Besok pagi akan ada pentas seni yang akan diselenggarakan oleh kelas duabelas. Semua orang sibuk mempersiapkan keperluan untuk perlengkapan pentas seni masing-masing kelasnya, ada yang berlatih drama, bernyanyi, menari, sampai panitia acara yang terus mondar-mandir demi kelancaran pentas seni. Daniel contohnya, sedari pagi ia tidak pernah absen barang sedikit untuk mempersiapkan properti drama musikal, Abi juga yang selalu sibuk memainkan senar senar panjang pada gitarnya, Leo pun berlatih menjadi pembawa acara untuk ini. Sementara aku? Aku hanya diam memperhatikan kesibukan orang-orang disekitarku tanpa tahu akan berbuat apa.
Bukannya aku tidak mau berkontribusi apapun, tapi lebih tepatnya aku malas untuk bergabung dalam acara pentas seni ini. Dimana seluruh murid, guru dan bahkan akan ada alumni yang datang kemari menonton dan berkomentar tentang pertunjukkan yang disuguhkan. Aku sudah pernah menjadi gunjingan orang karena tampil disebuah acara pada masa sekolah dasar, kini aku tak mau itu terulang lagi.
"Lo gamau ikut nyanyi bareng gue, Far?" tanya Nisa.
Aku menoleh kearah Nisa, dengan kemeja putih yang keluar dari sangkar, rambut yang dicepol asal, keringat yang menetes pelan di pelipisnya dan suara yang mulai serak, aku sudah tahu kalau sahabatku yang satu ini berlatih cukup keras untuk besok. Ayolah, Nisa itu adalah mojangnya sekolah kami, pasti Nisa akan tampil mempesona.
"Engga deh, makasih" jawabku pelan.
Sementara Nisa meninggalkanku kembali untuk berlatih, dari kejauhan aku melihat seseorang yang pernah menjadi bagian dihatiku. Seseorang yang memaksa diriku untuk menjadi pendiam dan mundur dari dunia musik. Seseorang yang pernah singgah dan tidak membiarkan hati ini pergi untuk selangkah pun. Senyum yang sedari tadi terukir manis dibibirku kini pudar seiring mendekatnya sosok itu. Ya Tuhan, bawa aku pergi.
"Hai Farah?" Sapa sosok itu.
Apakah tadi dia menyapaku? Atau ada Farah lain disini?
Aku menoleh kebelakang, nyatanya hanya ada aku dan dia disini. Setelah beberapa saat aku baru menjawab sapaannya dengan anggukan kepala yang sangat tipis. Kenapa begitu? Karena untuk apa aku membalas sapaannya dengan semangat? Jangankan itu, untuk menyunggingkan senyum saja aku tak mau.
Andai saja... sudahlah, itu sudah menjadi masa lalu.
"Farah?" sapa orang itu lagi. Kali ini aku harus menjawabnya dengan sopan dan bergegar pergi.
"Oh, hai kak" balasku kali ini tangan kananku terangkat keatas dan melambai tipis tanda menyapa.
Terdengar hembusan napas miliknya. Dulu, saat dia menghela napas kasar seperti barusan, tandanya dia sedang tidak menyukai sikapku. Dan sekarang? Apa dia juga sama? Sudahlah itu bukan urusanku lagi.
"Apa kabar, Far?" tanya nya.
Raihan namanya. Sekarang dia telah duduk disebelahku, dengan almamater berwarna kuning yang disampirkan dibahu kanan, sepatu nike abu, dan rambut yang dicukur cepak, dia bermetamorfosis menjadi Raihan yang lain. Aku juga tengah duduk disamping kirinya. Entah apa yang terjadi sampai aku enggan untuk pergi, padahal tadi aku mempunyai niat untuk kabur darinya.
"Baik kak" jawabku pelan tanpa menengok kearahnya.
Aku masih diam, tidak memulai percakapan apapun sampai Abi datang menyelamatkanku dari situasi canggung ini. Dengan alasan yang terkesan dibuat-buat Abi, aku terpaksa menurutinya daripada harus disini bersama Raihan. Aku pamit dulu kepada Raihan dan segera menggamit tangan Abi asal kearah ruang kelas. Terlihat wajah Raihan yang kebingungan membuat aku yakin kalau orang itu masih ingin mendekatiku lagi.
"Dia siapa, Far?"
sukaaaaa::*
Comment on chapter Prolog