Rasanya baru kemarin kutinggalkan kota ini. Selepas mengakhiri masa SMA, aku memilih melanjutkan pendidikanku ke luar negeri. Sebenarnya ada banyak universitas yang tak kalah bagus di negeri ini. Hanya saja kepergianku bukan hanya tentang melanjutkan pendidikan, tapi untuk melarikan diri sejauh mungkin dari kota penuh kenangan ini.
Harus ke luar negeri kah? Sebenarnya tidak juga, tanpa pergi sejauh itu pun aku akan tetap pergi dari kota ini karena kebetulan sekali bisnis ayah berjalan lancar bahkan berkembang pesat tanpa kami sadari. Hal ini membuat keluarga kami tak pernah menetap di satu kota terlalu lama. Kota ini juga tidak lama kutinggali, namun ada kenangan yang melekat di hati hingga kini.
Setelah kurang lebih 4 tahun aku menetap di London, akhirnya enam bulan lalu aku memutuskan untuk kembali. Bukan, bukan karena aku baru menyelesaikan studi. Aku bahkan menyelesaikan studi lebih cepat. Aku hanya enggan kembali, sehingga aku memutuskan mencari alasan untuk tetap tinggal disana. Kubilang pada ayah dan ibu bahwa aku ingin mencari pengalaman beberapa tahun di Inggris sebelum akhirnya melanjutkan bisnis ayah. Namun kondisi kesehatan ibuku sukses membuatku kembali lebih cepat.
Sekembalinya aku dari rantau di negeri orang, aku bertemu dengan gadis manis yang kini menjadi tunanganku. Ah ya, aku bertemu dengannya secara tak sengaja. Gadis itu seorang perawat yang kebetulan merawat ibuku ketika beliau jatuh sakit. Kulihat ibu sangat menyukainya dan memintaku untuk mencoba menjalin hubungan dengan gadis itu. Aku tak menolak permintaan ibu. Bukan karena tak enak menolak keinginan ibu, tapi sejujurnya gadis itu terlihat menarik.
Sudah lima bulan aku dan gadis itu menjalin hubungan dan beberapa bulan lagi kami akan menikah. Namun masih ada hal yang mengganjal dalam hatiku. Aku masih saja memikirkan seorang gadis lain. Ya, gadis itu, cinta pertamaku semasa SMA dahulu. Gadis yang membuatku melarikan diri hingga London dan membuatku enggan menginjakkan kaki di kota ini. Tapi dengan segenap keberanian, aku akhirnya datang kembali ke kota penuh kenangan ini.
Senja menyambutku, segera kupacu kendaraan menuju bangunan bersejarah bagiku itu. Meskipun jalanan tampak banyak berubah tapi tak sulit bagiku menemukan bangunan sekolah SMA bergaya kuno itu. Aku berhenti tepat di depan gerbang yang Nampak baru di cat. Aku keluar dari kendaraan, berdiri beberapa saat sambil mengamati pintu gerbang yang ternyata di kunci. Tak berapa lama, seorang pria paruh baya yang tampak familiar datang menghampiri dengan raut wajah keheranan.
“Selamat Sore Mas, ada perlu apa ya? Sekolahnya sudah kosong, sudah pulang semua.” Sapa pria itu dari balik pagar
“Sore Pak Salim. Apa kabar? Saya Eba, pasti lupa ya?” Aku balik menyapanya sambil memperkenalkan diri karena sepertinya ia tak mengingatku
Pria itu tampak mengingat-ingat sebentar hingga kemudian ia berseru cukup keras,
“Oalah Nak Eba! Makin ganteng ya sekarang, bawa mobil pula. Ckckck, pasti sudah jadi orang sukses kaya bapaknya ya,” Pak Salim berbicara sambil tangannya sibuk membuka kunci gerbang “Silahkan Nak Eba mobilnya parkir di dalam saja, supaya lebih aman.”
Aku pun mengangguk kemudian segera mengendarai mobilku masuk ke area parkir sekolah dan berjalan kembali menghampiri Pak Salim yang tengah beristirahat di Pos Satpam.
“Duh Nak Eba, gak nyangka saya masih bisa ketemu. Terakhir kali kapan ya? Empat atau lima tahun lalu sepertinya kan? Saya lupa.” Pak Salim tampak sangat senang bisa kembali bertemu denganku
“Iya pak, sudah empat tahun lebih sepertinya. Syukur saya ketemu bapak, kalau penjaganya ganti mungkin saya gak diizinkan masuk seperti sekarang.” Gurauku dan Pak Salim kemudian tertawa ringan
“Ngomong-ngomong ada apa Nak Eba datang kemari? Bukannya keluarga Nak Eba sudah pindah ke luar kota setelah hari kelulusan?” Benar, pertanyaan ini memang pasti ia tanyakan
“Cuma main pak, rindu masa-masa SMA, iseng mampir untuk keliling gedung sambil mengenang. Tapi sepetinya sudah banyak perubahan ya?” Jawabku
“Wah rindu masa SMA atau rindu cinta-cintaannya?” Pak Salim seolah bisa membaca pikiranku
“Ah bapak bisa aja. Jadi saya boleh keliling gak pak?” tanyaku mengalihkan perhatian
“Ya pasti boleh. Silahkan, tapi maaf saya gak bisa nemenin loh ya. Baru saja saya keliling, capek mau istirahat.”
“Siap pak. Tenang saya gak akan nyasar kok.”
“Hmm, bisa saja Nak Eba ini.” Kami pun menutup percakapan dengan tawa.
Setelah mendapatkan izin Pak Salim, aku segera berjalan menuju bangunan sekolah. Aku berjalan pelan menyusuri lorong panjang menuju kelasku dahulu. Lorong ini sepi, tentu saja, murid-murid sudah pulang semua dan hari hampir gelap. Namun di mataku lorong ini terlihat ramai. Ya, ramai dengan wajah-wajah yang kukenal dahulu. Tanpa sadar aku tersebut sambil terus mengenang.
Sampai sudah aku di depan kelas 3-2 IPA yang kini papannya telah berganti menjadi 12-2 Sains. Kucoba membuka pintunya. Terkunci. Sepertinya aku tak bisa masuk ke dalam. Menyesal juga kenapa tadi tak sekalian minta izin dan meminjam kuncinya dari Pak Salim. Akhirnya aku hanya mengintip bagian dalam kelas lewat jendela. Kuamati, tak banyak berubah. Hanya saja jumlah tempat duduk sedikit berkurang dan tentu saja sudah diganti menjadi lebih bagus.
Aku pun menatap bangku urutan kedua di baris paling kiri. Disanalah kenangan aku bersama gadis itu dimulai. Disana pertama kalinya kami saling mengenal dan pertama kalinya aku menjabat tangannya yang mungil. Agak terlambat memang. Kami baru akrab saat sudah kelas 3 karena sebelumnya kami di kelas berbeda. Padahal aku sudah memperhatikannya jauh sebelum itu. Aku jatuh cinta panya sejak pertama kali berpapasan dengannya di lorong ini. Hari itu, hari pertamaku pindah ke sekolah ini. Tanpa sadar wajah polos gadis itu menyeruak kembali ke dalam ingatanku.
Tak berapa lama, aku kemudian berjalan ke belakang gedung sekolah. Di sana terdapat lapangan basket dengan pohon rindang mengelilinginya. Aku berjalan menuju sebuah pohon yang ukurannya paling besar. Teringat kembali kenangan saat itu, saat hari kelulusanku, aku menarik tangan gadis itu dan membawanya ke sini.
Di sinilah aku menyampaikan segala perasaan yang selama ini ku pendam. Dengan segala perasaan campur aduk, kuberanikan diri untuk mengungkapkannya. Aku pikir tak akan ada lagi kesempatan. Jujur saja saat itu aku sangat percaya diri bahwa gadis itu akan menerimaku karena selama setahun terakhir hubungan kami sangat dekat. Bahkan banyak yang mengira bahwa kami memang sudah berpacaran.
Alangkah terkejutnya aku ternyata harapan tak sesuai kenyataan. Gadis itu menolakku tanpa berpikir. Ia hanya mengganggapku sebagai sahabat yang menyenangkan. Duniaku terasa berputar. Aku tak siap dengan kekecewaan seperti itu. Tapi gadis itu tetap tersenyum, ia seolah tak mengerti betapa hancurnya hatiku. Ia tersenyum kemudian meninggalkanku yang masih terpaku. Ia berlari menjauhiku tanpa menoleh, meninggalkanku dengan kepingan hati yang berserakan.
“Eba.” Aku seperti mendengar suara gadis itu tepat di belakangku.
“Kenapa suaranya begitu nyata? Apa aku sudah gila? Apa aku terlalu larut dalam lamunan hingga suara itu terdengar sangat nyata?” Gumamku dalam hati. Sedikit ragu, aku kemudian memutar tubuhku.
“Eba kan?” Tampak seorang wanita dengan make up tipis di wajahnya. Begitu cantik. Wajah yang sangat familiar itu seolah menyihirku sesaat
“Furi?” Hanya itu yang keluar dari mulutku yang masih tak percaya bahwa gadis itu benar-benar nyata dan bukan khayalan
“Iya, wah lama sekali tidak bertemu. Teman-teman mencari keberadaanmu tapi tak ada yang tau. Kebetulan sekali bisa bertemu lagi disini. Sedang apa?”
“Ah aku hanya mampir. Kebetulan ingin mengunjungi bisnis ayah di kota ini.” Aku berbohong “Kau sendiri sedang apa?”
“Hmm begitu, aku baru akan kembali tinggal di kota ini setelah 2 tahun tinggal di kota tetangga. Aku lihat Pak Salim di depan, jadi kuputuskan untuk menyapanya. Pak Salim memberitahuku bahwa kau juga ada disini. Jadi, kupikir taka da salahnya mampir dan menyapamu.” Ia menjelaskan dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya
“Sayang, hampir gelap. Ayo pulang.” Di kejauhan kulihat seorang pria berteriak ke arah kami
“Ah, itu suamiku, sepertinya aku harus pergi. Senang bertemu denganmu lagi, Eba.” Furi masih tersenyum. Senyum yang sama seperti saat itu kemudian ia berbalik meninggalkanku sekali lagi. Persis seperti 4 tahun yang lalu.
Inilah akhirnya, akhir yang memang tak bisa kami ubah. Aku dan Furi memang ditakdirkan hanya sebatas sahabat lama, tidak lebih. Namun kali ini Furi tak meninggalkan aku dengan hati yang hancur berkeping-keping. Aku merasa lega, seolah beban berat yang menyesakkan itu menguap ke udara berkat senyum dan kepergian Furi kali ini.
Keputusanku untuk datang kembali ke kota ini, tepat pada hari ini sepertinya adalah takdir Tuhan. Tuhan ingin mengajarkanku untuk ikhlas dan mulai menjalani kehidupan bahagiaku yang baru. Kali ini aku bisa tersenyum menatap punggung Furi yang berjalan menuju suaminya, meninggalkanku sekali lagi, kini dengan perut besarnya. Aku menatap langit senja yang hampir gelap sambil tersenyum, kali ini aku sangat yakin untuk berkata “Selamat Tinggal, Furi”.
Created by Kyna Nixie (23/10/2018)
Inspired by Song Furimukeba - Janne da Arc