Selamat pagi Bandung!
1 menit yang lalu Dita baru saja turun dari mobilnya, Bukan mobil yang benar-benar miliknya pribadi, tapi mobil milik ayahnya yang setiap pagi mengantarnya ke sekolah.
Koridor sekolah masih lumayan sepi, ya wajar, ini masih jam setengah 7 pagi, dan siswa yang datang ke sekolah sepagi ini hanya siswa yang rajin belajar atau siswa yang sedang mengejar PR. Ya, Dita termasuk ke tipe yang kedua. Karena hari ini adalah pelajaran Pak Soleh, Guru biologi yang jarang mengajar tapi selalu memberikan PR. Dan sialnya, Dita belum mengerjakan PR itu.
Ini semua karena tadi malam, Karena Dita berlatih taekwondo di akademi. Menyebalkan. Sangat menyebalkan. Harusnya jika ia sudah mengerjakan PR, saat ini ia bisa bersantai sambil bermain game mobile legends yang saat ini sedang trend!
Dari koridor, kelasnya terlihat sangat sepi, ya pikirannya masih tetap. INI MASIH PAGI! Mana mungkin juga sepagi ini anak kelas XI IPA 2 sudah berkumpul di kelas, paling cepat mereka berkumpul adalah jam 7 lewat 10 menit. Tepat saat guru masuk ke kelas untuk mengajar.
Tapi ternyata Dita salah, kelas sudah sangat ramai oleh banyak orang, hampir seisi kelas sudah datang, tujuannya semua hanya satu. Mengerjakan PR. Dari ujung ke ujung semua sibuk dengan bukunya dan pulpen, tapi pemandangan yang berbeda terlihat di ujung tembok belakang. Dira dan Adit. Mereka sedang bersantai. Nikmat sekali.
Sebentar, tapi ada sedikit kejanggalan di sini, Dira sedang fokus pada laptopnya dan Adit sedang fokus pada handphonenya, apalagi kalau bukan game mobile legends.
“Raa, Biologi kamu udah di kerjain?” Tanya Dita pada Dira, Dira menoleh dan sedikit berfikir. Sedetik kemudian Tanpa bicara ia langsung mengambil buku biologi yang ada di dalam tasnya dan memberikan buku itu pada Dita.
Sebenarnya Dita bisa mengerjakan soal ini sendiri, tapi permasalahannya adalah waktu. Ini darurat, jadi Dita memutuskan untuk menyalin jawaban milik Dira saja, lebih mudah, dan lebih menghemat waktu.
“Dasar Dita, senengnya yang instan terus, kapan pinternya lo Ta, baru sama biologi. Udah nyerah” Adit tersenyum miring, pandangannya masih lurus ke arah ponsel.
“Hah? Apa lo bilang?” Dita tidak terima. Padahal Adit jauh lebih malas dibandingkan dengan Dita.
“Dunia ini nggak akan maju kalau isinya Dita semua.” Laki-laki ini kenapa? Cara bicaranya seperti tidak sedang berbicara dengan sahabatnya.
“Terus? Apa dunia ini akan maju kalau isinya Adit semua? Hah” Dita tak mau kalah. Apalagi dengan Adit.
“Ya, nggak akan maju, tapi Setidaknya nggak akan hancur. Karena apa? Karena gue menjunjung tinggi sebuah kejujuran”
“Jujur ya?” Dita tersenyum miring. “Jujur sama perasaan sendiri dulu aja ya dit, jangan bawa-bawa kejujuran dunia dulu”
Adit terdiam, Dita tahu apa penyebabnya.
***
Jam pelajaran pertama hari ini adalah pelajaran biologi, ini adalah jam pelajaran milik Pak Soleh. Guru yang umurnya sudah hampir 4 windu, dengan kumis tebal, Alis tebal, dan jenggot tipis membuat laki-laki itu terlihat galak. Tapi jauh dari sana, Pak soleh adalah seorang guru dengan hati malaikat.
Suasana kelas sangat hening, bukan karena semua sibuk memperhatikan pelajaran, tapi hampir semua siswa laki-laki tertidur pulas di jam pelajaran Pak Soleh. Guru pelajaran ini memang tidak mempermasalahkan jika ada seorang siswa yang bolos atau tertidur di dalam kelas, Yang penting baginya sudah mengerjakan PR dengan baik, sudah sangat cukup.
Tapi jangan salah, Pak Soleh yang katanya sebaik malaikat itu sering marah-marah juga, Penyebabnya hanya satu, ada yang tidak mengerjakan PR, walaupun hanya satu orang, Ia akan murka.
Adit menaikkan kepalanya, membuka sebagian kesadarannya, entahlah sudah berapa lama ia tertidur karena saat ini yang ia lihat kelas sangat sepi, tak ada satupun manusia kecuali dirinya. Rasa kantuk masih menyelimutinya, ingin pulang, ingin tertidur sangat pulas, entah sudah berapa lama ia tidak tertidur sangat pulas, semenjak, ya semenjak orang tuanya berpisah. Sudah hampir 6 tahun, Lumayan lama, dan selama itu juga Adit rindu akan kasih sayang ibunya. Ibu yang kini entah kemana perginya.
Adit beranjak dari kursinya, tapi baru saja kakinya melangkah satu langkah, ada pemandangan yang membuatnya mengurungkan niat untuk beranjak dari kursi. Meja Dira.
Sticky note berwarna pink itu tertempel di meja, Entah apa tulisannya, Tapi sangat menarik kelihatannya.
Adit masih marah? Maaf yaa, Dira gak suka didiemin. Tapi maafin Dira juga, Dira salah.
Andai saja Adit bisa melihat wajah Dira saat berbicara seperti ini, sudah pasti senyum di bibirnya akan awet sepanjang hari. Rasanya memang berbeda, ia selalu senang setiap kali mendengar Dira berbicara dengan “aku-kamu” atau dengan menyebut namanya sendiri. Lebih halus dibandingkan dengan kata “Gue-lo”.
***
Jam istirahat, surga dunia milik anak sekolah, sudah pasti, sudah jelas setiap anak sekolah menginginkan jam istirahat berlangsung dengan sangat panjang.
Tapi hari ini, jam istirahat kali ini Dira sangat berharap jika jam ini berjalan begitu cepat.
Kenapa?
Saat ini Dira sedang mengikuti kelas bimbingan untuk olimpiade, dan di ruangan ini ia bersama dengan Davin. Orang terbangsat semuka bumi!
Terpaksa, jika ia bisa mengundurkan diri untuk olimpiade ini dan jika Dira tidak membutuhkan sertifikat yang akan membantunya masuk universitas negeri, Dira akan menolak mentah-mentah olimpiade ini, karena Si brengsek Davin.
“Raa, ibu harap kamu bisa bekerja sama dengan Davin ya, Agar olimpiade ini berjalan sesuai dengan keinginan kita semua” Ujar Bu Hida pada akhir kelas bimbingannya. Syukurlah, telah selesai.
“Semoga saja bu,” Ucap Davin. Dira hanya tersenyum. Apa maksud ucapannya, semoga? Dasar brengsek tak tahu diri.
“Ya, silahkan kalian menghabiskan jam istirahat yang tinggal beberapa menit lagi,”
Dira keluar lebih dulu daripada Davin, tujuannya tetap sama, yaitu menghindari Davin. Tapi sialnya, laki-laki bertubuh tinggi dengan rambut pirang itu berhasil menyamakan langkahnya dengan langkah Dira.
“Nggak mau makan dulu Ra?” Tanya Davin. Peduli setan, yang ada di sampingnya saat ini bukanlah manusia, jadi tidak perlu untuk di jawab. Tidak berguna.
“Lo masih marah sama gue Ra? Kenapa? Apa alasan lo untuk berlaku dingin ke gue selama ini? Satu setengah tahun lebih Ra,” Lidah Dira masih kaku. Tidak, tak usah menjawab. Dira hanya ingin berbicara dengan manusia sungguhan, bukan dengan manusia yang berhati seperti setan.
“Setidaknya Ra, Kita bisa jadi teman, bukan jadi orang yang seakan nggak kenal gini.” Bodo Amat!!! Gak peduli, siapa orang yang berteman baik dengan seorang setan yang menyamar menjadi manusia yang berhati malaikat?
“Vinn!!” panggilan itu membuat keduanya menoleh. Dasar Dira bodoh, yang di panggil itu Davin, bukan Dira.
Dari arah lapangan terlihat seorang laki-laki dengan penampilan sangat berantakan sedang berlari ke arah Davin.
“Vin, Ada sekolah yang nyerang sekolah kita Vin, Ayo GC ke sana”
“Ah mager anjir, gue lagi ada urusan nih” Ucap Davin pada temannya itu.
“Inget kata Pak Barjo kalau tawuran harus menang, kalau kalah nanti kita ditamparin”
“Oke, semuanya udah siap di tempat masing-masing kan? Peralatan di gudang udah lo siapin semua?”
“Udah, semua udah siap”
“Oke Ayo!”
Syukurlah, semesta seakan tahu jika Dira membutuhkan bantuan untuk menyingkirkan si brengsek itu dari hadapannya.
Baru saja Dira ingin melangkahkan kakinya, Tapi baru saja satu langkah, sudah ada sentuhan di bahunya yang menahan Dira untuk pergi, ya siapa lagi kalau bukan Adit.
“Lo gak di apa-apain sama orang yang katanya panglima tempur itu kan?”
“Panglima tempur?”
“Davin,”
“Oh, Enggak. Emang ada tawuran lagi di depan sana?”
“Ya mungkin, Biarin lah, biarin anak-anak yang katanya jagoan itu yang bertaruh”
“Lo gak ikutan?”
“Gue kan bukan jagoan, Lagian hidup gue bukan didesain buat ngelindungin anak satu sekolah.”
“Terus?”
“Gue Cuma di desain buat ngelindungin satu orang”
“Aliviana Syeerendifa Relanis?”
“Adira azzahra”
Deg!
Hanya senyuman yang terukir dari bibir Dira, tak ada jawaban. Ingat, Adit orang yang senang bercanda, mana mungkin ini pernyataan serius, tidak mungkin.
“Ayo ke kelas!”
***
Pertempuran antara SMA Pandu Sejahtera dengan SMK Lentera berlangsung sangat sengit, sang Panglima tempur saling berhadapan satu sama lain, segala bebatuan sudah berjatuhan ke tanah dan tak jarang juga mengenai kepala manusia yang tak bersalah.
“Stop!” Teriak Davin pada seluruh teman-temannya. Begitupun dengan Zali, ia hanya mengangkat telapak tangannya dan semua berhenti.
SMK Lentera adalah sekolah Zali, Dan entah apa maksudnya sekolah itu menyerang SMA pandu sejahtera, Tak ada yang tahu alasannya yang pasti mereka datang secara tiba-tiba.
Sang panglima tempur, Davin sudah berhadapan dengan Zali, Bukan untuk bertengkar satu lawan satu, tapi tujuannya untuk bertanya. Etikanya sebagai tamu sangat tidak mengenakan tuan rumah!
“Kasih salam yang sopan, Kasih tahu tujuan lo ke sini untuk apa?” Davin masih bersikap kalem, bertanya dengan nada yang sangat halus, Bahkan tidak terdengar seperti seorang panglima tempur.
“Cari lawan baru. As a simple” Zali mengukir senyum licik di wajahnya.
“Dasar Bodoh!”
“Anggap ini salam kenal, Kami akan kembali, See you next time”
Zali mengarahkan seluruh pasukannya untuk kembali ke sekolah dan meninggalkan kawasan Pandu Sejahtera ini.
Sebenarnya Zali bukanlah panglima tempur, Zali hanya orang yang ikut-ikutan dan berada di pasukan terdepan. Sekolah mereka tidak mempunyai panglima tempur seperti sekolah yang baru saja ia serang. Zali juga tidak tahu apa alasan sekolah mereka menyerang sekolah yang di dalamnya terdapat sahabat dan seorang wanita yang ia cintai. Zali hanya ikut-ikutan dan kebetulan juga ia sedang membutuhkan samsak untuk meluapkan seluruh perasaannya. Hanya itu saja.
***
Belasan orang terciduk oleh kepala sekolah, termasuk Davin, ketua mereka. Tapi ada pemandangan yang berbeda di sini, ada Marvin di antara barisan anak-anak sok jagoan ini.
“Tapi pak, Saya Cuma lewat. Saya nggak ikut tawuran sama sekali” Marvin mencoba membela dirinya yang merasa memang tidak bersalah, ia hanya kena sial karena saat tawuran berlangsung Marvin lewat depan gerbang dan langsung dihajar oleh anak-anak Lentera.
“Tapi kenapa wajah kamu ikutan memar juga?” Tanya Pak Raharja yang tak lain adalah Kepala sekolah di sekolah ini.
“Siapa sih pak orang yang gak ngelawan kalau ditonjokin, ya saya lawan aja mereka” lalu Marvin kembali menjelaskan kronologis kejadian bagaimana bisa ia berada di sana dan mengikuti aksi adu tonjok itu.
“Kalau seluruh siswa mengatakan alasan yang sama seperti kamu mungkin semuanya nggak ada di ruangan ini” Dasar keras kepala! Guru ini masih saja tidak mau percaya.
“Saya akan telepon ayah saya. Biar beliau yang menjelaskan semuanya, dia tahu saya tidak pernah terlibat aksi orang-orang sok jagoan ini!” tanpa salam dan tanpa hormat, Marvin langsung berjalan pergi meninggalkan ruangan yang menurutnya sangat menyebalkan.
Langkah kakinya berhenti tepat di gedung IPS, kelas XI IPS 4, kelas di mana ada seorang wanita yang mengisi hatinya saat ini, wanita yang mempunyai status spesial dengannya. Kelasnya sedang ramai, tak ada guru. Syukurlah, Marvin bisa masuk ke kelas ini dengan bebas, berharap bisa menenangkan sedikit rasa kesalnya pada seorang Kepala sekolah.
Beberapa bulan yang lalu Marvin sering ke kelas ini bersama dengan Adit, karena saat itu Adit mempunyai pacar di kelas ini, tapi kini hubungan mereka sudah berakhir sejak 3 bulan yang lalu, Dan mantan pacar Adit yang bernama Livi itu menganggap Dira lah penyebab hubungan mereka berakhir. Padahal jelas, Tidak!
Dan itu sebabnya, Marvin selalu mempunyai cara untuk membuat Livi kesal dengan menggodanya dengan hal-hal yang menyangkut kedekatan Dira dan Adit.
“Liv, kemarin Adit sama Livi jalan berdua ke kedai Mas Dere terus mereka main ke taman fotografi, Liv, dulu kan kita sering ke sana ya, Doubel date gitu”
“Biarin aja, Adit ternyata lebih milih orang yang lebih cocok disebut sampah” ucapan Livi sangat jauh dari jangkauan pikiran Marvin.
“Ya bener tuh, cowonya gatel, cewenya ngegarukin” Ucap salah satu teman Livi.
“Hahaha, cowoknya gatel, ceweknya ngegarukin. Ya kalau dipikir-pikir emang cocok, penggoda sama pengkhianat, sama-sama bejat”
Kesabaran Marvin sudah habis. Bagaimanapun juga Dira dan Adit adalah sahabatnya, bagaimana bisa Marvin diam saja saat mendengar sahabatnya dilecehkan di sini. Ia menarik nafas panjang kemudian menghampiri Livi yang sedang asik tertawa bersama dengan temannya, Marvin tidak peduli dengan panggilan Lia yang terus memanggilnya.
“Sory, Lo perempuan, sebagai perempuan harusnya mulut lo dipercantik dengan ngomong kata-kata yang baik, buka kata-kata yang justru bikin orang lain sakit hati.”Marvin masih bicara dengan nada yang halus, belum sama sekali mengeluarkan suara setannya di depan wanita ini.
“Tapi maaf ya Vin, kenyataannya memang begitu, lo sahabatnya, harusnya bisa dong cariin sahabat cewe lo itu pacar, Biar gak jadi penggoda.” Livi menampilkan senyum miringnya, senyum licik yang hanya dimiliki oleh orang jahat. Livi berbicara seakan dirinya benar. Padahal tidak tahu di mana titik kebenarannya.
Orang yang berbicara memang tidak menginsafi apa yang ia bicarakan, tapi orang yang mendengar akan menginsafi apa yang ia tangkap melalui telinganya.
“Lo harus tahu seperti apa hidup dia, Baru lo bisa ngejudge! Lo harus kenal dia lebih dalam, baru lo bisa ngenal hidup dia yang sebenarnya. Lo bilang ini dan itu Cuma dari presfektif lo sendiri, Apa bedanya lo sama tukang fitnah?”
“Harus ya? Siapa sih dia Vin? Cuma pelayan di resto punya om lo, sampe segitunya Adit dan lo ngebanggain dia sebegitu tingginya”
“Pelayan? Kenapa kalau dia pelayan? Masalah buat lo? Toh nyatanya pelayan lebih menarik dibandingkan sesama pengunjung”
“Pelayan kok lo samain sama cewe terdidik kaya gue, Marvin buka mata lo”
“Gue ingetin, Cewe terdidik selalu berfikir sebelum berbicara, bukan berbicara baru berfikir.” Marvin membalikkan tubuhnya untuk keluar kelas, tapi baru selangkah ia teringat sesuatu, Satu hal lagi yang harus disampaikan agar Livi mengerti. “IPS berada di bawah IPA!”
Berada di kelas itu ternyata bukan membuat Marvin tenang, justru malah sebaiknya. Niatnya mencari ketenangan yang ia dapatkan justru kekacauan yang lebih dari ceramahan Pak Raharja.
***
Selain bekerja di sebuah restoran, Dira juga bekerja di rumahnya sendiri, rumah yang merangkap menjadi sebuah toko kue dan toko catering.
Adit memarkirkan motornya di halaman yang juga sudah dipadati oleh motor pengunjung, syukurlah, kali ini Toko sedang ramai oleh penikmat kue coklat buatan Kak Diana. Pengunjungnya rata-rata memang anak SMA dan Kuliahan, karena Kak Diana memang sudah menargetkan anak remaja sebagai sasaran utama kue buatannya.
“Adit bantu ya bu,” Ucap Adit yang kemudian berlari ke dalam rumah untuk meletakan tas miliknya. Dira hanya tersenyum sambil geleng-geleng kepala. Adit memang selalu senang membantu di toko. Bahkan ia sudah biasa melayani pengunjung di sini, Ia sangat senang jika pengunjungnya adalah remaja wanita, karena bisa tebar pesona!
“Tuh, yang itu belum” Dira menunjuk ke arah meja di ujung halaman yang di isi oleh tiga remaja wanita yang masih menggunakan seragam SMA.
“Lo aja ya yang anterin,” Tapi untuk kali ini Adit tidak mau mengantarkan pesanan itu kepada pengunjung.
“Dua nampan gue bawa sendiri?” Dira menunjukan nampan kue yang berada di atas meja. “Pulang sana, Katanya mau bantuin”
“Iya deh Raa, iya. Marah terus”
Senyum kemenangan tercipta di bibir Dira, Ia mengikuti langkah Adit dari belakang, dan sampai di meja pengunjung Adit mendapatkan godaan yang menggelikan dari Siswi SMA itu.
“Ig nya apa? Nomor WA dong, atau pin BBM deh” Ucap salah seorang wanita itu.
“Maaf saya nggak pake BBM” Ucap Adit sambil mencoba untuk tersenyum.
“Yah, terus punyanya apa dong?”
“Dia pakenya pertamax mba,” Dira menyaut, Adit menatapnya dengan tatapan kesal.
“Silahkan dinikmati mba”
Dengan sesegera mungkin Adit meninggalkan tempat itu, Dira yang melihat kelakuan Adit hanya tertawa geli sambilgeleng-geleng kepala, lucunya anak itu.
Sampai di dalam rumah Dira melihat Adit sedang mengganti seragamnya dengan kaos polos berwarna putih. Dasar sinting! Kenapa harus ganti baju di ruang tamu? Padahal ada kamar mandi.
“Gak punya malu amat sih Dit, kamar mandi ada di belakang”
“Mager jalan, Duduk sini, ajarin bikin PR Kimia”
“Mager ngajarin,”
“Mager bareng yuk mendingan”
“Garing lo”
Dasar nggak waras! Tadi minta diajarin, sekarang malah ikut-ikutan mager.
Dira memasuki kamarnya, tujuannya adalah untuk mengganti baju dan bersiap berangkat kerja ke restoran.
Di kamar yang penuh dengan nuansa putih inilah tempat Dira menenangkan dirinya dengan seluruh rasa kesal, tempat Dira mengistirahatkan tubuhnya dari rasa lelah, dan mengeluarkan isak tangisnya saat ia sedang bersedih. Dira mendudukkan tubuhnya di depan meja belajar, melihat foto yang berada di dalam bingkai, Foto masa kecilnya dengan Adit dulu.
Hampir 10 tahun lebih mereka berteman, selalu berada didalam gedung yang sama, bahkan 10 tahun juga mereka selalu berada di ruangan yang sama. Dia bagaikan seorang kakak yang senantiasa menjaga adiknya, tapi dia selalu menyebalkan, dia terlalu banyak menggangggu Dira. Masih berlanjut hingga saat ini. Tak ada yang berubah.
“Raa” Ketokan pintu itu membuat Dira tersadar dari lamunannya.
“Kenapa?” Dira membuka pintu itu dan dilihatnya Adit berdiri tepat di hadapannya.
“Ya allah Dira, Dari tadi belum ganti baju juga? Kakak kamu udah nungguin tuh di depan”
“Apaan sih kamu-kamu, Sok imut banget jadi cowo”
“Bodo amat!”
“Amatnya udah pinter, nggak kaya lo, bodoh terus” Dira langsung membantingkan pintu kamarnya karena takut jika Adit akan mengamuk.
***
Setelah mengantar Dira ke restoran Adit langsung mengendarai motornya menuju ke basecamp tempat berkumpul temen-teman nya. Rumah pohon!
Di bawah pohon sudah terparkir secara rapih motor Zali, Kenzo, Reind, Gazza, dan mobil Marvin. Sudah bisa di tebak mereka semua sudah berada di atas rumah kayu yang bertumpu pada sebuah pohon besar.
Pada saat Adit sampai, semua orang sedang membicarakan soal tawuran yang terjadi tadi siang.
“Panglima tempur sekolah lo masih kelas 10?” tanya Kenzo dengan nada terkejut. “Gila-gila, Kakak kelasnya berarti pada cemen ya”Kenzo geleng-geleng kepala karena ia tak sangka.
“Sok jagoan, Namanya Davin. Dia pernah PHPin Dira, dan sampe sekarang masih ngejar-ngejar Dira.” Ucap Marvin.
“Lanjutin serangannya tuh Zal, saingan lo tuh” Zali yang semula tidak bergedik akhirnya angkat bicara saat mendengar ucapan Reind.
“Masih aja gua liatin, belum gua sleding kepalanya.”
“Jangan ikutan lagi lo vin, takutnya nanti lo lawan gue” Ucap Reind.
Adit hanya mendengarkan, ia sudah tahu jika Reind, Kenzo, Zali,dan Gazza berada di dalam tawuran tadi siang. Tapi biarlah saja, Mana peduli, Adit tidak tertarik untuk membela sekolahnya. Biar saja anak-anak yang katanya jagoan itu yang melawan.
***
Mengikhlaskan, satu kata yang paling mudah untuk diucapkan dan paling sulit untuk dilakukan oleh manusia. Hati dan ucapan memang tak akan pernah seirama, Hati berjalan ke daerah timur, sedangkan ucapan berjalan ke daerah barat. Ucapan adalah sejuta kebohongan yang tersampaikan, tapi hati adalah sejuta kejujuran yang tertahan.
Dita baru saja turun dari lantai dua rumahnya, Rumah yang besar ini mengharuskan Dita untuk naik turun tangga setiap kali ingin makan ataupun pergi ke luar rumah. Nggak di sekolah, Nggak di rumah, ketemunya sama tangga terus! Pegel!
Di meja makan sudah terlihat mamahnya yang sedang menikmati kue yang tersusun rapi di atas piring.
“Mah, Dita mau berangkat ke akademi ya,”
“Duduk dulu sini, Biasanya kamu kalau lihat kue coklat matanya langsung melek”
“Lah emang dari dulu mata Dita gak melek?”
“Ya bukan gitu”
“Ini kue buatan Kak Diana ya?” Dita langsung mengambil sepotong kue coklat dan memasukannya ke dalam mulut.
“Iya, tadi Dira yang nganterin sama Adit ke sini”
Hah!!
Gak salah? Beneran gak salah? Semesta apa lagi maksudnya? Adit dan Dira? Apa Adit sudah melakukan aksi PDKT pada Dira? Apa lagi rencanamu semesta? Membahagiakan dua orang dan menyakiti satu orang? Itu maksudnya?
“Mamah bangga banget sama dia Ta, anaknya rajin, udah gitu pinter, suka bantu orang tuanya, keadaannya yang pas-pasan justru malah bikin dia punya banyak mimpi, Andai anak mamah serajin Dira, pasti mamah bangga banget”
Apa lagi maksudnya? Mamah bicara dengan siapa? Dita? Membedakan Dita dengan Dira, itu bukanlah hal yang disukai oleh Dita. Mamah mau punya anak yang bisa banggain mamah? Dita bisa, tapi caranya bukan seperti cara Dira, Dita punya cara sendiri untuk buat mamah bangga. Dita tidak suka disamakan atau dibedakan dengan Dira. Mereka jelas berbeda, rahim tempat mereka keluar juga berbeda, mana mungkin mamahnya menginginkan Dita seperti Dira.
***
Cinta,
Akan ku berikan bagi hatimu yang damai
Cintaku gelora asmara, seindah lembayung senja.
Tiada ada yang kuasa,
Melebihi indahnya
Nikmat bercinta.
Alunan suara gitar menemani malam Zali dan Adit malam ini, ditemani oleh angin yang berhembus melewati balkon rumah Adit.
Angin Bandung saat ini sulit untuk dideskripsikan dengan jelas. Dingin, namun sejuk, hadir juga angin-angin romantis yang tidak cocok untuk dinikmati seorang diri, tapi bersama dengan seseorang yang sejenis juga sama saja, dinginnya malam Bandung seperti dingin di luar negeri, apalagi untuk wilayah seperti Bandung Barat seperti ini, angin yang datang seakan mengajak manusia untuk tidak menikmatinya seorang diri, Angin ini cocok untuk sepasang kekasih, bukan untuk Adit dan Zali.
Dua laki-laki ini jatuh cinta pada satu wanita yang sama, dua orang yang mempunyai hobi serupa dan seirama, dua orang yang mempunyai cita-cita dan tujuan yang sama, dua orang yang sangat menyayangi satu sama lain, yang tak akan mau kehilangan salah satunya.
“Dari umur 2 tahun sampe sekarang kita kemana-mana bareng, Cuma kepisah saat sekolah aja, saat pulang sekolah Lo langsung lari ke rumah gue yang ada di samping rumah lo, dan kita langsung pergi ke taman sampe sore, bahkan kadang sampe magrib, sebelum orang tua kita ngejemput, kita gak akan pulang.” Zali tertawa, ia menatap langit yang berada di hadapannya, kini dipenuhi oleh banyak bintang.
“Seorang Zali yang selalu nangis setiap kali kena bola plastik, Zali yang nangis setiap kali gue pergi ke kebun ayah, Zali yang ngambek karena gak dikenalin sama temen perempuan yang gue temuin di kebun ayah, Kemana dia sekarang?” Zali terdiam, Adit ingat satu hal, Wanita kecil yang ia temui di kebun ayahnya saat itu adalah Dira, dan Zali belum mengetahui itu sampai sekarang.
“Banyak yang berubah saat kita beranjak dewasa Dit, kalau saat masih kecil kita Cuma main gitar mainan, sekarang kita udah bisa main gitar beneran, kalau saat masih kecil kita Cuma bisa nyanyi sambil teriak, sekarang kita udah bisa nyanyi beneran, ya walaupun suaranya gak pernah bagus.”
“Satu hal lagi yang berubah,”
“Apa?”
“Zali yang dulu cengeng sekarang berubah jadi Zali yang pemberani, bahkan berani tawuran”
Zali terdiam, cukup lama dan itu membuat Adit bingung. Ia terdiam dengan sejuta tanya, wajahnya terlihat seperti sedang ada yang dipikirkan. Tapi Adit tidak tahu apa itu.
“Zal,”
“Keadaan yang maksa gue buat berubah, gue gak ngerti apa yang terjadi sekarang, ini bukan dunia gue Dit, sama sekali bukan gue.” Zali menghela nafas panjang untuk mengambil ancang-ancang agar bisa berbicara panjang tanpa sesak. “Gue jadiin tawuran itu bahan samsak untuk ngelampiasin semua rasa kesal gue, rasa benci gue sama dunia yang ternyata sekeras ini. Dunia yang menurut gue gak adil sama sekali, Kalau lo liat Zali tadi siang tawuran, percaya itu bukan gue, itu setan yang lagi masuk ke dalam tubuh gue. Jadi anak nakal itu bukan pilihan, itu seperti paksaan yang nggak bisa ditolak—“
“Tapi Nakal itu bisa dihindari” Adit memotong ucapan Zali, meluruskan tentang pandangannya.
“Dan gue nggak bisa menghindar”
“Lo bisa cerita sama gue Zal, Kita temenan hampir sepanjang hidup kita, tapi lo masih ngumpetin suatu hal yang harusnya gue tau.”
“Gue belum kuat untuk nyeritain semuanya, tapi akan ada saatnya lo tahu tentang apa yang terjadi, dunia nggak akan pernah ngebiarin seorang sahabat saling tidak mengetahui” Adit mengangguk, membiarkan satu sahabatnya terdiam dan melamun, membiarkannya terlarut dalam permasalahan yang sudah mengubah dirinya sendiri. Zali hanya butuh waktu untuk menguatkan dirinya agar sanggup berbicara dan menceritakan semua masalah sejelas-jelasnya.
Adit mengambil buku cetak Fisika yang sudah ada di sampingnya sejak tadi, awalnya niat Adit duduk di balkon ini adalah meminta bantuan untuk mengerjakan PR fisika, tapi ternyata mereka malah bernyanyi dan bercerita. Semuanya di luar kontrol dan tak sengaja.
“Udah lah Zal, kalo di rumah gue lo gak boleh sedih terlalu lama. Rumah gue bukan tempat penampungan air mata” Adit menyodorkan buku fisikanya kepada Zali, tapi niatnya bukan untuk meminta Zali mengerjakannya, Adit hanya meminta Zali untuk mengajarinya karena ia tahu, Zali adalah Siswa SMK jurusan Robotik, jadi pelajaran fisika tidak akan terlepas dari tubuhnya.
“Sekolah lo nyantai banget sih Zal, kayaknya setiap malem gak pernah gitu lo punya beban tugas PR”
“Di dunia ini apa sih hal yang gak bisa lo beli pake uang? Sebagian santai karena kalau remedial pasti bisa disogok, tapi nggak semudah yang lo pikir deh, anak Robotik kayak gue itu pelajarannya nggak semudah yang lo pikir”
Adit tersenyum miring mendengar ucapan Zali, pikirannya menjalar hingga ke semua hal yang tak bisa dibeli menggunakan uang, contohnya adalah kebahagiaan, impian, dan teman baik.
“Banyak banget hal yang nggak bisa lo beli pake kertas bernilai itu,”
Zali menghentikan ukirannya di kertas milik Adit perhatiannya berfokus pada Adit yang sedang berbicara.
Adit menatap ke arah langit-langit yang penuh dengan bintang, merasakan hembusan angin dan barulah ia berbicara.
Yang pertama adalah impian, remaja seperti Adit dan Zali mungkin mempunyai sejuta mimpi, tapi apa jadinya seorang yang tak punya impian? Hancur bukan? Tapi apa jadinya juga seorang yang mempunyai impian tapi tak punya usaha untuk mencapainya? Tinggallah impian itu menjadi sebuah angan-angan.
Selanjutnya adalah teman baik, pada kenyataanya tak banyak orang yang benar-benar tulus untuk berteman, sama hal nya seperti orang kaya yang selalu menarik perhatian banyak orang dan tak sedikit juga orang kaya yang dikelilingi oleh banyak teman dan permasalahannya adalah karena kekayaan itulah tak ada yang mengetahui secara jelas manakah yang sebenarnya teman baik dan teman palsu.
Dan satu hal lagi adalah kebahagiaan, apakah orang yang dikelilingi oleh uang hidupnya bahagia? Banyak sekali jenis kebahagiaan, diantaranya adalah kebahagiaan tentang keluarga, kebahagiaan tentang cinta, dan kebagaiaan tentang kebersamaan dan pertemanan.
“Gini deh, hidup kita emang masuk ke dalam kategori orang yang hidupnya bahagia dalam hal harta dan kebebasan, tapi coba lo liat orang terdekat lo, apakah-“ belum selesai berbicara ucapannya sudah terpotong saat Zali langsung menyambar ucapan Adit.
“Dira, Hidup Dira nggak seberuntung hidup kita, hidup kita lebih baik dari pada hidup Dira, tapi Dira merasa kalau hidupnya udah cukup, padahal sebenarnya enggak. Dia tetep ceria sama hidupnya yang terbilang keras, dia selalu nunjukin kebahagiaannya sama orang-orang terdekatnya, Gitu kan”
“Ya, gue salut sama wanita kaya dia, Cantik, pinter, pekerja keras” Tanpa sadar Adit memuji Dira di hadapan Zali. Keceplosan!
“Lo suka sama Dira?” Dan benar dugaan Adit, Zali pasti akan membahas soal ini.
“Gue bilang Cuma salut” Adit tahu, ucapannya tidak membuat Zali puas, raut wajah Zali masih kusut seakan tak percaya dengan ucapan Zali. “Udah ah, Ajarin gue jangan baper-baperan.”
***
Dira baru saja sampai di sekolah dengan sepedanya, kedatangan Dira selalu berbarengan dengan kedatangan Adit dan motornya. Dira melihat Adit nendekati Dira, entahlah apa yang akan di lakukan oleh laki-laki ini, tapi perasaan Dira tidak enak. Bencana apa lagi yang akan dibawa oleh laki-laki menyebalkan semuka bumi ini?
“Pagi Raa,”Adit memberikan senyum simpul yang sebenarnya manis, tapi Dira tidak tertarik untuk membalasnya.
“Nggak perlu dibilangin juga gue udah tahu kalau ini udah pagi”
“Heran galak banget sih, Gimana mau punya cowo coba? Baru mau PDKT cowo udah pada kabur.” Ucap Adit yang tak lama kemudian langsung menggandeng tangan Dira.
Siapa wanita yang tidak terkejut jika tiba-tiba ada laki-laki yang menggandeng tangannya di depan umum! Dan ini ramai! Adit gila!!!
“Heh apaan sih” Dira mencoba untuk melepaskan gandengan tangan Adit, Tapi tidak bisa. Genggamannya semakin erat.
“Diem, jangan berisik” Bisik Adit pelan.
Tepat di depan koridor, mereka melewati Livi, dan teman-temannya.
Dira tahu, Livi tidak pernah menyukai Dira karena Livi beranggapan jika Dira adalah penyebab hubungannya dengan Adit hancur. Sikap Livi terlihat dari raut wajahnya yang tak pernah tersenyum pada Dira dan sikap teman-temannya yang selalu menyindir Dira di depan umum.
Setelah melewati Livi, Dira langsung menghempaskan tangan Adit, Dira tahu, Posisinya saat ini hanyalah seorang boneka barbie. Boneka yang akan membuat mantan pacarnya itu panas.
Tanpa berbicara satu katapun, Dira langsung berjalan menuju ke kelas meninggalkan Adit di belakangnya. Masa bodoh dengan panggilan Adit, Dira terus berjalan hingga kelas padahal laki-laki itu terus mengejarnya.
Dira meletakkan tasnya di meja yang berada di pojok tembok lalu duduk di kursinya. Awalnya Dira kira semua perlakuan Adit berdasarkan dengan perasaannya, tapi ternyata semuanya tidak tulus, Ada maksud dari semua perlakuan baiknya belakangan ini, karena Livi.
“Kok lari sih, padahal gue mau minta anterin makan di kantin kelas IPS, soalnya nasi uduk di sana paling enak” Adit juga meletakkan tasnya di atas meja, ia juga ikut duduk di samping Dira.
“Makan tinggal makan, gak usah ngajak-ngajak.”
“Temenin yuk”
“Pergi atau-“ Dira mengepalkan tangannya sebagai ancaman, tapi Adit tidak beranjak sedikitpun.
“Atau apa? Yang mau lo tonjok itu seorang Aditya Rhazes. Lo tonjok gue, Dan gue bisa bikin lo tidur manis di rumah sakit”
“Silahkan”
“Sayangnya gue sayang sih sama lo, ngebiarin lo tidur manis di rumah sakit karena gue sama aja kaya ngebunuh diri gue sendiri”
“Apa maksud lo?”
“Lo orang cerdas, rumus kimia tanpa harus di jelasin aja lo bisa, masa Cuma kata-kata sesimple itu lo gak bisa pahamin.”