Dira menatap layar putih yang penuh oleh rumus Kimia. Mood belajarnya kali ini sedang kurang baik. Tadi pagi, Dira melihat Livi dan Davin bergandengan mesra. Dan setelah itu, Dira masuk ke dalam kelas lalu melihat Dita dan Syereen yang sedang adu mulut. Awalan pagi yang sangat merusak segalanya.
Tapi tunggu sebentar, kenapa Dira harus cemburu pada Davin dan Livi? Bukannya itu yang harusnya terjadi. Perusuh dan perusuh itu sama cocoknya.
“Oke, pelajaran hari ini cukup sampai di sini. Minggu depan jangan lupa untuk bawa kertas lakmus untuk bahan praktek yang kedua” Akhirnya, Bu Hida menyudahi pelajarannya.
Tak lama setelah Bu Hida keluar kelas, bel pulang sekolah berbunyi. Semua siswa yang ada di dalam kelas segera berhamburan ke luar kelas. Termasuk Adit, laki-laki itu nampak seperti terburu-buru. Tapi, apalah peduli Dira. Kini Adit bukanlah urusan Dira lagi.
“Ra,” Suara itu berasal dari kursi belakang. Sepertinya, tadi Dita sudah pulang. Dan ini artinya adalah Marvin.
“Kenapa Vin?”
“Boleh duduk di samping lo?”
“Sekolah ini bahkan punya lo Vin,”
“Punya bokap gue lebih tepatnya”
Wajah Marvin seperti orang yang ingin berbicara serius. Tapi Marvin tetaplah Marvin. Sebegitu serius apapun wajahnya ia tak akan pernah benar-benar bisa serius. Bisa sih serius, tapi hanya beberapa menit saja. Tak akan bisa lama.
“Ikut program ini ya” Marvin menyodorkan sebuah map berwarna putih yang tertera nama Yayasan Pandu Sejahtera.
Dira membuka isi map itu, membaca keseluruhan isinya dan sumpah demi apapun. Isinya tak kalah menyenangkan. Isinya lebih berarti daripada olimpiade sains yang gagal ia raih beberapa minggu yang lalu.
“Gue yakin lo akan lolos seleksi. Tanpa harus nunggu akhir semester ini. Gue udah tahu, lo akan jadi pemenangnya”
“Vin, ini sekolah ngadain program ini? Iya Vin?”
“Iya, programnya emang nggak ada setiap tahun. Tapi kebetulan tahun ini program itu terjadwal lagi”
“Vin ya ampun. Gue seneng banget Vin.”
Sejak mendapatkan map ini. Senyuman Dira tak bisa berhenti. Ia juga tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih pada Marvin.
“Yaudah. Gue balik ya. Lia udah nunggu di bawah nih” Marvin bangkit dari kursi. Ia berjalan menuju keluar kelas dan akhirnya tubuhnya hilang dari pandangan mata Dira.
Nampaknya, hari ini yang awalnya Dira kira akan buruk karena saat pagi diawali dengan sesuatu yang membuat mood nya berantakan. Tapi saat ini dapat berubah begitu saja. Karena kertas selembar yang diberikan oleh Marvin.
Okelah, sudah cukup membahas kertas di dalam map itu. Kini Dira sudah berjalan menuju keluar sekolah. Dan lagi-lagi, sepedah Dira menjadi korban tangan kreativ seseorang yang tidak bertanggung jawab.
Kenapa di sekolah ini selalu ada orang yang menjaili Dira? Tapi yang Dira tahu, hanya ada dua manusia yang memang benci pada Dira. Yaitu hanya Livi dan Davin. Selain itu, tak ada lagi. Tapi jika dilihat dari sikap dan perilaku kedua manusia itu hanya Livi yang benar-benar mencolok secara terang-terangan membenci Dira. Sementara Davin, orang itu sebenarnya tidak tahu bagaimana perasaannya. Namun sikap yang ditunjukan oleh Davin pada Dira sangat jelas terlihat jika ia mengejar-ngejar Dira. Mengharapkan Dira kembali padanya, padahal sebenarnya, Dira benci Davin. Karena Cintanya yang ternyata hanya sekadar fiktif belaka.
Dengan menghela nafas yang panjang, Dira meraih sepedahnya dan mendorongnya. Rantainya selalu terlepas dan sampai saat ini, Dira belum tahu bagaimana caranya membenarkan rantai yang terlepas. Kalau setiap hari seperti ini, lebih baik Dira tidak usah membawa sepedah ke sekolah. Lebih baik jalan kaki atau naik ojek online saja.
Di depan gang sekolah, Dira berhenti sejenak untuk membeli sebotol air mineral karena ia baru menyadari, sejak pagi hingga jam 2 siang ini, Dira belum juga meminum setetes air. Dan mengingat juga Dira adalah orang yang mudah terkena Dehidrasi, jadi ini adalah keputusan Dira. Merehatkan sejenak tubuhnya dan menenggak sedikit untuk mengisi energi yang hilang sejak pagi.
“Pak, air mineralnya satu ya” ucap Dira seraya menunjukan jari telunjuknya kepada bapak tua yang berjualan di emperan jalan ini.
“Nggak usah bayar neng” Bapak itu memberikan Dira sebotol air mineral yang tadi ia pesan.
Dira menatap bapak itu dengan tatapan kebingungan. Tenang Dira. Cobalah untuk tidak bersikap kebingungan. Ini pasti ulah Zalimu itu, pasti dia. Tak ada lagi manusia yang membuat kejutan yang sederhana bahkan terlihat sepele, orang yang berbuat seperti itu hanya Zali. Hanya seorang Anzali Putra Adrian.
“Ada yang nyuruh bapak untuk ngasih ini secara gratis ke saya ya pak?” Tanya Dira penuh selidik.
Dira yakin. Ini semua adalah ulah Zali. Dia selalu meletakkan kejutannya di orang-orang yang berada di luar jangkauan pikiran Dira. Ya contohnya seperti kemarin, Bapak ojek online, penjual bunga dan mungkin ini juga adalah ulah Zali.
“Nggak kok neng, bapak hari ini kan ulang tahun, jadi bapak kasih minuman gratis ke semua orang yang bersinggah di tempat jualan bapak. Ini Cuma salah satu ungkapan rasa syukur aja neng. Walaupun emang kecil. Tapi semoga orang-orang yang mendapatkan ini senang. Itu kan hitungannya pahala neng”
Penjelasan bapak itu terlalu panjang. Dan ternyata Dira salah. Salah menebak dan salah karena sudah bersikap Su’udzon kepada bapak yang ternyata memiliki niat baik.
“Pak, maaf ya. Maaf banget saya nggak tahu, soalnya akhir-akhir ini saya sering kayak gini”
“Nggak masalah kok neng. Itu minumannya diminum”
Saat menenggak air itu, Dira teringat satu hal.
Teka-teki itu.
Dira mengambil sebuah foto yang ada di dalam tasnya. Ditatapnya foto itu berkali-kali dan tepat di bagian belakang foto itu tercatat sesuatu. Tidak begitu panjang. Bahkan hanya sebuah kode singkat.
SMK LENTERA& SMA PRIBADI UTAMA
Itu adalah dua sekolah elite yang Dira tahu. Yang satu adalah sekolah Zali dan yang satu lagi adalah sekolah siapa? Wanita itu?
Oh iya, kemarin Zali bilang jika ia akan mengantar Dira ke tempat teka-teki ini. Tapi kenapa sampai saat ini masih belum ada kabar? Apa zali masih terbaring lemah di rumah sakit sama seperti kemarin? Tapi, kemarin Zali bilang jika ia akan mengantarkan Dira pergi ke tempat ini.
Yasudahlah Dira. Biarkan Zali istirahat dan mengembalikan energinya yang semula hilang. Lagipula, Zali akan segera sembuh. Dan itu pasti.
“Terimakasih banyak ya pak. Saya permisi pergi duluan”
Dira bangkit dari kursinya. Ia menatap ke arah tempat sepedahnya diparkirkan. Tapi berbeda sekali rasanya. Tempat itu sepi bahkan tak ada satupun kendaraan yang terparkir di sana. Padahal tadi sangat ramai.
Dan Dira tersadar. Suasananya lenggang sekali. Dan sepedah Dira juga hilang tak tahu ada di mana. Yang pasti tak ada di sana.
“Pak, tadi liat sepedah yang parkir di sana nggak?” tanya Dira pada bapak-bapak yang tadi memberikannya air secara gratis.
“Neng parkir sepedah di sana?”
“Iya pak”
“Waduh neng” bapak itu menepuk dahinya. “Di sana rawan pencurian neng”
“Tapi tadi ramai pak, di sana ramai. Banyak orang yang parkir di sana” Air mata Dira sudah hampir jatuh.
Bagaimana tidak, sepedah itu adalah sepedah yang diberikan oleh ayahnya dan menjadi kado ulang tahun yang terakhir kalinya. Mana bisa Dira rela saat sepedah itu hilang.
“Kalau ada yang parkir di sana. Orang itu tidak pergi meninggalkan tempat parkir itu. Mereka menetap setelah itu pergi”
Semesta, kenapa sepedahnya hilang?
Tak tahu harus melakukan apa. Yang pasti saat Dira tahu sepedahnya Raib tanpa jejak, Dira langsung menangis tanpa mengeluarkan suara.
Ia berjalan sendirian menuju ke rumah, temannya kini hanya air mata. Di pertengahan jalan Dira menghentikan langkahnya. Ia tersadar.
Dira, ini kan jalanan. Kamu nggak boleh nangis di jalanan kamu harus nangis di kamar. Ya hanya di kamar!
Dira mempercepat langkahnya, bersamaan dengan itu Dira menyekat air mata yang masih tersisa.
Sesampainya di halaman rumah, Mata Dira membulat sempurna. Dilihatnya Zali yang bertengger diatas sepedah miliknya.
Apa sih?
Rencana Zali lagi?
“Pulang!” Dira Kesal.
Jujur, kali ini Dira benar-benar kesal pada Zali. Apa ini kejutan? Ini yang dia maksud kejutan? Kejutan yang menyedihkan iya!
Jika kalian berpikir Dira akan senang dengan kedatangan Zali dan sepedah miliknya, kalian salah besar. Dira tidak suka jika Zali membuat kejutan yang melibatkan barang kesayangan milik Dira.
“Ra dengerin aku dulu”
“Apa? Dengerin apa?” Dirra meninggikan suaranya. “Aku tuh panik nyari sepedah ini. Aku nangis di jalanan karena aku pikir sepedah ini beneran hilang. Kamu nggak tahu gimana berartinya sepedah ini untuk aku Zal. Kalau setiap kejutan yang kamu rancang itu bikin aku sakit, mending nggak usah bikin kejutan Zal!” Dira mendorong tubuh Zali hingga Zali jatuh tersungkur ke tanah.
“Aku nggak nyiapin kejutan apa-apa Dir. Aku tahu sepedah kamu tadi diambil orang”
“Alesan! Hidup kamu tuh penuh alesan. Kamu nggak mau aku salahin. Itu kan? Iya kan! Aku pikir kamu lebih baik daripada Adit. Ternyata aku salah Zal. Salah!”
Dira berlari masuk ke dalam rumahnya. Lebih tepatnya ke dalam kamar.
Aku nggak suka cara kamu yang seperti ini Zal, berbohong dan membela diri. Kamu tidak pernah ingin dianggap salah. Itu kelemahanmu.
Sudah dua kali aku membentakmu. Sudah dua kali juga kita bertengkar. Zal, bercandamu kali ini sangat kuanggap tidak lucu. Bahkan jika kau mengikuti kontes stand up comedy dan mengambil tema ini. Jujur saja, aku akan langsung mendiskualifikasimu. Bercandamu keterlaluan.
Kamu tahukan? Itu adalah barang yang paling aku sayang, barang yang paling aku jaga. Dan kamu mebuat barang itu hilang dari hadapanku. Aku menangis sesak Zal. Aku memikirkan bagaimana aku bisa baik-baik saja tanpa barang terakhir pemberian almarhum ayahku.
Dan kamu, dengan entengnya datang kerumahku bersama dengan sepedah yang kukira hilang itu. Kamu tersenyum tanpa tahu ada tangis yang aku tahan.
Aku rasa kamu adalah orang yang paling tahu jika aku benci sekali dengan air mata
“Dek” Suara Kak Diana membuat Dira memunculkan kepalanya yang semula terlungkup di dalam bantal.
Kakak perempuan Dira itu sudah berada di dalam kamar. Ya, Dira lupa untuk mengunci kamarnya.
“Mau dengerin penjelasan Zali?”
Dira menggeleng. Tak perlu mendengar laki-laki itu bercerita hal yang membuat Dira sakit hati.
“Sepedah kamu memang benar ada yang nyuri. Zali lihat, dia kejar pencuri itu dan akhirnya dapat. Mereka adu tonjok, dan kamu bisa lihat lebam di wajah Zali karena tonjokan pencuri itu”
“Kakak kenapa mau dibohongin Zali sih?”
“Kamu bisa bilang Zali bohong. Tapi kakak nggak punya alesan untuk bilang kalau Zali bohong. Kakak lihat semua yang terjadi, kakak yang bawa Zali ke sini dan ngelarang dia untuk nemuin kamu dengan keadaan babak belur separah itu”
“Dia nggak lebam”
“Kamu nggak tahu. Dia udah kakak obatin. Dan sekarang dia udah pulang ke Rumah Sakit lagi. Karena dia kabur dari Rumah Sakit untuk nemenin kamu ke tempat yang mau kamu kunjungi”
“Kalau dia mau nemenin aku, kenapa dia pergi?”
“Kamu yang suruh dia pergi. Kamu marah, kamu bentak dia, kamu dorong dia sampai di jatuh. Dan nggak ada alasan untuk dia bertahan di sini”
Zali kabur dari Rumah Sakit hanya untuk menemani Dira pergi ke SMA Pribadi Utama. Dan sikap Dira membuat Zali sakit.
Semesta, maafkan Dira. Tolong maafkan ya. Nanti Dira akan datang ke tempat Zali untuk meminta maaf juga.
***
Adit membuka pintu kamar perawatan Zali. Laki-laki yang tengah terbaring itu membuat Adit kesal sampai tadi ia hampir ingin memukuli Zali yang sebenarnya tidak sadarkan diri.
Apa otak Zali sudah dipenuhi oleh nama Dira? Sampai-sampai keselamatannya dinomor duakan. Zali sudah kelewat batas. Iya dia sudah kelewatan.
“Sekarang emang Cuma Dira sumber kebahagiaan milik Zali yang masih tersisa” Ucap Adit pada Reind yang sedang berada di sampingnya.
“Gue nggak punya alasan yang masuk akal untuk nyalahin tindakan Zali. Dia ngelakuin ini karena cintanya. Karena Cuma sama Dira dia bisa jadi orang normal yang banyak bicara dan nggak banyak ngelamun” Reind tahu semuanya. Ia tahu dari Zila, karena Zila sama seperti Zali. “Bahkan, semenjak Zila koma, Zali lebih agresif, dia lebih anarkis, dan dia lebih banyak ngelamun saat sama kita”
“Lo beneran suka Zila?”
Ucapan Reind membuat Adit terdiam menatap laki-laki yang menggunakan jaket levis yang ia biarkan berada di bahunya. Perkataanya membuat Adit berpikir dua kali untuk berbicara.
“Dia suka sama lo. Dira udah pergi sama Zali. Dan ini juga saatnya Zila sama lo. Waktunya gue pergi dan cari cinta lain”
“Lo itu seorang Aditya Rhazes. Gue kenal seorang Adit itu nggak gampang nyerah begitu aja.”
Benar apa kata Reind. Adit tidak mudah menyerah begitu saja. Tapi ini Zali, dan saat ini Zali sedang berada di titik terendahnya. Ini bukan lagi soal hati, ini adalah tentang kesimpatiannya pada Zali sebagai sahabat.
Tadi siang, Zali ditemukan oleh warga sekitaran Rumah Sakit. Ia tergeletak di jalanan karena pingsan. Dokter bilang, kondisinya memang jauh dari kata baik bahkan saat Zali pergi tanpa izin meninggalkan Rumah Sakit, kondisinya sempat drop.
“Gue mau kasih tahu satu hal sama lo Dit”
“Apa?”
“Gue udah pacaran sama Zila. Sejak 3 bulan yang lalu”
Deg!
Demi apapun, Jantung Adit berhenti berkontraksi selama beberapa detik. Laki-lakinya ternyata lebih mempunyai rahasia yang tersimpan sangat rapat dibandingkan dengan Zali.
Adit? Sekarang alasan apa lagi untuk menghadapi Zali. Zila sudah memiliki pacar. Dan sekarang? Apa lagi alasan yang tepat untuk membiarkan dan membuat Zali percaya jika Adit bukan untuk Dira.
“Tapi selama ini lo—“
“Gue Backstreet. Gue Cuma jadiin Zila bahan candaan saat di depan Zali. Gue takut dihajar sama Zali karena berani deketin Zila. Karena lo tahu sendiri kalau Zali takut kalau gue—“
“Mainin perasaan Zila sama kaya wanita lain”
Sejak dulu Zali memang mempunyai sifat yang over protektif terhadap Zila dan seluruh laki-laki yang mendekati Zila. Zali akan menyalakan sifat Adriannya saat berhadapan dengan seorang laki-laki yang membuat kembarannya sakit hati dan mengeluarkan air mata.
“Gue belum siap cerita sama Zali tentang semua yang terjadi sekarang antara gue dan Zila.”
“Tapi lo cerita sama gue, dan gue suka sama Zila”
“Di hati lo memang ada nama Zila, tapi hanya sebatas tetesan air aja.”
Kenapa semua orang tahu tentang perasaan Adit pada Dira,
“Dari mana lo bisa tahu?”
“Lo orang yang mudah sekali dibaca pikirannya”
Apa begitu? Adit tidak bisa menutupi rasa cintanya pada Dira? Tapi berhentilah lah untuk berbicara soal Dira. Adit akan gagal Move on jika semakin banyak orang yang membicarakan tentang perasaannya pada Dira.
***
Dengan langkah ragu, Dira melangkahkan kakinya masuk kedalam ruangan yang menjadi tempat perawatan Zali. Rasa bersalah Dira kian hadir saat melihat Zali yang masih tertidur di dalam balutan selimut. Di samping tempat tidur Zali, terdapat seorang wanita yang usianya masih berkisar 30’an.
Bisa Dira yakini, yang berada di sana adalah bundanya Zali.
“Eh ada yang mau jenguk ya?” Tanya tante itu ramah.
“Sini duduk di samping Bunda” Dira mengangguk. Ia berjalan duduk disamping bundanya Zali.
“Makasih tan—”
“Panggil bunda aja”
“Makasih bunda”
Dira menatap Zali yang kini masih terlelap dalam tidurnya. Zali kenapa lagi? Dia tidur dengan selang oksigen yang melingkar di hidungnya.
“Kamu pacarnya Zali?”
Dira menggeleng. Fakta mengejutkannya memang seperti itu, kami sering bersama tapi sama sekali tidak memiliki hubungan yang spesial.
“Bukannya Zali sudah punya pacar ya Bunda?”
“Siapa? Yang bunda tahu, dia Cuma dekat sama satu wanita. Hanya Dira”
Benarkan seperti itu?
Lalu wanita itu?
Dira mengelurkan foto yang ia bawa di dalam tas kecil miliknya. Foto itu ia berikan pada bundanya Zali yang kini sedang menatap Dira dengan tatapan kebingungan.
“Ini siapa bunda?”
Bunda nampak memperhatikan foto itu dengan jelas.
“Dia anak wanita yang koma di kamar 576, bunda kenal siapa dia? Bunda kenal siapa wanita yang paling berarti buat Zali itu?” bunda tampak terdiam. Ia menatap Dira.
“Wanita ini memang wanita paling berarti untuk Zali” Bunda menarik Dira untuk masuk ke dalam rangkulannya. “Wanita ini anak bunda, dia adik kembar Zali”
Bisa kalian tebak seperti apa reaksi Dira? Jadi, wanita yang selama ini Dira cemburui adalah Adik kembarnya Zali? Orang yang sangat ingin Dira temui.
“Kalau di depan Zali nanti, kamu pura-pura nggak tahu ya. Nanti bunda bisa dimarahi karena sudah memberitahu kamu Jawaban teka-teki ini”
Dira mengangguk, ia tersenyum. Tapi pikirannya masih mengarah kepada wanita itu. Wanita yang bunda bilang adalah adik kembar Zali.
“Bunda, kita ke kamar Zila mau nggak?”
“Mau dong”
Bagaimana ya perasaan bunda saat melihat dua anaknya terbaring lemah di Rumah Sakit? Tapi bunda masih bisa tersenyum sekan semuanya baik-baik saja. Padahal tidak.
“Bunda, rasanya bunda saat lihat Zali dan Zila gimana?”
Dira tidak perlu takut untuk menyampaikan pertanyaan yang ada di kepalanya secara terang-terangan. Lagipula, bunda bukan orang yang galak. Bunda orang yang sangat baik.
“Sayang, nggak ada orang tua yang bahagia saat lihat anaknya sedang terbaring lemah melawan rasa sakitnya. Bunda bisa senyum seperti ini karena bunda yakin semua akan baik baik saja. Semuanya nggak perlu ditangisi. Nangis nggak akan pernah ngerubah semua keadaan, bukan begitu?”
Ya, benar begitu.
“Bunda, Zila cantik”
“Karena itu kamu sempat cemburu karena ternyata Zali mencintai wanita yang ternyata adik kembarnya itu. Iya kan?” Bunda malah menggoda Dira. Ia tersenyum dan membuat Dira juga ikut tersenyum. “Dira pacarnya Zali juga cantik sekali. Zali nggak pernah punya pacar, kamu percaya?”
Dira mengangguk, sejak pertama kali bertemu dengan Zali rasanya memang berbeda. Senyuman laki-laki itu tampak seperti apa ya? Tapi jelas berbeda diantara ke empat temannya.
“Ada foto kamu di kamar Zali, kamu percaya?”
“Dira nggak tahu”
Masa iya Zali sampai menyimpan foto Dira di kamarnya.
“Tapi fotonya disembunyikan di laci lemarinya. Dia akan malu kalau ketahuan sama ayah, bunda atau Zila.”
Bunda ini malah membongkar rahasia Zali yang sebenarnya tidak boleh Dira ketahui.
“Bunda terimakasih”
“Untuk apa?”
“Karena sudah lahirin Zali, dan sudah kasih tau Dira tentang rahasia Zali”
“Bilang terimakasih juga untuk Ibu kamu, bilang makasih udah lahirin anak manis yang berhasil bikin hati anak bunda luluh”
Bertemu dengan bundanya Zali, itu antara senang dan bahagia. Sama saja. Ternyata Anak dan bunda sama-sama menyenangkan.
Dan akhirnya kami sudah sampai di depan ruangan perawatan Zila. Bunda adalah orang yang pertama kali membuka pintu dan pemandangan di dalam ruangan itu langsung bisa terlihat oleh pandangan mata Dira.
Adit mencium puncak tangan Zila.
***