Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Perfect Choice
MENU
About Us  

    Harini adalah hari sabtu. Seharusnya aku bisa istirahat di rumah. Tapi Sabtu ini, jadwalku memutar haluan untuk mengikuti rapat kemudian menemui Reina sahabatku. Jam kecil ditanganku sudah menunjukkan pukul 9.20. Aku memesan ojek online dan baru bisa sampai di kampus pukul 9.55. 
     'Na ini dia nih, biang keroknya.' ucap Deden yang lebih dulu sadar kehadiranku.
     'Assalamualaikum!' 
     'Walaikumussalam' bersamaan dengan menoleh mereka menjawab salam ku.
     'Hehe 25 menit doang ko kali ini' lanjutku tanpa merasa bersalah. Rara menggelengkan kepala. Dari jadwal yang ditentukan di group, rapat memang sudah dimulai pukul 9.30, ini kali ke 2 aku terlambat.
     Keadaan sempat hening beberapa detik, Deden tampak mengelus dada tanda harus menahan sabar karena ulahku. 'Oke aku minta maaf, tadi om ojeknya nyasar nyari alamatku.' Aku mencoba mencari alasan.  'Ya sudah ayo gabung Sya.' Pinta Arief. Dia adalah ketua umum organisasi, akan lebih mudah merurusan dengannya ketimbang Deden.
     Tadinya aku ingin duduk disamping Rara, tapi setelah aku mencari keberadaanya dia nampak sudah mengernyitkan mata kearahku. Dalam batinku, pasti dia sudah siap melemparkan cubitan itu lagi. Waspada! aku harus menghindar. Aku berlalu melewatinya dan duduk disamping Fisyah. Awas Sya!' ucapnya setengah berbisik. Aku terkekeh, dia benar-benar tampak kesal.
     Arief berdehem 'Oke karena semua sudah lengkap, sekarang kita ulang sedikit yang sudah dibahas biar Aisya juga tau. Jadi...' Belum sempat dia melanjutkan, laki-laki itu datang.
     'Aisya udah datang?' tanyanya sambil menatap seisi ruangan mencari keberadaan ku. Semua orang menolehnya kecuali aku. Dialah Muhammad Faris, mahasiswa farmasi semester 7 yang selalu menghantuiku disetiap pagi. 
     'Kalo masuk ruangan, salam dulu dong!' Vina protes
     'Eh iya. Assalamualikum'
     'Walikumumussalam'
     'Duh calon imam lagi nyariin makmum' ejek syfa. 
     Aku tak menghiraukannya, hanya sibuk membaca agenda rapat kali ini. Laki-laki itu mencoba merapikan bajunya, lalu duduk ditempatnya kembali. Dia benar-benar bisa jelas memperhatikan gerak gerikku kali ini karena posisi kami berseberangan. Astagafirullah. Siaga dua, aku salah memilih tempat duduk
     'Ente mau kehilangan seribu nama obat Ris, karena Aisya?' Arief menyingkut siku laki-laki itu.
     'Itu lah cinta mengalihkan dunianya, asik!' Deden siap dengan puisinya.
     'Hanya Aisya yang mampu meluluhkan kerasnya faris, eaaa' Irfan ikut menimpali. Dia mengedipkan sebelah matanya kepada temannya itu, sebuah kode tanda rahasia yang tersirat. Irfan membalas senyum dan menunjuk tangan seseorang dengan wajahnya. Rupanya Deden mengerti.
     'Eh la pinjam cincinnya dong' dia meminta seseorang untuk melepaskan cincin yang ada dijari kirinya. Wanita itu menuruti, semua hening seakan bersiap menonton film sungguhan.
     'Kamera siap? Boompole siap? Rolling, action!' Noval bergaya layaknya sutradara.
     Ekhem, Deden menegakkan badan bersikap sekeren mungkin, lalu memutar badan perlahan kearah Irfan. Irfan tertunduk malu dan menggeser sedikit posisinya agar mereka berhadapan.
      'Sya aku mengagumi mu sejak lama. Kamu yang selalu ada dalam pinta dan doa ku. Mau kah kamu menjadi pelengkap hidupku, menjadi jodoh terbaik untukku.' Deden mengarahkan benda kecil itu kepada Irfan 
      Irfan sekarang menundukkan pandangannya dalam-dalam  dan memainkan kesepuluh jari tangannya tanda tersanjung. Beralih menatap Deden dan kemudian menganggukkan kepala dengan lembut. Semua tertawa menyaksikan kecuali aku. Konyol! Rara juga sedikit tertawa yang kemudian berubah diam setelah melihat muka datarku. Dia tau aku tidak suka dengan Faris.
     'Kalian ini! Godain Aisya mulu. Mending ngaji dulu gih, biar tau gimana jadi calon imam yang baik. Ngaji sana, ngaji!' demo Rara membela.
     'Tuh bunda Rara udah ngomong, bujuk rayu bundanya dulu dong' timpal Fisyah. 
      'Oke sudah sudah' jawab Arief yang mencoba tenang sambil memegang perutnya menahan tawa. Semua mulai hening. Mereka sudah kembali dengan posisinya. Cincin itu  juga sudah dikembalikan kepada pemiliknya.
     Arief berdehem dua kali tanda dimulainya rapat kembali. Semua diam menyimak paparan yang Arief bawakan. Setelah kurang lebih satu jam saling tukar pikiran acara pun selesai.
      Bakti sosial tahun ini akan di adakan di panti Asuhan Sinar Melati. Penggalangan dana melalui Pensi, lukis kaligrafi, dan story telling. 
      Kali ini aku harus ekstra antisipasi. Pasalnya, Deden ditunjuk sebagai ketua, aku jadi sekretaris dan Rara jadi bendahara. Pimpinan bertugas mengahendel pensi, karena menjadi inti acara penggalangan dana. Arief dan Faris menjadi relawan lukis kaligrafi yang dananya juga akan disumbangkan. Fisyah dan Syfa mengurus Story telling. Acara ini akan digelar minggu akhir bulan dan akan berlangsung 3 hari. Itu artinya kami mempunyai waktu 3 minggu kedepan untuk mempersiapkan. 
     
    ***
    Selesai rapat semua kembali dengan aktivitasnya masing-masing. Rara mencegah ku untuk pulang dan memintaku menemaninya makan siang ini. Yang biasa kami cuma berdua, akan bertiga kali ini dengan fisyah. Sebelum makan kami memutuskan untuk shalat terlebih dahulu di salah satu masjid kampus terdekat.
     Kami mengambil air wudu lebih awal sebelum Azan dikumandangkan. Aku lebih dulu selesai daripada mereka berdua, lantas aku bisa pergi keatas sekarang. Langkahku terhenti ketika kaki kananku menapak  anak tangga pertama. Suara itu mengalun merdu ditelingaku. Merasuk dalam jiwa menggetarkan hati. Subhanallah agung sekali kalimatmu ya Rabb. Suara itu menghipnotisku, membuat kaki ini enggan melanjutkan langkah.
     'Masyaallah, siapakah pemilik suara seindah ini' Seseorang membuatku menoleh. Rara ternyata sudah berdiri dibelakangku terkagum-kagum. Aku enggan mengubris. Entah kenapa, perkataan Rara benar. Sungguh indah pembawaan Muazin kali ini. Ah tidak! Ini masjid fakultas kedokteran pantes saja berbeda, karena kami tidak biasa shalat disini.
     'Hey ngapain kalian disini, ayo naik.' Fisyah datang menghancurkan kenikmatan pendengaran kami. Kamipun naik kelantai atas untuk melaksanakan shalat Zuhur berjamaah.
     Sekitar 15 menit kami selesai melaksanakan shalat. Aku membatinkan sebuah doa setelah doa yang dibacakan oleh imam selesai. 
     "Ya Allah ya Rabb. Saat ini aku berada dalam kegundahan. Disatu sisi aku tidak ingin bertemu Umi, aku belum sepenuhnya mampu ikhlas dan kuat jika harus kembali menyaksikan perlakuannya ya Rabb. Aku tidak ingin pertemuan kami hanyalah menjadi luka yang membuatku membencinya. Disisi lain, aku sungguh tidak tega meninggalkan Umi begitu saja. Walau aku tau, Ziat lebih pantas  berada disininya bukan aku. Tapi aku tidak mungkin selamanya meninggalkannya  ya Rabb, karena kau takdirkan surgaku ada didirinya. Dia tetap Umi, ibuku. Beri aku jalan terbaik keluar dari ujian ini. Aminnnn."
     Saat melepaskan mukena aku ingat sesuatu. Lantas aku melontarkan pertanyaan sambil melipat kain itu.
     'Ra, kamu punya nomor pa Andre?, Ada beberapa hal yang ingin ku tanyakan?' 
     Tidak ada jawaban. Apa suaraku terlalu pelan? 
     'Ra?' aku mengulang ucapanku.

     'Ra...aku tanya----' kali ini aku menoleh. Persis dugaanku, aku mendapati seorang Rara tengah tersenyum manis sambil menyentuh kedua pipinya. Ya, dia tenggelam dalam lamunan. Fisyah juga ikut menyaksikan hingga akhirnya kami tertawa berdua.
     'Hey Ra...' aku menepuk tangannya
     'Astagfirullah' dia mengelus dada tanda kaget.
     'Ye...ngelamun aja. Mikirin apaan sih'
     'Aku lagi mikirin masa depan... Aku berharap suatu saat nanti aku akan nikah sama seorang hafiz Qur'an yang suaranya merdu kaya laki-laki tadi' Senyumnya enggan pudar dari wajahnya. Aku menggelengkan kepala sambil menahan tawa.
     'Masyallah Ra gak boleh mikirin bukan muhrim, dosa Lo?'
     'Yeee. Aku bayangin suamiku tanpa muka kale. Emang aku tau mukanya gimana? ' demonya. Aku dan Fisya terkekeh. 
     'Gimana tuh tanpa muka?' kami beranjak meletakkan mukena ke dalam lemari.
     'Ya gitu deh...udah ah ayo kita makan. perutku udah ngasih kode nih. Kehabisan energi melamunkan kebahagiaan' lagi-lagi senyuman itu kembali muncul
     'Mending fokus perbaiki diri aja Ra. Daripada sibuk ngelamunin laki-laki aja'
     'Ya kan sambil usaha Sya.'
     'Udah ah, ayo ini udah jam berapa?' Aku melipat kedua tangan di dada, berpura-pura sudah lama menunggu.
     'Bentar Sya. Ini udah selesai ko'

***

  'Hey Sya. Tungguin dong' Rara memanggil Aisya karena berjalan lebih dulu didepan.
     "Mie ayam pak De" tempat ini adalah tempat makan favorite mereka. Tak heran, tempat ini selalu  dipenuhi banyak pelanggan. Selain harga ekonomis, mi ayamnya juga enak pas untuk anak kos.
     Sejak tadi Aisya dan Fisyah masih tertawa kecil seraya menggelengkan kepala. Mereka masih mengingat kejadian yang baru saja terjadi pada sahabatnya itu. Sekarang wanita itu terengah-engah berlari mengejar mereka. Anak itu memang selalu penuh kejutan
     'Huh, cape. Mie ayamnya pake pentol gak Sya?' Aisya dan fisyah menoleh kearah sumber suara, kemudian bertukar pandang bingung.
    'Astagfirullah, dua Sya.' dia tertawa setelah menyadari ucapannya. 
      'Fisyah mau makan apa?' lanjutnya
     'Samain aja deh Ra.'
     'Pak de biasa ya, 3 mangkok. Minumnya teh es'
     'Siap mbak.'
     Sambil menunggu makanan siap, seperti biasa pesanan yang lebih dulu datang adalah minum. Kali ini yang mengantar minum adalah seorang wanita paruh baya yang biasa disebut mbok Sri
     'Nak Aisya. Lama tidak kesini' dia mulai memindahkan minuman itu diatas meja.
     'Iya mbok. Kemarin banyak tugas.'
     'Biasalah mbok, mahasiswa beprestasi' goda Rara membuat wanita itu tersenyum.
     'Aminnn... Mbok gimana kabarnya, sehat? Terkahir saya kesini mbok gak ada, katanya mbok sakit?'
     'Alhmadulillah sekarang sudah baikan. Biasalah nak cuma kecapean aja... Monggo diminum.'
     'Makasih mbok...' Wanita itu pergi kebelakang setelah menyelesaikan aktivitasnya.
     'Eh Sya, Lo beneran mau nikah?' Sya yang dimaksud sudah pasti bukan Aisya.
     'Kalian kenal dimana?' aku ikut menimpali membuat fisyah menoleh ke arahku datar.
     Beberapa saat selanjutnya hening, tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya.  Mimik wajah pun sangat sulit didefinisikan membuat Aisya dan Rara saling bertukar pandang. Mereka melangsungkan komunikasi tubuh sebelum akhirnya Rara mengangkat bahu tidak tahu. Aisya hanya terdiam merasa bersalah.
     'Mi ayam special buat calon penghuni surga sudah jadi.' seseorang membuyarkan ketegangan. Semua masih diam, sampai dia selesai memindahkan mangkok terakhir diatas meja.
     'Makasih pak' ucap Rara.
     'Ciye sekarang bertiga. Biasanya cuma berdua' goda laki-laki itu. Mereka hanya menyunggingkan seulas senyum sebagai jawaban
     'Monggo dinikmati...' Suasana rasanya semakin canggung, setelah laki-laki itu berlalu. 
     'Kamu mau kecap syah' Aisya angkat bicara
     'Atau mau saus tomat? Nih..'
     Fisyah benar-benar diam, dia hanya mengaduk makanannya. Aisya dan Rara semakin bingung. Mereka makan dalam keadaan hening, hanya terdengar dentingan besi yang beradu. Beberapa sendok mi sudah tercerna didalam perut. Saat satu sendok mi selanjutnya akan masuk kemulut Aisya, akhirnya Fisyah bicara.
     'Kami dijodohkan.' kalimat itu membuat mereka menghentikan makan hingga suara besi itu terdengar jelas.
     'Apa? dijodohkan?' Rara melontarkan pertanyaan dengan ekspresi kaget yang tidak dapat disembunyikan.
     'Dia anak sahabat bunda. Mereka sepakat akan menjodohkan kami sejak dulu jika dia sudah berusia 25 tahun. Tapi 3 bulan lalu, ibunya meninggal dan sempat berpesan kepada bunda untuk segera melaksanakan pernikahan'
    Wanita itu mulai meneteskan air matanya. 'Karena penolakan ku. bunda drop...dia sempat kena serangan jantung. Kata dokter dia gak boleh mendapatkan tekanan'
     Rara segera merangkul tubuhnya karena dia yang paling dekat dengan wanita itu. Dia merespons dengan pelukan dan menangis sejadinya.
     'Kenapa aku sampai gak tau kalo bunda mengidap penyakit jantung?Kenapa bunda tidak pernah cerita? Rara terus mengusap badan tanpa balas bicara. 
     'Bunda udah ninggalin aku selama 10 tahun, sekarang kami baru bertemu dan bunda....
     'Sttss . Insyaallah bunda akan baik-baik saja' Aisya memotong kalimat yang belum dia selesaikan
     Kini Rara kembali mengusap pipi wanita itu dan mulai bicara 'Setiap orangtua pasti menginginkan hal yang terbaik untuk anaknya, aku yakin bunda kamu punya alasannya'
      'Syah...Tanda kecintaan Allah pada hambanya adalah dengan mengujinya Syah. La tahzan Innallaha Ma'ana.' kalimat yang dilontarkan Aisya mulai dicerna olehnya, lantas dia melepas pelukan mereka
     'Anything gonna be okey Syah. Serahkan semua kepada Allah' Rara menggenggam erat tangannya menguatkan. Wanita itu mengangguk dan tersenyum.

    Aisya memandang jarum jam kecil yang ada ditangan kirinya. Sudah pukul dua lewat 20 menit, dia teringat akan janjinya menemui Reina. 'Ra boleh gak Anter aku kerumah Reina aja' wanita yang dimaksud pun mengangguk tanda setuju.
   Seperti perjanjian yang disepakatinya dengan nenek. Jika dia tidak sempat pulang berpamitan maka harus menelepo n wanita itu lebih dulu. Lantas Aisya mulai mengotak-atik benda itu sebentar dan menempelkannya ditelinga. Tidak ada jawaban yang terdengar, setelah kali kedua barulah terdengar telepon diangkat diseberang sana.
   'Assalamualaikum nek.'
   'Walaikumussalam'
   'Aisya baru selesai dari kampus, dan sekarang Aisya mau kerumah Reina ya nek?'
   'Iya, Tapi inget pulangnya jangan malem  ya Sya!'
   'Siap bosku. Assalamualaikum Nek'
   Telepon terputus setelah terdengar salam balasan dari seberang sana. Sekarang Aisya sudah berada di depan pintu pagar sahabatnya itu.
   Pintu pagar itu tidak terkunci, sebenarnya Aisya bisa masuk tanpa menunggu Reina. Namun Aisya tetap melaksanakan adab bertamu sekalipun Reina adalah sahabat lamanya. Aisya mulai menekan bel dan beberapa saat setelahnya seorang wanita membuka pintu rumah.
   Dia segera berjalan menuju pagar  dan membukakan pintu. 'Akhir Lo nyampe juga. Gw kira Lo bakal gak jadi lagi' Aisya tersenyum.
   'Assalamualaikum' salam Aisya sebelum berjalan masuk kedalam rumah.
   'Walikumussalam' jawab Reina
   Aisya menatap sekelilingnya, dan mulai mencari seseorang yang biasa dia temui ditempat ini. 'Kok sepi. Mbok Lin mana?' 
   'Dia lagi belanja ke pasar. Mama papa akan datang malam ini'
   'Hm.'
   'Udah ayo masuk. Kita dikamar gw langsung? Oh ya. Lho mau minum apa?'
   'Ngak ush. Aku baru aja makan sama minum tadi'
    Wanita itu membuka salah satu ruangan dirumahnya. 'yuk masuk' Aisya menuruti dan meletakkan tasnya diatas kursi.
   Seperti biasa kasur wanita itu berantakan dipenuhi dengan buku tebal berbagai macam judul. Beberapa buku terbuka, bahkan sampai ada yang tergeletak dibawah. Bagaimana mungkin, Reina sedang menjalani semester 5nya dan sudah pasti dia harus banyak belajar. Bagi sebagian mahasiswa kedokteran istilah libur itu adalah mimpi begitupula dengan Reina.
   Seperti biasa sebelum Aisya duduk, dia selalu sempat membereskan buku sahabatnya itu. Karena terlalu sering berkunjung menjadikan Aisya terbiasa dengan kehidupannya dan tak lagi marah karena berantakan. 
   Sejak kecil Aisya sudah tidak menyukai dunia medis, hingga apa saja yang berkaitan dengan medis tidak pernah menarik minatnya termasuk membaca buku sahabatnya itu. Tapi kali ini, ada yang berbeda dari bacaan sahabatnya. Dia menemukan sebuah buku yang tidak biasa dia temukan diruangan ini. Sebuah buku yang bentuknya lebih kecil dengan sampul yang juga tidak mencirikan Dunia medis.
   Setelah menyelesaikan aktivitasnya, Aisya duduk disamping wanita itu dan mulai membaca buku yang menarik minatnya itu.
    'Kamu curhat apa?'
    Wanita mulai merebahkan tubuhnya ke atas kasur. 'Menurut kamu, Aneh gak sih kalo mahasiswa kagum sama dosen?' 
    'Gak lah. Udah biasa kali Rei' Aisya mulai membalik halaman kedua buku itu.
    Wanita itu menarik nafas dalam-dalam sebelum bicara 'kalo suka?'
    'Gak aneh'
    'Terus kalo cinta?'
    'Menurut aku sih gak aneh. Toh banyak ko dosen kejadian cinlok kaya gitu, malah Ampe nikah' jawabnya biasa.
    'Terus kalo aku yang ada diposisi itu gimana?' 
    Aisya terhenti dari aktivitasnya, pandangannya beralih kearah wajah sahabatnya itu.
    'Maksud kamu?'
    Wanita itu menarik nafas berat sebelum mengubah posisinya menjadi duduk
    'Gw suka sama dosen'
    'Siapa?' jawabnya antusias.
    'Dia dosen baru, penganti pak Raihan yang kiler itu. Ganteng, baik, sopan, waw deh. Kayanya dia juga care deh sama gw.'
    Aisya mulai menggelengkan kepalanya dan kembali membaca 
     'lo tau gak?'
     'Gak' dia kembali membalik halaman berikutnya 
     'gw serius sya.'
     'iya aku tau'
     'Kemarin gw diminta bawa buku tebal buat anak-anak sama dosen itu, dan gak sengaja gw jatuhin semua buku itu. Dan Lo tau ap
    'Dia marahin kamu?'
    'Bukan.'
    'Lalu?'
    'Dia orang pertama yang bantuin gw, dan gak sengaja kami megang buku yang sama. Kaya di film-film gitu.' wanita itu mulai tersenyum sambil membayangkan yang telah terjadi. Aisya mulai aneh dengan sahabatnya. Lantas dia meletakkan punggung tangannya menyentuh kening wanita itu lalu membolak-balikkannya.
    'Tidak deman'
    'Gw percaya sekarang jatuh cinta pandangan pertama itu memang ada'
    Aisya terkekeh. 'ya paling cuma kebetulan.'
    'Bukan cuma itu Sya? ' dia tampak antusias melanjutkan cerita
    'Lalu' Aisya kembali membaca dan membalik halaman berikutnya.
    'Kemarin di kantin pas gw lagi mau pesan makanan. Gak sengaja seseorang nabrak gw dan numpahin minuman di Jas gw. Terus dia kasih gw tisu Sya...Aaaaa'
    Aisya seketika menarik tubuhnya kebelakang menggidik ngeri saat wanita itu memegang tangannya sambil tersenyum.
    'Aisya'
    Kali ini Aisya tidak habis pikir dengan sahabatnya itu. Reina semakin bersikap seperti orang gila sekarang. 
    'Itu kan hal biasa Rei. Kali aja dia juga gitu sama yang lain. Mungkin dia kasian kali liat kamu.' Aisya mulai mencari alasan logis.
    'Tapi rasanya beda Sya' 
    'hm' Aisya semakin fokus pada buku bacaannya
    'benar-benar beda Sya!' 
    'Gak berlebihan juga kali. Kamu zina pikiran namanya' 
    'Astagfirullah...' wanita itu tampak mengusap dadanya  sebelum  kembali tersenyum 'Tapi boleh kan berharap dia jadi jodoh gw?'
    'Ya boleh aja selama kamu berharap sama Allah'
    'And satu lagi Sya'
    'Hm'
    'Pas gw selesai shalat di masjid fakultas, gw denger suara orang ngaji. Parah subhanallah bagus banget Sya.'
    Kalimat itu membuat Aisya mengalihkan pandangan kearahnya.
    'Dan ternyata dia yang ngaji sya. Paket komplit ini namanya. Dunia akhirat. Jadi teduh hati gw'
    'Astagfirullah Rei.' Aisya menggelengkan kepalanya untuk kesekian kalinya.
    'Gini deh. Besok kamu sibuk gak?'
    'Gak'
    'Kita konsul ke dokter saraf ya?'
    Wanita itu menepuk tangan Aisya 'Eh enak aja. Lo kira gw gila apa' bantahnya. 
    'Ye Mending. Daripada aku cembelosin ke rumah sakit jiwa gimana?'
    'Eh dasar ya...' Wanita itu berhasil mencuri kesempatan menggelitiki Aisya saat dia asyik membaca. Aisya tidak bisa menghindar dia dibuat kewalahan oleh ulahnya. Beberapa kali Aisya meminta berhenti tapi tetap saja sahabatnya itu melakukannya.
    Bruk
    Sebuah buku terlepas dari pegangannya, dan berhasil membuat wanita itu juga berhenti dari aksinya.
    'Sorry Rei canda. Hehe. Mending kamu fokus kuliah. Biar cepet lulus. Cepet nikah. Punya anak dan hidup bahagia.' ucap Aisya saat mengambil benda itu.
    'Eh Lo baca apaan tuh. Serius amat dari tadi.'
    'Eh iya nih. Buku kamu kan?'
    'Apaan? Balik dong?'
    wanita itu menutup buku itu, namun Aisya tetap menahan jarinya sebagai pembatas.
    'Mencintaimu dalam diam. asik!'
    Sejak tadi Aisya yang menertawakan Reina, sekarang Reina lah yang menertawakan Aisya. 
    'Tumben Lo mau baca tentang cinta'
    'Entah aku juga gak tau. Tapi ceritanya aku suka.' Reina mulai tersenyum lagi, namun kali ini senyum godaan untuk sahabatnya itu.
    'Ngapain kamu liatin aku kaya gitu. Aku bukan dosen kan yang kamu taksir kan?'
    'Hm ciyeee. Udah mau kenal cinta, bentar lagi ta'aruf tuh. Siapa Sya calonnya?
    'heh sttts. Ucapan itu doa kali. Boro-boro kenal laki-laki aja aku males.'
    'hm. Ciyee' Reina masih saja menggoda sahabatnya itu.
    'Ya allah. Aku cuma suka ceritanya Menarik, ada terselip perjuangan dan keikhlasan gitu. Makanya aku baca'
    'Hm iya sih. Penuh drama gw aja Ampe nangis bacanya.'
    'Ah masa'
    'Ya iya. Coba deh Lo baca Ampe abis. Gw jamin deh Lo juga nangis. Berani Lo gak normal'
    'Ye ko gitu?'
    'Hehe'
    'Kamu dapat dimana buku kaya gini?  Bukannya kamu gak suka novel?'
    'Gw minjem dari Fisyah. Kemarin pas dia bagi undangan gw liat buku itu diatas mejanya. Karena judulnya menurut gw menarik jadi ya sekalian deh gw pinjem.'
    'Aku bawa deh ya. Nanti biar aku yang balikin ke Fisyah pas ada acara organisasi.'
    Reina mulai diam dan tersenyum penuh kode mendengar keinginan sahabatnya itu. Aisya menoleh karena merasa aneh diperhatikan.
    'Kenapa?'
    'Gak papa.' Reina terkikik geli penuh kode.
    'Reinaaaaa'
    Mereka akhirnya tertawa bersama

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Photobox
6168      1563     3     
Romance
"Bulan sama Langit itu emang bersama, tapi inget masih ada bintang yang selalu ada." Sebuah jaket berwarna biru laut ditemukan oleh Langit di perpustakaan saat dia hendak belajar, dengan terpaksa karena penjaga perpustakaan yang entah hilang ke mana dan Langit takut jaket itu malah hilang, akhirnya dia mempostingnya di media sosialnya menanyakan siapa pemilik jaket itu. Jaket itu milik Bul...
Nope!!!
1483      681     3     
Science Fiction
Apa yang akan kau temukan? Dunia yang hancur dengan banyak kebohongan di depan matamu. Kalau kau mau menolongku, datanglah dan bantu aku menyelesaikan semuanya. -Ra-
Edelweiss: The One That Stays
2202      896     1     
Mystery
Seperti mimpi buruk, Aura mendadak dihadapkan dengan kepala sekolah dan seorang detektif bodoh yang menginterogasinya sebagai saksi akan misteri kematian guru baru di sekolah mereka. Apa pasalnya? Gadis itu terekam berada di tempat kejadian perkara persis ketika guru itu tewas. Penyelidikan dimulai. Sesuai pernyataan Aura yang mengatakan adanya saksi baru, Reza Aldebra, mereka mencari keberada...
No, not love but because of love
3513      774     2     
Romance
"No, not love but because of love" said a girl, the young man in front of the girl was confused "You don't understand huh?" asked the girl. the young man nodded slowly The girl sighed roughly "Never mind, goodbye" said the girl then left "Wait!" prevent the young man while pulling the girl's hand "Sorry .." said the girl brushed aside the you...
In the Name of Love
726      442     1     
Short Story
Kita saling mencintai dan kita terjebak akan lingkaran cinta menyakitkan. Semua yang kita lakukan tentu saja atas nama cinta
Bittersweet Memories
39      39     1     
Mystery
Sejak kecil, Aksa selalu berbagi segalanya dengan Arka. Tawa, rahasia, bahkan bisikan di benaknya. Hanya Aksa yang bisa melihat dan merasakan kehadirannya yang begitu nyata. Arka adalah kembarannya yang tak kasatmata, sahabat sekaligus bayangan yang selalu mengikuti. Namun, realitas Aksa mulai retak. Ingatan-ingatan kabur, tindakan-tindakan di luar kendali, dan mimpi-mimpi aneh yang terasa lebih...
Tas nyangkut
357      231     2     
Short Story
The Red Dress Girl
499      357     0     
Short Story
Halona, seorang gadis yang menganggap pesta dansa adalah segalanya, sampai pada saat yang ditunggu-tunggu... Ini cerita yang klise. sangat klise malahan.
Mana of love
234      166     1     
Fantasy
Sinopsis Didalam sebuah dimensi ilusi yang tersembunyi dan tidak diketahui, seorang gadis tanpa sengaja terjebak didalam sebuah permainan yang sudah diatur sejak lama. Dia harus menggantikan peran seorang anak bangsawan muda yang dikenal bodoh yang tidak bisa menguasai teknik adu pedang yang dianggap bidang unggul oleh keluarganya. Namun, alur hidup ternyata jauh lebih kompleks dari ya...
Cinta Dalam Diam
406      277     3     
Short Story
Cinta dalam diam memang cinta paling tulus, karna tak mengharapkan balasan atas perasannya.