Pesawat mendarat sempurna di Bandara Abdul Rachman Saleh Malang, tak mau menunggu lebih lama, Adit langsung memasukkan semua barang-barang ke dalam mobil sewaan yang sengaja disewa untuk 2 hari ke depan.
Iringan lagu Mozart mengiringi perjalanan mereka kali ini. Tak ada yang protes karena anak perempuan semua berada di mobil yang pertama. Dan mobil yang kedua ini diisi oleh Gazza, Kenzo,Reind, Adit, dan Marvin.
“Ini lagu ibu-ibu hamil ngapain disetel sih, ganti” Ucap Kenzo yang langsung mengutak atik tombol radio yang ada di depan Adit.
“Rokes lo anjir”
“Nah, ini bener”
Kini suara lagu dari John Legend yang berjudul All Of me mengalun di dalam mobil.
“Andaikan ya, kita ke sininya touring pake motor, seru banget kayaknya” Ucap Reind.
“Dasar otak Touring” Balas Kenzo.
“Kalau touring ya harus lengkap, harus ada Zali. Itu baru namanya Five second” Ucap Adit. Jujur, Adit juga rindu pada Zali. Walaupun ia memang menyebalkan dan sangat keras kepala.
“Zali udah pindah, gue juga denger kata guru BP. Emang sih, dia nggak pamitan. Apalagi sama kita. Bahkan gue anggap ini kaya tiba-tiba banget” Jujur, Adit sedikit terkejut dengan pernyataan Reind barusan, karena Adit hanya tahu jika Zila yang dipindahkan ke Australia, tapi tidak dengan Zali.
Sampai di penginapan, Semuanya langsung meletakkan tas ke dalam kamar. Sampai di penginapan tepat pukul jam 11 malam, semua wajah sudah lelah, rasa kantuk juga sudah menyelimuti seluruh orang yang ada di sini. Kecuali anak laki-laki.
Adit mengambil satu sachet kopi yang sengaja ia bawa dari Rumah. Kopi yang memang selau menjadi andalannya ketika kantuk datang.
“Dit” Panggilan itu membuat Adit menoleh, ia melihat Dira yang sedang berdiri tepat di belakangnya.
“Kenapa?” Adit bingung, Untuk apa juga Dira datang kepada Adit, biasanya Adit yang selalu menghampiri Dira.
“Gue terlalu jutek sama lo ya Dit? Maaf ya”
Lucu sekali. Adit ingin tertawa tapi ia tahan, jangan sampai Adit membuat Dira semakin jutek padanya.
“Ya wajar aja sih, maklum gue emang salah sama lo waktu itu, jadi gue terima semua perlakuan lo, karena itu adalah ulah gue”
Dira terlihat diam, ia menundukkan pandangannya ke arah lantai.
“Lo kenapa? Sakit?”
“Nggak”
“Izinin gue untuk mulai awal yang baru ya Ra, gue mau buat lo jadi wanita paling bahagia sedunia. Nggak perlu sedunia deh, lo jadi wanita paling bahagia di mata gue aja udah lebih dari cukup”
Adit bisa melihat, Dira menganggukkan kepalanya dengan ragu, namun pasti.
Malam ini tak banyak obrolan, Dira langsung masuk ke dalam kamarnya, dan Adit berjalan ke luar halaman ke tempat teman-temannya berada. Bisa di lihat dari ambang pintu, Empat temannya sedang berbaring diatas rerumputan yang pasti sudah basah oleh embun malam.
Karena kesolidaritasan, Adit melangkahkan kakinya menuju ke tempat empat temannya itu membaringkan tubuh dan menatap ke arah langit malam yang dipenuhi oleh bintang dan sayu bulan yang melingkar tidsk sempurna.
Kini Reind sedang bercerita, tentang hidupnya saat ini, hidup yang di mana ia berpisah dengan orang yang melahirkannya ke dunia.
“Entahlah sekarang kenapa bisa nama gue berubah jadi Reind, padahal kata ibu panti yang ngerawat gue, saat gue dititipin di panti, nama gue Renandra Indra Cahyanintyo. Gue nggak ngerti kenapa nama Reind itu bisa muncul. Dan satu hal lagi yang gue inginkan di dunia ini, gue bisa ketemu sama orang pemilik rahim tempat gue tinggal selama 9 bulan”
Reind adalah anak angkat. Ayah tirinya saat ini adalah seorang pebisnis dan ibunya adalah seorang bidan yang belum memiliki anak sampai sekarang.
Kini giliran Kenzo yang bercerita. Ceritanya tidak sepanjang cerita Reind, Kenzo lebih singkat, tapi jelas dan tidak memiliki jawaban yang jelas.
“Kadang gue mikir, gimana bisa gue ketemu sama orang sejenis Adit, Zali, Kenzo, Gazza, dan bahkan Marvin. Serasa mimpi ada di tempat sejauh ini bareng kalian. Itu aja sih. Cerita hidup gue emang sedih, tapi kalau diceritain bakalan lebih sedih lagi gue takut kalian pada nangis”
“Gila lo, Enjo—”Baru tiga kata Reind berbicara, tapi Kenzo sudah memotong ucapan Reind terlebih dulu.
“Kenzo, bukan enjo, oke?”
“Iya oke oke, Ken lo harus tahu kalau suatu kebetulan itu bisa berubah jadi takdir. Jangan anggap sebelah mata sebuah kebetulan deh, suatu kebetulan kadang bisa nentuin masa depan kita loh”
“Ngikutin jejak Zali sama Gazza lo jadi puitis begini?”
Adit sedikit tertawa mendengar perdebatan antara Reind dengan Kenzo. Mereka memang seperti itu, sejak dulu tak pernah akur, sekalinya akur hanya pada saat salah satunya tidak membawa gitar. Hanya itu. Karena di sana mereka berbagi.
Setelah mendengar cerita Kenzo, akhirnya giliran Gazza yang bercerita.
“Gue Cuma mau pinjem mesin waktu doraemon dan balik ke Zaman saat orang tua gue masih baik-baik aja. Sekarang, perceraian malah membuat gue sama kakak gue makin jauh. Sesederhana itu, tapi rasanya sulit” Adit menatap Gazza, kisahnya hampir sama, tapi isinya berbeda sangat jauh.
“Satu kisah, Cuma gue lebih nggak tertebak. Nyokap gue nikah sama bokapnya musuh terbesar gue,Davin. Gue nggak pernah percaya kalau hal ini beneran terjadi.” Adit menatap langit hitam di atas sana. Meneliti dengan jelas dimana bintang yang cahayanya paling terang.
“Itu Dira” Adit menunjuk ke arah bulan. “Dan tempat gue berpijak sekarang adalah Zali, yaitu bumi” Adit menghela nafasnya, lalu menghembuskannya secara perlahan, menikmati bagaimana udara malang pada malam hari. “Sementara gue adalah Aditya, Gue matahari”
Jejak setiap manusia, perjalanan setiap manusia, walaupun searah dan memiliki tujuan yang sama, tapi kadang tak berjalan pada satu jalan yang sama. Begitupun dengan persahabatan yang terjadi secara tidak sengaja ini, memang benar, Tak ada yang tahu jika mereka bisa sedekat ini, memiliki kisah yang hampir sama dan tak seisi.
Reind, Kenzo, Gazza, Adit, dan kini giliran Marvin.
“Gue mau hidup di sudut muka bumi yang menjunjung tinggi nama keadilan. Bukan di sudut bumi yang justru bisa dibeli pake uang, hidup ini kan harusnya adil, harusnya uang itu nggak berkuasa, tapi sekarang kenapa selembar kertas bernilai itu terasa sangat berarti. Uang itu bikin orang lain sakit, itu yang gue tahu”
“Di setiap tindakan, pasti selalu disertai dengan alasan, walaupun kadang alesan itu sama sekali nggak masuk akal bahkan terdengar bodoh” Ucap Gazza.
Gazza adalah orang yang puitis, lebih puitis dari Zali. Bahkan lebih halus dari Zali. Dua manusia itu memang sama, sama-sama menutupi sikap aslinya kerena kejadian yang menimpa keluarganya.
Rasanya tak adil jika tidak mendengar cerita Zali, tapi Adit tak akan pernah membongkar rahasia keluarga Zali yang sudah ia simpan rapat-rapat.
Kisah di Bromo ini tidak lengkap tanpa kehadiran Zali, karena memang seharusnya Zali ada di sini. Semua rencana ini adalah ide Zali saat dulu, tapi kini dia yang pergi tak tahu kemana. Ia tak mengikuti rencana yang sudah ia buat saat itu. Kini dia pergi tanpa jejak.
***
Hari masih gelap, jam setengah 4 pagi,ini adalah waktu di mana seseorang sedang tidur nyenyak dalam balutan selimut dan sedang bermimpi sangat indah sampai malas untuk bangun. Tapi kali ini, berbeda dengan 8 orang yang sengaja datang ke Malang hanya untuk berjumpa dengan matahari terbit secara langsung.
Dan kali ini, mereka sudah sampai di depan kawasan wisata gunung Bromo. Pilihan mereka jatuh pada mobil Jeep, tujuannya adalah untuk menyimpan energi untuk mendaki Gunung Pananjakan dan menyisakan sisa energinya untuk sampai di puncak Bromo.
Menaiki mobil Jeep ternyata suatu hal yang menyenangkan, Dira juga baru pertama kali menaiki mobil ini. Dan jujur saja, ini adalah pengalaman pertama untuk Dira. Tapi sayangnya, Jeep hanya mengantarkan mereka sampai ke tugu penanda radius bahaya. Dan oleh karena itu, semuanya harus dipaksa untuk berjalan kaki melewati pasir tebal.
Mungkin, bagi orang yang sudah terbiasa berjalan kaki atau berolahraga, ini bukanlah suatu hal yang berat, bahkan menurut orang yang terbiasa berolahraga, perjalanan ke Bromo ini adalah hal yang menyenangkan. Apalagi untuk sekelas Dita yang bertitle seorang Atlet. Itu adalah suatu hal yang sangat kecil.
“Ra, Cape?” Tanya Adit.
Saat ini Adit sedang berada di sampingnya, ia menggendong sebuah tas hitam yang tidak terlalu besar, tapi sepertinya berisi banyak barang.
“Nggak” Dira menghapus keringat yang sudah mengalir di keningnya.
“Enjo, udah kabarin Kaylamu belum?” Teriak Reind dari arah belakang Dira.
“Stop call me Enjo” Ucap Kenzo yang dibalas tertawaan dari semua orang. Kecuali Dira.
“Sok inggris lo, pelajaran bahasa inggris masih remedial ada belagu anjir” Ucap Gazza yang langsung mendapat tatapan tajam dari Kenzo.
“Zalii, lo pulang kenapa sih Zal. Ampun dah gue nggak ada yang belain di sini” Rintih Kenzo.
Mendengar nama Zali, Dira ingat misi Dira ikut pergi ke sini. Ya, untuk menyelesaikan teka-teki Zali. Sama sekali bukan untuk berlibur.
Gunung pananjakan, ini adalah pilihan pertama rombongan anak-anak yang sok berani dari Bandung ini. Bukan sok berani, tapi memang seperti itu terlihatnya, mereka datang ke Bromo tanpa pendamping atau orang yang lebih dewasa.
Gunung pananjakan adalah pilihan terbaik untuk menikmati sunrise, gunung ini berada di sebelah barat Gunung Bromo. Kenapa menjatuhkan pilihan untuk menikmati sunrise di Gunung Pananjakan? Karena, ini adalah puncak tertinggi di mana mereka bisa melihat gunung-gunung di sekitar Bromo seperti deretan Gunung Batok yang berlatar belakang Gunung Semeru.
“Ra gue gendong, mau?”Dira menoleh ke arah Adit. Laki-laki ini tak pernah jauh dari samping Dira.
“Makasih, gue masih mampu”
Sebentar lagi sampai di puncak, untuk apa juga menerima penawaran Adit.
Dira memiliki prinsip, selama ia bisa sendiri untuk apa meminta bantuan orang lain? Itu hanya memberatkan orang lain walaupun sebenarnya orang lain tidak merasa diberatkan.
Sinar mentari pagi perlahan sudah mulai terlihat oleh mata Dira. Langit berwarna jingga itu kini menunjukkan keindahannya, sangat indah. Dan hangat sekali.
Sekarang, Dira merasa jika Zali sengaja membawa teka-teki ini sampai ke sini, sampai ke tempat yang jauh dan tinggi ini. Agar Dira merasakan bagaimana nikmatnya berjuang untuk mendapatkan sesuatu yang sangat indah.
“Ta, akhirnya aku sampai di Bromo Ta,” Saking senangnya, Dira sampai memeluk Dita.
“Ini bukan Bromo kali Ra, ini Pananjakan”
Sampai lupa. Ini bukanlah tempat Zali menyimpan jawaban teka-tekinya.
Di tempat ini banyak sekali wisatawan yang datang, Dira memperhatikan setiap sudut keramaian, atau setiap orang yang sedang sendiri, tapi hasilnya nihil sekali. Dira tak menemukan keberadaan Zali di sini.
Oke, jangan sedih Ra, tahan. Teka-teki itu nggak ada di sini. Ini bukan Bromo dan Zali juga nggak akan ada di sini. Zali akan ada di Bromo. Itu pasti!
“Ra” Panggilan itu membuat Dira menoleh. “Kok sendiri?”
Dira sampai lupa, Dira pergi sendiri menjauh dari rombongan. Ini semua karena pikiran Dira selalu berputar nama Zali.
“Aku mau bicara” Lagi-lagi untuk kedua kalinya suara Adit memecahkan lamunan Dira.
“Ngomong apa? Tumben izin, biasanya juga langsung ngomong nggak pake izin-izin dulu”
Memang begitu, seorang Adit memang selalu langsung berbicara, tanpa zin bahkan tanpa permisi. Berbeda dengan kali ini.
“Jujur Ra, gue bukan orang yang pinter buat nyusun sebuah kalimat indah, apalagi nyusun kalimat buat nembak seseorang yang udah jadi temen gue selama 10 tahun lebih”
Jantung Dira berdetak sangat cepat, Kenapa bisa Dira merasakan hal ini setelah sekian lama perasaan ini hilang dan berganti dengan perasaan untuk Zali.
Semesta jangan sampai Adit bilang..
“Jadi gadisku ya Ra”
Benar kan, kali ini kata hati Dira benar kan?
Adit menggenggam tangan Dira, sangat erat hingga Dira tidak bisa melepasnya. Perasaan Dira sudah tidak karuan. Rasanya kenapa sulit sekali untuk dideskripsikan. Semesta, ini apa lagi? Ini yang direncanakan oleh Zali?
Dira memejamkan matanya, lalu membuka lagi dan matanya mengelilingi pemandangan sekitarnya, matahari terbit juga datang begitu cerah, dia seakan tersenyum.
Dengan tarikan nafas panjang, dengan rasa ragu yang perlahan ia hilangkan, dan dengan sebuah kepercayaan akan semua yang terjadi beberapa minggu yang lalu, Dira angkat suara.
“I-ya”
Satu kata yang terbata, akhirnya Dira melawan keraguan dalam dirinya, mengikuti kata setengah hati yang sudah berteriak sejak tadi. Tapi setengah hatinya lagi, masih mencari-cari Zali.
Ibarat kata, kali ini hati bagian kanan berteriak paling keras dibandingkan dengan hati kirinya. Dan saat ini adalah waktunya.
Aditya dan Ra
***
Akhirnya, setelah lelahnya menuruni Gunung Pananjakan lalu mendaki ke puncak Bromo. Kini Adit sudah bisa melihat kawah Bromo, bunga edelweiss juga sudah mulai terlihat. Bunga abadi itu sudah terlihat oleh mata Dira dan mata Adit.
Kini mereka sedang istirahat di untuk sejenak mengumpulkan kembali energinya untuk berjalan pulang nanti.
“Gue ngerasa kalau perjalanan kita belum cukup sempurna, keindahan Bromo nggak lengkap.” Ucapan Kenzo membuat semuanya menoleh.
“Iya, karena lo nggak bawa Kayla. Kalau gue sih udah lengkap” Adit tersenyum, Ada Dira di sampingnya, kini semua terasa lebih sempurna.
Pada akhirnya, puncak gerbang pertahanan hati Adit kini ia dobrak dan menghasilkan sebuah jawaban yang bukan saja menyenangkan, tapi sangat menyenangkan.
“Bukan itu, Five second nggak lengkap. Bukannya ini rencana Zali ya, ini kan rencana dia untuk datengin Bromo karena dia mau lihat bunga Edelweiss yang katanya sulit banget dicari di toko bunga”
Semesta, ini pengkhianatan atau bukan? Tanpa memikirkan teman lagi, rasa itu terlontar tanpa mengingat jika ada orang lain? Ini jahat? Berperikemanusiaan tidak? Adit benar-benar lupa jika di sisi lain ada Zali, tapi bagaimana lagi, semua sudah berjalan. Jika di putar lagi, yang ada Dira menuduh Adit jika Adit memang benar-benar hanya mempermainkannya seperti dulu. Datang dan pergi sesuka hatinya.
“Kita aja nggak tahu alesan kenapa Zali pergi, tanpa salam perpisahan, padahal kita semua tahu Zali itu kaya bagian dari keluarga kita. Kalau Zali emang mau pergi jauh, ya tolong lah, gue mau ketemu sama dia sekali aja. Walaupun gue tahu, Zali itu bener-bener galak sama gue karena gue berani deketin adik kembarnya, tapi sama sekali, rasa benci itu nggak pernah muncul” Reind, dia adalah orang yang paling dekat dan paling sering bertengkar dengan Zali. Jika tidak ada Zali, memang Reind adalah orang yang paling merasa kesepian.
Sama halnya dengan orang yang kini berada di samping Adit, siapa lagi kalau bukan Dira. Orang yang hampir jatuh cinta pada Zali. Bahkan mungkin sudah jatuh cinta.
“Ikut yuk” Adit menarik tangan Dira pergi dari kumpulan.
Tujuannya adalah menghindarkan Dira dari segala kesedihan yang akan menyelimutinya, semua tentang Zali, harus Dira lupakan. Zali tak akan mungkin kembali, bahkan saat ini juga Adit tidak tahu di mana letak keberadaan Zali.
Zali tidak mungkin ada di Bandung lagi, karena sekolahnya sudah pindah. Zali sudah mengurusi semua berkas kepindahannya. Dan itu artinya, Zali tidak di Bandung.
Bukan maksud menusuk Zali. Tapi ini soal kebahagiaan Dira. Zali dan Adit sudah berjanji, jika salah satunya tak dapat menjadikan Dira wanita paling bahagia, dengan terpaksa, orang itu harus pergi menjauh. Kebahagiaan Dira memang menjadi prioritas utama. Dan mungkin sekali, Zali pergi karena janjinya.
“Ini edeweiss, tahu kan?” Adit mengajak Dira untuk melihat indahnya bunga edelweiss yang katanya adalah bunga yang abadi.
“Iya aku tahu, ini bunga yang aku suka dulu. Tapi sekarang aku lebih suka sama Bunga Aster” Dira menatapAdit yang sedang menatapnya juga.
Aster? Bunga yang selalu terawat indah di pekarangan rumah Zali. Sejak dulu dan hingga kini masih tetap ada.
“Saat aku nggak dapetin Edelweiss yang abadi ini, aku dapetin Bunga Aster yang nggak abadi, tapi dia bisa bertahan di tiga musim. Bunga yang tidak secantik bunga mawar ataupun bunga anggrek. Bungga yang tidak terlalu banyak dikagumi oleh orang-orang. Tapi satu orang, dia buat aku suka sama bunga yang sederhana ini”
Ya, dia Zali.
“Menurut artikel yang aku baca, edelweiss itu bunga yang abadi, kalau ada pasangan yang datang ke sini dan metik bunga ini, kisahnya juga akan abadi, seabadi bunga ini.” Adit tersenyum, lalu menatap ke arah Bunga itu dan wajah Dira secara bergantian “Ayah sama ibu aku pernah ke sini, mereka metik bunga ini. Tapi kisahnya nggak abadi. Kamu bantu aku untuk wujudin mitos bunga ini ya”
Dira hanya mengangguk. Itu artinya adalah iya.
Walaupun bisa Adit lihat, tidak ada sebuah ketulusan yang tercipta. Hanya yang ada sebuah keraguan yang terlihat sangat jelas.
Oke, Adit bisa tenang. Ini adalah awal. Dira menjadi seperti ini karena ulahnya dulu, jadi nggak masalah. Semuanya akan kembali lagi seperti dulu.
Kita remaja, yang sedang dimabuk asmara.
Mengikat janji bersama selamanya
Hati telah terikat sepasang mata mengikat
Melambungkan asmara,yang slalu meminta,
Mengulur senja menanti datang.
Semua milik hati, rela menanti sejak terbit mentari.
Tak sabar ku berbagi segala isi di hati
Ceriakan sanubari, dalam bercumbu di ujung hari.
Suara Gazza dan Reind yang bernyanyi sangat terdengar oleh telinga Dira dan Adit. Adit yang telinganya sangat menyukai musik itu langsung menarik tangan Dira dan mengajak Dira untuk ikut bersama dengan kumpulan anak-anak lain yang bukan satu rombongan yang sedang bernyanyi bersama dengan Gazza dan Reind.
Indahnya kisah kasih kita di masa remaja.
Di bawah rayu senja kita dimadu bermnaja
Tiada masa-masa yang lebih indah dari masa, remaja.
Seakan dunia. Milik berdua.
Sudah kodratnya, Mendaki gunung hanya mengobrol dengan delapan orang, tapi saat berada di atas gunung, bisa mengobrol dengan tiga kali lipatnya.
Adit bertemu dengan banyak orang yang berasal dari daerah yang berbeda, seperti Surabaya, Yogyakarta, Solo, Bogor, Jakarta, dan tenyata seluruh penjuru Indonesia mengenal seperti apa keindahan gunung yang berada di perbatasan Malang ini.
***
Lelah, tapi ini yang Dira dapatkan, sebuah ketenangan hati, walaupun sedikit, yang penting hati Dira sudah sedikit tenang daripada sebelumnya.
Kini, Dira memiliki status baru, sekarang Dira adalah gadisnya Adit.
Soal Zali? Teka-tekinya tidak berhasil Dira temukan. Yang ada justru peristiwa tak terduga yang Dira temui. Apa itu maksudnya Zali?
Semua orang sedang tidur di penginapan, Dira juga sudah mencoba untuk tidur, tapi tidak bisa. Mata Dira tak bisa dipejamkan. Dan dari pada ia jenuh di dalam kamar, Dira memilih untuk menikmati udara segar Malang di depan halaman Villa.
“Dir”
Tunggu sebentar, di dunia ini hanya ada satu manusia yang memanggil Dira dengan sepenggal kata ‘Dir’ dan orang itu hanya Zali.
Dira menoleh ke arah belakang tubuhnya, tempat suara itu berasal.
Dan, dugaan Dira tidak meleset.
“Zali”
Kenapa Zali tampak berbeda. Zali lebih sedikit kurus, walaupun tubuhnya dibalut oleh jaket tebal, Tapi Dira bisa melihat Zali lebih kurus dibandingkan dengan 3 minggu yang lalu saat Dira ulang tahun.
Sepatu adidas putih yang dikenakan oleh Zali tampak kotor oleh pasir, sama persis dengan sepatu Dira yang tadi ia kenakan saat pergi ke Bromo.
“Kamu datang?”
Zali tersenyum, senyuman itu adalah senyuman yang Dira rindukan.
“Aku hanya jadi penonton, Selamat ya Dir, aku gagal untuk menjelaskan teka-teki itu padamu. Selamat karena kamu sudah Jadian dengan laki-laki yang menjadi pilihanmu” Suaranya biasa saja. Tak ada nada atau intonasi kekecewaan.
“Zali, aku nggak mau ini terjadi. Aku mau kamu”
Dira sebisa mungkin menahan air matanya, tak mau air mata ini tumpah lagi. Sudah cukup Dira menangisi Zali terus menerus. Kali ini biarkan Dira menjadi wanita kuat, sebentar saja.
“Nyatanya ini yang terjadi. Kamu sama dia. Dir, aku udah bikin rencana, tapi tetep aja, rencana semesta selalu menang. Dan rencana aku selalu berakhir dengan angan-angan”
Iya Zali, Dira harusnya bisa mencegah agar semesta tidak bisa melakukan rencananya, tapi saat itu Dira pikir Zali benar-benar pergi dan tak akan kembali lagi.
Dira mendekati Zali yang berdiri satu meter di depannya, kini jarak keduanya sangat dekat. Empat mata itu kini bertemu dan melepas masing-masing kerinduannya, Dira menggenggam tangan Zali. Tak mau Zali pergi lagi.
“Aku akan akhiri ini semua Zal, aku akan bilang sama Adit. Aku maunya kamu bukan Adit”
“Tapi kamu terima Adit” masih dengan senyuman. Zali tampak tidak memiliki beban ataupun rasa kecewa pada Dira.
“Aku mau sudahin semuanya, aku mau kamu Zali. Kamu denger nggak sih?” akhirnya Dira meninggikan suaranya, kesal karena Zali tersenyum, kesal karena ternyata Zali Tidak cemburu, Kesal karena Zali ternyata tidak mengizinkan Dira untuk mengakhiri semuanya.
“Aku denger. Tapi untuk apa kamu sudahi? Untuk bersedih-sedih dan mengeluarkan air matamu seperti ini di dalam kamarmu itu, iya?” Naik satu oktaf, tapi masih halus.“Aku akan pergi, jauh dan itu akan membuat kamu kehilangan aku. Nggak akan tahu, aku bisa nemuin kamu lagi atau nggak, tapi aku selalu berharap kita akan ketemu Nanti, waktunya masih dirahasiakan oleh semesta”
“Tapi Zal—”
“Simpan ini, buka pada saat kamu lolos seleksimu. Agak panjang tapi semoga kamu bisa mengerti maksud teka tekiku. Dan satu lagi, Hadiah ulang tahunmu yang ke 17 ada di halaman belakang rumahmu. Jangan takut untuk berkunjung” sebuah buku berwarna biru tua kini berada di genggaman Dira. Tidak terlalu besar, tapi cukup tebal.
“Untuk apa aku baca ini? Harusnya kamu yang ceritain sama aku. Bukan aku yang baca buku ini” Dira membalikan buku itu kepada pemiliknya, dengan cara yang cukup kasar, yaitu melempar.
“Ipodku, kamu bisa dengar catatan hariaku, aku jadikan lagu.”
“Kamu tahu Zal, kadang aku merasa tidak akan mau menjadi temanmu jika aku tahu akan jatuh cinta padamu. Nyatanya, kamu datang hanya untuk menemani, bukan untuk melengkapi”
Zali masih terdiam, ia membalikkan tubuhnya, Kaki Zali melangkah meninggalkan Dira. Tapi, langkahnya belum menghilang jauh.
“Kalau aku tahu kamu hanya bersinggah, nggak akan aku kasih kamu hati. Aku akan hanya kasih kamu kopi. Biar kamu tahu bagaimana pahitnya hanya dijadikan tempat bersinggah”
Dira melihat, Zali hanya menghentikan langkahnya sebentar, tapi tidak menoleh, setelah Dira selesai berbicara, Zali pergi lagi.
Dira meraih buku yang tadi ia lempar, buku biru dengan catatan yang ada di dalam buku itu. Dira membuka halaman pertama. Ada tulisan dengan tinta berwarna hitam.
Sudah kubilang. Bukanya setelah kamu lolos seleksi. Kalau nggak lolos, ya jangan dibaca.
Dira kembali menutup buku itu, disekatnya air mata yang mengalir lumayan deras.
Sudah resmi, Zali pergi.
***