            “Kenapa kau bisa mengira kalau itu si Nao? Apa jangan-jangan gosip kalau kau sama Nao pernah pacaran itu bener?!”

            “Aih, ngawur kamu!” Nhay berubah kesal. “Sejak lulus SMA ia satu-satunya orang yang nggak ada kabar. Apalagi setelah munculnya berita kalau kedua orang tuanya meninggal karena kebakaran rumah. Jadi aku hanya penasaran aja gimana kabarnya saat ini. Udah, cuma itu.”

            Zhia tersenyum tipis dan hanya manggut-manggut tak semangat. Dia tahu jika Nhaya tak pernah nyaman jika diajak bicara tentang Nao. Karena itu dia tak ingin melanjutkan omongannya dan hanya sibuk menghabiskan lemon tea yang tadi dipesannya.

            “Kalau besok ada yang mencariku lagi, jangan lupa Abang tanya namanya dan suruh aja ninggalin kontak.” kata Nhaya yang kemudian meneguk kembali secangkir cappucino kesukaannya itu. “Oh ya, mana aja yang harus aku tanda tangani?”

            Laki-laki itu pun segera menyodorkan beberapa dokumen. “Tanda tangani semua ini. Aku akan mengurusnya untukmu jadi santailah minggu ini. Siapkan saja untuk pemotretan minggu depan di Bali dan ingat! Aku tidak ingin kau seperti bulan lalu yang tiba-tiba pulang hanya karena kaki pacarmu terkilir.”

            Nhaya mendesis pelan. “Kalau begitu berdoalah agar tidak terjadi apa-apa dengan pacarku!” tegasnya dengan senyuman manis di bibir. Lalu segera dia panggil waitress lagi dan meminta bill. “Kali ini aku yang bayar. Tapi besok-besok kalian yang harus membayarnya. Oke?” kata Nhay yang tengah sibuk mengambil uang di dompetnya.

            “Apa kau akan pergi? Secepat ini?” Zhia menaikkan kedua alisnya.

            “Aku harus menemui Ezha sebelum kemalaman. Sudah lebih dari seminggu dia sulit dihubungi.”

            “Ia bukan anak kecil lagi, Nhay! Toh tidak akan terjadi apa-apa dengannya.” Zhia yang memang sudah jengkel dengan Ezha kembali menunjukkan rasa jengkelnya itu ke Nhaya. Seolah tak lagi merasa senang jika sahabatnya itu terus-terusan membahas tentang Ezha. Apalagi menemuinya.

            Namun Nhay tak mendengarkannya. Dia justru segera merapikan barang-barangnya dan tak berniat menghabiskan kopinya. “Dia memang akan baik-baik saja tapi aku yang tidak akan baik jika tidak menemuinya, Zhi.” kata Nhay pelan sembari berdiri dan bersiap untuk pergi. “Jika ada apa-apa langsung hubungi aku, Bang. Kita ketemu minggu depan.” tambahnya ke lelaki yang dari tadi hanya memperhatikannya diam.

            “Aku pergi dulu.” Nhay pun langsung berjalan keluar dari cafe dengan anggun. Langsung menuju parkiran dan masuk ke dalam mobil.

-----------------------

            “Ini aku, Bik. Apa Ezha sudah pulang? Sejak kapan dia belum pulang? Tapi terakhir tidak terjadi apa-apa, kan? Baiklah. Terima kasih, Bik. Nanti aku hubungi lagi.” kata Nhay yang sibuk berbicara dengan asisten yang mengurusi apartemen Ezha. Dia pun langsung mempercepat laju mobilnya dan segera menuju ke rumah sakit dimana Ezha bekerja.

            Sebenarnya ada kekhawatiran di diri Nhay. Dia takut jika tiba-tiba Ezha marah karena dia datang ke tempat kerjanya. Namun jika tidak begini, dia tidak bisa bertemu dan melihat keadaan Ezha.

            Sebulan yang lalu ada kabar jika Vivi sakit. Jantungnya lemah. Dia harus dirawat intensif di rumah sakit guna mendapatkan penanganan yang maksimal, dan kesemuanya itu Ezha yang mengurus. Ia bahkan jarang pulang hanya untuk menemaninya setiap saat. Sering menolak panggilan dari Nhaya, bahkan sulit untuk diajak ketemuan. Ia sama sekali sibuk dengan Vivi dan itu yang membuat Nhaya sampai hilang kendali. Minum-minum sesukanya padahal sebelumnya dia sama sekali bukan peminum.

            Setelah sampai di parkiran rumah sakit, Nhay langsung bergegas masuk ke dalam rumah sakit dan menuju ruangan Ezha. Namun ternyata Ezha masih ada operasi kecil. Nhay pun memilih untuk menunggunya di dalam ruangannya sembari merapikan ruangan itu.

            Tak sebegitu berantakan memang. Jadi Nhay tak perlu repot-repot membersihkannya. Hanya menata kembali berkas-berkas di atas meja juga beberapa pena yang lepas dari wadahnya.

            Ada sebuah foto yang terpajang di atas meja. Itu adalah foto ketika Ezha wisuda. Mereka berfoto berdua di depan gedung fakultas kedokteran dengan satu buket bunga besar yang dipegang Nhaya. Tak ada yang salah dari foto itu. Siapapun yang melihatnya pasti mengira jika dua orang itu adalah sepasang kekasih yang menunggu hari pernikahannya. Karena mereka terlihat terlalu dekat. Tangan Ezha merangkul pundak Nhaya dengan begitu lembut. Mereka bahkan tersenyum bersama dengan kebahagiaan yang begitu terasa indah.

            “Sejak kapan kau di sini?” Tiba-tiba Ezha sudah ada di dalam ruangan dan nampak kaget setelah mendapati Nhaya. Namun begitu juga dengan Nhaya, karena dia tidak sadar kedatangan Ezha, dia pun sama kagetnya.

            “Baru saja. Kata perawat di depan, kau ada operasi. Jadi aku tunggu di sini.” terang Nhaya dengan senyuman manis yang mulai mengembang. Dia bahkan segera mendekat ke Ezha dan meraih tangannya pelan. “Apa kau lelah? Wajahmu terlihat sedikit pucat malam ini.”

            Namun Ezha justru langsung menepis genggaman itu dan beralih melepas jas putihnya. “Aku sudah bilang jangan ke sini jika tidak ada sesuatu yang penting! Kau tetap saja ke sini!” tegasnya yang terdengar seperti membentak.

            “Maaf jika aku mengganggumu.” Nhay kembali mendekat ke Ezha dan diraihnya jas putih itu untuk dirapikan. “Lagian kau susah sekali dihubungi. Kata Bik Jum kau belum pulang sama sekali. Jadi apa salahnya jika aku ke sini? Kau bahkan tidak tahu sebanyak apa aku merindukanmu.” Nhaya cemberut kesal dengan masih menata jas putih itu di tempatnya. Sedangkan Ezha hanya diam sembari membuka sebuah berkas dan mulai membacanya serius.

            “Apa kau sibuk? Apa kau tak ada waktu untuk makan malam?” tanya Nhay yang seolah tak mengenal kata menyerah jika berhadapan dengan Ezha seperti ini. Dia sudah terbiasa. Ezha memang bukan laki-laki lembut yang selalu membuatnya merasa hangat. Sebaliknya! Ia adalah laki-laki dingin yang susah dimengerti maupun disimpulkan kemauannya.

            “Aku ke sini tidak hanya untuk mengganggumu.” Nhay mulai merasa bersalah. Lalu ditunjukkannya sebuah luka goresan di telapak tangannya yang tak sebegitu lebar namun terlihat dalam. Pasti sebelumnya sudah mengeluarkan banyak darah. Namun meski begitu, Nhay hanya menutupnya dengan plester secara asal. “Tanganku terluka tadi pagi. Aku ke sini juga untuk berobat ke Dokter Ezha yang aku mohon, maafkan aku! Ya?” Nhay menunjukkan wajah bersalahnya yang justru terlihat seperti sedang menggoda. Namun caranya berhasil. Ezha langsung berdiri dan mengambil kotak P3K. Segera ia suruh Nhaya untuk duduk di atas ranjang pasien bersebelahan dengannya. Ezha pun mulai mengobati luka itu dengan serius. Sesekali melirik ke arah Nhay dengan mimiknya yang sedikit lebih lembut.

            “Kau biasanya tidak seceroboh ini!” gerutunya yang sontak membuat Nhaya senyum-senyum tak jelas. Ia pun selesai mengobatinya dan segera mengembalikan kotak itu ke tempatnya.

            “Kau juga terluka. Itu, pipimu.” Nhay menunjuk ke pipi Ezha yang tergores. “Apa terjadi sesuatu? Kau juga tak biasanya ceroboh.”

            Ezha diam tak menjawab. Ia tak mungkin mengatakan jika itu jejak tamparan Zhia. Ia juga tak sedang berada di mood yang baik malam ini.

            “Apa akhir pekan ini kau bisa meluangkan waktu? Sudah lama kita tidak jalan bareng. Gimana kalau kita nonton?” Nhay berusaha mencairkan suasana. Meskipun itu justru membuatnya semakin terlihat menyedihkan, namun demi bisa bersama Ezha dia melakukan segala cara.

            “Tidak ada film yang bagus.” jawab Ezha ketus.

            Namun Nhay tak kehilangan ide. Segera dia bangun dari duduknya dan mulai bersandar di meja di samping Ezha. “Kalau gitu, gimana dengan bersepeda?”

            “Cederaku belum sembuh total.”

            Nhay pun sontak memajukan tubuhnya. “Kalau camping? Kebetulan aku punya kenalan yang bisa ngasih tahu tempat-tempat recommended buat camping.”

            Namun Ezha justru langsung menutup berkas itu dengan keras dan sontak mengejutkan Nhaya. “Tidak ada tempat yang bagus!” bentaknya tanpa melihat ke arah Nhay.

            “Kalau begitu kita makan malam saja. Gimana? Di tempat romantis yang dulu aku bilang.”

            Lagi-lagi, Ezha tak menggubrisnya dan hanya berkata, “Restorannya tutup.” tanpa menatap ke arah Nhay lagi. Ia bahkan beranjak dari duduknya dan berusaha menjauh dari Nhaya. Beralih untuk merapikan alat medisnya yang sebenarnya sudah rapi.

            “Kalau gitu aku masak di apartemenmu aja. Terus kita makan malam bersama. Ya?” tanya Nhay lagi yang yah, dia memang masih berusaha. Masih terus berharap meski hatinya sudah mulai kualahan menahan rasa sakit.

           “Kompornya rusak.”

            Sontak, saat itu juga, Nhay langsung memundurkan tubuhnya dengan mimik yang tiba-tiba berubah. Tak lagi seramah atau semanis sebelumnya, namun kali ini dia lebih berani. Menunjukkan tatapan tajamnya dengan mimik kaku yang asing di wajahnya.

            “Apa penyakitnya sangat parah?” tanyanya yang terdengar seperti tengah mengintograsi. Sama sekali tak ada kelembutan di nadanya. Ezha pun sedikit terkejut. Ia bahkan langsung melirik ke arah Nhaya dan memperhatikan aura gelap yang mulai terlihat itu.

            “Apa perlu aku mengambil cuti untuk menggantikanmu menjaganya? Huh?! Aku tidak bisa lagi pura-pura tidak tahu. Ini sudah lebih dari sebulan! Tiap hari aku menunggumu untuk terus terang padaku tapi kau sama sekali tak mengatakan apa-apa tentang ini dan hanya menjauhiku seperti ini! Apa yang sebenarnya ada di pikiranmu? Huh?!”

            Ezha yang mendengarnya hanya diam dengan tatapan yang mulai menajam. Seolah ia sama marahnya namun entah kenapa ia hanya diam dan hanya menunjukkan mimik tak bersahabat.

            “Why? Why?! Apa aku salah?” Nhay mulai meneteskan air mata dengan sedihnya. Ternyata topeng yang selama ini dia pakai tak seratus persen mampu menahan amarahnya hingga mati kelelahan. Pada nyatanya dia hanya seorang wanita yang susah payah memperjuangkan hubungannya. Meskipun dia mendapatkan Ezha dengan cara yang menggelikan, namun dia tak akan semudah itu untuk melepaskannya. Meskipun berkali-kali lipat dia tahu jika Vivi bukan tandingan yang mudah, namun dia selalu berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa suatu saat Ezha bisa memberikan hatinya seutuhnya hanya untuk Nhaya.

            “Aku mohon jangan seperti ini! Aku mohon!” rintih Nhay dengan mimik yang kembali terlihat lembut. Namun itu justru semakin membuatnya berkali-kali lipat menyedihkan.

            “Kita sudah terlalu jauh, Zha! Dan kita semua sudah dewasa! Kita bukan remaja lagi! Jadi aku mohon jangan siksa aku dengan sikap labilmu itu, aku mohon! Aku bisa menahannya sebanyak yang aku bisa tapi bukan berarti kau mempermainkan perasaanku terus-terusan!”

            Nhaya berusaha menunjukkan rasa lelah yang ada di batinnya. Meskipun ia tahu jika Ezha tak suka melihat orang menangis, namun kali ini dia benar-benar ingin menangis di depannya dan berharap sebuah ending yang sempurna. Namun Ezha justru langsung memalingkan wajahnya. Tak lagi menatap Nhaya seperti sebelumnya dan hanya menghadap dinding dengan mimik yang kembali dingin.

            “Pulanglah.” katanya kemudian dengan lirih. Sontak sanggup mengiris sebuah hati yang sebelumnya memang sudah tidak utuh lagi. Nhay pun mencengkeram pakaiannya sendiri dengan air mata yang semakin deras tak terbantahkan. Karena meskipun kata itu keluar dengan sangat lembut, namun bukan berarti itu sesuatu yang menyenangkan. Justru sebaliknya! Satu kata itu cukup membuat kertas yang tadinya sudah terbakar, kembali terbakar lagi dan hanya meninggalkan debu yang berserakan.

            Nhay pun langsung mengambil tasnya dan dengan satu hembusan napas panjang, dia keluar dari ruangan itu. Kembali menguatkan dirinya bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Dia cukup yakin jika dia masih bisa bertahan seperti ini tanpa ada yang bisa merusak hubungannya dengan Ezha. Bahkan Vivi sekalipun.

            “Dimana ruangan Vivita Ballard?” tanyanya pada resepsionis. Lalu setelah tahu, Nhay pun segera menuju ruangan yang dimaksud.

            Dia langsung membuka pintu setelah sampai di salah satu ruang inap di kelas yang lumayan mahal. Ternyata memang benar, dia langsung mendapati Vivi di dalam ruangan itu. Dia tengah duduk di atas ranjang pasien sambil membaca sebuah majalah fashion. Namun ketika tahu jika seseorang masuk ke ruangannya dan tak lain orang itu adalah Nhaya, Vivi langsung tersenyum ramah dengan mimik manis yang dibuat-buat.

            “Kau ke sini? Wah, apa kau ingin menjengukku? Atau kau mencari Ezha?” Perempuan berdarah Jerman itu sibuk menyapa Nhaya. Sama sekali tak merasa canggung sedikit pun. “Ezha mungkin masih sibuk. Kau bisa duduk dulu di sini. Dia pasti datang habis ini karena waktu makan malamku akan segera tiba. Duduklah!” suruhnya yang bahkan tak memiliki rasa malu sedikit pun. Seolah Nhaya bukan seseorang yang penting atau berhubungan dekat dengan Ezha. Seperti orang asing yang baru saja kenal, Vivi menanggapinya seperti itu.

            “Aku datang ke sini untuk memperingatkanmu.” Nhay mulai membuka mulutnya dengan kedua tangan yang sudah mengepal sempurna. Berusaha untuk lebih kuat lagi dan tidak meneteskan air mata lagi.

            “Apa kau tak salah? Kau seha,”

            “Jangan mengusikku terlalu jauh!!!” bentak Nhaya tiba-tiba yang sontak membuat Vivi menunjukkan sisi sebenarnya. Menatap tajam ke arah Nhaya dan seolah mulai merasa tertantang.

            “Sebaik apapun orang bisa berubah jahat jika menyangkut tentang cinta. Jadi jangan mengusikku terlalu jauh!! Jangan terlalu percaya diri selama Ezha masih milikku!!” tegasnya lagi.

            Namun Vivi justru terkekeh pelan dengan mimik sinisnya yang semakin jelas. “Kau lucu sekali, Nhay.” katanya. “Kau itu yang seharusnya jangan terlalu percaya diri. Bukankah dulu aku sudah pernah bilang, jika kau bisa saja memiliki tubuhnya tapi bukan perasaannya! Jadi jangan terlalu bersenang-senang berdiri di antara kami! Sudah waktunya untukmu melepaskan Ezha, bukan?”

            Sontak dengan bibir yang mulai bergetar, Nhaya menajamkan tatapannya yang mulai buram. Seolah tangannya ingin sekali menampar dan membungkam mulut wanita yang lebih tua darinya itu. Namun sebanyak apapun keinginannya itu, dia tetap berdiam di tempatnya dengan rasa sakit yang bertambah banyak.

            “Kenapa? Kau ingin menangis? Menangis saja!” Vivi terus menekannya semakin jauh. Namun sebelum semuanya semakin kacau, Nhay pun lagi-lagi mengalah. Segera dia berbalik dan berniat meninggalkan tempat. Namun sebelum dia benar-benar keluar dari ruangan itu, Vivi berteriak, “Ezha tak mungkin menikahimu! Jadi sadarlah sebelum kau mati karena kecewa!”

            Nhay yang mendengarnya dengan jelas langsung memejamkan matanya beberapa detik. Seolah kembali menguatkan tubuhnya agar tidak ambruk saat ini juga. Dia pun segera melanjutkan langkahnya dan langsung membuka pintu yang sontak, dia sedikit tercengang karena ternyata ada Ezha yang akan masuk ke dalam.

            Sungguh! Jika saja saat ini ada pisau di tangannya, dia pasti memilih mati dari pada merasakan sakit yang perlahan menggerogoti tiap tulang di tubuhnya. Ezha bahkan tak berbicara apa-apa dan hanya menatapnya terkejut. Sama sekali tak ingin menenangkannya atau sekedar menanyakannya.

            Nhay yang sudah tak kuat lagi memilih untuk melewatinya namun segera ditahan oleh Ezha. Ternyata ia tak seratus persen menghiraukan Nhaya.

            “Why? Kau ingin memarahiku karena aku menemui Vivi tanpa ijinmu?” tanya Nhay dengan suaranya yang mulai serak dan terdengar lemah. Dia bahkan tak berniat sedikit pun untuk menatap Ezha. Sama sekali tidak.

            “Lepaskan tanganku. Simpan dulu kemarahanmu. Aku akan datang sendiri nanti jika kau masih ingin memarahiku. Jadi lepaskan tanganku saat ini.” kata Nhay lagi yang sudah seperti memohon. Wajahnya bahkan sudah mulai pucat dengan bibir yang memutih. Namun hingga di detik yang kelima, Ezha masih belum juga melepaskan genggamannya.

            “Aku bilang lepaskan. Biarkan aku pulang dan me,”

            “Akhir pekan ayo kita menjenguk ibuku.” cela Ezha tiba-tiba yang sedikit mengejutkan Nhaya. Namun karena rasa sakit itu sudah berlebihan, Nhaya pun memilih untuk diam dan segera menepis genggaman tangan Ezha sedikit kasar.

             “Aku akan menjemputmu.” kata Ezha lagi yang kemudian benar-benar melepaskan tangan Nhaya dan membiarkannya berjalan menjauh dengan punggung penuh beban. Turun ke lantai dasar dan segera masuk ke dalam mobilnya.

            Nhay pun menangis. Kini dia memang bebas menangis. Tak akan ada yang melarangnya atau melihatnya karena itu dia harus menangis. Untuk bertahan dan menguatkan diri lagi dia harus menangis. Dia harus mengeluarkan rasa sesak itu untuk kembali bernapas dan menghadapi Vivi. Harus. Dia tidak boleh menyerah begitu saja demi cinta yang sudah dia perjuangkan delapan tahun ini. Sudah banyak kejadian yang dia lewati dan sudah banyak kenangan yang dia ciptakan. Seolah tak ada satu pun kesempatan untuknya menghapus semua itu karena memang ini sudah terlalu jauh. Untuk kembali ke tempat semula, itu sudah terlalu jauh. Seolah terlambat karena cinta yang terlalu cepat.

            Nhay tak habis pikir dia harus menghadapi keadaan seperti tadi. Sama sekali tak terpikirkan sedikit pun jika Vivi sama sekali tak goyah karenanya. Justru semakin terlihat kuat.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Rihlah, Para Penakluk Khatulistiwa
13165      2317     8     
Inspirational
Petualangan delapan orang pemuda mengarungi Nusantara dalam 80 hari (sinopsis lengkap bisa dibaca di Prolog).
Mahar Seribu Nadhom
4231      1428     7     
Fantasy
Sinopsis: Jea Ayuningtyas berusaha menemukan ayahnya yang dikabarkan hilang di hutan banawasa. Ketikdak percayaannya akan berita tersebut, membuat gadis itu memilih meninggalkan pesantren. Dia melakukan perjalanan antar dimensi demi menemukan jejak sang ayah. Namun, rasa tidak keyakin Jea justru membawanya membuka kisah kelam. Tentang masalalunya, dan tentang rahasia orang-orang yang selama in...
Sejauh Matahari
480      286     2     
Fan Fiction
Kesedihannya seperti tak pernah berujung. Setelah ayahnya meninggal dunia, teman dekatnya yang tiba-tiba menjauh, dan keinginan untuk masuk universitas impiannya tak kunjung terwujud. Akankah Rima menemukan kebahagiaannya setelah melalui proses hidup yang tak mudah ini? Happy Reading! :)
Today, I Come Back!
3220      1041     3     
Romance
Alice gadis lembut yang sebelumnya menutup hatinya karena disakiti oleh mantan kekasihnya Alex. Ia menganggap semua lelaki demikian sama tiada bedanya. Ia menganggap semua lelaki tak pernah peka dan merutuki kisah cintanya yang selalu tragis, ketika Alice berjuang sendiri untuk membalut lukanya, Robin datang dan membawa sejuta harapan baru kepada Alice. Namun, keduanya tidak berjalan mulus. Enam ...
As You Wish
348      239     1     
Romance
Bukan kisah yang bagus untuk dikisahkan, tapi mungkin akan ada sedikit pelajaran yang bisa diambil. Kisah indah tentang cacatnya perasaan yang biasa kita sebut dengan istilah Cinta. Berawal dari pertemuan setelah 5 tahun berpisah, 4 insan yang mengasihi satu sama lain terlibat dalam cinta kotak. Mereka dipertemukan di SMK Havens dalam lomba drama teater bertajuk Romeo dan Juliet Reborn. Karena...
Begitulah Cinta?
14890      2167     5     
Romance
Majid Syahputra adalah seorang pelajar SMA yang baru berkenalan dengan sebuah kata, yakni CINTA. Dia baru akan menjabat betapa hangatnya, betapa merdu suaranya dan betapa panasnya api cemburu. Namun, waktu yang singkat itu mengenalkan pula betapa rapuhnya CINTA ketika PATAH HATI menderu. Seakan-akan dunia hanya tanah gersang tanpa ada pohon yang meneduhkan. Bagaimana dia menempuh hari-harinya dar...
Unknown
183      149     0     
Romance
Demi apapun, Zigga menyesal menceritakan itu. Sekarang jadinya harus ada manusia menyebalkan yang mengetahui rahasianya itu selain dia dan Tuhan. Bahkan Zigga malas sekali menyebutkan namanya. Dia, Maga!
Dunia Tiga Musim
2652      1110     1     
Inspirational
Sebuah acara talkshow mempertemukan tiga manusia yang dulunya pernah bertetangga dan menjalin pertemanan tanpa rencana. Nda, seorang perempun seabstrak namanya, gadis ambivert yang berusaha mencari arti pencapaian hidup setelah mimpinya menjadi diplomat kandas. Bram, lelaki ekstrovert yang bersikeras bahwa pencapaian hidup bisa ia dapatkan dengan cara-cara mainstream: mengejar titel dan pre...
ATHALEA
1152      490     1     
Romance
Ini cerita tentang bagaimana Tuhan masih menyayangiku. Tentang pertahanan hidupku yang akan kubagikan denganmu. Tepatnya, tentang masa laluku.
Hunch
31172      4148     121     
Romance
🍑Sedang Revisi Total....🍑 Sierra Li Xing Fu Gadis muda berusia 18 tahun yang sedang melanjutkan studinya di Peking University. Ia sudah lama bercita-cita menjadi penulis, dan mimpinya itu barulah terwujud pada masa ini. Kesuksesannya dalam penulisan novel Colorful Day itu mengantarkannya pada banyak hal-hal baru. Dylan Zhang Xiao Seorang aktor muda berusia 20 tahun yang sudah hampi...