'Kamu nangis Sya?' tanya nenek membuat semua mata tertuju padaku.
Aku hanya diam. Sekalipun aku menjawab, dia pasti sudah menebak dengan benar. Hidungku pasti sudah memerah seperti badut sekarang. Umi juga hanya diam disampingku.
'Sudahlah mari duduk. Kita akan bicara hal penting' ucapnya lagi sambil beranjak membuka jalan untukku duduk.
Aku dan umi diminta menduduki dua kursi kosong didekat nenek. Posisinya berhadapan dengan suami umi dan laki-laki itu. Disebelah kanan diisi oleh pak ilham dan seorang wanita, aku pikir mungkin itu istrinya.
'Karena semua sudah lengkap. Ada yang Abi ingin sampaikan kepada Aisya' suami umi juga memanggil dirinya dengan sebutan Abi. Jika boleh jujur, aku tidak suka dia menggunakan panggilan itu.
Nampak ketegangan diantara kami namun aku hanya duduk santai seperti biasa. Tertunduk diam mendengarkan apa yang akan keluar dari mulut laki-laki itu sambil sesekali memainkan jari jemariku. Paling juga perihal pak ilham anak pertamanya yang sudah menikah. Pasalnya, aku dan keluarga umi tidak pernah ada komunikasi semenjak kepergian ku dari rumah.
'Jadi gini. Ada dua hal yang harus Aisya tau.' bicaranya terdengar sangat serius membuatku sedikit mendongakkan kepala. Dua hal?
'Ilham anak pertama Abi yang sempat tinggal dan kuliah di Inggris akan segera menyelenggarakan resepsi pernikahan minggu depan. 3 bulan yang lalu sebelum Ilham pindah ke Yogya dia telah melaksanakan akad nikah. Karena kami belum sempat menemui kamu jadi umi meminta menunda pernikahannya.'
Aku bersitatap dengan umi sejenak. Umi sampai menunda pernikahan pak ilham hanya karena menunggu bertemu denganku? Sungguhan kah?
'Sampai akhirnya Ilham cerita sama Abi kalo kamu salah satu mahasiswanya. Sebenarnya kami sudah tau kamu tinggal dengan nenekmu sejak satu bulan kepergiaanmu dari rumah. Tapi nenekmu tidak pernah mengizinkan kami menemuimu. Katanya biarkan kamu tenang disini. Bahkan no kamu saja tidak dia berikan'
Sekarang aku menatap nenek dengan senyuman. Lalu kemudian memeluknya, nenek memang paling mengerti. Saat aku pergi dari rumah handphone memang sengaja tidak ku bawa. Hanya berbekal beberapa baju dalam ransel dan uang tabunganku untuk tiket kereta waktu itu.
'Karena umi mu sudah tidak tahan menahan rindunya akhirnya kami memutuskan untuk berkunjung kesini. Syukurlah ilham berhasil menemukan alamat ini dari data mahasiswa di kampus, dan membujuk nenek. Dia yang berencana membuat pertemuan ini'
Jadi ini tamu sepcial nenek, sampai nenek bersikap aneh sejak semalam.
'yang kedua maksud kedatangan kami kesini. Umi ingin menjodohkan kamu dengan anak sahabatnya. Muhammad Akbar Ramdhani' laki-laki itu menunjukkan seseorang disebelahnya.
Sontak aku membelalakkan mata mendengar kalimat itu. Jika saja aku sedang minum atau makan sudah dipastikan akan tersembur keluar.
Aku menatap laki-laki itu sebentar sebelum menatap penuh pertanyaan kepada umi.
'Umi... Apa maksud umi?'
'Sayang. Umi cuma ingin kamu bahagia.'
'Tapi umi...'
'Umi tidak akan memaksa jika kalian tidak berjodoh. Tapi cobalah ta'aruf terlebih dahulu Jika kamu tidak cocok dengannya. Kamu boleh mundur.'
Seseorang tolong tampar pipiku. Katakan semua ini hanya mimpi. Ta'aruf? Menikah? Aku selalu menghindar jika berurusan dengan laki-laki. Bagaimana mungkin aku dengan mudah menerima perjodohan ini.
'Umi bercanda kan?' aku mencoba menggelak dengan tawa terpaksa
'Tidak aisya. Umi tidak bercanda' dia menangkupkan kedua tangannya dipipiku.
'Aisya gak bisa umi. Aisya...'
Umi segera memelukku dan mengusap kepala mencoba menenangkan sebelum bicaraku selesai.
'Aisya belum menyelesaikan kuliah umi...' ucapku melanjutkan dalam dekapan hangat umi.
'Aisya sayang. Itu tidak jadi masalah. Kamu masih bisa mengejar cita-citamu walau kamu nanti menikah'
Sontak aku melepaskan pelukan umi dengan paksa. 'Umi aku benar-benar gak bisa'
'Sya semua akan baik-baik saja.' pak Ilham ikut menimpali. Tau apa dia tentangku.
'Tapi pak ini gak semudah yang kalian pikiran.' jawabku cepat tak mau kalah. 'Umi aku gak bisa. Ini sangat.....'
'Stttsss jika Allah menghendaki apa yang bisa kamu perbuat.' umi meletakkan jari telunjuknya didepan bibirku, membuat mulutku diam.
Aku mulai mengedarkan pandangan kesemua orang disini. Semua tersenyum menyakinkan, termasuk laki-laki itu. Tunggu. Apa aku benar-benar pernah bertemu sebelumnya? Dia mengangkat kedua alisnya, melebarkan sedikit matanya. Sepertinya dia paham dengan kebingunganku.
'Aisya saya yang ketemu kamu di perempatan lampu merah kejadian tabrakan tiga minggu lalu, kita juga sempat ketemu dipanti asuhan, dan terakhir diperpustakan kedokteran' ucapnya.
Aku mencerna satu persatu kejadian yang dia sebutkan. Semua ini membuatku menjatuhkan tubuh kebelakang, merasakan lembutnya sofa menyandang beban pikiranku.
'Aisya sayang. Abi tau ini sangat berat bagiku. Abi juga tau kamu tidak pernah suka kalo Abi menjadi orangtuamu. Kamu tidak suka laki-laki, karena kamu selalu menganggap mereka menyakitimu kan?' laki laki itu kembali bicara. Aku tidak pernah tau bahwa dia mengetahui banyak tentangku. Padahal kami tidak pernah sekalipun berbincang-bincang sebelumnya.
'Sya. Berilah kesempatan pada Akbar untuk mengenalmu lebih jauh.' aku mengernyitkan mata menatapnya. Beri kesempatan dia bilang.
Mendadak aku terserang sakit dibagian kepala. Bukan seperti kebanyakan wanita biasanya. Aku tidak merasakan jatungku berdetak lebih kencang, tidak pula keringat dingin karena gugup bertemu laki-laki. Padahal ini yang diinginkan banyak temanku, melangsungkan ta'aruf dan khitbah.
'Maaf umi Aisya mau kekamar dulu' ucapku membuat semua orang tercengang.
Belum sempat ada respons yang terdengar, aku sudah beranjak menuju kamar. Menutup pintu dan langsung menghempaskan diri keatas ranjang sampai terdengar suara melesak yang cukup kencang. Aku tidak peduli dengan perkataan mereka lagi, kepalaku benar-benar sakit sekarang.
***
'Aisya...udah ya sendirinya. Keluar makan dulu yuk. Kamu belum makan sejak siang tadi. nanti kamu sakit besok harus kuliah kan?' ucap nenek lembut dari balik pintu.
Ini sudah kesekian kalinya nenek mengetuk pintu kamar. Dia tidak henti-hentinya membujukku untuk makan karena memang sejak pagi aku tidak keluar kamar. Aku juga tidak memberi respons saat dia mengajakku bicara, yang ku lakukan hanya meringkuk diatas ranjang sambil membaca sebuah novel.
'Ya sudah kalo Aisya masih belum laper. Makanannya nenek letakkan di dapur lagi ya. Nenek mau pergi sholat magrib ke langgar dulu.' Derap kaki itu terdengar hingga perlahan menghilang. Aku yakin sekarang nenek sudah tidak berada didepan pintu lagi.
Ucapan nenek barusan menarik minatku untuk mengetahui waktu sekarang. Perlahan tanganku mengambil sebuah jam beker diatas nakas. Aku mendengus lesu setelah melihat jarum pendek menunjuk angka 6. Sudah selama inikah aku mengurung diri diruangan ini? Astagfirullah.
Benda itu aku letakkan kembali ditempatnya. Kini tanganku beralih mengambil handphone yang sedari tadi juga ku asingkan. Ada beberapa panggilan tak terjawab yang nomornya sama sekali tidak ku kenal. Aku yakin salah satu diantaranya adalah nomor umi.
Panggilan itu tak ku hiraukan. Aku malah membuka salah satu aplikasi sosial media yaitu Instagram. Beranda paling atas menampilkan sebuah gambar yang diposting oleh akun fisyah sahabatku. Aku menahan jariku diatas touchscreen agar tidak terjadi pembaharuan mendadak. Sejenak aku memerhatikan gambar itu dengan jeli.
'Umi tidak akan memaksa jika kalian tidak berjodoh. Tapi cobalah ta'aruf terlebih dahulu Jika kamu tidak cocok dengannya. Kamu boleh mundur'
'Sya. Berilah kesempatan pada Akbar untuk mengenalmu lebih jauh.'
Kalimat itu menggiang-ngiang ditelingaku. Seakan sepasang suami istri itu sendiri yang berbicara dihadapanku. Aku melepaskan benda kotak itu dari tangan dan memilih menenggelamkan kepala dengan guling.
Beberapa saat setelahnya handphone malah bergetar. Aku sempat tidak peduli, namun kali kedua bergetar aku menyerah. Aku raih kembali benda itu dan menggeser panel hijau untuk mengangkat telepon.
'Assalamualaikum bidadari surga. Si cantik kenapa lama banget sih angkat teleponnya' jawab seseorang diseberang sana memulai bicara. Aku menjawab salamnya namun nyaris tidak terdengar oleh diriku sendiri. Dia terkikik geli dengan ucapannya, dan berhenti setelah tidak mendengar suaraku cukup lama.
'Sya. Lo masih hidup kan?'
'Alhamdulillah' jawabku lirih
'Sya Lo ada masalah?'
Aku tidak menjawab membuat Reina kembali mengulang pertanyaannya. 'Sya Lo kenapa? Jangan bikin gw khawatir deh. Cerita dong'
Aku menarik nafas berat sebelum memutuskan untuk bicara. 'Rei aku dijodohin Umi'
'What!!! Dijodohkan?' aku sedikit menjauhkan benda itu dari telinga sebelum suaranya memenuhi seisi ruangan.
'Sama siapa? Lo udah liat calonnya? Terus gimana? Ganteng, kece, Sholeh? Gimana Sya?'
'Calonnya cantik' jawabku pendek.
'Sya gw serius kali.'
'Ya kamu nananya kebanyakan.'
'Oke oke. Gw tanya satu satu. Lo dijodohin sama siapa?'
'Namanya Akbar.'
'Terus Lo terima perjodohan itu?'
Aku menggelengkan kepala seolah sedang berbicara langsung dengannya. 'Aku gak tau Rei. Umi minta aku taaruf dulu'
'Gw setuju Sya.' jawabnya cepat. 'Lo harus ngerubah cara pandang lo sama cowok. Gak semua cowok itu sama Sya.'
'Tapi Rei....'
'Udah terima aja. Cuma taarufkan belum khitbah. Lagian Lo juga bisa mundur kalo gak cocok.'
Reina sebenarnya baru mendalami agama Islam. Dia juga baru menggunakan hijab dalam satu tahun ini. Ta'aruf? Jelas dia tidak pernah melakukannya. Tapi penjelasannya sangat benar.
Ranjang mulai melesak saat aku menjatuhkan diri diatasnya. Sekarang aku berbaring menghadap langit-langit. Menghirup udara sebanyak-banyaknya. 'Jadi aku harus gimana?'
'Ya jalani aja dulu. Siapa tau kalian cocok'
'Rei...' nadaku naik satu oktaf
'Gw serius Sya. Udah saatnya Lo buka hati buat laki-laki. Katanya Lo udah move on dari alwan.'
'Ah kamu Rei.' Aku berdecak kesal
Reina terkikik geli. Dia mencoba menggodaku dengan ucapannya. 'Iya iya gw tau. Intinya saran dari gw, lo jalani aja proses ta'arufnya.'
'Gak ada saran lain gak sih?'
'Gak ada koma Sya. Udah titik aja' tegasnya
Sempat hening beberapa saat. Karena aku tak menjawab. Akhirnya dia kembali bicara. 'Udah ah gw mau mandi. Gw nelpon cuma mau bilang kalo gw berhasil bikin temen gw biar bisa nyumbangin bakat di acara pensi Lo nanti.'
'Alhamdulillah.' jawabku lirih
'Besok Lo bisa ketemu kan. Gw bawa temen gw sekalian. Tapi Lo ya yang kefakultas gw. Hehe'
Aku menjawabnya dengan suara deheman saja. 'hm apa?'
'Iya insya allah.'
'Eh ya satu lagi'
'Apa lagi Riena.'
'Yee sensian banget sih ibu negara.'
'Apa?' jawabku sedikit ketus
'Lo kenapa bisa ketemu sama umi. Bukannya dia dibandung? kalian udah baikan?'
Sebenarnya aku malas membahas itu sekarang, makanya aku mencoba mengalihkan pembicaraan 'Sana mandi dulu gih bau tau' jawabku meledek. Dasar tidak tau diri memang, padahal aku juga belum mandi.
'Iya deh iya. Jangan lama-lama ta'arufnya langsung nikah aja' Reina mencoba menggodaku lagi.
'Reinaaaaaaaa..... '
Dia terburu-buru memutuskan sambungan setelah mengucapkan salam. Bahkan sebelum mendengar Salam balasan dariku telepon sudah mati.
Ucapan Laki-laki itu, Umi, pak Ilham, Reina, semua sama. Memaksaku menerima ta'aruf ini secara halus. Ya Rabb apa ini pilihan terbaik?