Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Perfect Choice
MENU
About Us  

   'Ibu..  Aisya pamit dulu ya. Nanti Insyaallah minggu kesini lagi. Assalamualaikum.' Aku pamit sambil mencium punggung tangan ibu sita. 
   'Walaikumsalam, makasih ya nak.'
   Jam tanganku menunjukkan pukul 10.30. Aku memutuskan untuk ke kampus lebih awal. Ada beberapa buku yang harus ku ambil dari dosenku.
   Kali ini aku lebih memilih menggunakan ojek. Karena hari sudah siang, jadi taksi jarang ditemukan.
   Brukkkk.....
   'Astagfirullah...kenapa mas' pengemudi  ojek yang ku tumpangi mencengkram rem tiba-tiba. Aktivitas lalu lintas berhenti. 
   'Sepertinya ada kecelakaan di depan mba.' Pandangan kami dihalangi beberapa mobil dan motor, hingga kami tidak mengetahui jelas apa yang sedang terjadi.
   'Ada korban anak kecil!'
   'Panggil ambulan cepat!' 
   'Panggil polisi!'
   'Permisi...permisi' suasana menjadi riuh.
   'Pegang ini mas' seraya menyerahkan pelindung kepala 'nih saya bayar. Makasih ya mas' seketika ku berlari menuju tempat kecelakaan itu. Entah apa yang mendorongku melakukan ini. Padahal, mentalku tak cukup kuat bertemu dengan cairan merah itu. 'Anak kecil' ya itu alasannya.
   Sebuah mobil menambrak pejalan kaki dan gerobak. Ternyata pengemudi itu dalam keadaan mabuk. Beberapa orang ribut menahan pelaku. Sedangkan beberapa yang lainnya membantu membawa korban kepinggir jalan.
   'Ambulan akan segera kesini!' Korban itu adalah seorang laki-laki tua dan anak kecil. 
   Orang-orang disini berdempetan membentuk lingkaran mengelilingi korban. Mereka cenderung menonton.
   'Permisi...permisi' beberapa orang menoleh kearahku dan membuka celah hingga aku bisa masuk.
   'Astagfirullah' segera ku hampiri dan meletakkan kepalanya di pangkuan.
   'De bisa buka mata nggak? De de' ku tepuk pipinya berkali-kali. Setidaknya dia harus dalam keadaan sadar. cairan merah itu terus keluar. Tangan kanannya luka parah, tidak ada yang menahannya untuk terus keluar. Jika menunggu ambulan itu terlalu lama, ini tidak bisa dibiarkan.
   Dengan cepat aku membuka tas, berharap ada sesuatu yang membantu. Sayang, aku tidak menemukan apa pun yang dapat membantu. Tidak ada benda lain selain handstock yang melekat di kedua tanganku. Tidak ada waktu lagi untuk berpikir.
   Jangan sekarang Sya! gemetar itu kembali, tanganku tidak bisa ku gunakan membalut dengan cepat. Jantungku berdegup kencang, keringat dingin membasahi tubuhku. Satu detik, dua detik, keadaan semakin diluar kendaliku.
   'Biar saya lanjutkan.' seseorang menghampiriku dan mengambil alih kain itu, sontak aku melepaskannya. Aku mencoba tenang namun rasanya sulit sekali.
  Setelah selesai membalut luka, dia melonggarkan kerah baju anak itu. Lalu memeriksa denyut nadinya. Astagfirullah, aku lupa untuk melakukan itu. Sedetik dua detik, dia terdiam. Aku yakin dia sedang memperhatikan tanganku sekarang. Kamu tidak apa-apa?' tanyanya. Pertanyaannya membuat aku sedikit mendongakkan kepala, aku menangkap sesuatu dibajunya. Sebuah name tag yang tersemat, tertulis "Muhammad Akbar Ramdhani"

 Belum sempat mulutku mengucapkan seseuatu, Seseorang dari gerombolan memberikan teriakan.  ku menjawab
   'Ambulan sudah datang.'

   'Buka jalan cepat!

    Dengan sigap dia mengangkat tubuh korban dan membawanya masuk kedalam mobil horor itu. Sedangkan beberapa orang yang datang bersama ambulan membawa laki-laki yang juga menjadi korban.
   Aku masih dalam posisiku, duduk bertelimpuh. 'Astaga Sya'. Ucap seseorang dari sisi kiri. Menjongkok dan memperhatikan gerak tanganku. Dia adalah Rizal laki-laki yang ku lihat pagi tadi. 
    'Sini aku bantu berdiri' 
    'Afwan.' sontak ku tempelkan kedua telapak tangan isyarat tidak ingin dia membantu. 
   Aku coba berdiri. Namun sayang, tubuhku rasanya terlalu lemah untuk itu. Padahal aku bukan korban kecelakaan. Aku baru bisa berdiri setelah dibantu oleh seorang wanita.
   'Zal, tolong gantikan posisiku untuk mengisi acara siang ini. Aku ikut kerumah sakit' Seseorang berteriak sebelum dia masuk kedalam ambulan. Laki-laki yang dimaksud hanya mengacungkan jempol tanda setuju.
   'Sya kamu mau saya antar pulang?' 
   'Ngak pak, aku mau ke kampus dulu' 
   'Kamu mahasiswa apa?' tanya seorang wanita yang tadi menolongku. Setelah ku sebutkan universitas dan program studi yang ku ambil Wajahnya tampak bingung, bola matanya menatap keatas. Sepertinya orang yang berusaha mengingat sesuatu.
   'Kamu Aisya mahasiswa kesayangan ibu Risa ya?'
   Ibu Risa memang dosenku. Tapi untuk jadi mahasiswa kesayangan, aku ragu.
   'Kenalkan saya Dewi, temannya Risa. Saya dosen fisip juga. Tapi fokus saya diprodi hubungan internasional.' dosen fisip, jika dia dosen di universitas yang sama kenapa aku tidak pernah sekalipun melihatnya.
   'Risa sering cerita tentang kamu.' dia mengulurkan tangan kanannya tanda berkenalan.
   'Iya bu, saya Aisya' ku balas dengan mencium punggung tangannya.
   'Ini adikku Rizal' sambil menunjuk laki-laki berdiri di sampingnya.
   'Ikut kami saja ya. Saya mau ke kampus kamu ko.' Tawarnya. 
   Rasanya tidak enak untuk menolak namun, tidak enak pula menerima. Belum sempat ku berikan jawaban. Wanita itu menarik tanganku dan membawaku berjalan menuju sebuah mobil. Laki-laki membukakan pintu penumpang.
   'Ayo masuk' ucap wanita itu.
   Aku hanya mengikuti arahannya. Syukurlah tangan ini sudah mulai stabil. Wanita yang duduk di sampingku menoleh kebingungan, melihat aktivitasku yang membolak-balikkan tangan pelan. 
   'Kamu fobia ya Sya?' ucap rizal sambil sesekali melihat keadaanku melalui pantulan kaca spion. 
   'i-iya pak'. Aku ragu akan jawaban itu. Tapi apa boleh buat aku juga tidak mengerti. Keadaan ini selalu menyerang ku saat aku berhadapan dengan darah.
   'Nanti kamu periksa aja sya.' wanita itu menambahkan. 
   'Kebetulan aku ada praktek besok. Kalo kamu mau nanti aku bisa bantu kamu ketemu temanku, dokter huda.'
   Aku hanya mengangguk. Bahkan mungkin tidak akan ku ambil keputusan kerumah sakit. Tempat yang paling ku hindari.

***
  Kampus tampak sunyi. Mahasiswa yang berlalu-lalang memang tidak banyak, namun setidaknya masih ada aktivitas. Aku berjalan berdampingan dengan wanita itu. Kami satu tujuan yaitu ruangan fakultas. 
   'Sya katanya kamu mau ikut karya tulis ilmiah ya?'
  'Iya Bu, ibu Risa yang pinta.' Lebih tepatnya di paksa.
  'Temanya apa Sya?' 
  'Temanya pemanfaatan teknologi di era revolusi industri 4.0. Dari fakultas minta Aisya ikut biar bisa melengkapi tim aja sih kata ibu Risa.'  paparku.
  'hmm'
  Tidak lama langkah kami berhenti tepat didepan sebuah ruangan yang dimaksud. Ruangan ini termasuk kedalam daftar tempat yang sering aku kunjungi. Wanita itu memegang knop pintu dan mulai membukanya
  'Assalamualaikum'
  'Walaikumsalam' jawab seorang wanita dari dalam.
  'Masuk Sya' ibu Dewi membuka pintu lebih lebar. Setelah pintu ditutup kembali bersamaan dengan berbalik tubuhnya seseorang dengan gembira memelukkanya. Dia adalah ibu Risa Dwi Ayuni salah satu dosen ilmu komunikasi.
  'Dewi! Kapan kamu balik? Ko tumben gak kabar dulu?
  'Baru kemarin... Eh iya nih ada oleh-oleh' 
  'ya elah kamu tau aja'
  'Oh ya sya. Ini ibu Dewi temen ibu. baru datang dari--- wanita itu menoleh kearahku. 'Astaga Sya kamu kenapa?' mimik wajahnya berubah dengan sekejap, matanya terbelalak kaget.
  'Kamu kenapa? Ada yang sakit? Spontan wanita itu memegang lenganku lembut, matanya fokus kebeberapa bercak darah dibajuku.
  'Gak Bu. Aisya gak papa?' jawabku santai
  'Gak papa gimana? Darahnya banyak gini. Coba cerita ada apa?'
   Aku dan ibu Dewi bertukar  pandang. Ibu Risa tampak bingung. 'Tadi Aisya nolongin korban kecelakaan. Jadi gak sengaja mungkin kena lukanya' wanita itu lebih dulu menjawab lalu kemudian duduk di kursinya.
  'Kamu yakin gak papa?'
  'Iya Aisya gak papa'
  'Syukurlah' dia menghela nafas lega
  'Jadi...apa yang harus Aisya pelajari?' 
  'Oh iya ibu lupa. Duduk dulu sya.  Sebenarnya 2 mahasiswa yang akan menjadi tim kamu tadi kesini. Sekalian mau bahas untuk subtema yang diambil. Cuma karena kamu ibu telepon gak jawab. Jadi terpaksa kamu harus ikut keputusannya ya?'
  'hm..' 
  'Tunggu sebentar' dia beranjak menjauh
   Ibu Risa menelepon? Tanganku mulai menggeledah isi tas. Ternyata benar benda kotak itu tidak ada. Astagfirullah Sya, Pasti ketinggalan lagi. Beberapa detik kemudian dia kembali dengan membawa beberapa file dan satu buku besar ditangannya. Jika ditebak yang dia bawa adalah Jurnal penelitian dan buku besar itu pasti salah buku referensi dengan bahasa Inggris yang harus ku baca.
  'Kenapa sya?'
  'Ternyata handphone Aisya ketinggalan...lagi' aku tersenyum malu membuat dia menggelengkan kepalanya.
  'Aisya memang gitu Bu. Zaman sekarang jarang ditemukan mahasiswa yang tidak suka main handphone. Jadi kalo ngubunginnya susah.' dia menggambarkan keanehan diriku dengan gayanya kepada rekannya itu.
  'Masa ibu harus ngirim surat?' Ibu Dewi terkekeh. Sungguh memalukan. 
  'Oh ya. Ketua tim namanya Andra semester 5 dari fakultas TI, anggotanya kamu sama Rico semester 5 juga dari fakultas kedokteran.' wanita menyerahkan sesuatu 'dan ini beberapa file yang harus kamu pelajari. Sisanya kamu konsultasikan. Dosen pembimbingnya Bapak Agus Hendrawan, dosen TI' mataku membulat dengan mulut sedikit menganga. Dugaan ku benar. What the....
  'Tenang aja, ibu tetep bantu ko. Jadi pembimbing bayangan' dia menaikkan alisnya beberapa kali, dan aku hanya tersenyum ragu.
  'Terus subtemanya apa Bu? Judulnya? Udah ditentuin?'
  'yaps. Judulnya belum fix. Cuma subtemanya kesehatan. Katanya fokus ke 3d printing. Ikuti aja perkembangannya.'
  Aku diam mematung. Bagaimana bisa? Bahkan ini baru pengalaman kedua setelah kemarin, itupun cuma sampai juara 3. Kemarin anemiaku sempat kambuh karena karya ini, lalu Sekarang apa?
  Jariku lentik membuka lembar demi lembar kertas itu. Sungguh menakjubkan, hal yang sangat tidak familiar. Perlu banyak waktu untuk mempelajari lebih rinci. Aku dapat double sekarang, mendadak jadi orang Inggris karena selalu bergelut dengan bahasa itu.
  'Ini keputusan dari rapat dekan. Dia minta dari fisip ada yang ikut lomba ini. Jadi ya ibu usulkan kamu. Kami coba mengkolaborasikan beberapa mahasiswa yang berbeda prodi, biar kita bisa liat hasilnya.' aku hanya menoleh sebentar kemudian kembali memerhatikan benda itu.
  Tapi kenapa harus aku? Memang anak komunikasi bisa dengan mudah ngambil subtema kesehatan? Siaga satu ini namanya. 
  'Oh ya...Satu lagi Sya. nomor kamu udah ibu kasih sama tim. Jadi kamu bisa komunikasikan sama mereka. Dan.... Kalo kamu perlu bantuan hubungi ibu oke!. Ibu siap bantu. Semangat!' dia membuat tangannya mengepal. Astagfirullah. Ini benar-benar sungguhan ternyata. 3d printing? Kesehatan? Indonesia? Kepalaku dilanda pusing berat kali ini.
  
***
   Selesai dari ruang fakultas aku memutuskan untuk ke masjid terdekat untuk sholat. Kali ini aku harus di repot kan dengan menggunakan mukena di dalam kamar kecil karena bajuku terkena noda darah. Selesai shalat aku duduk di kursi panjang yang juga tidak jauh dari masjid ini.
  'Sya lo kenapa?' Orang yang datang itu membuyarkan lamunanku. Bahkan dia sudah duduk di sampingku. Aku menghembuskan nafas berat dan bersandar lemas pada punggung kursi. 
  'Ehh coba sini liat? beberapa file yang ku pegang dengan sekejap sudah ada ditangannya. 
  'Lo ikut karya ilmiah?'
  'Wihhh Keren' sontaknya girang.
  'Keren apanya?' aku menatapnya nanar.
  'ya iya keren. Berati lho kepercayaan kampus lah.' 
   '4 bulan Rei, Terlalu cepet.' Aku mendengus lesu. 
  'Ya coba aja dulu. Dosen memilih lo pasti gak sembarangan kan Sya.'
  Sempat hening beberapa saat, aku  mencoba tenang dan mencerna ucapan Reina. Dia benar, pasti dosen telah berpikir panjang masalah ini. Pasalnya  ini tingkat nasional, bukan main-main.
  'Eh tau gak ada berita hangat...' ucapnya antusias sambil mengambil sebuah benda dari tasnya
  'Hm.. apa?'
  'Nih liat...' dia menunjukkan sebuah kertas berwarna cream. Aku melirik dan menangkap sebuah tulisan "Nur Alfisyah".
  'Undangan pernikahan fisyah?'
  'Lo gak kaget?'
  'Ngak' aku menggelengkan kepala 'Aku udah tau. Toh dia udah pernah bilang ke aku sebelumnya ko' lanjutku
  'Ihhh bukan Sya. Bukan itu maksud gw. Coba cek siapa yang menjadi mempelai laki-lakinya.' Raut wajahnya benar-benar membuatku penasaran.
  'Apaan sih' 
  Seketika itu mataku membulat tidak percaya. "Nur alfisah & Muhammad Alwan. 02 September 2018" Laki-laki yang pernah masuk dalam kehidupanku akan menikah dengan sahabatku. Bukan masalah aku masih menyukainya atau tidak. Tapi apakah harus Alfisah? Apa tidak ada wanita lain. Otakku dipenuhi pikiran buruk. Bagaimana mungkin? Sedangkan dulu dia sering mempermainkan wanita termasuk aku. Laki-laki itu 2 tahun lebih tua dariku. Kalo diperkirakan, mungkin sekarang dia sudah lulus dan bekerja. Wajarlah dia menikah mungkin ingin serius.
  'Tuh kan kanget. Gw juga kanget kali... Hmm lo tau, baru aj kemarin gw liat nama Syfa di Instagramnya. ehh sekarang nyebar undangan aja. Dasar cowok----'
  'stttsss. Kita gak boleh ngomongin orang, gak baik' aku sedikit mengangkat bahu kemudian menoleh 'Ya kali aja dia udah taubat. Jadi langsung nikah aja. And bisa aja Syfa keluarganya  mungkin'
  'Tapi tetep aja Sya. Dia dulu kan pernah buat lo hampir depresi. Parah tuh anak sok kegantengan.' nadanya naik satu oktaf.
  'Tapi kan dulu, aku udah biasa aja Rei.' 
  Kami saling bertukar pandang, aku tersenyum. 'iya deh... Kalau itu gw seneng.' kami pun berpelukan layaknya Teletubbies 
  Reina hantara putri sahabatku dari SMP. Pernah terpisah saat aku pindah ke Yogya ikut nenek. Namun Allah mempertemukan kami lagi. 2 tahun yang lalu dia berhasil lolos seleksi pendaftaran mahasiswa kedokteran. Akhirnya kami satu kampus. 
  Aku teringat sesuatu, seketika itu juga melepaskan pelukan. Dia tampak kaget
  'Kalo fisyah nikah sama Alwan. Berarti Alwan ada di kota ini dong?' 
  'Kata temenku sih gitu.'
  'Ehh anda juga kenapa bisa ada disini. Anda bukan mahasiswa fisip kan?' gayaku meniru dosen.
  Dia menyimpitkan mata menyelidik. Jika aku bukan sahabatnya, bisa saja dia sudah melemparkan beberapa buku ke arahku.
  'Oke oke oke. Damai' aku terkekeh. Tanganku membentuk huruf v. Reina memang suka sensi berlebih.
  'By the way. Tumben lho gak angkat telepon gw. Padahal gw mau cur... Astaga sya. lho kenapa banyak darah gini?.' mata Reina terbelalak dan seketika memegang tanganku.
  'Udah kadaluwarsa Rei pertanyaannya.'
  'Lo kira makanan. Gw serius, lho kenapa? Reina tampak panik
  'Tadi saya nolongin korban kecelakaan dok. Jadi ya kena daranya deh'
  Reina terkekeh 'Parah Lho Sya. Tapi aminnn sih...hehe'
  'Dasar'
  'Eh iya, tadi kamu mau ngomong apa?'
  'Ya Gw mau cur-'
  'Astagfirullah!' Aku baru ingat Jadwal kelasku jam 1, sekarang jarum jam tanganku menunjukkan jam satu kurang 5 menit.
  'Kenapa lagi sekarang?' jawabnya mulai kesal
  'Ada yang lebih penting'
  'Aku...' dia tercengang
  'Apa...?' 
  'Aku ada kelas Rei. Sorry. Nanti aku ketempat kamu deh' teriakku sambil berlari menjauh.
  'Aisyaaaaa.....' 

***

   Seluruh badanku pegal. Rasanya tulakku juga mau remuk. Ditambah kepala yang dari tadi dilanda pusing. Ingin rasanya segera pulang bertemu kasur dan bantal. Disini aku hanya merebahkan kepala diatas meja dengan tangan sebagai alas. Seseorang tampak menghampiri dan duduk di sampingku.
  'Sya kamu sakit.'
  'Hm. Ngak...Oh ya Ra aku kayanya gak bisa ikut rapat harini gak papa ya?' jawabku lesu
  'Loh kamu gak tau. Rapat hari ini batal. Kamu gak cek group?' Gimana aku cek, toh handphone aja ketinggalan.
  'Alhamdulilah'
  'Eh lengan kamu kenapa Sya?'
  'Ngak papa... entar ku ceritain'
  Seseorang masuk dan mengucapkan salam. Serentak semua mahasiswa menjawab. Aku malah semakin menenggelamkan kepala. Rasanya pusingku bertambah dua kali lipat mendengar mahasiswa berteriak. Ada apa dengan mereka. Biasanya menjawab salam tidak sesemangat ini.
  'Semester 5, Teknik menulis dan menyunting  berita?' rasanya ada yang aneh, kenapa pa Rahman menanyakan lagi. Bukannya ini pertemuan kedua?
  'Iya bapak ganteng.' terdengar suara wanita dibelakangku menjawab.
  'Manis banget sih pa, biasa makan gula ya?' lanjut mahasiswa lain. Sejak kapan bapa Rahman dipuji mahasiswa seperti ini. Ada-ada saja mereka ini. Aku tidak peduli, mataku rasanya semakin ingin terpejam.
  'Sya, bangun...' seseorang mulai menggoyangkan tubuhku.
  'hmm?'
  'Bangun coba liat tuh. Dia adem'
  'Aku gak tertarik Ra'
  'Aduh kamu belum liat. Coba nengok dulu. Cool banget Sya' Bagus! Penampilan Pa rahman kali ini bisa membuat seorang Rara terpesona.
  'Alah biasanya juga kamu paling males liat pa Rahman.'
  'Sya...bukan pa Rahman!'
  'Liat dulu.'
  'Perkenalkan nama saya Muhammad Syarief Ilham. Sekadar informasi, saya akan menggantikan pa Rahman mengajar untuk semester ini. Beliau melanjutkan S3 di oxford' suara itu sama-samar di telingaku.
  'Peraturan  masuk kelas saya tidak jauh berbeda dengan pa Rahman. Pertama tidak ada toleransi untuk mahasiswa yang tidak masuk, terlambat, dan tidak fokus dikelas saya.'
  'Sya....'
  'Hm...'
  'Sya...'
  Aku masih dalam posisiku, namun kini telingaku tidak lagi mendengar kegaduhan. Aneh, kenapa semua terasa tenang. Rasanya aku hampir tertidur.
  'Saya tidak suka jika ada mahasiswa yang tidak fokus apalagi sampai tertidur!' seseorang berbicara keras di depanku.
  'Astagfirullah. Maaf pak, saya gak maksud untuk tidur. Tapi kepala saya rasanya pusing sekali pa. Maaf pak'
   Aku menangkupkan kedua tangan, dan menutup mata menunduk malu sekali. Semua orang disini tertawa, lebih tepatnya menertawkanku. Aku ceroboh. Cari Masalah ini namanya.
  Beberapa saat kemudian hening. Tidak ada respons dari dosen itu ataupun suara mahasiswa lainnya. Aku mencoba membuka mata dan mengangkat wajah perlahan-lahan. Laki-laki itu memberiku guratan wajah kaget. Bukan terpesona tapi lebih ke arah syok sepertinya. Beberapa detik kemudian dia menormalkan mimik wajahnya. Dia berdehem, dan kembali ke depan.
  'Wih. Hebat kamu sya. Sampai dosen itu kagum sama kamu'
  'Apaan coba.'
  'Baik, karena ini pertemuan pertama jadi akan saya maklumi.....' dia menuliskan sesuatu dipapan tulis.
  "syarief.ilham@gmail.com"
  'Eh Ra, namanya siapa tadi?'
  'Muhammad Syarief Ilham'
  Nama itu sepertinya familiar untukku. Aku pernah mendengar, namun dimana?
  'Peraturan yang kedua saya tidak beri toleransi terhadap mahasiswa yang tidak mengumpulkan tugas. tolong catat e-mail saya, karena sewaktu-waktu tugas kalian akan saya minta softcopynya.'
....
   Kelas telah selesai. Ruangan perlahan mulai dikosongkan. Seperti biasa aku menjadi mahasiswa terakhir yang meninggalkan ruangan. Derap kaki khas itu mulai terdengar, seseorang menghampiri tempat dudukku sekarang.
  'Assalamualaikum?'
  'Wa-lai-kumsalam pak?' Aku menatap kearahnya bingung. Dia memalingkan Kursi yang ada di depanku lalu kemudian  mendudukinya. Aku lebih memilih menundukkan pandangan dan membereskan buku.
  'Kamu Aisya Nelia Putri?'
  'Masih ingat saya?' Aktivitasku terhenti
  'Oh maksud saya, masih ingat sama anak Abi?'
  'Saya Ilham anak Abi yang pernah dan sempat tinggal diinggris' Aku memutar bola mata sesejenak sebelum kembali menatapnya.
  'Mungkin kamu lupa' Dia mengambil sebuah dompet dari saku belakang celananya. Ada sesuatu terselip disana. Sebuah foto keluarga yang di cetak ukuran kecil. Dua orang tua dan seorang anak kecil. Salah satu diantaranya berhasil ku ingat. Laki-laki sebelah kanan itu adalah suami baru Umi setelah Abi meninggal.
  'Pak Zainal?'
  'Iya, saya anaknya.' itu artinya dia adalah kakak tiriku. 'Kamu kenapa gak pernah jenguk Umi?'
  'Untuk apa pak?' jeda sejenak menatapnya penuh pertanyaan 'Toh umi ada Ziat kan?' jawabku sambil mengangkat bahu
  'Tapi Sya. Kalian kan sudah lama tidak bertemu, apa kamu tidak kangen Umi?'  bagaimana bisa kangen, toh sikap umi ke aku seperti bukan anak. Aku bukan hal yang penting dihidupnya.
  'Maaf pa, saya tidak ingin menganggu kebahagiaan mereka.'
  'Sya, dia umi kamu!.'
  'Pak! ibu mana yang tega membedakan kedua anaknya? atau ibu mana yang tega menyakiti anaknya sendiri? Seandainya Allah memberi salah pilihan, saya lebih memilih dijemput terlebih dahulu daripada Abi.' jawabku membuat laki-laki itu bungkam.
  'Maaf pa. Kalo bapak cuma bicara tentang umi. Saya tidak bisa.' Aku bergegas memasukkan buku dan beranjak keluar ruangan. Aku meninggalkannya sendirian. Rasanya semakin lama disini hanya membuat perdebatan yang tak kunjung selesai. Aku tidak ingin membahas Umi sekarang ataupun nanti. Cukup!
  'Sya, jangan jadikan masa lalu menjadi penghancur di masa depan. Jangan sampai kamu menyesal Sya!' laki-laki itu melontarkan kalimat dengan nada keras membuatku mengepalkan tangan geram. Aku tidak menghiraukannya, yang ada dipikiranku sekarang bagaimana aku bisa terbebas dari masa lalu itu. Air mataku mulai membasahi  pipi, rasanya sesak sekali. aku butuh Allah sekarang. Aku butuh Abi.

***
   Ini sudah pukul 4 sore, tanganku sudah tidak berdaya mengetuk lagi. Sedang apa sebenarnya nenek didalam hingga tidak mendengar. Pa Ahmad juga tidak ada ditempatnya, kemana semua orang hari ini
   'Sya..' aku menoleh setelah mendengar seseorang memanggil.
   'Bukannya nenekmu sudah pergi sejak siang tadi, katanya mau krumah saudaranya' Suara itu milik seorang wanita paruh baya tetangga nenek.
   'Astagfirullah.' rasanya nenek sudah memberi tahuku akan pulang malam. Aku mondar mandir mencari cara agar tetap bisa masuk tanpa menunggu sampai malam. Ah ya kunci cadangan. Nenek biasanya menyimpan benda itu di sela pot bunga.
   Segar sekali rasanya setelah air menguyur seluruh tubuhku. Selesai mandi, rasanya perutku semakin sakit. Siang tadi aku belum sempat memasukkan makanan kedalam mulut. Ku jeda sebentar untuk sholat asar  dan memilih mencari makanan.
   Tidak ada sesuatu dibalik tutup saji. Di kulkas hanya tersedia sayur sawi dan wortel. Syukurlah ada satu bungkus terakhir mi instan dilemari gantung. Kali ini aku membuat makan seadanya sendirian.
  
   ***
   Ketika itu aku berusia 3 tahun. Aku ditinggalkan dirumah bersama Tante lita. Abi mengantar umi kerumah sakit karena akan melahirkan. Hari itu adalah hari yang sangat menegangkan. Adikku akan segera lahir.
   Umi sangat menginginkan seorang anak laki-laki. Syukurlah do'a umi terkabulkan. Dia mendapatkan anugerah bayi laki-laki yang sehat. Bayi itu diberi nama Muhammad Ziat Ihsandi. Nama yang dipilih sendiri oleh umi dan ditambahkan nama Abi dibelakangnya 'Ihsandi'. Sampai sekarang aku masih bingung dengan nama itu, sedangkan namaku tidak ada tambahan nama Abi ataupun Umi. Pernah aku berpikir aku bukan anaknya. Mungkin kah seperti itu?
   Hari-hari kami selalu dihiasi kebahagiaan ditambah dengan hadirnya Ziat. Anak itu tubuh dengan baik, tubuhnya padat berisi. Bahkan kini dia sudah mulai bisa merangkak.
   Pernah suatu ketika Abi sedang tugas keluar kota dan akan datang beberapa hari setelahnya. Umi sedang tertidur di sofa depan tv. Sedangkan Ziat berada dikamar, yang juga tertidur pulas diatas ranjang. Dia hanya dihalang dua buah guling agar tidak jatuh. Hanya aku yang tidak tidur siang saat itu, aku asyik bermain boneka yang baru saja dibelikan Abi.
   Brukkk
   Terdengar ada yang terjatuh disusul dengan tangisan bayi. Umi belum juga terjaga dari tidurnya, mungkin karena terlalu lelah menyelesaikan tugas rumah sendirian. Aku tidak mungkin membangunkan umi, aku memilih menghampiri suara tangis itu. Diluar dugaan, bayi itu sudah tergeletak disamping ranjang dengan posisi telungkup. Salah satu tangannya terjepit oleh badannya sendiri, dia menangis kencang meronta kesakitan. Sontak tanganku mencoba mengangkat bayi itu. Belum sempat aku mengangkatnya, umi datang dan mengambil alih.
   'Astagfirullah Sya. Umi kan sudah bilang jangan main sama Ziat. Dia masih kecil. Liat apa yang kamu lakukan!
   'Aku tidak melakukan apa-apa umi.'
   'Sudah sana. Jangan ganggu ziat'
   Semenjak kesalahpahaman itu, aku sering dibentak karena hal kecil jika itu berkaitan dengan Ziat. Semua yang Ziat mau selalu Umi dituruti. Ziat tumbuh menjadi anak yang manja dan emosional.
   Diusiaku 5 tahun, aku kembali dilanda kesedihan. Aku dan Abi mengalami kecelakaan. Motor yang kami tumpangi ditabrak sebuah mobil dari arah yang berlawanan. Tubuhku menggelinding hingga terbentur diperbatasan trotoar. Sedangkan Abi tergeletak dijalan raya setelah keduanya saling bertambrakan. Aku mengalami luka di bagian kepala dan tanganku patah. Tapi sayang, Kejadian ini membuat Abi harus kehilangan nyawa.
   Kehidupan kami berubah setelah Abi meninggal. Kami sama-sama dilanda kesedihan mendalam, mungkin yang lebih sedih adalah aku. Setiap tragedi itu kembali kedalam ingatan, aku selalu dicambuk rasa bersalah karena mengajak Abi jalan-jalan waktu itu.
   Umi mulai merangkap jabatan ganda, bekerja dan menjadi ibu rumah tangga. Aku sungguh tidak tega melihat Umi. Beberapa kali aku membantu Umi menyelesaikan pekerjaan rumah. Namun karena usiaku yang terlalu muda, kadang kala aku melakukan kesalahan. Umi selalu marah jika kerjaan ku berantakan. Umi semakin berubah dan sering memarahiku. Pernah sekali Umi melontarkan kalimat yang benar-benar membuatku mengutuk diri sendiri. "Kalo saja kamu tidak ajak Abi jalan-jalan waktu itu, Abi mungkin masih bersama kita. Sudah umi peringatkan. Bahkan Umi tidak harus bekerja keras seperti ini"
   Beberapa tahun kami jalani hidup bertiga, sampai akhirnya dia datang. Seorang laki-laki asal Bandung. Umi dan laki-laki itu saling mengenal, dimulai dari bercerita kesedihan yang sama mereka alami. Dia juga kehilangan istrinya. Sampai akhirnya diusiaku 12 tahun mereka memutuskan untuk menikah. Aku hanya bisa pasrah, walau sebetulnya aku tidak rela jika Abi harus digantikan. Tidak ada yang banyak berubah dari umi, sikapnya tetap sama seperti dulu.
   Kejadian demi kejadian membuatku semakin jauh dari Umi. Sebenarnya aku menyayangi umi dan aku tidak ingin menjadi anak yang durhaka. Tapi sikapnya membuatku sangat susah untuk berbakti.
   Hingga kejadian terakhir yang berhasil menghancurkan kesabaranku dan membuat aku mengakhiri semuanya. Ketika aku pulang sekolah, aku menemui orang asing di rumah. Percakapan mereka terdengar jelas karena berdekatan dengan kamarku.
   'Iya pak. Rumah ini memang tidak terlalu besar pak bisa lihat sendiri. Namun tempat ini saya rasa sangat strategis untuk kalian, dekat supermarket, dan sekolah.'
   'Iya Bu. Saya juga sudah mulai jatuh cinta dengan tempat ini. Tapi... Apa harganya tidak bisa kurang lagi?
   Rumah? Harga? Rumah Abi akan dijual tanpa meminta persetujuanku terlebih dahulu. Hanya ini yang aku punya dari peninggalan Abi. Aku memang salah umi tapi kenapa umi melakukan ini semua? Tidak puaskan umi memarahi selama ini? Aku ini sebenarnya anakmu atau bukan? Umi sudah benar-benar menyakitiku. "Aku tidak kuat lagi ya Rabb, jauhkan aku dengan Umi."
  
***
  Mendadak sesak itu kembali datang . Ingatan masa lalu yang susah payah aku buang. Selera makanku benar-benar sudah hilang sekarang. Makanan masih tersisa setengah. Tidak mungkin rasanya aku membuangnya, itu artinya sama saja aku mengikuti langkah setan. Ku paksa makanan itu masuk walau air mata ini terus mengalir. Entah sejak kapan aku mulai menangis, rasanya aku ingin amnesia.
  Aku kembali ke dapur dan mencuci piring. Ku ambil air wudu kemudian melaksanakan shalat asar.
  Selesai shalat, ku dapati benda menyala di atas nakas. Pasti nenek yang memindahkannya tadi pagi ke kamar. Ada banyak notifikasi yang muncul sebelum layar itu dibuka. Notifikasi teratas ku temukan satu nomor yang tidak dikenal mengirimkan beberapa pesan di WhatsApp dan tentu saja itu bukan laki-laki yang biasanya. Sisanya panggilan tidak terjawab dari Reina, ibu Risa, dan percakapan group.

  ? : "Assalamualaikum, Aku Andra mahasiswa fakultas TI. Ibu Risa yang memberi nomor kamu. Kita akan membuat jadwal kumpul membahas karya ilmiah. Kamu kapan bisa?"

  Aisya : "Walaikumussalam. kebeteluan jadwal kelas aku Senin sampai Kamis pagi ka. Kita bisa ketemu sekitar pukul 1 atau 2.

  ? : "Tadi aku juga sudah hubungi Rico, jadwal kuliahnya lumayan padat. Kalau kita yang temui dia di fakultas gimana?  Kamu gak keberatan?"

  Aisya : " Iya, gak masalah ko."

   Sambil menunggu balasan, aku beralih mengirim pesan kepada Reina. Kasian juga dia sudah ku tinggalkan siang tadi.

   Aisya : " Sorry ya Rei tadi aku tinggalin. Kamu mau ngomong apa tadi?"

   Reina : "Gak gw maafin :P"

   Aisya  : "Gak boleh gitu dong Rei. Sesama muslim kan harus saling memaafkan kesalahan saudaranya :)"

   Reina  : "Ya abis, kamu nyebelin!"

   Aisya.  : "Iya deh iya maaf ya. Kamu mau curhat kan? Sekarang aku dengerin nih."

   Reina   : "Ko tau?. Nanti deh ketemuan aja. Gw mau langsung 4 mata"

   Aisya   : "ya iya dong. Kamu ngubungin aku kalo gak minta bantuin tugas ya curhat. Ya udah deh gini, besok insya Allah aku ketempat kamu. Tapi maafin dulu gak?"

   Reina   : "Na gitu dong. Ya deh gw maafin, tapi awas kalo gak jadi!"

  Aisya    : "iya insya Allah aku tepati. Tenang aja"

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Saksi Bisu
807      457     10     
Short Story
Sebuah buku yang menjadi saksi bisu seorang penulis bernama Aprilia Agatha, yang di butakan oleh cinta. Yang pada akhirnya cintalah yang menghancurkan segalanya.
Memory box
339      240     1     
Short Story
the story of how a box can bring up some old memories
Titisan Iblis
283      226     0     
Romance
Jika suatu saat aku mati, aku hanya ingin bersamamu, Ali .... Jangan pernah pergi meninggalkanku..... "Layla "
Rindumu Terbalas, Aisha
539      374     0     
Short Story
Bulan menggantung pada malam yang tak pernah sama. Dihiasi tempelan gemerlap bintang. Harusnya Aisha terus melukis rindu untuk yang dirindunya. Tapi kenapa Aisha terdiam, menutup gerbang kelopak matanya. Air mata Aisha mengerahkan pasukan untuk mendobrak gerbang kelopak mata.
angle sister
242      190     0     
Short Story
jangan pernah menghapus persaudaraan dengan kesahalah,tapi hapuslah kesalahan dengan persaudaraan
Maaf katamu? Buat apa?
732      461     0     
Short Story
“Kamu berubah. Kamu bukan Naya yang dulu.” “Saya memang bukan Naya yang dulu. KAMU YANG BUAT SAYA BERUBAH!”
Tok! Tok! Magazine!
87      75     1     
Fantasy
"Let the magic flow into your veins." ••• Marie tidak pernah menyangka ia akan bisa menjadi siswa sekolah sihir di usianya yang ke-8. Bermodal rasa senang dan penasaran, Marie mulai menjalani harinya sebagai siswa di dua dimensi berbeda. Seiring bertambah usia, Marie mulai menguasai banyak pengetahuan khususnya tentang ramuan sihir. Ia juga mampu melakukan telepati dengan benda mat...
Heartbeat
221      174     1     
Romance
Jika kau kembali bertemu dengan seseorang setelah lima tahun berpisah, bukankah itu pertanda? Bagi Jian, perjumpaan dengan Aksa setelah lima tahun adalah sebuah isyarat. Tanda bahwa gadis itu berhak memperjuangkan kembali cintanya. Meyakinkan Aksa sekali lagi, bahwa detakan manis yang selalu ia rasakan adalah benar sebuah rasa yang nyata. Lantas, berhasilkah Jian kali ini? Atau sama seper...
Hidden Words Between Us
1402      628     8     
Romance
Bagi Elsa, Mike dan Jo adalah dua sahabat yang paling disayanginya nomor 2 setelah orang tuanya. Bagi Mike, Elsa seperti tuan putri cantik yang harus dilindunginya. Senyum dan tawa gadis itu adalah salah satu kebahagiaan Mike. Mike selalu ingin menunjukkan sisi terbaik dari dirinya dan rela melakukan apapun demi Elsa. Bagi Jo, Elsa lebih dari sekadar sahabat. Elsa adalah gadis pertama yang ...
Mimpi Membawaku Kembali Bersamamu
616      436     4     
Short Story
Aku akan menceritakan tentang kisahku yang bertemu dengan seorang lelaki melalui mimpi dan lelaki itu membuatku jatuh cinta padanya. Kuharap cerita ini tidak membosankan.