Rute perjalanan kuliahku sekarang bertambah. Jika setiap hari setelah selesai kelas aku bisa langsung pulang, sekarang aku harus ke fakultas lain untuk menyeleaikan karya ilmiah. Entah itu fakultas TI ataupun fakultas kedokteran. Ah ya tidak hanya itu, aku juga harus mempersiapkan acara penggalangan dana bakti sosial yang akan dilaksanakan Minggu terakhir bulan ini.
Sudah dalam dua minggu ini aku disibukkan dengan masalah duniawi. Nenek bahkan sekarang membuat peraturan baru. Karena hari sabtu ku habiskan diluar juga, itu artinya aku harus dirumah hari Minggu. Dan artinya juga aku tidak bisa ke panti untuk sementara sampai kegiatanku berkurang.
'Sya nenek mau kepasar beli bahan makanan. Kamu mau ikut.' Nenek membuka pintu kamarku.
Sontak aku menutup buku dan memusatkan pandangan kearah wanita yang berdiri diambang pintu itu. 'Tumben inikan hari Sabtu. Udah sore juga. Apa gak pagi esok aja kaya biasanya?'
'Bahan makanan kita udah habis, besok nenek ada tamu spesial. Kalo beli pagi gak keburu Sya?'
Aku berpikir sejenak, 'Hm...'
'Ya sudah... nenek sendiri aja deh.' dia menghembuskan nafas dramatis.
Aku tersenyum, tebakan nenek tepat sekali. Nenek berjalan masuk dan sekarang sudah duduk disampingku.
'Pesanin ojek online ya.' dia mengangkat alis dan menyungingkan seulas senyum memelas.
Aku terkekeh 'Siap bos laksanakan'
Sekejap aku mengambil handphone dari dalam tas, lalu mengotak-atiknya. Nenek hanya memperhatikan gerak gerikku sambil sesekali matanya menyelidik.
'Udah nek. Sekitar 10 menit lagi nyampe depan rumah. Nih identitasnya' Aku menyodorkan kearahnya benda yang masih menyala itu.
'Siapa sih tamu spesialnya?' mengingat ucapan nenek aku menjadi penasaran.
'Nanti juga kamu tau.' Jawab nenek sambil merapikan kerudungnya.
Aku merasa aneh dengan sikap nenek, tidak biasanya nenek mau kepasar sore seperti ini. Kali ini aku benar-benar penasaran 'Sekarang aja taunya gimana?'
'Besok ya...Kamu jangan telat bangun paginya. Bantu nenek masak' untuk bantu masak sih acc, tapi buat bangun pagi dihari libur masih diragukan.
'Telat dikit gak boleh ya? Kan hari libur.' Aku mulai memelas.
'Gak boleh...Udah ah nenek mau nunggu di teras aja.'
Nenek beranjak ingin berjalan namun tangannya ku tahan. 'Nek. Satu jam aja telatnya. Aisya kan halangan gak subuhan. Jadi tiduran aja ya?'
'Gak boleh. Pokoknya selesai nenek dari surau kamu udah harus bangun. Kalo bisa udah mandi yang wangi' ucapnya mengatur.
'Yah nek...' nenek melepaskan tangannya dan berjalan menuju pintu.
'Nek'
'Gak bi---'
Aku segera beranjak dari tempat tidur dan mencium punggung tangan nenek yang belum sempat memegang kenop pintu.
'Assalamualaikum Nek'
Aku terkekeh melihat wajah nenek menahan malu karena salah menebak.
'Walaikumussalam.' dia menormalkan mimiknya dan segera keluar.
Pintu kamar kembali ditutup dan kembali keatas tempat tidur. Saat tanganku hendak menyentuh buku, handphoneku berdering lebih dulu membuatku mengurungkan niat. Satu notifikasi pesan masuk di group.
'Ketua' : "Berita baik. Pertama proposal kita di ACC, kedua Penggalangan dana kita undur menjadi diminggu kedua bulan depan. "
Belum sampai satu menit, sekarang dering itu terdengar berkali-kali. Sederet pesan masuk saling bersahutan.
Vina : 'Kenapa diundur, kita bahkan sudah membuat jadwal acara'
Ketua : 'Kita akan menggalang dana saat ulang tahun kampus. Rektor memutuskan acara ulang tahun kampus dimajukan, kita bisa manfaatkan ini untuk mendapatkan dana yang lebih besar.'
***
Tepat pukul 6.00 pagi, alarm handphoneku kembali berdering untuk kesekian kalinya. Semalam aku sengaja mensetting pengulangan alarm, karena sudah pasti aku akan susah bangun jika hari libur. Aku mengucek-ngucek mata sebentar sebelum menggeliat lelah. Salah satu efek dari menstruasi yang paling mengerikan adalah malas.
Cleckkk...
Pintu kamar dibuka, sudah pasti itu nenek. 'Astagrifullah Sya. Ayo cepat mandi. Ini udah jam berapa?' aku masih duduk Diatas kasur sambil menutup mulutku yang terbuka karena menguap.
Aku membaca Ta'awuz Sebelum mengarahkan pandangan kepada seseorang di ambang pintu. 'Jam enam Nek' jawabku polos dengan mata yang tak sepenuhnya melek.
'Aisya!!! Cepetan mandi' nenek menarik tanganku membawaku keluar kamar. Aku hanya berjalan lunglai, dan kembali menutup mulut karena masih ngantuk. Ocehan nenek tak sepenuhnya aku dengar hanya beberapa yang ku jawab. Aku yakin sebagian nyawaku masih tertinggal di alam tidur. Alam mimpi yang indah.
Selesai mandi, aku segera kekamar dan memakai baju santai yang biasa aku gunakan dirumah. Menyisir rambut, dan sedikit menempelkan bedak bayi diatas permukaan wajah.
Didapur aku menemukan nenek sedang fokus memasang. Nenek memotong beberapa sayur dan memasukkannya kedalam mangkok. Diatas meja sudah ada perkedel tahu, ayam goreng, dan martabak telur yang siap di santap. Ah ya, satu lagi didalam kuali sudah ada saus asam manis yang siap memandikan ikan nila.
Saat dia berbalik, dan menemukanku dia segeranya meyodorkan mangkuk sebuah mangkuk penuh dengan sayur itu kepadaku. 'Ayo cepat masak. Kamu kenapa lama sekali mandinya.' perintahnya.
Nenek berjalan sambil berbicara. Dia tampak terlihat sangat sibuk, berkali-kali berlalu lalang mengambil ini dan itu. Mengerjakan ini dan itu. Aku masih bergeming, berdiri dengan posisi yang sama memegang mangkuk. Siapa yang akan datang? Spesial?
'Loh kok malah diam? Nenek udah nunggu dari tadi Lo buat minta kamu masak nasi goreng.'
'I-ya...iya nek'
'Tuh bawangnya udah dikupas sama bumbu pelengkapnya udah diulekan. Tinggal kamu haluskan' dia menunjuk sesuatu memberi arahan. Aku menuruti, dan mengulumnya sampai halus.
Sekarang aku menyalakan kompor dan dimulaidari menumis bumbu halus, lalu mencampurkannya dengan kocokan telur, kecap, dan saus tomat. Sambil diaduk cepat aku menambahkan sayuran dan menunggu sampai sayur setengah matang. Dilanjutkan dengan memasukkan nasi dan bumbu pelengkap.
Alhasil aroma harum tercium, membuatku rasanya begitu lapar. Setelah aku menyelesaikan tugasku, Nenek memintaku mengganti pakaian. Katanya pakaianku kotor, padahal jika diperhatikan dari atas hingga bawah tidak ada noda masakan yang terciprat.
'Sya ganti pake baju gamis biru muda aja ya, nanti setelah kita makan bersama kita akan jalan-jalan' ucapnya sebelum aku meninggalkan dapur.
'Makan bersama siapa emang nek?'
'Udah entar kamu juga tau' ucapnya sambil melepas celemek kemudian membasuh tangan.
Aku berjalan menuju kamar dan mulai membuka lemari lebar-lebar. Gamis biru? Special itu? Nenek cenderung mengatur sekarang.
Aku berdiri berputar-putar memperhatikan penampilanku di depan kaca. Sambil sesekali melebarkan kain yang sedang ku kenakan. Gamis biru muda dan phasmina cream panjang. Terlihat biasa namun aku suka dengan perpaduan ini.
Terdengar suara bel mengalun beberapa kali, lalu disusul dengan suara nenek 'Sya ayo cepat. Tamunya sudah datang. Kamu buka pintu ya. Nenek masih ganti baju' teriaknya.
'Iya nek sebentar' aku sedikit mempercepat langkahku untuk keluar kamar dan berjalan menuju pintu utama.
Cleckkk
Kedua tanganku menarik kedalam kedua genggaman pintu secara bersamaan. Pintu utama terbuka lebar.
'Asssalamualaikum' salah seorang dari mereka menyapa ramah.
'Walaikumus...salam' suaraku semakin pelan setelah kepalaku medongak sempurna melihat apa yang ada di depanku sekarang. Rasanya sulit sekali mengeluarkan suara walau hanya sepotong kalimat salam. Aku menatap satu persatu orang yang berdiri tak jauh didepan ku. Saat tatapanku berhenti pada salah satu diantara mereka, seketika itu pula hatiku kembali hancur.
Dia tersenyum menatap manik-manik mataku dengan penuh kelembutan sambil mengusap kedua pipiku secara bersamaan. Setelahnya dia mencium kedua pipiku dengan penuh penekanan. Dia membawaku kedalam pelukannya, memelukku erat sekali. Aku hanya bergeming, tubuhku kaku. Tidak ada hal yang ku lakukan, selain hanya berdiri seperti patung.
Dalam posisiku sekarang, Air mata berhasil terjatuh tetes demi tetes membasahi pipi. aku menangis tanpa bicara. 'Aisya...' dia memanggilku dengan sangat pelan, hingga nyaris tidak ada suara.
'Umi kangen kamu' ujarnya. Kalimag yang membuatku semakin sakit. Panas dan dingin beradu memenuhi tubuhku. Sesaat sebelumnya aku ingin sekali melepaskannya. Semua orang yang ku lihat didepan sana tersenyum manis kearah kami, sambil sesekali saling bertukar pandang. Posisi seperti ini bertahan beberapa saat lamanya. Aku masih mematung, sebelum suara nenek memecah keheningan ini.
'Sya. Ayo dipersilahkan masuk dong tamunya' teriak nenek dari dalam. Aku memejamkan mata sejenak sebelum menghapus bersih air mataku. Saat ku kira sudah cukup, segera aku melepaskan dan mencoba memerankan kembali peranku.
Aku pikir ceritaku sudah tamat, tapi tidak. Cerita itu hanya bersambung, dan sekarang aku harus menyelesaikannya. 'Ya Rabb ini kah jawaban dari semua doaku? Kuatkan aku ya Rabb, Redam semua api emosiku dengan air keikhlasan darimu.'
Suasana yang sedari tadi tegang, berubah menjadi lebih santai. Nenek juga ikut keluar menyambut mereka semua yang menjadi tamu. Dia yang tadi memelukku juga sudah kembali menormalkan mimik wajahnya dan juga mengusap matanya. 'Kenapa kok malah berdiri disini. Ayo masuk. Kita makan, nanti makanannya keburu dingin' pinta nenek dengan ramah.
Saat mereka tersenyum dan mengangguk aku hanya mundur beberapa langkah membuka jalan untuk mereka masuk. Mereka semua masuk dan menyalami nenek satu persatu. Mereka terlihat seperti keluarga besar yang bahagia, nenek merangkul wanita yang tadi memelukku dan membawanya berjalan lebih dulu kedalam rumah.
Hatiku belum kembali normal, ada beberapa hal yang membuatku hampir memberontak. Semua terkesan dingin, dan susah untukku berpura-pura bahagia seperti dulu. Aku termenung menatap lurus ke depan dan membiarkan semua berlalu.
Sekarang aku seperti orang linglung yang tidak sadar apa yang telah terjadi. Saat tanganku sudah siap menutup pintu, seseorang berhasil menghentikanku dengan ucapannya.
'Sya. Hargai ibumu. Berikan dia kesempatan untuk memperbaiki hubungan kalian' Setelahnya dia berlalu menyusul yang lain. Suaranya memang terkesan lembut seperti sutra namun bagiku sekarang itu seperti panah menusuk kerelung hatiku paling dalam. Menghancurkan kembali hati yang belum sepenuhnya sembuh.
Meja makan yang telah bertahun-tahun lamanya kosong kini terisi kembali. Semua membaur berusaha membentuk kembali sebuah senyuman yang pernah hilang oleh waktu. Sebagian dari tokoh adalah orang baru, sebagian lain adalah tokoh lama yang pernah ku harapkan.
Aku telah lama tidak bertemu dengan ibuku sendiri. Aku bahkan pernah meragukan diriku sendiri tentang status sebagai anaknya. Sudah sejak umi menjual rumah Abi dan memtuskan pindah kebandung, aku tidak pernah lagi memunculkan diri lagi dihadapannya. Aku juga tidak pernah tau apakah dia mencari ku saat aku pergi dari rumah kala itu.
'Sayang kamu gak makan?' ucap lembut wanita yang sedang duduk di sampingku.
Pandanganku enggan beralih dari piring kosong didepanku. Aku tidak tau harus tersenyum atau bahkan menangis dengan semua perlakuannya hari ini.
'Gimana nasi gorengnya?' nenek melemparkan pertanyaan itu kepada beberapa orang disini.
'Emm enak banget bu' aku yakin itu jawaban dari suami baru umi.
'Iya enak...nenek yang bikin?'
'Oh ya nek. Nanti ajarin istriku masak nasi goreng gini juga ya nek. Nasi goreng Ayla gak enak soalnya'
'Ih kamu kenapa sih mas'
'Ini yang bikin Aisya lo' nenek kembali bicara
'Wah adik ipar ku ya yang ternyata masak.'
Percakapan itu memang terdengar jelas di telingaku, tapi sayang itu semua tidak menarik minatku. Mengetahui beberapa orang asing yang ikut bertamu saja rasanya tidak ingin. Hatiku benar-benar campur aduk sekarang.
'Sya kamu makan ya. Ini kan makanan kesukaan kamu sayang?' dia menumpahkan beberapa sendok nasi goreng kepiringku ditambah sepotong martabak telur diatasnya. Mengapa dia begitu manis sekarang?
'Masya Allah selain cantik ternyata Aisya juga pinter masak ya?'
'Ciye si calon udah mulai muji nih?'
'Ekhem-ekhem.'
Apa maksud mereka calon? Aku sedikit mendonggakkan kepala menatap siapa yang bicara. Dia yang dimaksud tersenyum manis kearahku, sedangkan aku hanya bisa tersenyum kecil. Jangan salah paham, kami hanya saling menatap sekilas dan bukankah membalas senyum adalah sedekah asal sesuai porsinya. Disampingnya ada seorang laki-laki yang berbicara dengaku dipintu depan tadi. Dialah pak ilham, kakak tiriku. Bangku setelahnya diisi oleh seorang wanita asing yang sama sekali tidak ku kenal.
Aku diam seribu pertanyaan. Wajah laki-laki itu seperti sudah pernah ku temui sebelumnya. Tapi sekarang otakku tidak ingin ku gunakan untuk mengingatnya. Melainkan menjawab pertanyaan yang sedari tadi menganjal. Ada apa sebenarnya dengan pertemuan keluarga besar yang mendadak seperti ini. Belum sempat aku menjawab tingkah laku aneh nenek semalam sekarang kedatangan umi bersama orang-orang asing ini.
Aku mengalihkan pandangan dari mereka setelah nenek memanggilku. Nenek memberiku kode dengan wajahnya, dia memintaku agar segera makan dan menghormati tamu. Aku menuruti, dan mulai menyentuh alat makan pelan.
'Mau Umi suapin?' tawar wanita disampingku lagi.
Aku menatapnya sejenak lalu berkata lirih 'Aisya bisa sendiri'.
Dia mengangguk dan kembali menyunggingkan senyum manis dibibirnya. Aku tidak menggubris dan fokus dengan makanan yang ada di depanku. Ingin sekali rasanya aku menolak untuk makan, dan segera mendapat jawaban. Namun rasanya mulutku dibungkam tak mampu mengutarakannya pertanyaan itu.
Sekitar hitungan menit kedepan kami menyelesaikan sarapan. Aku segera beranjak untuk memungut piring bekas makanan. Dimulai dari piring disebelah kananku, piring makan wanita itu. Wanita yang ku sebut Umi.
'Sya. Biar umi bantu ya' dia lebih dulu mengangkat piring itu sebelum tangan ini menyentuhnya.
'Aku bantu juga ya mi'seseorang didepanku ikut bicara
'Gak usah ay. Biar umi sama Aisya aja.' sahut pak ilham.
'Mari kita kedepan. Sepertinya banyak yang harus kita bicarakan' nenek ikut menimpali.
Para tamu diajak untuk duduk diruang keluarga. Mereka tampak bahagia dengan perbincangan yang terjadi. Sesekali seseorang diluar sana memperhatikanku yang sibuk membereskan meja makan. Meja makan dan ruang keluarga memang tidak ada penyengat, hingga apa yang terjadi didepan dengan mudah aku ketahui.
Meja sekarang sudah bersih, lantas aku segera pergi kedapur. Berbeda dengan dapur, ruangan ini terpisah dan sengaja disekat. Aku segera meletakkan piring kotor diatas bak pencucian dan mulai mencucinya.
'Sya...gimana kuliahmu lancar?' Wanita itu berusaha membuatku memecahkan diam yang dari tadi aku lakukan.
'Alhamdulillah' jawabku singkat sambil fokus mengusap piring dengan spon.
'Abi kamu sekarang jadi pengusaha furniture loh' lanjutnya.
Abi tidak akan tergantikan umi. Dia bukan abiku. 'hmm...'
'Kamu tau gak, setelah kamu ninggalin rumah, Umi kesepian. Jadi gak ada lagi yang bantu umi. Apalagi saat adikmu meninggal umi semakin merasa sebagian hidup umi telah mati...'
Buat apa umi bilang kesepian kehilangan aku? Tidak perlu bohong umi, Umi bahkan tidak pernah mencariku kan? Buat apa umi melakukan ini, semua sama menyakitkan.
'Kamu tau gak. Hidup umi rasanya gak ada gunanya lagi. Umi sudah kehilangan ziat. Sekarang umi tidak ingin kehilangan putri umi juga.' Dia menatapku, aku membalas tatapannya sejenak sebelum kembali ke bak pencucian.
Keadaan sempat hening. Aku juga tak berani bicara bahkan hanya menjawab jika memang perlu dijawab. Piring terakhir ku letakkan kedalam rak, aku segera mengambil serbet untuk meyapu tangan yang basah.
'Sya umi minta maaf selama ini umi banyak salah sama kamu.' dia memelukku dengan erat sebelum aku meletakkan kembali serbet itu.
'Sya maafkan umi. Umi menyesal' ucapnya lagi. Aku hanya membiarkannya tanpa membalas apapun, ucapan ataupun pelukan
Apa yang sudah umi lakukan padaku. Membedakanku? memakiku? menghancurkanku? menjual rumah Abi? membiarkan aku pergi? lalu sekarang umi meminta aku kembali bersama umi?. Setelah sekian lama aku merasakan sakit, umi baru sadar sekarang?. Setelah ziat meninggal. Aku tak tau umi, apa yang harus aku katakan sekarang. Aku juga tak mengerti dengan diriku sendiri. Apa aku sudah benar membenci umi atau tidak.
'Maafkan Umi Sya. Beri Umi kesempatan lagi untuk menebus semua kesalahan Umi' dia kembali mengulang kata maaf, namun kali ini disertai tangis yang mendalam.
Hatiku perlahan mulai terenyuh, aku tidak pernah mendapati umi seperti ini. Berhenti umi aku tak sanggup melihat seorang wanita menangis, apalagi ibuku sendiri. Aku memang tidak suka dengan perlakuan umi, tapi tolong jangan meneteskan air mata karena diriku. Air mata yang dari dulu mati-matian aku jaga agar tidak terjatuh. Air mata yang rela ku gantikan dengan air mataku. Tolong umi berhenti! jangan buat perjuanganku, sakit ku, lelahku terbuang sia-sia seperti ini. Aku sudah janji dengan Abi Umi. Tolong berhenti. Batinku berkata, namun kalimat itu tak sanggup terucap.
Dadaku berada diatas puncak sakit, air mata mulai kembali memupuk dipelupuk mata. Sekuat mungkin aku tahan agar tidak terjatuh. Apa yang harus aku lakukan ya Rabb? Hatiku belum sekuat baja untuk ikhlas, tapi aku tak ingin dia menangis karena ku.
Belum sempat tanganku memelukkanya. Terdengar suara dari luar meneriaki kami. Entah sudah berapa lama kami berada disini.
'Sya udah selesai belum. Perlu bantuan?' teriak nenek.
Umi melepaskan pelukannya dan segera menghapus air matanya. Sekarang dia menatapku lekat-lekat, aku sempat menghindar untuk ikut menatapnya. Bagaimana mungkin aku mampu menatap manik-manik matanya disaat dia meneteskan air mata seperti itu.
'Sya maafkan umi' ucapnya sekali lagi.
Sekarang mata kami saling bertatapan. Aku terdiam dan otakku teringat sebuah ayat Al-Qur'an dan hadist syayyidina Muhammad SAW
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun . Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Qs. Luqman : 14)
Abu Hurairah RA, berkata, "Seseorang datang kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan berkata, 'Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?' Nabi shalallaahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Ibumu!' Dan orang tersebut kembali bertanya, 'Kemudian siapa lagi?' Nabi shalallaahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Ibumu!' Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi?' Beliau menjawab, 'Ibumu.' Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi,' Nabi shalallahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Kemudian ayahmu.'" (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548)
Aku menundukkan pandangan sebelum air mataku benar-benar terjatuh. Astagfirullah. Ampuni aku ya Rabb . Aku salah, aku tidak ingin mendzolimi wanita di depanku.
Umi menegakkan wajahku dengan menarik lembut daguku keatas. Lalu dia menangkupkan kedua tangannya sebelum menyapu air mata ku. Aku memegang kedua tangannya dan mengusapnya lembut.
'Umi aku tidak punya hak untuk tidak memaafkan ibuku sendiri' ucapanku terbata-bata karena tangis yang sedari tadi menyerbuku.
Dia kembali menjatuhkan air matanya. Entah berapa banyak dia menangis karena ku harini.
'Umi sayang Aisya.' dia mengucapkan kalimat itu penuh perasaan. Tidak pernah aku mendengar kalimat sedalam itu dari bibir tipisnya.
'Aisya juga sayang Umi. Umi jangan nangis lagi ya' kini aku benar-benar tak tahan melihat wanita itu menangis. Segera ku buat tanganku menyapu lembut pipinya, berusaha membersihkan air mata yang bercucuran.
Maafkan aku ya Rabb. Aku tak bermaksud menyakiti umi. Maafkan aku ya Rabb. Beri aku keikhlasan dan kesabaran dengan semua ini. Bantu aku berbakti kembali dengan ibuku.
Teriakan dari luar kembali terdengar. 'Sya kamu baik-baik saja kan?'
Aku dan umi memutuskan semua adegan ini dan berjalan kedepan bergandengan. umi memegang erat tanganku, seperti tidak pernah ingin melepaskan. Ini semua membuatku senang, tapi tetap sesak itu masih ada.
***