Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Perfect Choice
MENU
About Us  

   Akbar sekarang menyandang dua profesi setelah kembalinya ke Indonesia. Dia mengikuti permintaan bundanya resign kerumah sakit pusat kota Yogyakarta yang juga menjadi dokter tentunya. Selain itu dia juga diterima menjadi seorang dosen disalah satu universitas ternama di kota ini.
    Hari-hari dilalui dengan penuh semangat dan keikhlasan. Berusaha menjadi manajer terbaik dalam waktunya. Ada beberapa kelas harus dia isi hari ini sebelum melakukan praktek pukul 3 sore. Walaupun tidak ada pengalaman banyak dalam mengajar namun Akbar termasuk orang yang mudah berdaptasi.
     Akbar menarik salah satu kursi di tengah ruangan. Seseorang menyusul dan duduk menghadapinya. Tak menunggu lama, Akbar segera menyodorkan sebuah kertas lalu memintanya mengerjakan dalam waktu tidak lebih 20 menit dengan tegas. Wanita itu mengangguk paham dan mulai menorehkan tinta diatasnya.
    Banyak orang yang beraktiviats disini, namun hanya satu yang menyita banyak pandanganya. Satu orang ujung sana yang duduk sendirian. Membuka sebuah Al-Qur'an lalu mulai membacanya. Subhanallah batinnya terus bergumam.
   Seseorang itu tak lagi sendirian, sekarang dia bersama dua orang laki-laki yang datang secara bergantian. Akbar tak berpikir negatif karena memang dia berada dalam zona aman. Ini tempat umum yang ramai. Lantas Akbar tak perlu khawatir dengannya.
    'Pak saya sudah selesai' seseorang dihadapannya memecahkan lamunan.
    Dia berusaha menormalkan suasana sambil melirik arloji ditangannya. 'Cukup cepat kamu mengerjakan' jawabnya terkesan
     Dia tersenyum manis, bahkan terlihat lebih manis menatap Akbar yang asik dengan kertas ditangannya.  Wanita itu teringat pada seseorang, jika saja dia tidak membuat janji bisa saja dia terus meleleh dihadapan Akbar. 'Ya sudah saya permisi pak, saya ada janji dengan sahabat saya' ujarnya selembut mungkin
     Mendengar ucapan itu, membuat Akbar berpikir sejenak. 'Tunggu'
     'Iya ada apa pak?'
     'Sahabat kamu namanya Aisya?'
     Wanita itu terkesiap saat nama sahabatnya disebut, lantas dia kembali duduk setelah berdiri 'Darimana bapak tau?'
    'Saya sempat liat kalian bercengkrama tadi. Dia keluarga teman saya' jawab Akbar santai sambil merapikan beberapa kertas.
     Wanita itu seolah berkata oh. 'Jadi bapak kenal dia?'
     'Cuma kenal sekilas. Dia adik teman saya. Sepertinya dia orang yang baik. Terlihat dari cara berpakiannya dan tutur katanya?'
     'Alhamdulillah pak. Saya beruntung bisa kenal dengannya. Berkat dia juga sekarang saya berhijab.' Seolah dengan sengaja wanita itu menceritakan tentang dirinya.
     'Tapi dia bukan anak kedokteran kan?' Akbar mengarahkan pandangan kearah seseorang yang sejak tadi menjadi pusat perhatiannya.
     Wanita itu ikut menoleh sebelum menjawab 'Iya. Dia anak komunikasi. Cuma karena diikutkan karya ilmiah gitu dia harus sering kesini. Dia pinter banget Lo pak. Tapi sayang dia nolak jadi mahasiswa kedokteran'
    Akbar menaik turunkan kepalanya dan berdehem kecil 'Menarik. Sebagian orang malah berlomba-lomba masuk kedokteran.'
    'Hm. Dia tidak suka dunia medis. Dia punya fobia darah gitu' Tak sengaja wanita itu membuka identitas sahabatnya. Dia memang terbuka, bahkan bisa dibilang blak-blakan. Tapi sayangnya Reina seperti punya maksud lain dari cara bicara. Sejak tadi dia malah lebih banyak memperhatikan Akbar dan melontarkan kalimat tanpa harus berpikir terlebih dulu.
     Akbar kembali melirik arlojinya, sudah waktunya. Dia berusaha mengalihkan diri, agar wanita itu tidak curiga. Sebenarnya terdapat banyak pertanyaan yang mengitari otakknya namun ini bukan waktu yang tepat. Setidaknya dia sudah mengetahui sebagian tentangnya. Dia berdehem tegas sekali 'Baik saya harus balik ke rumah sakit. Nanti kalo hasil detensi kamu jelek saya akan kembali panggil kamu'
    'Siap pak. dengan senang hati' jawabnya dengan penuh kelembutan
     Akbar sedikit mengernyit menatapnya bingung. 'Eh maksud saya...Iya saya siap'
     'Siap apa?'
     'Siap detensi kalo tidak saya masih jelek'
     Akbar mengangguk, tersenyum sekali dan berlalu pergi. Senyum Akbar ternyata membuat wanita itu semakin meleleh. Apa yang sebenarnya ada dalam pikiran dan perasaan wanita itu? Dia menyukai Akbar? Atau hanya perasaan kagum.

***

     Harini hari Kamis, aku ada jadwal kuliah pagi. Lebih pagi lagi tepatnya. Tanganku terburu memakai kaos kaki sebelum memasang sepatu. Jam tangan yang harusnya dipakai hanya ku selipkan disaku samping tasku. Beberapa buku hanya akan ku pegang karena memang terlalu berat jika dimasukkan kedalam tas. Buku medis yang tidak pernah ku suka. Dari waktu yang ditentukan, harusnya aku bisa lebih leluasa karena batas waktu untuk aku mengerjakan tugas yang diberikan Andra sampai besok. Tapi aku bukan tipe orang yang menunda, setidaknya satu pekerjaan sudah berkurang dari daftar.
     Harini aku tidak sempat makan pagi. Semua ini karena pak Gilang yang mengubah jadwal seenakya. Bagaimana aku tidak jengkel masimal, info itu bahkan baru aku terima pagi ini juga. Pak Gilang mengubah jadwalnya menjadi satu jam lebih awal dari biasanya.
    'Kamu ini kebiasaan. Udah tau kuliah pagi masih saja sempat mengurus bunga. Jadi gak sarapan kan' omel nenek.
    Ingin rasanya berkata Aisya baru dapat info sekarang. Handphone Aisya mati sebelum membuka info itu malam tadi. Tapi tidak ada waktu untuk  mengubris, pertanyaan lain pasti akan menyusul. Segera aku habiskan segelas susu coklat dan mencium tangan nenek.
    'Nek Aisya berangkat ya. Nanti aku sarapan di kampus aja.'
    kali ini aku tak berangkat dengan  laki-laki itu karena memang situasi tidak memungkinkan. Syukurlah sekarang zaman sudah canggih. Mudah bagiku mendapatkan alat transportasi lain yang membawaku ke kamus. Biasanya aku juga begitu.
    Pukul 7 lebih 5 menit aku sampai di depan fakultas. Kelasku ada dilantai 3, dan itu artinya aku harus menghabiskan beberapa menit lagi untuk bisa sampai sana. Sayangnya gedung ini belum menyediakan lift untuk mahasiswanya. Terpaksa kakiku harus menaiki puluhan anak tangga demi bisa sampai diatas. Mendadak aku harus menjadi altet lari sekarang, hal yang paling ku benci.
    Aku tergopoh-gopoh sampai didepan kelas. Nafasku masih terengah-engah dengan sedikit membungkukkan badan. Seseorang yang juga sama sepertiku kemudian meleset di dekatku.
    'Sya. Kamu telat juga?'
    'hem' karena tak kuat bicara lagi, aku hanya mampu berdehem dengan nafas yang masih berantakan.
    'Ayo masuk' pintanya sambil membuka pintu pelan. Sangat pelan nyaris tidak ada bunyi clek yang ditimbulkan.
    Keadaan kelas yang tadinya santai berubah seketika tegang setelah pintu terbuka. Semua mata tertuju pada kami. Dengan lihai kaki ini berjalan mengendap-endap. Sangat pelan dan lambat agar tidak ada suara terdengar. Berusaha menahan nafas sehingga tidak terdengar mengebu-ngebu. Semua benar-benar hening, mahasiswa lain memihak pada kami berdua.
    'Saya tau kalian masuk tanpa salam'
   Seseorang didepan sana menghentikan aktivitas menulisnya. Aku dan Rara saling bertukar pandang, saling menampilkan wajah kecut. Bagaimana mungkin dia bisa tau. Dia bahkan tidak melihat kami sejak tadi. Satu detik setelahnya kami mencoba menormalkan diri, bersikap profesional karena memang kesalahan kami.
    Laki-laki itu melirik sejenak sesuatu yang tersemat di tangan kanannya sebelum memutar badan menatap tajam kearah kami.
    Deg
    'Kalian telat 10 menit.' ucapnya
     Detik detik yang berlalu terasa sangat mencekam. Sekarang dia beralih menempti kursinya.  Dia menuliskan sesuatu disebuah buku kemudian merobek sebagian. Tanpa arahan kami mendekat, dan berharap ini bukan masalah besar.
    'Saya tidak akan ngasih detensi kali ini. Tapi tolong kalian cari buku yang saya perlukan untuk tambahan materi hari ini. Bagaimana?'
    Ini sejenis penawaran tapi lebih tertuju pada pemaksaan namanya. Sambil menyodorkan sobekan kertas dia mengangkat sebelah alisnya, terkesan meremehkan. Senang sekali seorang dosen menghukum mahasiswanya.
    Keadaan sempat hening, karena  aku mencoba membaca kertas yang ditulis seperti resep dokter itu. Semua buku yang akan dicari berbahasa Inggris. Aku dan Rara sempat bertukar pandang sebelum dia berdehem agar kami segera bergerak.
   'Baik pak akan kami cari' jawabku mantap.
    Rara menyingkut lenganku dan menggerutkan kening. Dia tampak cemas tentang apa baru saja aku ucapkan. Aku menepisnya dengan anggukan penuh kode. Tenang saja Ra aku punya ide.
    'Baik. saya harap kalian tidak mengecewakan. Saya tunggu secepatnya.' jawabnya kemudian.
    Aku meletakkan semua barangku keatas meja paling depan yang masih kosong. Begitu pula dengan Rara, dia melakukan hal yang sama. Sebelum keluar ruangan, aku sempat meraba saku kanan bajuku. Syukurlah benda itu aku bawa hari ini.
    'Sya kamu yakin akan menemukan buku itu.' Rara angkat bicara setelah menutup pintu kelas.
    'Yaps' dengan entengnya aku bicara.
    'Bagaimana mungkin Sya. Ini terlalu pagi. Perpustakan baru akan buka pukul 8 kan. Kita mencari kemana?'
    'Udah ikut saja'
    Aku berjalan lebih dulu didepan membuatnya sedikit mempercepat langkah untuk bisa berdampingan. Kami menuruni puluhan anak tangga dan sampai dilantai dasar. Rara benar, kami tidak mungkin keperpustakaan sekarang. Lantas aku mengajaknya duduk di kursi panjang dekat pintu utama fakultas.
    'are you ok?. Kita duduk disini. Ngapain coba?'
    'Bentar aku ada ide.' jawabku sambil mengotak-atik handphoneku   
Aisya         : Pak Ilham masih dirumah?
    Ah ya. Aku masih memanggilnya dengan sebutan bapak. Yang aku lakukan murni hubungan dosen dan mahasiswa. Tidak salah bukan  meminjam buku dosen. Belum sempat 10 detik, handphoneku kembali menyala.
Pak Ilham : Kenapa Sya?
Aisya         : Aisya boleh minjam beberapa buku gak? Buat tugas kampus.
    Aku teringat hari pertama dia mengantarku. Dalam mobilnya ada beberapa buku yang kalau tidak salah persis seperti apa yang pak Gilang tuliskan.
Pak Ilham : Buku apa?
     Aku segera memfokuskan kamera untuk mengambil potret kertas yang sedang ku pegang.
Pak ilham : Oh itu ada. Mau pinjem? Boleh, tapi dengan satu syarat
     'Apa?!!' sontak aku berdiri membaca pesan balasan itu.
     'Ada apa Sya?' Rara ikut berdiri saat melihat ekspresi ku berubah drastis.
     'Idenya apa sih?' Rara kembali bertanya dan handphoneku juga kembali menampilkan sebuah pesan lagi.
Pak ilham : Kamu harus ikut aku dan Akbar makan diluar hari ini.
     Aku memijit kepala yang tidak sakit. Ini semacam Pemanfaatan ilegal namanya. Tidak ada waktu berpikir lama. Bismillah, dengan lihai jariku menyentuh layar handphone menulis pesan balasan. Send
    Aisya.        : Oke deal. Tapi antar sekarang juga ke kampus. Aisya tunggu
Pak Ilham : Siap adekku :)
     Disini aku bertindak tak karuan, sedikit khawatir dengan apa yang  baru saja aku kirim. Sejak tadi aku berjalan mondar mandir dihadapan Rara hingga membuatnya kesal berlipat ganda. Pertama dia kesal karena aku telah menyetujui permintaan pak Gilang dan yang kedua karena ulahku yang membuatnya semakin pusing memikirkan jalan keluar. Sesekali aku menoleh keluar melihat setiap mobil yang masuk, tapi bukan mobil laki-laki itu. Satu detik rasanya satu menit, satu menit rasanya satu jam. Kemana laki-laki itu. Kenapa begitu lama?
     Sekitar 15 menit kemudian handphoneku kembali menyala. Seseorang yang ku nanti akhirnya mengirimkan pesan. Dia mengatakan bahwa posisinya sekarang diparkiran. Aku segera keluar dan meninggalkan Rara sendirian. Sempat dia meneriakiku, tapi aku hanya memintanya untuk tetap di sana.
     Aku mulai mengedarkan pandangan ke sekeliling setelah berada dikawasan yang dimaksud. Mana mobil hitam itu, aku tidak menemukannya.
    'Astagfirullah' tubuhku terangkat kanget saat menemukan seseorang berdiri tepat dibelakangku.
    'Kamu kenapa gak bilang ada kelas pagi?'
     'Pak Gilang tuh seenaknya ngubah jadwal.' gerutuku. Dia tertawa terbahak-bahak. Selucu itukah kemarahan ku? Setelahnya aku memasang muka datar, yang membuatnya segera menyerahkan sesuatu yang sejak tadi ada ditangannya.
     Aku mengangkat satu benda yang sama berbentuk kotak. Menatap kearah laki-laki itu, menunggu jawaban 'Bekal sarapan kamu. Nenek tadi bilang kamu gak sempat sarapan kan. Entar magnya kambuh lagi'
    'Ya sudah Aisya masuk ya. Makasih loh ya pak dosen udah mau bantu Aisya.' jawabku sambil mengangkat sedikit benda-benda itu.
     Saat aku hendak berbalik dia kembali memanggil 'Sya!'
    Aku tau apa yang akan dia katakan. 'Kita makannya sekitar jam 12 setelah Aisya selesai kelas gimana?'
    'Oke bos.' jawabnya sambil meletakkan kelima jarinya diatas pelipis. Aihhh dia menang.

***

   Aku menyelesaikan kelas terakhirku 20 menit lebih awal dari jadwal. Ah ya itu menurut jam dinding yang ada di kelas. Jam tangan? Aku belum sempat memakainya pagi tadi. Rasanya aku selipkan disamping tas.
   Kemana benda kecil itu? Jangan sampai hilang. Berulang kali aku mencari tetap tidak ditemukan. Benda itu benar-benar tidak bersamaku sekarang.
    'Sya?' seseorang memecahkan lamunanku.
    'Kamu cari apaan sih?'
    'Jam tanganku'
    'Jam kecil yang biasanya kamu pakai itu?'
    'hem' benda itu memang kecil, lebih kecil dari jam tangan normal. Mungkin saja karena terlalu kecil maka dengan mudah terjatuh saatku bawa berlarian pagi tadi.
     'Ah sudahlah. Mungkin bukan rezekiku lagi. Ada apa Ra?' ucapku tanpa basa-basi
     Rara mengangguk paham 'Aku mau nyari es kelapa sama anak-anak. Mau ikut?'
     'Ngak deh kayanya Ra. Aku ada janji makan sama orang lain. Lagian habis itu aku harus kefakultas kedokteran lagi kan buat karya ilmiah' jawabku sambil merapikan kembali buku yang sempat ku keluarkan.
     Rara hanya menggelengkan kepalanya pelan. Akhir-akhir ini aku memang sibuk, tepatnya terlalu sibuk dengan urusanku sampai tak ada waktu untuk hanya sekadar makan siang bersamanya.
     'Lain kali deh ya Ra' seraya tersenyum manis kearahnya
     'Iya gak papa. Kalo gitu aku duluan ya' dia berlalu sebelum kami saling menempelkan kedua pipi tanda berpisah.
     'Hati-hati Ra'
     'Sip'
    Beberapa saat setelah Rara keluar aku menyusul. Menuruni puluhan anak tangga dan sampai dilantai dasar. Aku memfokuskan pandangan kearah kursi dekat pintu utama. Ada beberapa orang yang sedang duduk disana. Salah satunya adalah pak Ilham. Dia tampak resah, sambil sesekali melirik arlojinya.
    'Pak Ilham. Udah lama?'
    'Udah kelar kelasnya?'
    'Iya'
    'Udah ayo berangkat sekarang. Akbar udah nunggu dimobil.' jawabnya seraya berdiri. Berjalan lebih dulu didepan.
    'Kenapa?' dia berbalik setelah menemukan ku masih bergeming belum bergerak.
    'Ayo Sya. Aku ada kelas jam 1. Mau aku tinggalin kalian makan berdua' lanjutnya
     'Eh eh ngak pak' Lantas aku langsung bergegas mengikutinya di belakang.
     Setelah beberapa meter berjalan, Kami berhenti disalah satu mobil Fortuner berwana putih paling depan. Pak Ilham membuka pintu penumpang sebelah kanan. Aku menurutinya, yang juga membuka pintu berlawanan
    Baru saja aku memegang pegangan pintu pak Ilham sudah meneriakiku. 'Kamu duduk didepan Sya. Masa Akbar jadi supir kita' gak papa pak
    Seseorang kemudian keluar dari mobil dan membukakan pintu depan untukku. Kami memang tidak saling bertatapan namun ini berlebihan, aku bisa melakukannya sendiri pak.
    Akhirnya aku menyerah, setelah pak Ilham kembali memperingatiku dengan ancamannya. Hanya satu jam tidak lama katanya. Akupun masuk dan duduk disamping laki-laki yang bernama Akbar itu. Memasang seatbetl dan menatap lurus jalanan. Sesekali berpindah ke sebelah kiri melihat apa saja telah kami lalui.
    Muhammad Akbar Ramdhani, laki-laki berusia 27 tahun yang kerap dipanggil Akbar. Seharusnya dia sudah menikah saat ini. Kata pak Ilham dia adalah seorang dosen yang juga menyandang gelar profesor sepertinya. Aku masih bingung, kenapa laki-laki sejenisnya mau dijodohkan denganku.   
    Dalam mobil keadaan hening menyelimuti kami bertiga. Tidak ada suara yang terdengar. Orang berbicara ataupun lagu dari stereo mobil ini. Jujur aku merasa canggung, setengah jiwa. Entah kenapa begitu berat bagiku untuk hanya sebatas mengenal laki-laki.
     'Sya. Kamu habis ini balik ke kampus lagi?' Pak Ilham akhirnya menjadi orang pertama yang mengakhiri keheningan ini.
    'Iya' jawabku singkat
    'Ada kelas lagi?'
    Aku menatap sebuah kaca yang menggantung di mobil ini, menatap seseorang dibelakang sana melalui pantulannya. Tadinya dia bergutat dengan handphone ditangannya, karena merasa diperhatikan lantas dia juga menatapku. Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban dari pertanyaannya tadi.
    'Kamu ini lucu. Anak komunikasi kok pendiemnya minta ampun'
    Aku hanya tersenyum mendengar penuturan itu sambil kembali menoleh kearah jendela.
    'Terus kalo gak ada kelas ngapain ke kampus?' laki-laki itu memang banyak tanya, terlalu kepo. Dan aku tidak suka itu.
     'Nyelesain karya ilmiah pak'
     'loh kenapa aku gak tau kamu ikut karya ilmiah.'
     Buat apa bapak tau? 
   Karena tidak ada respon yang ku keluarkan membuatnya semakin banyak bertanya 'Udah sampai mana emang?'
     Mau tidak mau aku harus menjawab 'Masih pegumpulan sama penyusunan teori  ko pak, belum ngelangsungin penelitian. lagian pengumpulan abstrak masih sekitar 4 bulan lagi. ' paparku sejelas mungkin agar tidak ada pertanyaan selanjutnya.
    Setelahnya hening kembali, sebelum mobil ini berhenti di suatu tempat yang lokasinya bisa dibilang tidak terlalu jauh dari kampus. Sebuah Rumah makan yang bertuliskan Restoran bumbu desa. Makanan Sunda yang bercita rasa kampung tapi dikemas secara modern. Disini pengunjung akan dimanjakan alunan musik sunda dalam balutan interior etnis yang nyaman. Dan aku suka
    Seseorang mengulurkan sesuatu yang berisi sederetan daftar menu kepada kami, dan aku diminta memilih lebih dulu. Beberapa saat setelah melihat, jariku menunjuk dua nama makanan dan satu minuman untuk dia tulis. Begitu setelahnya yang juga dilakukan kedua laki-laki di depanku.
    Tidak ada yang kami lakukan kecuali sama-sama berkutat dengan handphone masing-masing. Belum sempat pak Ilham membuka mulut lagi aku malah permisi kebelakang. Mungkin bisa dikatakan menghindar.
    'Aisya?' seseorang memanggilku ketika aku hendak kembali kemeja.
    'Pak Rizal?'
    Dia menatapku dengan ekspresi tak tidak bisa aku didefinisikan. Sedikit aneh, dengan senyumnya. 'Kamu kesini juga'
    Aku mengangguk pelan. Kemudian pandangan laki-laki itu mengedar kemana-mana, seolah mencari sesuatu 'Sama siapa?'
    Tidak mungkin aku bilang sama kakak tiri dan laki-laki itu..ah apalagi sebutannya. 'Sama dosen'
    'Ada acara apa sampai makan bareng dosen?' jawabnya sedikit bingung.
    Aku terdiam sejenak, memikirkan jawaban paling tepat 'Aisya---'
    'Hey Bray. Pantesan aja lama banget. Lagi PDKT rupanya. Ini ya zal cewek yang kamu maksud kemarin' seorang laki-laki yang juga sama sepertinya mengusik pembicaraan kami.
    Rizal menyikut perutnya dengan siku saat laki-laki itu sudah merangkulnya. Seolah berkata Aw!dia sambil menyeringai geli.
    'ngomong-ngomong sudah sampai mana hubungan kalian? Ka--' laki-laki itu kembali bicara yang membuatku sedikit melongo.
    Buru-buru Rizal menutup mulut laki-laki itu dengan tangannya sebelum selesai bicara. Dia menariknya dan membawanya menjauh. 'Sya maafin teman aku ya' ucapnya sambil berlalu.
    Aku menggelengkan kepala, tertawa kecil melihat kedua orang itu. Aneh. Aku lihat didepan sana mereka sudah keluar dari restauran. Sekarang aku bisa kembali ke meja dengan tenang.
     'Kok lama bener?' tanya pak Ilham sebelum aku benar-benar duduk.
    'Ketemu seseorang tadi dijalan. Jadi sempet ngombrol bentar' jawabku sambil mengambil sendok dan garpu .
    'Loh kenapa gak ajak kesini aja?'
    'Dia buru-buru pak'
    Aku lupa untuk meminta tidak perlu membubuhkan bawang goreng disup pesananku. Alhasil aku harus memungutnya satu persatu dengan sendok hingga memperlambat aksi makanku.
    'Kamu tidak suka bawang?'
    'Hem'
    'Kenapa?'
    'Gak tau, gak suka aja'
    Mereka berdua menatapku saat aku hendak memasukkan satu suapan pertama kedalam mulut. Sedetik kemudian tatapan mereka beralih.
     Sedari tadi aku tidak bertanya satupun tentang Akbar, dia jua tak melemparkan pertanyaan kepadaku. Karena aku tak pernah melangsungkan ta'aruf untuk pernikahan sebelumnya jadi aku tak mengerti harus memulai dari mana. Informasi yang ku dapatkan tentangnya bisa dibilang sedikit, bahkan sangat sedikit. Rasanya bukan Akbar yang akan dijodohkan denganku melainkan pak Ilham. Serentetan pertanyaan harus aku jawab sampai hal kecil seperti ini. Aku yang tidak suka bawang goreng.
     'Oh ya...selesai resepsi, kami rencana mau ngadain liburan gitu. Kamu mau ikut gak?' ucapnya sambil menguyah
     'Gak ah. Kalian kan mau bulan madu' jawabku polos tanpa berpikir sambil menyuap satu sendok lagi. Pak Ilham terkekeh geli mendengar ucapanku. Dia menggelengkan kepala sambil kembali menyuap nasi berikutnya.
     Aku menatapnya penuh tanda tanya. What wrong? 'Ngapain aku ajak kamu kalo mau honeymoon. Lagian kita pergi satu keluarga kok. Aku ajak umi Abi, kedua orangtuanya Ayla sama nenek juga kalo bisa'
     Aku terperanjat keget Astagfirullah! Memalukan sekali. Kenapa aku tidak berpikir sejauh itu. Arghh.... Pasti rona wajahku sudah terlihat, aku malu sekali rasanya.
 

***

   Hari ini aku berada di Bandung menghadiri resepsi pernikahan anak tiri umi. Sebenarnya aku dan nenek sudah tiba kemarin. Nenek minta berangkat awal, karena dia ingin sekalian menemui salah satu temannya disini.  Jaraknya memang cukup jauh, dan itu tidak mungkin kami tempuh hanya dengan berjalan kaki dari rumah Umi. Pak Ilham sempat menawarkan diri untuk mengantarkan. Namun sengaja ku tolak karena memang dia harus istirahat untuk acaranya besok.
    Aku tidak bisa memastikan apakah aku benar-benar bisa menerima mereka, keluarga baru umi. Mereka semua memang begitu baik kepadaku, termasuk pak Ilham yang padahal kami  baru bertemu bulan ini. Aku hanya merasa bahwa masa laluku masih menjadi trauma yang mendalam. 
    Setiap acara resepsi, biasanya anggota keluarga menggunakan pakaian seragam. Sama halnya dengan keluarga ini. Aku dipakaikan gaun panjang berwarna biru malam dengan sentuhan brukat berwana silver. Katanya Baju ini telah disiapkan umi sejak 3 bulan lalu, dan tak mungkin aku menolak walau jujur sedikit kepanjangan ditubuhku. Dan yang jelas ini ribet sekali. 
    Karena acara ini adalah acara special, umi memintaku agar sedikit  merias wajah. Sudah pasti aku menolak, tapi sia-sia. Aku malah  ditarik masuk kedalam ruangan yang saat ini masih digunakan mbak Ayla untuk merias diri. 
     'Masyaallah Sya. Kamu cantik banget' puji mbak Ayla tak lama setelah aku masuk. Dia memang tidak menoleh hanya saja, pantulan diriku sangat jelas dicermin.
     'Bu tolong beri makeup sedikit pada anak saya yang ini ya' pinta umi menunjukku.
     Perias itu mengangguk setuju sebelum kembali fokus merias wajah Mbak Ayla. Umi sudah dirias lebih dulu jadi hanya menunggu mbak Ayla selesai kemudian wajahku menjadi sasarannya.
   Umi dan perias itu asyik berbincang sedangkan aku hanya memperhatikan riasan mbak Ayla. Satu kata yang mampu menggambarkan seorang wanita yang menjadi pengantin 'Memukau'. Ya itulah mbak Ayla sekarang.
    Saatnya giliran ku. Mbak Ayla sudah selesai. 'Bu jangan tebal-tebal ya. Atau gak pake bedak sama lip balm aja deh' tawarku sebelum duduk dikursi rias.
     'Udah Sya. Diem. Riasannya gak sebanyak mbak kok. Nanti kalo kamu lebih cantik. Entar yang dikira pengantin kamu bukan mbak' mbak Ayla membahas ucapanku.
     Mbak Ayla memang belum keluar, begitu juga umi. Mereka sekarang duduk menontonku sambil menunggu riasanku selesai. Aku dan perias asik berkelahi. Tidak berkelahi sungguhan, hanya saja aku yang mencari masalah. Menangkis, menolak dan banyak bertanya tentang apa yang dia lakukan. 
    Setelah beberapa menit kemudian akhirnya riasanku selesai. Perias itu menghembuskan nafas lelah seraya berkata 'Allahuakbar'. Dia menggelengkan kepala mendapati orang sepertiku. Hal itu membuatku sedikit terkikik geli menertawai diri sendiri. Sekilas wajahku memang dipoles tipis, simpel dan terlihat natural.
     Aku berdiri memutar tubuh  menghadap Umi 'Gimana? tanyaku.
     Umi segera beranjak sambil memandangku tanpa berkedip. Aku jadi sedikit khawatir. Dia memintaku memutar tubuh pelan-pelan. Memperhatikan penampilanku saksama 'Ada yang kurang' katanya.
     'Apalagi umi?' jawabku sedikit protes. Dia malah menjauh menggambil seseuatu didalam lemari. Aku menatap mbak Ayla meminta jawaban. Mbak Ayla hanya mengangkat bahunya tidak tau. Apa yang kurang sudah seribet ini masih kurang? 
    Umi menyerahkan sepasang sepatu berwarna silver kepadaku. Tidak terlalu tinggi, mungkin hanya berkisar 5cm. 'Pakai ini. Gaunnya sengaja umi buat agak panjang biar cocok buat kamu pake ini' ujarnya.
    Aku sedikit melongo menatap benda itu. 'Udah pakai aja. Atau mau pakai punya aku. Nih...' Mbak Ayla menjawab sambil menyingkap gaunnya, memperlihatkan sepatu yang sedang ia gunakan. 
     Aku tak berkutik, seperti ada ancaman yang melandaku dari tatapan mereka. Aku mengulurkan tangan pelan mengambil sepatu itu dan duduk memakainya. Pas. 
    'Na kan cantik' puji mereka bersamaan.
   Catat ini menjadi hal yang menyebalkan kedua dalam sejarah hidupku. Dulu aku pernah dipaksa menjadi model dari gaun yang dirancang sahabatku. Harus ribet dengan balutan gaun lebar dan high heels seperti ini juga. Dan sekarang aku harus mengulangnya untuk yang kedua kalinya. 

    Sekitar 30 menit gedung diisi dengan nasyid yang menggema sebagai acara hiburan. Seorang MC kembali bicara sebagai tanda acara selanjutnya akan segera dimulai. Acara ini disebut dengan kirab pengantin. Kedua pasang pengantin akan memasuki ruangan resepsi dengan iringan musik religi.
    Aku hanya mengandeng mbak Ayla sampai diujung karpet merah sebelah kanan. Setelahnya diambil alih oleh kedua orang tuanya. Didepan sana ada pak Ilham yang juga di dampingi umi dan pak Zainal. Mereka sama-sama dituntun hingga keatas pelaminan.
    Musik berhenti setelah mereka benar-benar menduduki kursi masing-masing. Saatnya fotografer mengambil gambar, dan ruangan pun dipenuhi kilatan kamera. Diatas sana mereka terlihat seperti keluarga besar yang sangat bahagia. Hal ini membuatku teringat Abi, kenapa Abi terlalu cepat pulang sebelum Aisya juga menikah bi.
    Tepuk tangan meriah dari para undangan memenuhi seisi ruangan setelah sambutan selesai. Saatnya pembaacan doa dan terakhir acara ramah tamah, hiburan dan foto bersama. Acara ini menjadi acara paling lama karena begitu dimulai, tamu undangan memberikan ucapan selamat dan foto bersama pengantin hingga acara selesai.
     Disini aku duduk sendirian, nenek sibuk dengan teman-temannya. Tak berapa lama umi mendekat 'Sya temenin umi ketemu seseorang yuk'
     'Apa gak bisa nanti aja mi. Umi kan harus nyambut tamu. Tuh banyak banget kan' aku menunjuk tamu yang terus naik keatas pelaminan
      'Abi minta umi makan dulu. Sekalian ketemu sahabat umi' jawab umi yang ku balas dengan deheman malas.
      'Kenapa? masih gak suka umi panggil dia juga Abi?'
      Aku menggeleng pelan sambil mengalihkan pandangan kearah lain. 'Umi mau makan apa? Biar Aisya yang ambilkan' tawarku
     Umi sempat menolak sebelum akhirnya dia mengangguk. Wajahnya terlihat lelah sekali, aku tak tega harus membuatnya berjalan.
    Terdapat banyak makanan disini, hingga aku sedikit bingung mengambilkan makan untuk umi. Banyak menu makanan yang umi suka, ah ya mungkin nasi, capcay, ayam kremes dan bihun goreng. Selesai mengambilkan makan untuk umi, aku beralih menuju meja khusus dessert. Sejak tadi es krim vanila dan choco chip selalu menggodaku.
     Kemana umi? Saat aku kembali ke meja tadi dia sudah tidak ada. Aku mulai mengedarkan pandangan ke sekeliling mencari wanita itu.
    'Sya?!!' seseorang memanggilku sambil melambaikan tangan.
    Walau tampak kabur aku menghampiri, aku yakin suara itu suara umi. 'Umi kok disini. Jauh banget. Nanti dicariin buat foto kan susah' kataku saat mendaratkan makan dihadapannya.
     Umi hanya tersenyum sambil menggeser piring mendekat. 'Aisya. Cantik bener ya sekarang' seseorang disamping umi memujiku penampilanku.
    'Oh ya Sya. Masih ingat gak sama beliau, bunda hasanah. Sahabat umi yang sempat umi ceritain ke kamu'
    'Aisya' sahutku sambil mencium punggung tangannya.
    'Duh mana Akbar ya. Lama bener ngambil makannya' kepalanya sedikit mendongak sambil mengedarkan pandangan mencari seseorang.
     Sahabat umi? Akbar? Ah sudahlah lebih baik aku menyantap es krim.
     'Kamu udah makan Sya?'
     'Udah tadi mi'
     'Na ini dia. Lama bener nak' wanita itu membuatku menoleh melihat siapa yang datang.
     'Tadi Akbar ambil es krim dulu Bun, sebelum kesini'
     'Kamu itu kebiasaan deh' laki-laki itu menyerahkan piring makan kepada ibunya, kemudian duduk yang posisinya berhadapan denganku.
     'Kamu suka es krim vanila juga Sya' wanita itu kembali bicara setelah sadar apa yang sejak tadi aku santap.
    'Iya tante' jawabku seramah mungkin
    'Mulai sekarang panggil bunda aja ya. Tante kan ibu kamu juga' jelasnya
     Huk huk... sontak aku terbatuk-batuk mendengar kalimat itu. Es krim yang rasa manis ini tercekat di tenggorokan. Apa dia katakan bunda? Inikan hanya ta'aruf. Kata umi aku bisa saja menolak. Kenapa dia begitu yakin dengan ucapannya.
    Dengan sigap laki-laki itu mengulurkan segelas air putih kedepanku. Aku segera mengambil karena tenggorokanku benar-benar tidak enak.
     Wanita itu tersenyum penuh isyarat kearah anaknya 'Kalian cocok banget sih. Serasi' ujarnya sebelum meminta pendapat kepada umi 'Ya gak na?'
    'Hm aku setuju.'
    'Aku malah berharap mereka segera melangsungkan akad nikah.'
    'Aku sih maunya gitu. Tapi aku gak bisa maksa Aisya.' Umi menatapku cukup lama. Tersirat permohonan di manik-manik matanya. Seakan dia berbicara apa kurangnya Akbar Sya? Kalimat yang sudah ku dengar dari beberapa orang. Kurangnya cuma satu umi, aku gak bisa buka hati dengan mudah untuknya umi.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kentut Pembawa Petaka
354      227     1     
Short Story
Kentut bocah ini sangat berbahaya, nampaknya.
Behind The Spotlight
3242      1584     621     
Inspirational
Meskipun memiliki suara indah warisan dari almarhum sang ayah, Alan tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang penyanyi, apalagi center dalam sebuah pertunjukan. Drum adalah dunianya karena sejak kecil Alan dan drum tak terpisahkan. Dalam setiap hentak pun dentumannya, dia menumpahkan semua perasaan yang tak dapat disuarakan. Dilibatkan dalam sebuah penciptaan mahakarya tanpa terlihat jelas pun ...
Premium
Cinta Guru Honorer
25947      2480     0     
Romance
Pak Baihaqqi seorang guru honorer di SMA 13 Harapan. Dirinya sudah mengajar hampir 15 tahun tetapi tidak masuk ke dalam honorer Kategori 2 (K2). Di tahun 2022 ini pula, ia tidak termasuk ke dalam daftar yang bisa mengikuti seleksi Calon Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (CPPPK). Di sekolah, Pak Baihaqqi bekerja sebagai pesuruh. Bu Nurma, Bu Rosmala, Pak Adam, guru-guru lain, dan samp...
Mic Drop
753      447     4     
Fan Fiction
Serana hanya ingin pulang. Namun, suara masa lalu terus menerus memanggilnya, dan tujuh hati yang hancur menunggu untuk disatukan. Dalam perjalanan mencari mic yang hilang, ia menemukan makna kehilangan, harapan, dan juga dirinya sendiri. #bangtansonyeondan #bts #micdrop #fanfiction #fiction #fiksipenggemar #fantasy
Chapter Dua – Puluh
3663      1508     3     
Romance
Ini bukan aku! Seorang "aku" tidak pernah tunduk pada emosi. Lagipula, apa - apaan sensasi berdebar dan perut bergejolak ini. Semuanya sangat mengganggu dan sangat tidak masuk akal. Sungguh, semua ini hanya karena mata yang selalu bertemu? Lagipula, ada apa dengan otakku? Hei, aku! Tidak ada satupun kata terlontar. Hanya saling bertukar tatap dan bagaimana bisa kalian berdua mengerti harus ap...
Just Me [Completed]
29816      3304     1     
Romance
Gadis cantik bersifat tomboy itu adalah Viola dia biasa dipanggil Ola, dibalik sifatnya yang tomboy dia menyimpan duka yang teramat dalam yang hanya keluarganya yang dia tahu dia tidak ingin orang-orang khawatir berlebihan tentang kondisinya. dia anak yang pintar maka dari itu dia bisa sekolah di Amerika, tapi karena kondisinya sekarang dia harus pindah ke Jakarta lagi semenjak ia sekolah di Ja...
Sendiri diantara kita
911      562     3     
Inspirational
Sendiri di Antara Kita Arien tak pernah benar-benar pergi. Tapi suatu hari, ia bangun dan tak lagi mengingat siapa yang pernah memanggilnya sahabat. Sebelum itu, mereka berlima adalah lingkaran kecil yang sempurna atau setidaknya terlihat begitu dari luar. Di antara canda, luka kecil disimpan. Di balik tawa, ada satu yang mulai merasa sendiri. Lalu satu kejadian mengubah segalanya. Seke...
Ballistical World
9937      1948     5     
Action
Elias Ardiansyah. Dia adalah seorang murid SMA negeri di Jakarta. Dia sangat suka membaca novel dan komik. Suatu hari di bulan Juni, Elias menemukan dirinya berpindah ke dunia yang berbeda setelah bangun tidur. Dia juga bertemu dengan tiga orang mengalami hal seperti dirinya. Mereka pun menjalani kehidupan yang menuntun perubahan pada diri mereka masing-masing.
Promise
645      368     7     
Romance
Bercerita tentang Keyrania Regina. Cewek kelas duabelas yang baru saja putus dengan pacarnya. Namun semuanya tak sesuai harapannya. Ia diputus disaat kencan dan tanpa alasan yang jelas. Dan setelah itu, saat libur sekolah telah selesai, ia otomatis akan bertemu mantannya karena mereka satu sekolah. Dan parahnya mantannya itu malah tetap perhatian disaat Key berusaha move on. Pernah ada n...
Hoping For More Good Days
506      356     7     
Short Story
Kelly Sharon adalah seorang gadis baik dan mandiri yang disukai oleh banyak orang. Ia adalah gadis yang tidak suka dengan masalah apapun, sehingga ia selalu kesulitan saat mengahadapinya. Tapi Yuka dan Varel berhasil mengubah hidup Sharon menjadi lebih baik dalam menghadapi segala rintangan.Jujur dan saling percaya, hanya itu kunci dari sebuah tali persahabatan..