Akbar? Pembicaraan tentangnya membuat ku penat. Tak banyak waktuku untuk memikirkan lebih lanjut tentang perjodohan itu. Aku sudah disibukkan dengan pentas seni sekarang. Hari pertama berjalan dengan lancar, hari kedua juga begitu. Sekarang tinggal hari terakhir.
Setelah kembali dari kamar kecil aku segera mengambil chest board. Kembali ke tugasku . Satu dua tiga... Dia.... Mataku membulat saat menemukan nama itu dalam daftar. Dia akan menampilkan bakatnya harini?
'Sya kok bingung gitu. Ada apa? Ada yang gak bisa hadir lagi?' Rara datang dari arah depan
Aku menunjuk sebuah nama dalam daftar kehadapannya. 'Siapa yang nulis ini?'
'Oh itu, dia gantiin Yuda. Anak kedokteran itu. Aku yang nulis barusan. Kenapa?'
'Loh bukannya dia do--'
'Hey Kalian ngapain malah ngobrol. Acara udah mau mulai tuh.' Deden memberi kami peringatan Dia tampak sibuk membenarkan beberapa kabel. Acara memang akan segera dimulai.
'Kayanya hari ini kita akan mendapatkan dana yang lebih banyak lagi deh. Tuh liat belum mulai aja penonton sudah pada datang'
'Sya semua bereskan?' Arief menatapku meminta kepastian saat aku melewatinya.
Aku mengacungkan jempol 'Tenang aja kapten' kemudian aku kebelakang panggung.
Ada lima penampilan yang harus aku urus. Para relawan sengaja dikumpulkan bersama untuk diberi arahan lebih dulu.
Cuma ada empat orang disini, sementara penampilan akan dimulai 5 menit lagi. Tanpa basa-basi aku mulai bicara, memberikan arahan dan mengatur siapa yang lebih dulu akan tampil.
Terdengar para penonton bersorak, tepuk tanganpu mulai terdengar. Penampilan relawan ketiga telah selesai. Saatnya penampilan berikutnya. Group band akan kembali memeriahkan panggung.
'Dia yang kamu tulis tadi, memang temui kamu langsung atau gimana?' tanya ku pada Rara
Rara juga sedikit bingung sama sepertiku 'Iya tadi dia sendiri yang kesini. Katanya dia tinggal sebentar. Eh taunya lama banget.' jawabnya juga tak tau.
'Kok gitu. Kan dia tau acaranya akan dimulai tadi. Panggung kan gak dipakai organisasi kita aja. Lagian ini acara besar ulang tahun universitas. Apa kita batalin aja' ucapku
'Tapi kita gak bisa ngapus dari daftar gitu aja kan Sya.'
'Ya sudah panggil ketua gih.' jawabku lagi yang dijawab Rara dengan anggukan.
Satu hal perlu ku catat, ternyata dia bukan tipe laki-laki yang ber----
'Maaf saya terlambat. Saya masih bisa ngisi pentas kan?' seseorang yang dicari akhirnya muncul dihadapanku dengan sedikit terburu-buru.
'Saya tadi ada...'
'Lebih baik anda istirahat. Dan persiapkan diri untuk tampil' sahutku
Dia mengangguk dan duduk untuk menormalkan diri. Rara datang bersama Deden 'Na ini dia orangnya. Gak jadi den kamu balik aja sana' ujar Rara dengan nada mengusir.
Deden mulai menatap dengan tatapan mendelik sinis, aku terkekeh ketika Rara memberi kode kearahku. 'Iya aku minta maaf deh den. Vis' tanganku membentuk huruf v kearahnya.
'Uh sabar' dia mengusap dadanya. 'Ya sudah aku balik ke depan ya. Ini penampilan terakhir kan?'
'Iya pak ketua'
'Oke aku kedepan' Deden berlalu meninggalkan kami.
Sejak Deden berlalu Rara sibuk mencari sesuatu kesana kemari. Aku tak mengubris dan lebih memilih duduk mengotak-atik handphone. Sejak tadi benda ini terus saja bergetar di sakuku.
Ada banyak panggilan tak terjawab tanpa nama. Tanpa berpikir siapa dia aku lebih memilih membuka aplikasi WhatsApp. Sekilas nama pak Ilham juga sudah banyak mengirimi ku pesan saat ini.
Pak Ilham : Sya, umi tadi ngubungin aku. Sabtu ini dia mau ke Semarang, ada tugas beberapa hari disana. Kamu mau ikut gak sekalian sekalian kemakan kakek katanya
Aisya. : Masa. Kok umi gak ngubungin Aisya langsung?
Pak Ilham : Dia udah coba ngubungin kamu. Cuma gak kamu jawab.
Setelah membaca pesan itu aku segera menengok nomor itu sekali lagi. Mencoba mengingat dan Ah ya, aku lupa menyimpan nomor umi waktu itu. Waktu dia mencoba membujukku menerima ta'aruf. Astagfirullah.
Aisya : Sekarang umi dimana?
Pak Ilham : Umi masih dibandung lah, masa disini. Katanya kalo kamu ikut bareng sama mbak Ayla aja berangkatnya.'
Aisya. : Kok mbak Ayla juga ikut? Aisya kan bisa sendiri.
Pak Ilham. : Ya karena kamu masih anak kecil :P jadi aku harus relain istriku deh buat dampingi kamu :D
'Pak Ilham keterlaluan eh. Aku bisa sendiri ko' gerutuku
'Kenapa Sya?' Akbar membahas
Aku menggelengkan kepala 'Ngak'. Selama dua Minggu berjalan aku masih tidak tertarik untuk mengenal Akbar lebih lanjut. Walaupun rasanya dia sudah mulai mencoba menjalin interaksi denganku. Tapi masih dalam batas normal, hanya sekadar sapa jika bertemu selebihnya tidak ada chat atau sejenis yang berlangsung.
'Nih pak minum dulu biar tenangan' Rara menyerahkan sebotol air mineral kepadanya.
'Jadi kamu dari tadi kesana kemari cuma nyari air minum Ra. Padahal ditasku ada tuh' aku menunjuk sesuatu diatas meja
'Yeee telat.....' jawabnya
Entah kenapa aku merasa Akbar tersenyum. 'mana sini Sya aku minum air dari kamu aja. Ini biar buat Rara aja. Kamu capek kan Ra. Pastilah kan panitia lebih capek' katanya sambil mengembalikan botol itu kepada Rara.
Jelas Rara memberi respon penolakan 'Gak itu kan buat bapak. Udah minum aja. Biar saya punya Aisya aja nanti'
'Kamu kan sudah capek nyariin saya minum. Jadi kamu yang harus minum duluan. Nih ambil' jawabnya lagi, kali ini dengan senyuman. Rara tidak mengambil botol itu namun dia terlihat salah tingkah, tersenyum malu-malu kucing.
Ada apa dengan mereka, ada-ada saja. Aku beranjak membuka tas dan mengambil sesuatu disana. Kembali ke kursi dan mengangkat benda itu kearah mereka 'Jadi yang mau minum punya Aisya siapa nih?'
'Sini' Akbar segera mengambil alih benda itu segera dari tanganku. dan meletakkan botol mineral Rara keatas tangannya yang terbuka. 'Ayo minum' pintanya
Suara riuh penonton membuatku kembali mengingat tugas. Sekarang aku berdiri dibelakang tirai panggung, menyingkap sedikit tirai agar bisa melihat keadaan diluar
'Anda mau nyanyi sambil main gitar kan? Semua alat sudah kami siapkan didepan. Sekarang giliran anda.' kataku kepada laki-laki itu.
Dia mengangguk dan segera keluar. Hitungan detik kemudian suara penonton semakin menggelegar, lebih meriah dari sebelumnya. Mereka meneriaki Akbar penuh antusias.
'Na ini puncaknya Sya' usik Rara yang entah sejak kapan sudah berada disampingku.
'Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatu' sontak suara menjadi terkontrol saat berbicara melalui pengeras suara 'Kali ini saya akan membawakan sebuah sholawat untuk kita nikmati bersama. Saya harap berkat ini Allah menurunkan hidayah untuk kita semua untuk berbagi.' ujarnya kepada semua orang.
Tepuk tangan menggema sebelum kembali hening. Dia memulai aksinya. Semua orang terlihat menikmati penampilannya termasuk Rara, dia sampai memuji suaranya indah berkali-kali.
'Untung banget ya Sya yang jadi pasangannya Akbar. Punya suami Masya Allah. Jadi pengen deh' ucap Rara sambil memegang lenganku
'Eh jangan terlalu berlebihan gitu ah' jawabku sembil meyingkirkan tangannya menjauh dari tubuhku. Namun dia kembali dalam posisinya, sekarang malah mengelus-elus tubuhku sambil tersenyum. Dia berhasil membuatku bergidik ngeri sekarang.
***
Tiga hari pentas seni membuatku kelelahan. Belum lagi karya ilmiah yang terus melakukan update perkembangan hampir setiap hari. Alhasil aku kesusahaan mencari waktu senggang untuk hanya sekadar istirahat. Hari ini saja aku masih ada kelas ba'da Jum'at, kelas pak Ilham kakak tiriku.
Selesai sholat subuh aku tak keluar kamar untuk sarapan. Masih menggunakan mukena aku merebahkan diri diatas ranjang, menarik selimut menutupi seluruh tubuh. Entah kenapa aku merasa suhu tubuhku sedikit berbeda, tangan dan kaki terasa dingin.
'Sya kamu gak sarapan?' teriak nenek dari dari luar
'Nanti aja nek' jawabku lemas
Merasa ada yang aneh, nenek akhirnya masuk ke kamar. Membuka pintu kamar dan menemukan tubuhku yang meringkuk ditutupi selimut. Nenek menyentuh kepalaku sejenak. 'Astagfirullah. Kamu demam Sya.' ujarnya sebelum bergegas keluar.
Nenek kembali membawa baskom beserta handuk ditangannya. Dia mengompres kepalaku dengan air. Aku masih dalam keadaan berbaring, tak ingin bergerak banyak dan tak nafsu makan.
'Sarapan dulu ya. Biar bisa minum obat'
'Nanti aja nek'
'Sya kalo kamu gak makan, tubuh kamu semakin gak berdaya. Sedikit aja yah. Habis tuh minum obat baru tidur gak papa deh'
Setelah beberapa kali dibujuk akhirnya aku mengangguk. Nenek membantu mengangkat tubuh lemasku untuk duduk bersandar. Sekarang aku seperti anak kecil yang mau makan.
Aku mengambil alih piring yang ada ditangannya. 'Nek Aisya makan sendiri aja ya' pintaku
Makanan ini sebenarnya enak, tapi yang namanya sakit tetap saja tidak enak. Suapan yang ku masukkan kedalam mulut bisa dihitung dengan jari. Aku tak menghabiskannya dan hanya meletakkan keatas nakas. Ku lihat nenek keluar kamar, terpaksa aku harus beranjak meraih obat dan segelas air yang jaraknya cukup jauh dari jangkauan.
'Bismillah' aku berusaha berdiri dengan susah payah. Memegang erat tiang ranjang agar tak terjatuh. Benar-benar lemas, dan tak punya banyak daya. Satu butir obat berhasil ku raih.
'Astagfirullah' obat itu tak sengaja terjatuh karena ulahku. Memantul dan masuk kebawah lemari. Aku kembali keatas ranjang tanpa meminum obat. Kembali menarik selimut dan segera memejamkan mata dengan damai.
Rasanya aku sudah mau tertidur, tapi telingaku kembali menangkap suara. Aku merasa kepalaku kembali disentuh seseorang. Tanganku digenggam erat sebentar lalu dilepaskan.
'Nek. Aku gak habis makannya. Tadi obatnya jatuh jadi gak sempat aku minum'
'Kita kedokter ya Sya? Kamu harus diperiksa' Suara berbeda yang menjawab. Aku yakin suara itu bukan milik nenek.
'Gak usah. Aisya cuma butuh istirahat ko'
'Udah kita ke dokter aja.'
Aku menangkap sosok pak Ilham dikamarku setelah mendengar kalimat itu. Dia disini bersama istrinya mbak Ayla. Mengarahkan pandangan sejak tadi terhadap kondisiku.
'Tadinya kami kesini cuma buat mastiin jadi gaknya kesemarang, sekalian bawa kue buat kalian. Eh malah sakit, jadi aku gak perlu mesan tiket kalo gini' ujar pak Ilham.
'Kita kedokter ya Sya. mbak temenin.' bujuk mbak Ayla yang sejak tadi duduk disampingku
Aku menggelengkan kepala penuh penolakan'Gak usah deh. Aisya gak papa. Cuma demam biasa kok' jawabku sambil mencengkram selimut lebih tinggi sampai menutupi mulut. 'Aisya cuma kecapean kok'
Mbak Ayla menatapku penuh permohonan 'Ayolah bentar aja. Kalo kita ke dokter kan bisa dikasih obat atau suntikan. Biar proses penyembuhannya juga cepat'
'Ngak ngak!'
'Aisya kalo sakit memang gak pernah mau dibawa kedokter. Flu beberapa hari aja dia gak mau. Apalagi cuma demam kaya gini' nenek masuk sambil ikut duduk di atas ranjang.
'Loh kenapa Sya?'
'Alah kamu takut disuntik kan?' gak sakit ko Sya. Udah gede gini masa takut gituan. Alah cemen' pak Ilham meledekku dengan muka yang sangat menyebalkan.
'Serem tau pak' jawabku sinis
'Ngak kok Sya. Ya udah gini deh. Kedokter tapi gak usah disuntik. Kita periksa terus minta resep obatnya aja gimana?' bujuk mbak Ayla menenangkan.
Aku menggelengkan kepala untuk kesekian kalinya 'Gak usah repot-repot mbak, Aisya gak papa'
'Gak papa gimana? Demam kamu tinggi banget Sya' dia mengambil tanganku untuk di tangkup 'nih dingin gini'
Aku terkesan, kedua pasangan ini sibuk mencari cara agar aku bisa bertemu dengan manusia berjas putih itu. Berbagai macam cara sudah mereka lakukan namun aku tetap dalam pendirian ku. Tidak menerimanya. Nenek saja sudah menyerah keluar kamar dan meninggalkan kami bertiga.
'Ya sudah aku panggilin Akbar kesini aja dah. Capek aku bujuk kamu Sya!' pak Ilham mulai mengotak-atik handphonenya dan menempelkannya ke telinga.
'Buat apa panggil Akbar?' Jawabku cepat
'Buat meriksa kamu lah.' jawabnya sambil memutar badan membelakangiku.
Satu dua tiga dan ya aku menyerah. 'Eh iya iya aku mau dibawa ke dokter. Tapi cuma minta obat minum, gak ada suntikan' jawabku mengatur.
'Iya gak disuntik' mbak Ayla menjawab sambil menyeringai geli.
'Assalamualaikum Bar. Kamu bisa kerumah nenek gak?'
'Pak Ilham ngapain. Ehh aku udah mau ke dokter. Jangan Akbar dong' teriaku. Aku bahkan memaksa diri untuk bisa bangun dan duduk walaupun masih disangka ranjang.
Dia berbalik dan terbahak lepas. 'Ciye takut banget aku hubungin akbar' dia menyodorkan handphone yang tidak menyala. Mbak Ayla ikut tertawa, dan aku hanya memasang muka datar. Menatap kedua pasangan itu bergantian.
'Udah Jangan gitu dong mukanya. Jelek amat'
'Emang jelek' jawabku sekenanya.
'Udah udah mas.' mbak Ayla mendorong suaminya keluar kamar sambil menahan tawa. Pak Ilham menurut sambil memegangi perut tertawa jenaka.
***
Ilham dan Ayla membawa Aisya kerumah sakit pusat. Bukan karena dia menderita penyakit yang sangat parah, melainkan karena rumah sakit itulah yang paling dekat dari rumah nenek. Ditengah perjalanan Ilham mendapat telepon penting dari seseorang yang mengharuskan dia kekampus lebih awal. Lantas dia hanya bisa mengantarkan sang istri dan adiknya sampai depan rumah sakit.
Langkah Aisya sempat tertahan, beruntung ayla bisa menenangkan. Setiap kali Aisya ketempat ini, hatinya selalu di selimuti dengan perasaan was-was. Trauma masa lalu, membuatnya memiliki fobio pada darah. Setiap kali bertemu dengan cairan itu bayangan kecelakaan itu selalu menghantui. Itulah kenapa dia selalu menolak jika harus dibawa kerumah sakit.
Selesai registrasi pasien, Aisya harus menunggu sekitar 45 menit sebelum dipanggil suster lagi. Proses pemeriksaannya pun tidak berlangsung lama. Manusia berjas putih itu hanya memeriksanya sebentar lalu menuliskan resep obat yang harus dia tebus di apotek rumah sakit. Sama seperti perkataan Ayla, tidak akan ada jarum suntik yang menyentuh tubuhnya.
'Sya kamu disini aja ya. Kalo gak salah apoteknya jauh diujung sana deh' pinta Ayla kepada adiknya itu. Mengingat tubuh Aisya yang sedang sakit, membuat Ayla sedikit khawatir jika Aisya harus berjalan jauh.
Aisya menunggu disalah satu kursi koridor rumah sakit sendirian. Tempat ini memang tidak sunyi, banyak orang yang berlalu lalang. Dia memeluk diri sendiri sambil sesekali tersenyum pada orang yang lewat. Sudah sekitar 20 menit Ayla berlalu, Aisya yang tadinya cukup tenang berubah menjadi sedikit khawatir. Ingin dia menyusul, namun dia sudah berjanji menunggu ditempat ini.
'Semoga Mbak Ayla bentar lagi sampai' gumamnya beberapa kali. Akhirnya getar handphone membuatnya sedikit bernafas lega. Ayla mengirimkan pesan singkat bahwa sebentar lagi akan kesana
Byur...
Hati yang sedari tadi dia usaha tenangkan, berubah drastis menjadi kacau. Didepan matanya sekarang, dia menangkap seorang yang terbaring lemah diatas ranjang dorong berlumuran darah. Terburu-buru dibawa oleh perawat dan disusuli seorang dokter dibelakangnya. Kejadian itu memang hanya sekilas, namun cukup membuatnya getir. Ingatan itu muncul dengan sengaja diotaknya, seperti film yang diputar kembali.
Tangannya dingin sekali, sedingin es sekarang. Selain karena demam, kejadian itu juga membuat fobianya kembali menyerang. Tidak ada yang dia lakukan, dan tidak ada siapa-siapa di kursi itu. Detik yang berlalu terasa sangat berat, Aisya harus merasakan nafas yang tidak terkontrol seperti orang asma. Keringat dingin seperti orang jantungan. Dan tubuh membeku seperti orang stroke.
'Aisya!' seseorang mengenalinya dan menghentikan langkah tepat didepannya. Dia menggunakan jas putih dengan stetoskop menggantung dileher. Mencelupkan kedua tangan pada saku depan menambah gaya penampilannya.
'Aisya, kamu sakit apa? Kesini sama siapa?' seseorang itu melambai-lambaikan tangan di depan wajahnya. Aisya mematung memeluk diri sendiri. Mulutnya tertutup rapat dengan pandangan kosong kedepan.
'Sya?' laki-laki itu terus mencoba mengajaknya bicara. Laki-laki itu semakin tak karuan, melihat seseorang yang sejak beberapa waktu lalu menarik hatinya seperti ini . Dia mengacak-ngacak rambutnya sebentar, dan memutuskan berjongkok dihadapannya. Beberapa orang yang lewat melihat mereka tampak kebingungan. Mereka berpikir pasti dialah yang menyebabkan Aisya seperti ini.
'Sya jangan bikin saya khawatir deh. Ada apa?'
'Semua salahku Abi. Coba saja waktu itu aku bisa bersabar sebentar, hanya untuk menunggu satu hari untuk besok. Abi sudah terlalu lelah untuk bisa menemaniku membeli barang yang harusnya bisa ku beli nanti. Maafkan aku abi, harusnya abi istirahat untuk tidur sejenak saat itu bukan untuk selamanya.' hatinya berkecamuk, bergumam tentang kesedihan masa lalu
'Abi pak...Abi' hanya itu yang bisa terdengar dari bibir tipisnya.
'Iya kenapa Abi kamu. Ada apa?' jawabnya panik. Dia memang seorang dokter, baginya mudah menenangkan pasiennya tapi kali ini dia merasa tak bisa berbuat apa-apa untuk wanita itu. Aisya menangis tanpa suara, air mata menghujani pipi lembutnya.
Tak lama kemudian Ayla datang dengan sedikit tergesa-gesa. 'Astagfirullah Sya, kamu kenapa?' tanyanya sambil memeluk tubuh hangat Aisya.
Tangannya masih gemetar memeluk Ayla. Ayla terus berusaha menenangkan dengan mengusap lembut tubuh adiknya itu. Aisya tak bicara apapun, dan Ayla juga tak memberinya lagi pertanyaan. Dia tau adiknya sekarang sedang tidak stabil.
Dokter laki-laki itu terus memperhatikan Aisya. Dia tidak peduli dengan posisinya sekarang. 'Dokter bisa ceritain sekarang, kenapa Aisya bisa seperti ini?' tanya Ayla padanya.
'Saya juga tidak tau mbak. Tadi pas saya lewat, Aisya sudah tak karuan. Saya coba untuk bicara dengannya berkali-kali, tapi tidak dijawab. Dia malah menyebutkan Abi, saat saya tanya lebih lanjut dia malah menangis.' jelas laki-laki itu penuh kekhawatiran menatap Ayla.
Ayla mengangguk paham. Umi sudah menceritakan semuanya kepadanya. Ayla tau banyak tentang Aisya, bahkan lebih dari suaminya. Inilah yang menyebabkan hubungan Aisya dan umi sempat berjarak.
Seseorang suster datang membuat keadaan semakin runyam 'Dokter Rizal, pasien yang baru dioperasi tadi sekarang kondisinya kritis . Denyut nadinya melemah, dia.....'
'Tangani dia sekarang pak. Anda dokter kan!' Aisya angkat bicara sebelum kalimat suster itu selesai.
Laki-laki itu mengangguk dan segera bergegas menemui pasien yang dimaksud bersamaan dengan suster itu.
'Sya. Minum dulu yah' pinta ayla setelah pelukan mereka terlepas. Ayla membukakan tutup botol yang segera menyerahkannya ketangannya. Aisya hanya minum sedikit dan itupun masih dengan tangan gemetar.
'Udah gak usah takut. Disini ada mbak Ayla. Kita sekarang pulang ya?' kata Ayla sambil menggenggam erat tangannya.
Mereka saling memandang. Ayla mengangguk meyakinkan, sambil mengusap lembut air matanya. 'Kita pulang ya. Sini mbak bantu'. Aisya digopong untuk berdiri, Ayla mengambil tas sebentar diatas kursi dan siap berjalan keluar.
Ketika mereka berjalan melalui pintu, seseorang menyapa penuh ramah 'Kak Ayla?' Aisya?'
'Akbar, kami pulang dulu ya' jawab Ayla membalas sambil berlalu dari hadapannya. Laki-laki terdiam sejenak sebelum memutar haluan beralih mengikuti mereka. Tugasnya terlupakan begitu saja, setelah melihat wajah Aisya. Dia tidak bisa berpura-pura biasa saja melihat wanita itu, dengan lihai kakinya menuruni anak tangga. 'Aku antar ya kak' katanya setelah berjalan disampingnya Ayla.
Ayla mengerti kenapa laki-laki itu mengikuti mereka 'Aisya gak papa kok bar. Dia cuma demam aja' jawab Ayla sambil berjalan.
'Kenapa gak hubungin aku aja kak. Aku kan bisa kerumah tanpa harus kalian repot kesini' katanya sambil menekan sesuatu yang menimbulkan bunyi click. Dia segera membukakan pintu penumpang untuk mereka berdua.
Sesekali laki-laki itu mengawasi mereka dari pantulan kaca dimobilnya. Dalam perjalanan dia tak berani menanyakan apapun walau perasaan sekarang dilanda kekhawatiran, dia meragukan ucapan Ayla. Aisya jauh dari kata baik-baik saja dalam batinya. Kalau hanya demam tak mungkin dia akan melihat hidung Aisya memerah hebat seperti itu.
'Kamu gak papa bar. Telat karena nganter kami?' Ayla menyela keheningan mereka.
'Ngak kok ka. Harini aku gak terlalu sibuk. Lagian gak ada jadwal operasi juga' jawabnya sambil menatap Ayla melalui kaca.
'Mbak Ayla. Boleh gak Aisya dirumah mbak aja. Aku gak mau nenek khawatir' ucap Aisya lirih menatap wanita itu.
Ayla paham betul kondisi Aisya sekarang 'Tentu boleh dong. Ya udah mbak beritahu nenek dulu ya' jawabnya sambil mengambil sesuatu dari tasnya.
*Maaf direvisi sedikit*