Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Perfect Choice
MENU
About Us  

'Mau mampir dulu bar?' tanya Ayla ketika kami menginjak tanah, tepat didepan apartemen
   'Gak deh kayanya ka lain kali aja. Aku harus balik kerumah sakit sebelum sholat jumat' jawabnya pamit. 
    Hanya beberapa detik, mobil putih itu kembali bergerak menjauh dan berbelok. Mbak Ayla mengandeng tubuhku masuk ke apartemennya. Pantes saja, pak Ilham bisa menjemputku jika ingin ke kampus. Karena pada kenyataanya tempat ini memang melintasi komplek rumah nenek, hanya saja dia harus sedikit repot masuk kedalam agar menjemputku mulai dari depan rumah.
     'Sya. Apartemen mbak ada dilantai 3. Masih kuat kan?' tanyanya ketika menekan tombol lift.
     Aku hanya mengangguk. Sambil digandeng aku berjalan masuk. Kami sampai dilantai yang dimaksud. mbak Ayla menekan beberapa angka sebagai password pada pintu yang ditemukan kedua setelah keluar dari lift.
    'Selamat datang di apartemen kami' jawabnya sambil mendorong pintu kedalam.
   Aku memandangi seisi ruangan 'Sejak kapan mbak tinggal disini?' 
    'Sehari setelah menikah mbak langsung ikut Ilham tinggal disini. Paling bentar lagi juga bakal pindah lagi, nunggu Ilham beli rumah yang pas' jawabnya sambil mendudukkan ku diatas sofa.
    'Beli rumah?'
    'Iya...' Dia erjalan kearah dapur. Ruangan itu hanya dipisah dipisah dengan interior sebagai dinding. Dia menuang segelas air dan kembali duduk disampingku. Tangannya sibuk membuka bungkus obat 'Dia kan lama tinggal di luar negeri Sya. Mana ada punya rumah pribadi disini, lagian baru tahun ini juga kok dia balik ke Indonesia.'
    'Kenapa gak tinggal bareng sama orang tua mbak aja dulu.' 
    Mbak Ayla menyerahkan 3 butir obat yang langsung ku telan. Dia menungguku minum lalu kembali bicara 'Ilham sih maunya gitu. Katanya biar aku gak kecapean, kerja sambil ngurus rumah. Tapi akunya nolak, tinggal sama orang tua kalo udah nikah itu gak enak Sya.' katanya sambil memindahkan gelas air keatas meja. 'Nanti kamu juga gitu kok kalo udah nikah'
     'Aisya mau kuliah dulu lah mbak. Baru juga semester 5. Masih panjang . Kalo mbak kan wajar' 
     Mbak Ayla tersenyum kearah ku sebelum kembali berdiri 'Nikah gak mesti nunggu wisuda kan. Banyak kok orang nikah saat masih kuliah atau bahkan sebelum kuliah. Nikah gak akan ngalangin kamu kuliah ko Sya. Kamu tetap bisa lanjut. Apalagi kalo suaminya kaya Akbar, udah pasti dia ngertiin kamu lah' 
     Mbak Ayla sibuk mondar mandir, kedapur dan kembali kesofa. Dia membawa beberapa kue kering yang dibuatnya sendiri 'Nih cobain. Tadi kan kamu gak sempat makan dirumah nenek.' katanya sambil membuka toples kaca.
     Ada satu yang paling ku suka, kue nastar. Aku mencomot satu dan mulai memakannya. 
    'Habis ni kamu tidur biar cepet sembuh ya'
     Aku teringat sesuatu 'Semarang?'
     'Nanti kalo kamu udah baikan. Kita kesemarang kok' ujarnya sambil menepuk-nepuk tanganku. Mbak Ayla sosok kakak yang ku inginkan. Walaupun aku bukan adiknya, dia memperlakukanku layaknya seorang adik, adik kandung malahan.
     'Mbak boleh nanya gak?'
     'Boleh. Kenapa Sya' jawabnya sambil mengambil remote tv lalu menekannya. Dia mengangkat kaki keatas sofa lalu melipatnya menjadi bertelimpuh. Menyandarkan badan, dan menepatkan bantal diatas pahanya.
     Aku ragu untuk menanyakan ini. Tapi entah kenapa ini membuat penasaranku tak tertahankan 'Soal pak ilham' jawabku lirih sambil menoleh.
     Dengan santainya dia bicara, matanya menatap lurus benda kotak itu. 'Iya kenapa mas Ilham?'
     'Pak Zainal suami umi pernah bilang cuma punya anak satu, yaitu pak Ilham. Tapi kenapa pak Ilham bilang kalo dia anak pertamanya pak Zainal. Itu artinya pak Zainal punya anak selain pak Ilham juga?'
      Mbak Ayla mengalihkan pandangnya kearahku. Ekspresinya sedikit kaget 'Loh kamu sama sekali gak tau tentang keluarganya?' ujarny yang membuatku mengelengkan kepala.
     'Jadi gini. Sebenarnya pak Ilham punya adik perempuan. Katanya Ilham sih cantik, usianya 7 tahun lebih muda darinya. Saat kedua orang tuanya pisah, mereka sepakat kalo Ilham ikut ibunya dan adiknya itu ikut Abi Makanya kenapa Ilham tinggal di Inggris bukan di indonesia' Mbak Ayla juga memanggil laki-laki itu Abi.
     'Lalu adiknya sekarang?'
     'Nah itu, adiknya meninggal setahun setelahnya. Dia mengalami kecelakaan. Kata Ilham saat itu juga Abi kaya menyalahkan diri gitu, karena gak becus menjaga anak.'
     'Jadi ibunya pak Ilham masih hidup?. Mbak Ayla mengeryitkan mata bingung. 'Eh maksud Aisya masih di Inggris.'
    'hem... Sama suami barunya. Sama kaya Abi sama umi kamu. Ibunya Ilham tuh cantik loh Sya, banyak yang suka' katanya sebelum kembali menatap televisi.
   Aku mengangguk dan seolah berkata 'oh' terhadap apa yang mbak Ayla ucapkan. Sekarang aku baru mengerti kenapa dulu pak Zainal sempat overprotektif terhadap diriku sebelum aku meninggalkan rumah. Padahal saat itu umi selalu mengsampingkanku. Apa mungkin pak Zainal berbohong hanya karena tak ingin mengingat masa lalunya yang kelam. Ah sudah lah. 
   Yang pasti sebenarnya keluarga pak Ilham tidak ada sangkut pautnya dengan sikap umi. Mereka begitu baik, lebih baik dari yang aku duga. Hanya saja aku tidak ingin Abi tergantikan. Tapi aku terlalu berlebihan, keterlaluan sampai menghujat kebaikan mereka? Astagfirullah
    'Kenapa Sya' mbak Ayla memecahkan lamunan ku.
    Kepalaku menggeleng cepat 'Ngak ko mbak' 
    'Mending kamu istrahat gih dikamar. Biar cepat pulihan' 
    Dia menemaniku sampai disalah satu ruangan di tempat ini. Pintu dibuka 'Maaf ya mbak jadi gerepotin.' ucapku tidak enak sebelum masuk.
    'Udah gak papa. Kamu kan adikku juga. Nanti kalo perlu ada apa-apa panggil mbak ya.'  

***

    Aku terbangun dari tidur pulasku. Suhu badan sudah mulai normal, walau masih berasa sedikit pusing tapi ini jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku mengucek-ngucek mata sebentar lalu berjalan kearah jendela. Menyingkap gorden terang yang terurai yang menutupi jendela kaca ini. Disini aku membiarakan hiruk pikuk kota menjadi pemandanganku sekarang. Suatu hal membuatku mengusik ingatanku.
    Tanganku melepaskan gorden dan membiarkannya kembali teruai. Mengambil jilbab diatas ranjang lalu memasangnya. Kamar ini asing, jelas baru pertama kali aku disini. Sebenarnya tak enak, tapi akan lebih tak enak jika aku merepotkan nenek.
    Sudah tau kan bagaimana orang tua, mereka cenderung lebih memikirkan keadaan orang yang mereka sayang. Terkadang hal kecil bisa menjadi hal besar yang akan berdampak pada kesehatannya sendiri. Apalagi dalam keadaan ku tidak stabil seperti tadi, nenek pasti lebih tidak stabil lagi kalo aku bersamanya. Jika traumaku menyerang, biasanya aku bisa menghabiskan seharian penuh dikampus atau malah kerumah Reina.
    Aku membuka pintu kamar dan mulai mencari sosok penghuni tempat ini. Bola mataku menangkap dua orang sedang sibuk di dapur.  Mbak Ayla yang sibuk memindahkan makanan dari panci ke mangkuk, juga pak Ilham yang masih menggunakan baju Koko sibuk menyiapkan piring dan alat makan lainnya diatas meja makan. Terasa sejuk sebenarnya melihat pemandangan suami istri yang sama saling membantu.
    'Aisya udah bangun? Udah baikan? Kita makan bareng yuk' pinta mbak Ayla saat menangkap tubuhku berdiri didepan pintu.
    'Iya mbak' jawabku sambil menghampiri 'Aisya pinjam alat sholat mbak ya'
     'Iya tapi makan dulu ya. Habis itu mbak siapin' jawabnya sambil memintaku duduk, sedangkan tanganya masih sibuk dengan makanan.
     Aku menarik kursi didepan pak Ilham untuk duduk. Memerhatikan mereka seperti memperhatikan umi dan Abi dulu.
    'Kamu gak usah kuliah aja harini Sya' ujar pak Ilham.
    Aku menaikkan kedua alis bingung 'Terus nilai Aisya gimana?' Harini memang mata kelas Pak Ilham, dia berencana akan mengadakan praktek hari ini.
  . 'Udah tenang aja, nanti kamu bisa kerjain, kalo udah sembuh total' jawabnya sambil memindahkan beberapa sendok nasi keatas piring.
    Mbak Ayla membalik piring di depanku. Dia hendak mengautkan nasi untuk ku 'Gak usah mbak. Aisya bisa sendiri ko'
    'Oh ya tadi aku udah bilang sama umi, bahwa kamu gak bisa ikut besok Sya'
     'Aisya udah baikan ko pak. Aisya mau ikut umi'
     'Tapi Ai....'
     'Bisa kok pak. Aisya udah gak demam. Lagian kalo harini kuliah pun Aisya bisa ko' potongku cepat. Aku mengubah ekspresi seolah benar-benar sehat dan bersemangat.
     Pak Ilham menatapku dengan penuh keraguan, aku hanya  mengangguk sambil tersenyum. Sakit seperti ini hanya biasa aku rasakan, jika memang  tubuh sudah berada diluar batas lelah semua akan berakhir seperti ini. 'Aisya...aisya....keras kepala banget ternyata' ujarnya
     'Sudah kita makan dulu. Ayo mas. Nanti kamu telat lagi ke kampus' Mbak Ayla merelai pembicaraan dan mulai menyuap makanannya.
    Akhirnya kami makan dalam keheningan. Aku menikmati masakan mbak Ayla yang ternyata enak. Pak Ilham pernah bilang kalo istrinya tidak bisa masak, tapi kenyataanya sangat berbeda.
    Selesai makan, pak Ilham langsung pergi kekamar untuk menganti pakaian. Mbak Ayla memintaku duduk sebentar disofa sambil menunggunya selesai mencuci.
    Daripada bosan aku mengambil sebuah album foto diatas sofa. Lembar demi lembar kertas itu aku buka. Semua terlihat bahagia disana. Umi? Aku jadi teringat wajah pucat umi kemarin.
    'Sya mukena sama sajadahnya sudah mbak siapin, udah mbak arahin ke kiblat juga' mbak Ayla duduk disampingku. Matanya sedikit menyelidik ketika tanganku menyentuh bagian kertas itu.
    'Kamu kapan nyusul?' katanya
    Jelas aku terdiam. Kenapa mbak Ayla bertanya seperti itu?
    'Aisya ke kamar dulu ya. Makasih mbak udah nyiapin. Sekali lagi maaf ya ngeripotin'
    Setiap kali aku membutuhkan sesuatu kata maaf selalu mengikuti ucapan terimakasihku. Tak ketinggalan walaupun hanya sekali. Sampai-sampai Wanita itu berkata bosan mendengarnya.
    Pak Ilham keluar menggunakan kemeja abu-abu dan celana katun hitam. Tangan kirinya menjinjing sebuah tas, sedangkan tangan sebelahnya memegang handphone  yang tertempel ditelinga. Dia berjalan sambil berteleponan.
     'Iya umi. Aisya gak bisa ikut deh kayanya. Dia demam mi?'
      Tadinya pintu kamar ini sudah terbuka, namun setelah mendengar kata umi aku jadi yakin dia sedang membahas keberangkatan kami
    Aku berbelok arah menghampiri, bicaraku pedanya hanya melalui gerakan tubuh. Benda itu ku pinjam sebentar.
    'Umi. Aisya ikut umi ya kesemarang. Aisya udah sehat kok' ucapku seketika saat benda itu tertempel ditelinga.
     Mataku mendelik kearah pak Ilham 'Bisa kok mi. Pak Ilham aja yang berlebihan'  
    Aku mendengarkan setiap ucapan yang umi lontarkan. Umi menasehati ku dan tidak mengizinkan ikut. 'Hm...Walaikumussalam' panggilan terputus begitu saja.
    Laki-laki itu menatapku seolah menantang 'Gak dibolehin' jawabku pasrah
     'Sudah ku duga. Makanya nurut dong' Dia menyeringai menang.
    Sambil memasukkan handphonenya kembali kedalam saku dia berpamitan. Mengulurkan tangan kepada sang istri, lalu mengecup pucuk kepalanya sebentar
     'Hati-hati mas' ujar mbak Ayla.
     Aku tak ikut bersalaman, walau dia kakak ku tapi kami bukanlah mahrom. Dia membuka pintu lalu mengucapkan salam.

***

   Aku kembali kerumah nenek esok harinya setelah diantar mbak Ayla. Suami istri itu benar-benar seperti dua orang tuaku sekarang. Kebaikan mereka membuatku banyak berpikir, untuk apa aku melibatkan mereka dalam kesedihan masa laluku?
    Hari minggunya aku membujuk nenek untuk mengizinkanku ke panti asuhan. Alhasil karena sifat keras kepalaku akhirnya dia menyerah. Disinilah aku sekarang, bersama para hamba Allah yang teramat ku sayangi.

Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar. (Q.S. At-Taubah : 72)

    Suaraku sedikit berbeda karena memang masih dalam proses penyembuhan. Setelah melafalkan salah satu ayat Alquran beserta artinya aku beralih bertanya pada mereka. 'Siapa yang mau masuk surga?'
     Semua anak mengacungkan tangan keatas.
     'Sekarang kakak tanya. Menurut kalian siapa sih orang mukmin itu'
     'Mereka yang beriman kepada Allah, dan rasulnya' jawab Adam
    'Apa?' kataku seolah tidak mendengar menguji mereka
    Semua anak kompak 'Mereka yang beriman kepada Allah, dan rasulnya'
    'Yee tepuk tangan. Sekarang kak Aisya punya hadiah' aku mengambil sesuatu dari dalam tas. 'Siapa yang bisa jawab Kakak kasih alat gambar. Satu cewek satu cowok. Siapa yang mau?' benda itu aku angkat tinggi-tinggi
     Semua anak antusias, bersemangat untuk menjawab
     'Siapa yang bisa nyebutin rukun iman. Angkat tangan?!'
     Suasana ricuh karena semangat mereka, mereka mengangkat tangan nyaris bersamaan. 'Karena hari ini tanggal 26 jadi yang harus jawab... Lila' aku menunjuk seorang anak.
     'Jawbannya rukun iman ada enam. Iman artinya percaya dan menyakini Sepenuh hati. Yang pertama percaya kepada Allah, kedua pada malaikatnya, ketiga pada rasulnya, keempat pada kitabnya, kelima pada hari kiamat dan terkahir pada qada dan qadar Allah SWT.'
     'Jawabannya benar. Beri tepuk tangan buat Lila. Yeee' aku menyerahkan janjiku, memberinya alat gambar karena aku tau dia sedang berulang tahun hari ini.
    'Happy milad sayang, semoga dirahmati Allah selalu' dia mencium punggung tanganku sebelum aku yang juga mencium tangannya.
    'Sisa satu lagi...siapa yang bisa bacain surah Ar-rahman dengan lancar'
     Semua terdiam. Pertanyaanku memang terlalu berat untuk seusia mereka. Tapi apa salahnya dicobaz surah itu adalah kesukaanku.
   'Boleh gak cuma sampai 5 ayat aja ka?' tawar adam polos.
    Aku memutar bola mata sambil berdehem panjang 'Oke deh gak papa' jawabku cepat 'Tapi...nanti terus tambah hafalannya ya'
    Anak itu melantunkan surah Ar-rahman dengan nyaring khas suara anak kecil. Hanya 5 ayat sesuai penawaran, tapi ayat berikutnya dilanjutkan oleh dua orang laki-laki yang datang. Mereka melantunkan ayat demi ayat saling bergntian. Semua orang dibuat berbalik mencari asal suara termasuk aku sendiri.
    Rizal dan Akbar. Aku sampai tercengang, mereka sama-sama memiliki suara yang merdu. Tapi tunggu sebentar suara itu... karena aku tak berani menatap mereka dalam jangka lama akhirnya aku tidak bisa membedakan kedua suara mereka. Entah Akbar atau Rizal yang memiliki suara persis ku temui sebelumnya.
     Mereka menutup bacaan bersamaan selepas ayat ke  13 di lafalkan. 'Hadiah buat aku mana ka?' Rizal menghampiriku memelas seperti anak kecil.
    Semua anak tertawa, tepatnya kami semua.
    'Anak-anak sudah waktunya sholat duha. Ayo ambil air wudu' suara Bu sita meredam suasana.
   Anak-anak berhamburan, menuju keran tempat mengambil air. Mereka mengambil air wudu dengan semangat. Ada yang sampai berebut hanya karena ingin cepat-cepat selesai untuk bisa berdiri disaf terdepan.
    Kedua laki-laki berdiri dan menyalami ibu sita bergantian.
    'Gimana kabar ibu? Sehat?'
    'Alhamdulillah kalian gimana sehat?'
   'Ahamdulillah'
   'Sya kamu gak buru-buru kan?'  tanya wanita itu melihatku.
   'Gak kok bu' jawabku ikut bergabung.
    Aku masih dalam keadaan berwudhu, jadi bisa langsung masuk ke  mushola bersama ibu Sita. 
    Aku tidak tau siapa yang jadi imam karena terdinding tirai. Tapi rasanya suara itu begitu persis dengan pemilik suara indah di masjid kampus. Subhanallah, andai aku bisa mendengarnya satu surah Ar-rahman seutuhnya darinya.

***

    Akbar melirik kalender dimeja kerjanya. 31 Oktober. Dia mendesah pelan lalu mengambil sebuah kotak di laci meja tersebut. Membukanya lalu memperhatikan lekat-lekat apa yang tersemat didalamnya. Dua hari lagi bundanya pasti akan menanyakan mengani sebuah keputusan itu.
    Sejak pertama mereka bertemu Allah sudah membuat hati Akbar  bergetar. Awalnya Akbar hanya menganggapnya sebuah rasa kagum, namun semakin mengenalnya lebih jauh rasa itu semakin kuat. Bagaimana mungkin Akbar menolak wanita seperti Aisya. Wanita itu seorang penghafal Qur'an, pencinta sholawat dengan alunan suara yang merdu, dan berwajah cantik dengan hijab yang terulur panjang.
    Pintu ruangannya diketuk seseorang. 'Assalamualaikum' 
    'Walikumussalam. Masuk' katanya
    Dia adalah asisten Akbar. 'Maaf dok, ada seseorang yang ingin bertemu.'
    Akbar beralih memeriksa berkas diatas meja 'Sudah buat janji? Konsultasi?'
    'Belum dok. Tapi katanya beliau keluarga dokter'
    Akbar mengernyit. Bunda? Ayah? Bukankah mereka masih diluar negeri.
   Seseorang itu mengeser badan memperlihatkan siapa yang datang bersamanya. 'Umi? Masuk umi.' laki-laki itu segera bangkit dari duduk lalu menyambut wanita itu.
    'Kalau begitu saya permisi dok' kata seseorang itu yang dijawabnya dengan ucapan terimakasih. 
    'Umi kok gak bilang kesini' Akbar menyalami wanita itu. Semenjak pertemuan perjodohan itu, mereka sudah saling akrab, dia juga memanggil ibu Aisya dengan sebutan umi atas permintaan wanita itu sendiri.
     'Umi gak ada rencana sebenarnya. Hanya ingin menjenguk Aisya sebelum balik ke Bandung lagi'
     'Duduk umi.' pintanya mempersilahkan 
     Akbar mengambil sesuatu dari lemari es 'Umi sama siapa? Kak Ilham? Abi?' 
     'Gak... umi sendiri kok. Ada hal yang mau umi tanyakan' 
     Melihat guratan wajahnya yang serius, Akbar segera mendekat duduk disampingnya. 'Ada apa umi?'
      Wanita itu menarik nafasnya sebelum memulai bicara 'Mengenai hubungan kalian. Umi mau kalian segera melangsungkan pernikahan. Umi rasa kamu bisa mengenal Aisya lebih jauh setelah kalian menikah' ujarnya.
    'Tapi umi, bagaimana dengan Aisya?' Akbar tau bahwa wanita itu tidak akan bisa menerimanya dengan mudah.
    'Umi yakin Aisya akan menerima perjodohan ini. Masalah Aisya biar umi nanti yang membujuknya. Tolong umi Bar' wanita itu menggenggam tangan Akbar dengan kedua telapak tangannya. 'Umi sudah lalai menjadi ibu yang baik buat Aisya. Umi gak ingin dia sendiri, dia butuh pendamping. Umi percaya sama kamu bar, kamu pasti akan jadi pilihan terbaik baik umi.'
    Akbar terdiam sejenak, dia memang menyukai Aisya tapi untuk menikahinya dalam waktu dekat, itu masih menjadi pertimbangan. 
    Wanita itu menggenggam lebih erat tangan Akbar, tersirat permohonan mendalam di manik matanya. 'Umi mohon Bar' 
    Mana mungkin Akbar menolak permohonan tulus seorang ibu. 'Baik umi, Akbar mau menikah dalam waktu dekat. Sepulang ayah bunda dari Malaysia, insya Allah Akbar akan segera kerumah untuk mengkhitbah Aisya'

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
I am Home
548      382     5     
Short Story
Akankah cinta sejati menemukan jalan pulangnya?
Aku dan Saya
391      233     1     
Inspirational
Aku dan Saya dalam mencari jati diri,dalam kelabilan Aku yang mengidolakan Saya yang sudah dewasa.
Ayugesa: Kekuatan Perempuan Bukan Hanya Kecantikannya
7711      2348     204     
Romance
Nama adalah doa Terkadang ia meminta pembelajaran seumur hidup untuk mengabulkannya Seperti yang dialami Ayugesa Ada dua fase besar dalam kehidupannya menjadi Ayu dan menjadi Gesa Saat ia ingin dipanggil dengan nama Gesa untuk menonjolkan ketangguhannya justru hariharinya lebih banyak dipengaruhi oleh keayuannya Ketika mulai menapaki jalan sebagai Ayu Ayugesa justru terus ditempa untuk membu...
Yu & Way
130      107     5     
Science Fiction
Pemuda itu bernama Alvin. Pendiam, terpinggirkan, dan terbebani oleh kemiskinan yang membentuk masa mudanya. Ia tak pernah menyangka bahwa selembar brosur misterius di malam hari akan menuntunnya pada sebuah tempat yang tak terpetakan—tempat sunyi yang menawarkan kerahasiaan, pengakuan, dan mungkin jawaban. Di antara warna-warna glitch dan suara-suara tanpa wajah, Alvin harus memilih: tet...
Flashdisk
480      317     2     
Short Story
Ada yang aneh dengan flashdiskku. Semuanya terjadi begitu saja. Aneh. Lalat itu tiba-tiba muncul dan bergerak liar pada layar laptopku, semuanya terasa cepat. Hingga kuku pada semua jariku lepas dengan sendirinya, seperti terpotong namun dengan bentuk yang tak beraturan. Ah, wajahku! Astaga apalagi ini?
Nawala
466      268     3     
Short Story
Namanya Nawala, ia ditemukan meninggal di tepi sungai dekat gedung utama kampus. Semua orang tidak akan menyangka bahwa hidupnya berakhir begitu tragis, termasuk Walgita. Walgita sangat terpukul akan kematian sahabatnya itu, terlebih lagi orang-orang menyangka bahwa Nawala bunuh diri. Pasalnya, dia tahu betul bahwa sahabatnya ini bukan orang yang memikirkan untuk mengakhiri hidup dengan mudah. Se...
My Daily Activities
916      469     1     
Short Story
Aku yakin bahwa setiap orang bisa mendapatkan apa yang ia inginkan asal ia berdo\'a dan berusaha.
Bukan Kamu
15002      2339     7     
Romance
Bagaimana mungkin, wajahmu begitu persis dengan gadis yang selalu ada di dalam hatiku? Dan seandainya yang berada di sisiku saat ini adalah kamu, akan ku pastikan duniaku hanyalah untukmu namun pada kenyataanya itu bukan kamu.
Ruang Suara
176      126     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ‘bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
Lazy Boy
6865      1641     0     
Romance
Kinan merutuki nasibnya akibat dieliminasi oleh sekolah dari perwakilan olimpiade sains. Ini semua akibat kesalahan yang dilakukannya di tahun lalu. Ah, Kinan jadi gagal mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri! Padahal kalau dia berhasil membawa pulang medali emas, dia bisa meraih impiannya kuliah gratis di luar negeri melalui program Russelia GTC (Goes to Campus). Namun di saat keputusasaa...