Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Perfect Choice
MENU
About Us  

Hari Minggu di panti asuhan...

   Di kerajaan besar bernama Madaniah hiduplah sebuah keluarga yang bahagia. Sepasang suami istri dan seorang anak wanita. Raja memimpin kerajaan dengan sangat baik. Dia adalah Raja yang bijaksana dan dermawan. Setiap minggunya dia selalu berkeliling kepelosok desa untuk melihat keadaan rakyatnya.
   Pernah suatu hari, ketika sang raja ingin melangsungkan aktivitasnya dia ditahan oleh anaknya.
   'Ayah mau kedesa ya. Aku ikut ya yah'
   Usia anaknya saat itu baru berumur 5 tahun. Raja tidak mungkin membawanya karena dia terlalu kecil. Menurut Raja belum saatnya dia membawa anaknya itu, dunia luar terlalu bahaya baginya.
   'Nak. Kamu tidak boleh ikut. Disana ayah cuma sebentar ko. Nanti ayah belikan mainan deh ya' sang raja mulai membujuk anaknya itu dengan hal dia sukai.
   Anak itu mulai merengek 'Gak yah. Aku mau ikut sekali saja'
   'Disana terlalu bahaya'
   'Aku mau ikut ayah' akhirnya sang anak menangis. Karena sejak kecil Raja memang sudah memanjakan anaknya itu, hingga akhirnya dia menjadi anak yang manja. Sang raja paling tidak bisa melihat seseorang menangis apalagi anaknya sendiri. Dengan berat hati, sang raja pun mewujudkan permintaannya itu.
   Sang anak lantas meloncat-loncat kegirangan. Mereka pun pergi ke desa menggunakan kuda dan membawa beberapa bahan makanan, juga kepingan emas. Beberapa saat lamanya mereka sampai di desa.
   Seperti biasa, raja selalu menyapa para rakyatnya dengan ramah. Satu dua tiga rakyat telah berlalu. Saat hendak melanjutkan perjalanan, langkah mereka terhenti sebelum masuk kesebuah pasar.  Mereka menemukan seorang kakek tua yang sedang duduk dibawah sebuah pohon besar. Matanya buta, badannya kotor dengan menggunakan baju yang mungkin sudah beberapa hari tidak diganti. Saat itu dia sedang memegangi perut, merintih kesakitan.
   Sang raja pun menuntun kuda yang ditumpangi anaknya untuk mendekat. Raja menurunkan anaknya terlebih dahulu, sebelum dia memberikan bekal makanan.
   'Kek ini ada sedikit makan buat kakek.'
   'Masyallah kamu siapa nak.' kakek itu mulai meraba-raba lengan sang raja
   'Perkenalkan saya Kalen kek. Ini anak saya Wulan' sang raja mendekatkan anaknya untuk diraba kakek itu.
   'Sekarang kakek makan dulu ya. Saya suapkan'
   Kakek itu hanya menurut. Setelah selesai memberi makan sang raja pun menyelipkan beberpa keping emas dikantong baju kakek tanpa memberi tahunya terlebih dahulu.
   'Kekek orang baru ya. Ko baru pertama kali saya lihat?'
   'Saya dulu tinggal di desa sebelah nak. Raja disana sangat kejam, kami usir keluar karena kami tidak bisa bekerja sesuai dengan apa yang minta.'
   'Lalu kakek kesini sama siapa?'
   'Tadi saya kesini bersama anak saya. Dia sekarang mencari makan entah kemana dan meminta saya tunggu disini.' kakek itu memegang tangan sang raja 'Nak, boleh saya minta bekal makan sedikit lagi untuk anak saya'
   'Iya tentu kek.' Sang raja meletakkan sesuatu disamping kakek itu.
   'Terimakasih nak. Kamu sungguh laki-laki yang mulia. Semoga Allah memberkahi hidupmu dan anak mu'
   'Amin. Makasih kek. Kalo begitu saya tinggal ya. Saya harus ketempat lain'
   'Iya nak. Sekali lagi terimakasih ya'
   Sang raja pun kembali menaikkan putrinya keatas kuda dan melanjutkan perjalanannya.
   Ditengah perjalanan sang putri pun bertanya pada ayahnya. 'Yah kenapa ayah gak bilang. Kalo ayah raja disini?'
   'Gak papa nak.'
   'lalu kenapa ayah mau bantuin orang yang berasal dari kerjaan sebelah. Bukannya mereka memusuhi kerjaan kita ya?'
   'karena dia juga makhluk Allah nak. Rezeki yang kita dapat hanya titipan. Jika kita diberi lebih banyak dari apa yang kita butuhkan. Itu artinya kita punya amanah untuk memberikan lebihan itu kepada orang lain.'

Bersambung....
    'Yahhh. Ka Aisya...' anak-anak mulai mendemo ku karena cerita kali ini aku potong.
     Dari tadi aku merasa ada yang sedang memperhatikann kami lantas aku memotong cerita. Aku berpaling dan menemukan seseorang diperbatasan teras dengan tanah sedang berdiri menghadap kami. Benar ternyata dia sedang memperhatikan, terbukti setelah aku menoleh dia tampak kaget dan hampir saja handphone yang dipegangnya terjatuh.
     'Assalamualaikum' sapaku
     'Walaikumussalam'
     'Mau cari siapa?'
     'ibu Sita'
     'Oh iya beliau sedang di belakang. Mau saya panggilkan?'
     'Eh nak Akbar.' belum sempat aku beranjak ternyata orang yang dimaksud sudah berada di ambang pintu masuk.
     Laki-laki itu berjalan dan menyalami ibu Sita. Dan aku kembali kepada anak-anak'
     'nah sekarang. Siapa yang tau amanat dari cerita tadi...' aku mulai melirik kesemua wajah anak-anak ini, sebelum mengangkat tangan 'ayo angkat tangan' jawabku semangat.
     Semua anak Disini angkat tangan. Aku mulai bergaya kebingungan dengan menggaruk tengkukku yang tidak gatal. 'hm siapa ya?
     'Aku ka.'
     'Shila aja ka'
     'Adam ka'
     Mereka tampak tidak sabar menunggu ku menunjuk siapa yang akan bicara 'ya Diana' aku menunjuk salah satu anak diujung sana.
     Semua anak mendengus lesu karena tidak terpilih, sebelum mereka mendengarkan. Anak yang ku tunjuk tampak kegirangan dia mengubah posisi duduknya menjadi setengah berdiri dan menjawab dengan lantang.
     'Amanatnya adalah kita tidak boleh sombong, rajin bersedekah, karena apa yang kita dapatkan hanya titipan'
     'Ya betul sekali. Beri tepuk tangan pada Diana. Yeee'
     Akhirnya Suasana kembali riuh karena tepuk tangan mereka.

***

Dua bulan yang lalu...
   Akbar kembali memasang jas putihnya dan siap melakukan rutinitas pagi, mengecek setiap orang yang menjadi pasiennya. Menjadi seorang dokter membuat dirinya jauh dari kata santai. Dia harus selalu siap ketika ada panggilan emergency mendadak dari rumah sakit sekalipun hari Minggu. Dia adalah seorang onkolog yang lahir dan dibesarkan di Indonesia.  Pernah berkuliah di negara Jerman dan sekarang bekerja disalah satu rumah sakit di negara hunggaria, mengikuti jejak ayahnya yang juga dulu seorang onkolog disana.
   Sebelum pintu ruang pribadinya terbuka, langkahnya berhasil dihentikan oleh getar handphone disaku celananya. Segera dia mencelupkan tangan mengambil benda itu, dan menggeser panel hijau diatas touchscreen. Sebelum mengetahui siapa yang menelpon, dia sudah bisa menebak dengan tepat siapa dia.
   'Assalamualaikum Bunda?' Akbar menyapa ramah seseorang diseberang sana. Ya, yang menelponnya adalah bidadari surganya Bunda Hasanah. Wanita itu lebih memang sering menghubungi dalam minggu-minggu terakhir ini.
   'Walikumussalam. Akbar gimana kerjanya, lancar?'
   'Alhamdulillah bun lancar. Bunda gimana disana sehat?'
   'Alhamdulillah sehat. Bunda ganggu ya?'
   'Gak ko Bun. Apa sih yang lebih prioritas dari bunda. Kenapa bun?'
   'Hm...Bunda cuma mau tau jawaban kamu tentang tawaran bunda kemarin. Jadi gimana kelanjutannya?'
   Akbar menghembuskan nafas beras, sebelum menjawab pertanyaan wanita itu. 'Insya Allah Akbar akan pulang Minggu depan bun. Akbar harus menyelesaikan beberapa berkas dan laporan dulu sebelum resign'
   'Syukur Alhamdulillah. Bunda seneng dengernya. Bunda tunggu ya. Insyaallah pilihan ini akan menjadi pilihan terbaik. Dan jika kalian memang berjodoh, ini akan menjadi pilihan yang sempurna karena Allah sendiri yang mentakdirkannya.'
   'Iya Bunda. Akbar serahkan semua sama  Allah.'
   'Ya sudah semangat sayang. Assalamualaikum'
   Telepon terputus setelah dia menjawab salam wanita itu. Pembicaraan tadi membuatnya menjeda aktivitas kali ini. Kini dia memutar badannya dan kembali menempati kursi kerja. Menyandarkan badannya dan meletakkan kedua tangannya diatas pegangan kursi.
   Seseorang mengetuk pintu sekali lalu langsung membukanya. Tanpa menunggu dipersilahkan, seseorang yang juga berjas putih itu berjalan masuk lalu menutup pintu kembali.
   'Assalamualaikum?' ucapnya. Dia adalah Alvin Putra teman seprofesinya yang juga sama-sama berasal dari Indonesia.
   'Walaikumussalam' jawabnya pelan
   Akbar tidak menghiraukan apa yang akan dilakukan laki-laki itu diruang pribadinya. Dia hanya memegang kepalanya dan menatap lurus ke depan. Banyak hal yang mempengaruhi pikirannya sekarang. Alvin langsung melanjutkan langkahnya menuju lemari penyimpanan file diruangan itu, ada sesuatu yang harus dia temukan disana.
   'Bar Lo kenapa. Ane liat suntuk banget mukanya?' Beberapa saat hening menyelimuti, membuat Alvin bingung. Akbar memang cenderung tidak banyak bicara, tapi dia selalu menjawab jika Alvin yang mengajukan pertanyaan.
   'Ente punya masalah bar?' tanyanya lagi. Akbar masih diam mematung dengan posisinya. Biasanya setelah mendapatkan yang dia cari, Alvin langsung keluar. Namun kali ini Alvin benar-benar dibuat khawatir akan kondisi temannya yang satu itu.
    'Bar, ente kenapa?' Kini Alvin sudah duduk didepannya
    'Bar...'
    'Bar...'
    Merasa kesal, lantas Alvin  mengencangkan suaranya. 'Woy...Muhammad Akbar Ramdhani!!!!
   'Astagfirullah'
   'Yee ngelamun....Ente kenapa? Cerita dong ngapa'
   Dia menghela nafas dalam-dalam sebelum bicara 'Ane mau balik ke Indonesia Minggu depan?'
   'Ente mau Nerima perjodohan itu?'
   'Maybe' Akbar mengangkat sedikit bahunya. 'Ya gimana? Ane gak ada pilihan lain. Ente kan tau ane gak bisa bawa calon mantu yang ane pilih sendiri kedepan Bunda'
   'Tapi gak gini juga kali bar. Ente bisa ngambil keputusan satu detik, tapi ente akan ngejalaninnya seumur hidup Bar' ucapnya dramatis.
   'Ane udah mikirin ini sebelumnya Vin. Dan ane harus memilih.'
   'Tapi ente masih punya waktu satu Minggu, sebelum balik. Ente masih punya kesempatan buat nyari istri sendiri. Lagian apa sih kurangnya ente. Mapan iya, tampan iya... Ya walaupun masih tampan ane sih, dan Sholeh juga insyallah iya. Banyak cewek ngantri bar. Lo tinggal pilih'
   'Udahlah. Ane males cari calon lagi. Kalo ane gandelin kesuksesan sama ketampanan, ane gak bakal nemu wanita yang tulus. Wanita emang banyak Vin, tapi yang tulus jarang. Ente juga tau kan ane pernah gagal 2 kali Vin... 2 kali.' nadanya penuh penekanan.
   Ucapan Akbar kali ini membuat laki-laki itu tak berkutik. Akbar beranjak dari kursinya dan kembali mengambil stetoskop yang ada diatas meja. 'Bar?' Akbar berjalan tanpa menjawab.
   'Hey bar.'
   'Bar dengerin ane. Perjodohan itu---' 
   Dia membalikkan badannya 'Bismillah, ane udah yakin sama pilihan ini.' lalu  benar-benar meninggalkan laki-laki itu sendirian.
   
Seminggu setelahnya....
   Masih dirumah sakit dan ruangan yang sama, Akbar membereskan semua barang-barangnya. Semua bersih, ruangan itu kosong seperti tidak ada penghuni. Dia akan benar-benar meninggalkan tempat ini, tempat yang selama 3 tahun lebih menjadi rumah keduanya.
   Akbar memegang kotak kecil dan memutar-mutarnya. Sepasang cincin tertancap disana, cincin yang dia beli satu tahun lalu. Sampai sekarang dia belum menemukan jari wanita yang benar-benar pas mengenakannya. Bukan hanya dunia tapi juga akhirat, berjuang bersama meraih ridho Rabb-Nya. Ketika seseorang masuk, sontak dia segera menyembunyikan benda itu kedalam sakunya.
   'Ente beneran bakal balik bar?' tanya Alvin setelah melihat ruangan itu
   'Wah. Tega ente ninggalin ane sendirian' cakapnya sambil menggelengkan kepala.
   Akbar hanya tersenyum melihat temannya itu, lalu berdiri dan menarik pegangan koper. 'Ane udah yakin Vin'
   'Ya udah lah. Ane bisa apa? Jangan lupa undang ane kalo ente beneran nikah ya Bar' Akar memeluk sambil menepuk-nepuk temannya itu sebagai tandah perpisahan. 
   'Ane bakal ngerinduin Lo bar, gak bakal ada lagi yang ngajakin ane makan siang bareng' nadanya terdengar semakin lembut 'makan malam bareng....' sontak Akbar melepas pelukannya. 'Hehe canda bar.' 
   'Ya dah ane balik ya. Penerbangan ane sekitar 1 jam lagi'
   'Ane bantu antar sampe bandara ya bar. Itung-itung balas budi ane ke ente.'
   Akbar mengangguk tanda setuju.

***

    Ada apa dengan dosen dimuka bumi ini. Dalam satu hari saja sudah 2 orang sahabatku yang tergila-gila. Bagaimana kalau sekarang?
   Selepas jam kuliah berakhir, aku tidak langsung pulang. Aku menunggu seseorang di depan ruangan yang bertuliskan Fakultas TI. Ini kali pertama aku menginjakkan kaki disini. Banyak mahasiswa yang berlalu larang memperhatikanku, namun tidak satupun yang menegurku. Daripada bosan, aku memutuskan untuk memasang earphone mendengarkan murotal surah Al-Hasyr dengan volume paling kecil. 
   Setelah sekitar 15 menit aku menunggu, fokusku beralih pada derap kaki yang rasanya semakin mendekat. Seseorang dari sisi kanan berhenti di depanku membuat aku mendongakkan kepala.
   'Kamu Aisya.?'
   'Iya.'
   'Aku Andra' dia mengulurkan tangannya kearah ku. Namun aku hanya membalas dengan tangkupan kedua tangan di dada. Dia tersenyum dan juga melakukan hal sama. Earphone yang masih ada di telingaku segera ku lepaskan sebelum ku masukkan kedalam tas.
   'Sudah lama?'
   'Gak kok' 
   Laki-laki itu duduk di sampingku, namun masih memberi jarak antara kami yang dapat diisi satu orang. Dia mulai mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan meyodorkannya kepadaku. Aku menerima dan membacanya.
   'Sya ini konsep dari aku.  Bapak Agus hari ini baru bisa ditemui siang sekitar jam 3. Kamu gimana? Gak sibuk kan?'
   'Hm iya. Gak ko.' 
   Kami masih punya sekitar satu jam lebih sebelum bertemu dosen. Laki-laki itu mengajakku ke fakultas kedokteran yang jaraknya sungguh menakjubkan. Fakultas TI ada dibagian barat kampus sedangkan Fakultas kedokteran berada di bagian timurnya. 
   Walaupun menggunakan fasilitas sepeda, rasanya aku tetap kelelahan. Bagaimana mungkin aku bisa bertahan bolak balik dalam 4 bulan kedepan kalo aku sudah menyerah sekarang. Semangat Sya kamu pasti bisa!
   Akhirnya sampai juga batinku.
   'Cape ya Sya.' laki-laki itu menoleh kearahku sambil tersenyum. Apa dia mendengar bicaraku dalam hati? Aku tak dapat mengelak kali ini. Benar-benar lelah.
   'Hehe. Gak biasa aja'
   'Bentar ya. Aku hubungi Rico dulu'
   Aku mengangguk. Laki-laki itu mulai mengotak-atik handphonenya sebentar dan langsung menempelkannya ditelinga. Dia memalingkan badannya sedangkan aku memilih duduk dikursi. Tak perlu menunggu lama, sekarang dia sudah berbicara dengan seseorang diseberang sana.
   "Assalamualaikum"
   .....
   "Aku sudah di fakultas. Kamu dimana?"
   .....
   "jadi kami menunggu dimana?"
   .......
   Aku dapat menyimak apa yang sedang dia bicarakan walaupun tidak mendengar ucapan lawan bicaranya. Beberapa saat kemudian Laki-laki itu menjauhkan handphonenya dan berbalik kearah ku.
   'Sya kamu mau nunggu di depan ruang prakteknya atau di kantin.'
   'Kantin aja' jawabku cepat. 
   Jelas aku akan memilih dikantin, karena aku tidak ingin berhubungan dengan dunia medis secara langsung. Kalau saja kemarin sudah ditentukan subtema dari karya ilmiah ini adalah kesehatan, aku pasti sudah menolak tawaran ibu Risa.
   "Oke aku sama Aisya tunggu di kantin ya"
   Setelah dia mengucapkan salam, laki-laki itu langsung mematikan telepon dan kembali memasukkannya ke kantong celana.
   'Sya. Dia masih diruang praktek. Beberapa menit lagi dia keluar.'
   Aku mengangguk. Walaupun aku bukan anak kedokteran, tapi tempat ini tidak seasing fakultas TI. Dulu hanya ada dua kemungkinan aku berurusan disini, pertama rapat organisasi dan kedua karena sahabatku Reina. Sekarang akan menjadi tiga kemungkinan yaitu karya ilmiah huh, hari yang melelahkan. 
   Fakultas ini memiliki kantin yang terletak berseberangan dengan masjid fakultas. Dari tempat kami berdiri sekarang, kami hanya perlu berjalan kearah Utara beberapa meter melalui beberapa ruang kelas dan praktik.
   'Kamu sudah tau dimana kantinnya Sya?'
   'Iya'
   Dia tersenyum dan mengikuti langkahku. Kami berjalan berbarengan namun masih dalam jarak aman. Sejak tadi tidak yang kami bicarakan, mungkin dia merasa canggung karena aku memang tidak banyak bicara sejak tadi. Aku memang mahasiswa komunikasi, tapi aku tidak suka banyak bicara.
   'Kamu duluan aja cari meja. Biar pesankan makanan dulu nanti aku nyusul'
   'Gak papa'
   Dia mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban lalu pergi. Aku menuruti dan memilih duduk dimeja makan paling kanan. 
   Sambil menunggu laki-laki itu, aku memanfaatkan waktu untuk membaca. Entah kenapa novel yang ku pinjam dari Reina membuatku semakin penasaran untuk menghabiskannya. Apa benar buku ini bisa bikin si pembaca menangis?
   'Sya kamu baca apa?'
   'Astagfirullah' seseorang mengejutkanku. Mungkin kata yang lebih tepatnya, aku yang terlalu fokus hingga mendengar bicara biasa saja sudah terkejut.
   Laki-laki itu memasang wajah bingung kearahku, ketika aku menempatkan satu tangan di dada. Lalu kemudian duduk dan meletakkan nampan yang dibawanya. Dua piring nasi goreng dan dua gelas jus jeruk. 
   'Maaf. Aku ngagetin ya'
   'Gak kok. Aku aja yang terlalu fokus tadi' Salah satu halaman buku itu aku lipat sebelum kembali ku masukkan kedalam tas.
   'Suka kan nasi goreng?'
   'Iya suka'
   'Ayo makan' pintanya sambil menyuguhkan piring makan itu kedepanku. Kami duduk berseberangan, terkadang beberapa mahasiswa memperhatikan kami. Mungkin karena kami yang tidak mencirikan mahasiswa kedokteran hingga begitu asing bagi mereka.
   'Aisya...' teriak seseorang memanggilku. Kepalaku berkeliling mencari sumber suara, dan menangkap seorang wanita diujung sana sedang melambaikan tangan kepadaku. Aku mulai menyimpitkan bola mata berusaha dapat melihat dengan jelas. Namun sayang, wajahnya tetap kabur.
   Dia bergegas menghampiri dan sekarang sudah duduk di sampingku.
   'Reina?'
   'Hey... Lo ngapain disini dua-duan'
   Ucapan Reina perlu di ralat. Kami tidak sedang berduaan, lagi pula disini tempat  umum. Banyak mahasiswa yang juga makan.
   'Ciyeee akhirnya ta'aruf juga. Katanya gak suka sama laki-laki. Gak mau kenal jauh' Reina mulai menggodaku
   Aku yakin, sekarang laki-laki di depanku itu menatapku. Jangan sampai Andra salah paham. Aku mencoba meminta Reina untuk diam dengan memberi kode lewat mimik muka.
   'Hm ciyeee'
   Reina memang tidak bisa diajak kompromi, bukanya diam wanita itu malah semakin memojokkan kami. Senyumnya semakin membuatku risih, aku mencubit tangannya hingga dia merintih kesakitan.
   'Kami lagi nunggu Rico.' jawab laki-laki itu.
   Sykurkah, semua tidak seburuk yang aku pikirkan. 'Tuh dengerin' lanjutku.
   'Hm iya deh iya. Tapi ciyeee yang lagi bareng sama cowok ganteng' 
   Laki-laki itu menggelengkan kepalanya mendengar Reina. 'Maaf ka. Biasa lah' ucapku. Reina terus saja menggoda. dia selalu merasa jenaka jika aku satu tim dengan laki-laki. What wrong? Aku memang tidak suka kenal laki-laki lebih jauh tapi bukan berarti aku gak bisa satu tim kan sama laki-laki. 
   'Udah ah, gw kesana ya?'
   Aku hanya mengangguk. Tak berapa meja kami kembali dihampiri seseorang setelah Reina pergi. Dia langsung duduk disamping ka Andra. Meletakkan beberapa buku dan membuang nafas lelah. 
   'Hey. Udah lama?' 
   'Ngak baru aja kok...Makan bro'
   'Iya makan makan.'
   'Sya nih yang namanya Rico' ka Andra memperkenalkan seseorang disampingnya.
   'Aisya' 
   'Semester berapa Sya?'
   'Semester 5.'
   'Eh aku mau nyari makan dulu ya. Keburu gak?' laki-laki itu menepuk bahu Andra.
   'Tenang. makan aja dulu. Kami juga belum kelar.' 
   Selesai makan kami memutuskan untuk mencari bahan tambahan di perpustakaan fakultas ini. Hal ini ternyata terjadi juga. Ingin rasanya aku mundur, tapi itu hal yang bodoh. Aku bahkan belum bertempur. Tenang Sya, ini cuma materi.
   'Sya. Ayok masuk' pinta seseorang yang melihatku masih berdiri diambang pintu.
   'I-iya'
   Aku berjalan pelan sekali, mataku memperhatikan setiap benda yang ada diruangan ini. Tidak ada yang aneh, isinya sama seperti perpustakaan lainnya. Penuh dengan buku, hanya saja buku disini relatif tebal. Tapi rasanya dunia medis itu menakutkan.
   'Kenapa Sya?' tanya Andra.
   Aku tidak mungkin bilang kalo aku gak mau ngambil subtema kesehatan. Sudah pasti dibantah karena sudah jadi kesepakatan. Ah ceroboh, kenapa aku sampai ketinggalan handphone waktu itu. 'Gak ko, keren aja penataannya'
   'Hm iya dong. Fakultas kedokteran' Rico mulai pamer. Tapi jujur, kalo dinilai perpustakaan ini memang keren. Terkesan klasik dan elegan.
   'Udah ah. Ayo duduk kita mulai sekarang.' pinta Andra. Kami pun bergegas duduk untuk benar-benar serius.
   Sambil membuka lembar demi lembar  kertas ka Andra mulai bicara 'Tema karya ilmiah yang kita ikuti adalah pemanfaatan teknologi di era revolusi industri 4.0. kita sepakat untuk ngambil 3d printing sebagai teknologinya dan fokusnya dibidang kesehatan. Karena ada kata pemanfaatan itu artinya kita harus melakukan penelitian tentang seberapa mampunya teknologi alias 3d printing bisa digunakan dalam bidang kesehatan. Rico, karena disini kamu satu-satunya yang lebih ngerti dunia medis, sesuatu apa yang memang pas untuk kita jadikan contoh pemanfaatannya?'
   'Menurut aku sih, gimana kalo kita melakukan penelitian 3d printing dalam mencetak organ tubuh manusia. Aku pernah baca, Cardiovascular Innovation Institute di Louisville, Amerika Serikat menggunakan printer 3D untuk menciptakan hati manusia lengkap dengan jaringan selnya.'
   Andra memberi jeda sejenak, mencerna paparan dari rico. Setelahnya dia menatapku dan menanyakan pendapat.
   'Maaf. Apa gak terlalu ekstrem. Kalo seandainya kita lakuin penelitian semacam itu. Kita akan susah mendapatkan hasil yang akurat. Apakah hasil 3d printing bisa berfungsi dengan baik ditubuh manusia. Pasalnya, kita harus melakukan praktek pemasangan organ hati kan didalam tubuh manusia'
   Kedua laki-laki itu tampak berpikir. Ini adalah trik yang sudah ku rancak sebelumnya. Mentalku tidak akan sekuat mereka dalam hal organ tubuh.
   'Lalu menurut kamu apa Sya yang cocok?'
   'Aisya pernah baca bahwa sekelompok ilmuwan di University of Florida, Amerika Serikat juga pernah memaksimalkan keunggulan 3d printing ini untuk menciptakan model otak, tengkorak kepala, dan kulit manusia buatan untuk pelatihan pembedahan otak. Ini hanya terfokus pada percobaan atau praktek sebelum pembedahan sungguhan. Kita bisa ambil ini untuk jadikan penelitian.
Cara membuat replika tersebut  adalah dengan menggunakan hasil CT scan seorang pasien. Replika itu bisa jadi acuan sebelum proses pembedahan berlangsung. Dengan begini para dokter bedah akan memiliki  ketepatan baik. Ini juga bisa dimanfaatkan oleh para mahasiswa dalam prakteknya.'
   Kedua laki-laki itu bertepuk tangan setelah paparanku selesai.
   'Waw. Perfect Sya. Aku gak nyangka loh kamu pinter banget.' puji ka Rico
   'Suer deh. Parah keren.'
   Aku hanya tersenyum. Syukurlah aku mendapat respon baik. Setidaknya organ tubuh bagian dalam dan paling ngeri cairan merah itu berhasil aku singkirkan. 
   'Jadi kita mulai dari mana?'
   Keduanya menatapku seolah-olah sekarang aku menjadi ketua. Mereka menunggu jawaban dari mulutku dengan wajah sangat serius. Aku malah memutar bola mata mencari kalimat tepat untuk mengungkap ketidaktahuanku. Ceroboh aku berani memberi ide namun tidak diimbangi dengan peta jalannya.
   'Yah kalo itu aku kurang ngeh. Toh aku kan anak komunikasi'
   'Yahh..' mereka mendaratkan badan pada punggung kursi secara bersamaan.
   'Hehe' 
   Kami sama-sama saling berpikir mencari jalan keluar. 'Kayanya susah deh kalo kesehatan' ucap Andra
   'Hm ya susah banget' jawabku cepat.
   'Eh bentar. Kalo memang kita ingin melakukan penelitian replika tulang kayanya aku bisa deh. Kita mulai dari sini....' dia menyodorkan sebuah kertas dan mulai menuliskan sesuatu. 'jadi kita harus cari beberapa buku yang berhubungan dengan tulang tengkorak beberapa buku tentang penyakit dibagian kelapa Gimana?
   'Oke. Kita mulai sekarang. Biar cepat kita nyarinya mencar ya. Temukan sebanyak mungkin buku yang berhubungan dengan konsep tadi.'
   Sekarang apa? Aku benar-benar akan bergelut dengan kesehatan. 
   Sesuai instruksi, kami mencari secara berpisah. Aku mendapat tempat mencari di rak buku sebelah kanan. Setelah lama mencari akhirnya aku menemukan sebuah buku. Tanganku sudah hampir menyentuhnya, namun seseorang diseberang sana ternyata lebih dulu mengambilnya. 
   Ah sudahlah. Mungkin aku akan menemukan buku lain. Kali ini aku memainkan jari telunjuk untuk membantuku mencari, perlahan namun pasti. Tingkat paling atas dan tengah sudah ku telusuri, buku yang ku cari tak kunjung ditemukan. Sekarang giliran tingkat paling bawah, lantas aku menjongkok menyamakan posisi dengan buku.
   'Buku itu tidak akan kamu temukan di rak paling bawah' Aku mendengar derap kaki yang semakin mendekat membuat ku mengongakkan kepala. Dia menyodorkan sebuah buku seperti yang belum sempat aku ambil tadi.
   'Kamu perlu inikan untuk karyamu?'
   Dari mana dia tau? Sambil berdiri aku mengambil buku itu 'iya kak...eh maksud saya pak' wajahnya memang terlihat seperti mahasiswa, namun pakaiannya terlalu formal seperti dosen membuat ku kesulitan menemukan identitasnya.
   'Panggil pak aja. Saya dosen disini.'
   'Ah maaf saya benar-benar tidak tau'
   Malu sekali rasanya, masa seorang dosen aku panggil kak. Karen
   'Kamu udah nemu gak Sya?' aku Menoleh kebelakang mencari sumber suara, ternyata Andra. Dia sudah menemukan tiga buah buku tebal ditangannya sambil menghampiriku. Ah ya aku teringat sesuatu. 'Terimakasih ya....' laki-laki itu sudah tidak berada di hadapanku lagi. 
   'Yok kita temui Rico.'
   Aku hanya mengangguk dan mengikutinya dari belakang. Kami kembali duduk dan kembali melanjutkan pembicaraan. Menambahkan beberapa tulisan diatas konsep yang sudah dirancang Andra.  
   Setelah selesai kami langsung meluncur menuju fakultas TI kembali. Hasil yang memuaskan, dosen pembimbing menyetujui konsep yang kami rancang. Sekitar satu jam kami berhadapan dengan dosen. Saling bertukar pikiran satu sama lain. Banyak hal yang kami dapatkan dari penjelasan pa Agus, dia memberi peta jalur dalam penyelesaian ilmiah kami. Apa yang harus kami lakukan dan apa yang perlu kami khawatirkan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Rania: Melebur Trauma, Menyambut Bahagia
165      136     0     
Inspirational
Rania tumbuh dalam bayang-bayang seorang ayah yang otoriter, yang membatasi langkahnya hingga ia tak pernah benar-benar mengenal apa itu cinta. Trauma masa kecil membuatnya menjadi pribadi yang cemas, takut mengambil keputusan, dan merasa tidak layak untuk dicintai. Baginya, pernikahan hanyalah sebuah mimpi yang terlalu mewah untuk diraih. Hingga suatu hari, takdir mempertemukannya dengan Raihan...
Kejar Mika!
3519      1121     5     
Romance
Sudah bukan rahasia lagi kalau Pinky jatuh cinta setengah mati dengan Mikail Angelo, pemuda tampan paling populer di sekolahnya yang biasa dipanggil Mika. Jungkir balik dan jatuh bangun mengejar cintanya sedari SMP, yang ia dapat adalah penolakan. Lagi, lagi dan lagi. Pantang menyerah, Pinky berjuang keras demi bisa masuk SMA yang sama dengan pemuda itu. Dan ketika ia berhasil berada di ...
Diary of Time
1795      848     3     
Romance
Berkisah tentang sebuah catatan harian yang melintasi waktu yang ditulis oleh Danakitri Prameswari, seorang gadis remaja berusia 15 tahun. Dana berasal dari keluarga berada yang tinggal di perumahan elit Menteng, Jakarta. Ayahnya seorang dokter senior yang disegani dan memiliki pergaulan yang luas di kalangan pejabat pada era pemerintahan Presiden Soekarno. Ibunya seorang dosen di UI. Ia memiliki...
between us
317      220     1     
Romance
gimana rasanya kalau di antara kita ada beribu masalah... apakah aku sanggup
Perfect Love INTROVERT
10688      1994     2     
Fan Fiction
Psikiater-psikiater di Dunia Skizofrenia
1013      648     0     
Inspirational
Sejak tahun 1998, Bianglala didiagnosa skizofrenia. Saat itu terjadi pada awal ia masuk kuliah. Akibatnya, ia harus minum obat setiap hari yang sering membuatnya mengantuk walaupun tak jarang, ia membuang obat-obatan itu dengan cara-cara yang kreatif. Karena obat-obatan yang tidak diminum, ia sempat beberapa kali masuk RSJ. Di tengah perjuangan Bianglala bergulat dengan skizofrenia, ia berhas...
Keimanan dan Ketakwaan Kepada Allah Swt.
465      317     2     
Short Story
Ketabahan Seorang Hamba Allah Dalam Menjalani Ujian Yang Diberikan Oleh Allah Swt.
Dialog Hujan
563      400     3     
Short Story
Tak peduli orang-orang di sekitarku merutuki kedatanganmu, aku akan tetap tersenyum malu-malu. Karena kau datang untuk menemaniku, untuk menenangkanku, untuk menyejukkanku. Aku selalu bersyukur akan kedatanganmu, karena kau akan selalu memelukku di dalam sepiku, karena kau selalu bernyanyi indah bersama rumput-rumput yang basah untukku, karena kau selalu menyebunyikan tangisku di balik basahmu.
To You, in 100 Years
428      291     1     
Short Story
When the world is no longer imperfect, that's when Al-Ex decides to end her pain and suffering. Forever.
Sherwin
371      250     2     
Romance
Aku mencintaimu kemarin, hari ini, besok, dan selamanya