Read More >>"> ADITYA DAN RA (chapter 3) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - ADITYA DAN RA
MENU
About Us  

Geser” Ucap Dira pada Adit yang menghalangi jalannya untuk duduk di kursi miliknya.

            Melihat Adit yang tak berkutik sedikitpun akhirnya Dira mendorong kursi yang Adit duduki, dan itu sukses membuat Adit terjatuh ke lantai. Melihat wajah Adit yang terlihat lesu itu akhirnya Dira membantu Adit untuk bangun dan duduk di kursi pojok dekat tembok yang seharusnya adalah tempat duduk Dira.

            “Lagian ngeselin banget jadi orang” ucap Dira pada Adit yang kini sedang meringis kesakitan Karena terjatuh tadi.

            “Ihhhhh….” Adit kini mencubit pipi Dira.

            “Adit lepas ih sakit” Dira mencoba untuk melepaskan cubitan Adit, tapi hasilnya nihil, tenaga Dira tidak sebanding dengan tenaga Adit, sekarang cubitannya justru lebih kencang.

            Dira berteriak sangat kencang, hingga teriakan itu membuat Adit melepaskan cubitannya dari pipi Dira.

            “Kamu teh jadi orang polos banget sih Raa, gemes pengen nyubit aja jadinya” Ucap Adit yang terus tertawa saat melihat Dira meringis kesakitan.

            “Apaan sih, kamu-kamu, sok imut jadi orang” Balas Dira dengan nada sinis, pipinya masih terasa perih karena cubitan dari Adit.

            “Marah aja orangnya” Bisik Adit saat Bu Hida sudah masuk kedalam kelas.

            Bu Hida adalah guru yang mengajar pelajaran kimia, dia begitu baik, tapi dia juga tegas sekali, setiap kali ulangan kimia hampir semua orang yang ada di dalam kelas ini melakukan remedial, kecuali Dira. Bu Hida melakukan ini karena ia sayang pada semua muridnya, ia tidak mau semua muridnya gagal.

            “Hukum Farraday ditemukan oleh Michael Farraday yang berbunyi” Bu Hida menghela nafas dan memandangi seluruh siswa yang berada di dalam kelas ini, “Adit baca”

            Dira menoleh ke arah Adit, biasanya laki-laki ini selalu tertidur pada pelajaran jam pertama, tapi untuk kali ini dan kemarin, dia tidak tertidur sepanjang jam pelajaran, ya semoga saja seterusnya akan selalu seperti ini.

            “Jika arus listrik yang sama dilewatkan pada beberapa sel elektrolisis, maka berat zat yang dihasilkan masing-masing sel berbanding lurus dengan berat zat ekivalen zat-zat tersebut” Ucap Adit di akhir pembacaannya.

            Bu Hida adalah guru yang dapat membuat kelas XI IPA 2 tenang dan jauh dari keramaian hingga jam pelajaran selesai. Bu Hida juga orang yang sangat tegas, jika Bu Hida marah, satu kelas bisa terdiam ngeri karenanya.

            Bel istirahat sudah berbunyi, seluruh siswa mulai berhamburan keluar kelas untuk segera mengantri di kantin. Begitupun Adit, Marvin, Dan Dita,tapi tidak dengan Dira. Dira berjalan di belakang Bu Hida, mengikuti langkah Bu Hida ke dalam ruangannya.

            Dira kini duduk di hadapan meja Bu Hida, ia menatap Bu Hida dengan tatapan harap-harap cemas, Dira takut jika sudah berhadapan dengan seorang guru, dan apalagi kini yang ada di hadapannya adalah Bu Hida, guru yang terkenal sangat tegas.

            “Kamu terpilih untuk mewakili sekolah di olimpiade sains bulan depan, ini berkasnya, dan minggu depan berkas ini harus sudah dikembalikan lagi ke meja ibu” Bu Hida memberikan sebuah map yang berisi formulir pendaftaran untuk Dira.

            “Dira bu? Yakin ibu nyuruh Dira untuk ikut ini?” Tanya Dira seakan tidak percaya jika dirinya ditunjuk untuk mewakili olimpiade ini.

            “Iya, kamu yang ibu pilih, nanti kamu berpasangan dengan Davin” Dira membulatkan matanya saat mendengar nama Davin.

            “Gak salah bu? Dia kan masih kelas 10, kenapa gak cari yang kelas 11 aja biar kita seimbang gitu bu,”

            “Dia pengetahuannya sudah cukup jauh, jadi ibu memutuskan untuk dia yang menemani kamu di olimpiade nanti”

            “Ya sudah bu, kalau gitu Dira pamit keluar dulu ya bu” ucap Dira yang kemudian beranjak dari hadapan Bu Hida.

            Rasanya berat sekali untuk mengikuti olimpiade ini, bukan saja persaingan yang berat, tapi orang yang menemani Dira untuk berjuang diolimpiade itu bukanlah orang yang Dira inginkan. Jangankan menginginkannya, menatap matanya saja Dira tidak mau, tak sudi.

***

            “Adit, nanti sore main ke taman musik lagi nggak?” Tanya Dita pada saat mereka sedang menikmati semangkuk seblak.

            “Enggak, nanti sore main di taman fotografi, Cuma mau motret aja sih” Ucap Adit sambil menyuapkan sesendok seblak ke dalam mulutnya.

            “Mau ikut?” Tanya Marvin pada Dita.

            “Ikut!” Ucap Dita yang sangat antusias. Dita memang begitu, ia sangat antusias sekali jika Adit melakukan latihan musik bersama dengan teman-temannya. Alasannya memang hanya satu, Ada Zali di sana. Adit tahu itu, dan Marvin juga tahu itu.

            “Pengen ikutan aja orangnya, heran” Marvin menatap Dita seketika, “Adek gua satu lagi mana?” tanya marvin yang baru saja menyadari jika ada satu orang yang hilang di sini.

            “Tuh” Dita menunjuk ke arah pintu masuk kantin, di sana ada Dira yang sedang berjalan ke arah mereka.

            Dita, Marvin, dan Adit menatap Dira secara begantian. Wanita itu meletakan sebuah map berwarna biru di atas meja. Map itu menjadi misteri dan menimbulkan banyak tanya bagi Adit, Marvin, dan Dita.

            “Itu apaan?” tanya Adit.

            “Dari siapa?” tanya Dita.

            “Buat apa?” tanya Marvin.

            Semua pertanyaan itu datang bertubi-tubi sehingga Dira  justru malas untuk mejawabnya.

            “Abang mau makan” Ucap Dira pada Marvin. Dita dan Dira adalah  wanita yang sejenis, sama-sama wanita yang senang diskon, makan gratis, makan es krim, dan menyukai seblak buatan Ceu Vivin.

            “Pesen!” ucap Marvin singkat.

            “Untung lo berdua cantik, jadi abang lo ini gak punya alesan buat gak nurutin apa yang kalian mau” Ucap Adit pada Dita dan Dira.

            Dira beranjak dari kursi yang awalnya ia duduki dan kini berjalan menuju ke tempat Ceu Vivin yang tak lain adalah penjual seblak di kantin ini. Sementara Dira pergi, Adit, Marvin, Dan Dita membuka map yang tadi Dira bawa.

            Dita menghela nafas saat ia melihat tulisan di ujung kertas.

“FORMULIR PENDAFTARAN OLIMPIADE SAINS SE- JAWA BARAT”

Raut wajah Dita berbeda dengan raut wajah Marvin dan Adit yang terlihat tersenyum. Dita tahu, Dira memang selalu mendapatkan peringkat 1 di kelas bahkan predikat juara umum selalu berada di tangan Dira sejak pertama kali ia menginjakkan kakinya di sini, dan Dita juga tahu, Dita memang selalu berada di bawah Dira.

Lamunan Dita terpaksa harus berhenti karena Dira datang, ia datang dengan membawa semangkuk seblak di tangan kirinya dan sebuah minuman dingin di tangan kanannya.

“Olimpiade bulan depan?” tanya Adit pada saat Dira baru saja duduk.

“Iya, tapi masih bingung juga sih mau ikut atau enggak”

“Kenapa?” tanya Adit.

“Pasangannya Davin” Ucap Dira yang membuat ketiga orang di hadapannya tersendak.

“Anjir mantan” Ucap Marvin yang dibarengi dengan tawanya.

“Apaan sih, siapa yang pacaran sama dia coba” Dira mencoba mengelak semua yang diucapkan oleh Marvin.

“Gak boleh gitu, tahun lalu ada yang nangis kejer karena orang itu pergi  ke luar kota” Sindir Dita yang sangat mengarah pada Dira.

“Cuma PDKT, pernah dekat kemudian terlupakan haha” Ucap Marvin. Ia terlihat sangat puas mentertawakan Dira.

Dira terdiam, ia lebih memilih untuk diam dibandingkan harus meladeni semua ucapan yang keluar dari mulut Marvin dan Dita.

Mereka adalah orang terbaik di antara 1082 siswa yang ada di sekolah ini, mereka adalah orang yang sudah Dira anggap seperti keluarga, mereka mendukung Dira.

***

Guru piket sudah 4 kali mengunjungi kelas XI IPA 2, semua yang disampaikan sama, yaitu memperingatkan seluruh anak kelas XI IPA 2 agar diam dan tenang karena di kelas sebelah sedang melakukan ulangan. Tapi lagi-lagi Bu Rida tidak tahu siapa itu kelas XI IPA 2, Bu Rida mungkin tidak mengenali siapa itu XI IPA 2. Berbicara dengan kelas XI IPA 2 hanyalah membuang-buang waktu dan membuang-buang tenaga, Bu Rida bagaikan berbicara dengan tembok karena semua murid tidak mendengarkan ucapan Bu Rida.

Pak Slamet yang seharusnya mengajar pelajarn IPS hari ini tidak masuk, Marvin sedang menyusup ke kelas IPS kelas yang di dalamnya terdapat wanita yang ia cintai, Dita yang sedang fokus bermain mobile legends di handphonenya, Adit yang sedang tertidur dan Dira yang sedang mengerjakan PR biologi untuk besok. Dira melakukan ini karena agar nanti malam ia tidak dibayang-bayangi oleh bayangan PR dan agar Dira bisa menulis cerita dengan tenang.

Menulis tugas biologi bukanlah hal  yang menyenangkan bagi Dira, bahkan itu malah terdengar membosankan, karena di dalam pelajaran biologi Dira mempelajari semua perkembangbiakan hewan dan tumbuhan, dan juga Dira harus menghapal semua sel-sel yang jumlahnya sangat banyak.

“Aditt!!!!” Teriak Dira pada saat Adit menyenggol tangan Dira yang sedang menulis dan itu membuat tugas Dira tercoret hingga ujung buku.

Ternyata teriakan Dira mampu membangunkan Adit yang asik tertidur, padahal setahu Dira, Adit adalah orang yang jika sudah larut dalam tiduria akan sulit untuk dibangunkan. Dira melihat mata Adit yang sayup dan terdapat kotoran di ujung matanya.

“Kenapa?” tanya Adit, dan ternyata benar. Dira yang salah, hati Dira berbicara. “Gue sih yang salah, orang lagi tidur mana berasa kalau nyenggol orang”

“Kalau tidur, ya tidur aja. Jangan rusuh, kesenggol nih” Dira menunjukan buku cetaknya yang sudah terdapat sebuah coretan panjang hingga ujung kertas.

“Ya maaf,” ucap Adit yang langsung meletakan kepalanya ke atas meja.

 

Awalnya Dira mengira jika Adit akan kembali meanjutkan tidurnya, tapi dugaan Dira salah, Adit meletakan kepalanya di atas meja dan wajahnya dibiarkan menatap wajah Dira.

 

Dira menyadari jika ada kejanggalan dari Adit, berkali-kali Dira menoleh ke arah laki-laki itu, tapi yang Dira dapatkan adalah senyuman manis yang diukir oleh Adit, sang pemilik senyum itu.

“Kenapa ngeliatin gitu?” Tanya Dira dengan nada yang sedikit sinis.

“Gak boleh?” Tanya Adit.

“Gak boleh!” tanda tanya kini berubah menjadi tanda seru.

“Dasar pelit”Ucap Adit, pandangannya tak henti dan tak beralih dari wajah Dira.

Semakin lama, Dira justru malah merasa risih ditatap dengan cara seperti itu, dengan begitu secara tidak langsung Adit telah membuat Dira tidak bisa bebas  melakukan segala hal, karena pandangan mata Adit tak pernah jauh dari Dira.

“Udah atuh ih, jangan gitu ngeliatinnya” ucap Dira pada Adit yang kini justru malah menunjukan senyum jahilnya.

“Kenapa? Kan gak ganggu” ucap Adit polos, Adit memang benar, tapi detak jantung Dira tidak dapat berkontraksi dengan normal karena ulahnya.

Dira tidak bisa menjawab ucapan Adit, Dira hanya menulis di atas kertas dan memberikan kertas itu kepada Adit.

 

Deg-degan

Dua kata yang kini membuat Adit tersenyum lebih lama, senyumnya seakan abadi dan permanen, senyumnya membuat Dira salah tingkah Karena Adit makin mendekati Dira, duduknya kian menempel dan hampir tak berjarak.

“Sana” Ucap Dira yang kemudian menggeser kursi Adit menjauh dari jaraknya.

Tapi usaha Dira untuk menciptakan jarak dengan Adit justru berbuah kegagalan, Adit malah kian mendekat. Bahkan kursinya seakan menempel dengan kursi Dira. Pada akhirnya Dira kehabisan kesabaran, tapi sebenarnya bukanlah benar-benar kehabisan kesabaran, tapi Dira tidak tahan dengan kondisi yang seperti ini. Dira berdiri dan mendorong kursi Adit agar memberinya jalan untuk keluar dari tempat yang membuatnya tak bisa berkutik.

Dira melangkahkan kakinya menuju keluar kelas, Dira memilih pergi ke perpustakaan untuk  mengatur kembali konsentrasi dan detak jantungnya yang sejak tadi tidak dapat berdetak dengan normal.

Di perpustakaan ini, bersama dengan tumpukan buku yang tersusun rapi Dira menghabiskan jam pelajaran Pak Slamet, Dira berjalan lurus ke arah tempat buku Biologi berada. Di sana, pada saat Dira baru saja mau mengambil buku biologi di hadapannya, tangan Dira secara tidak langsung bersentuhan dengan tangan hangat yang nampaknya tak asing. Dira mengarahkan pandangannya ke belakang, dan benar apa kata Dira. Semuanya tak asing karena ia  mengenal siapa orang yang kini ada di hadapannya.

“Masih benci biologi?” tanya laki-laki itu pada Dira.

“Enggak” Ucap Dira yang kemudian mengalihkan pandangannya ke arah buku yang semula ingin di ambil olehnya.

 “Sebegitu bencinya lo sama gue Ra?” Dira tidak menjawab pertanyaan dari laki-laki bertubuh tinggi dengan rambut pirang. Dira memilih untuk pergi dari hadapan laki-laki itu.

Sampai akhirnya Dira sampai di meja penjaga perpustakaan, Dira memberikan buku yang ingin ia pinjam untuk di cap dan ternyata laki-laki itu masih tetap mengikuti Dira dari belakang.

Dira melangkahkan kakinya dengan sangat cepat, sebisa mungkin Dira harus bisa menghindari laki-laki penyebab luka itu, dan Dira harus melupakan semua tentang laki-laki itu. Kalian benar, dia adalah Davin, orang yang pernah dekat dengan Dira, dekat sekali, tapi kini semuanya sudah Dira lupakan.

Langkah Dira terhenti saat pergelangan tangannya tergenggam oleh seseorang, Dira menoleh ke arahnya dan ia melihat Davin sudah menggenggam tangannya dan menatapnya dengan tatapan penuh harap.

“Lepas!” Dira mencoba untuk melepaskan genggaman tangan Davin yang melingkar erat di pergelangan tangannya.

“Gak akan Ra,gue mau ngomong sama lo, sebentar aja” Ucap Davin yang terlihat sangat memaksa.

“Gak mau!!” Dan akhirnya Dira bisa melepaskan tangannya dari genggaman Davin.

Dira berlari  kencang menuju ke kelasnya, Dira berulang kali melihat ke belakang jika Davin terus mengejarnya dan sampai akhirnya Dira menabrak seseorang di persimpangan koridor.

“Dit, tolongin gue dikejar sama Davin” Ucap Dira yang ternyata menabrak Adit yang baru saja keluar dari toilet laki-laki.

Adit berjalan ke arah Davin yang kini memperlambat langkahnya. Dan kini mereka berdua berhadap-hadapan. Dira tidak tahu apa yang dibicarakan oleh dua laki-laki itu, Dira memilih pergi dari sana dan menghindari Davin, biarlah Adit yang menyelesaikan, Dira serahkan padanya. Walaupun itu bukanlah sesuatu yang adil.

***

Adit, Dira, Marvin, dan Dita.

Persahabatan itu bukanlah tentang siapa dia? Perempuan atau laki-laki? Pintar atau bodoh? Kaya atau miskin? Cantik atau tidak? Tampan atau tidak?  Hitz atau tidak? Tapi  persahabatan yang benar adalah tentang aku, kamu dan kami. Tentang bagaimana kita bisa tersenyum tanpa harus ada yang menangis, tentang bagaimana kita bisa bahagia tanpa harus ada yang bersedih, tentang bagaimana kita merasa cukup tanpa harus ada yang kekurangan.

Adit, Dira, Marvin, dan Dita.

Ke empat orang ini belum memenuhi semua itu, tapi mereka masih mecoba agar persahabatan itu bukan sekedar nama, tetapi memang benar adanya.

Kini mereka ber empat sudah berada di taman fotografi, taman yang baru kali ini mereka kunjungi ber empat. Karena biasanya Dira jarang sekali mau untuk diajak pergi seperti ini. Dira lebih sering memilih untuk bekerja dibandingkan dengan bermain bersama teman-teman, padahal setiap minggunya Dira selalu mendapatkan waktu untuk berlibur, tapi Dira jarang mengambil kesempatan berliburnya.

“Dir, beli es krim dulu yuk” Ucap Dita. Mereka adalah dua wanita penggila Es Krim. Dan laki-laki itu tahu bagaimana sifat dua wanita ini.

“Gue mau” ucap Adit.

“Mauan  jadi manusia” Ucap Dira sinis.

“Heh, memangnya kamu apa?” Tanya Adit.

“Aku keju”

“Jangan deket-deket deh, aku masih waras gak mau temenan sama keju” Ucap Adit yang dibalas tatapan tajam dari mata Dira.”Hehe bercanda,” Adit kemudian merangkul Dira dan mengacak-acak rambut Dira yang semula terurai Rapih.

“Hmmmm. Kacang” kata singkat itu membuat Dira dan Adit tersadar jika di tempat ini bukanlah hanya terdapat mereka berdua.

“Dita iri aja ya, Tuh Marvin  gandeng biar gak ilang” Ucap Adit yang hanya dibalas tatapan oleh Marvin.

Dan akhirnya mereka ber empat sampai di kedai Mas Dere. Kedai es krim yang terletak tidak jauh dari taman ini. Adit berjalan menuju ke tempat pemesanan eskrim, memesan sebuah eskrim tiramisu dengan toping coklat untuk Dira, eskrim strawberry untuk Dita dan marvin dan Eskrim vanila coklat untuk dirinya sendiri.

Tak lama Adit datang dengan membawa semua eskrim yang tadi ia pesan. Ia memberikan satu persatu eskrim kepada pemiliknya.

“Laki kok doyan strawberry, yakin lo laki vin?” tanya Adit yang melihat Marvin sangat lahap menyantap eskrim miliknya yang berwarna pink itu.

“Salah?” Tanya Marvin.

“Salah, lo kan laki vin”

“Oke kalau gitu lo bayar sendiri” Ucap Marvin yang mulai mengancam Adit.

“Sensitif lo kaya pantat dede bayi” Ucap Adit yang diikuti tawa oleh Dira dan Dita.

Kebahagiaan yang sederhana, tak perlu mewah yang penting semua orang kumpul bersama. Tidak penting dimana tempatnya dan makan apa, yang penting semua tertawa bersama. Yang dibutuhkan sebenarnya hanya kebersamaan, bukan kemewahan.

Di saat mereka sedang asik bercengkrama dan menyantap eskrim, tiba-tiba suara dari handphone Marvin memecahkan semuanya.

“Iya mah, Marvin pulang sekarang” ucap Marvin yang kemudian memasukan kembali handphonenya ke dalam saku celananya.

“Kenapa vin?” Tanya Adit.

“Gue lupa kalau hari ini gue harus nganterin nyokap belanja bulanan” Ucap Marvin yang kemudian bangkit dari duduknya. “Mau ikut balik nggak lo?” tanya Marvin pada Dita yang masih asik menyantap eskrim kepunyaannya itu.

“Tungguin” Dita segera mengeluarkan sendok yang semua ada di mulutnya dan segera berlari ke arah Marvin yang sudah berjalan sampai di depan pintu kedai.

Dan kini hanya tinggal Adit dan Dira di meja kedai. Tak butuh waktu lama untuk Dira menghabiskan eskrim miliknya. Setelah selesai menghabiskan eskrim, Adit mengajak Dira untuk segera masuk ke taman.

Di dalam taman, Dira duduk di sebuah ayunan,menikmati angin sore yang berhembus melalui sela-sela rambutnya. Adit melihat wanita itu tersenyum, tapi berbeda dengan Dira, berada di taman ini mengingatkan Dita pada 2 tahun yang lalu,saat bersama dengan ayahnya.

“Raa” Panggilan itu membuat Dira menghentikan lamunannya dan kemudian beralih menatap Adit yang sudah duduk di ayunan yang berada di samping ayunan yang diduduki oleh Dira.

“Apa?” tanya Dira.

“Davin itu maksa buat ngomong sama lo, tapi kenapa lo menghindar dari dia? Gue lihat ada sedikit sesuatu yang janggal dari lo berdua, padahal lo bilang kalau lo gak pernah pacaran sama dia kan?” Dira tersenyum mendengar ucapan Adit.

Dira memutari semua memorinya sekitar 1 setengah tahun yang lalu, saat Adit belum sedekat ini dengan Dira, saat Adit hanyalah orang yang Dira jadikan seorang sahabat yang menyebalkan dan saat Davin masih menjadi orang yang paling Dira harapkan untuk tetap bersamanya, tapi ternyata dulu Dira hanyalah seorang anak SMP yang di butakan oleh cinta monyet.

“Semua orang pernah buat salah kan?” Tanya Dira pada Adit.

“Ya pasti pernah lah, siapa coba yang gak pernah buat salah?”

Dira tersenyum, ini bukan waktunya untuk membicarakan seorang Davin, ini adalah waktunya bersama dengan Adit. Orang paling menyebalkan di muka bumi.

“Kalau main ke taman kadang suka inget ayah, dan gak tahu kenapa hal yang selalu mengingatkan gue sama ayah adalah taman, mungkin karena waktu kecil gue  sering minta sama ayah untuk temenin gue main di taman, kayaknya sih gitu”Adit bangkit dari ayunan yang semula ia duduki, kini ia beralih ke belakang ayunan Dira, ia mengayunkan ayunan itu secara perlahan sambil mendengarkan Dira bercerita.

“Ayah itu kaya gunung, tapi lebih tinggi dari gunung, ayah kaya laut tapi lebih dalam dari laut, ayah udah ngebiarin anak wanitanya tumbuh besar dan ngizinin anaknya itu pergi ke luar rumah, sama anak laki-laki seperti lo, bahkan ada yang lebih jahat dari lo, dan polosnya gue, gue mau aja keluar sama laki-laki yang jahatin gue, yang selalu bikin gue susah, laki-laki yang selalu bikin tensi darah gue naik, kaya lo sama Davin” Air mata sudah memupuk di matanya,tapi belum mengalir, Dira masih bisa menahanya agar tidak jatuh dihadapan laki-laki ini.

“Rasanya sakit Raa, dunia itu gak akan seindah yang kita pikirkan, saat lo berpikir kalau dunia bisa ngasih semua yang lo butuhin tanpa harus diminta, lo salah. Saat kita pintapun, dunia belum tentu sanggup untuk memberikan apa yang lo butuhin” Adit melangkahkan kakinya berjalan kehadapan Dira, ia jongkok dengan bertumpu pada satu kaki di tanah dan lututnya dibiarkan bersentuhan dengan bumi.

“Padahal keinginan gue sederhana, gue Cuma pengen dua pangeran dengan semua kisahnya yang nggak akan usai, dan nggak apa usai, asalkan kisahnya berakhir bahagia,” Air mata Dira sejenak kering, dan semoga seterusnya.

“Dua? Kenapa dua?” Tanya Adit bingung.

“Ayah gue adalah raja, raja kan dulunya adalah pangeran, dan satunya adalah orang yang gak akan pernah menyakitin gue seperti ayah, bukan seperti Davin ataupun seperti lo. Gue butuh dua, karena jika yang satu hilang, yang satu akan tetap bersama gue” Dira mengela nafasnya, ternyata ia salah, sekarang air matanya sudah hampir terjatuh, bahkan satu tetes air mata yang berharga itu kini jatuh.

“Raa,”

“Ayah sudah pergi dan sekarang nggak ada yang benar-benar tetap sama gue seperti ayah. Seseorang yang gue kira sama seperti ayah hanya meninggalkan janji, janjinya bagaikan pelangi, sangat indah namun hilang dengan mudah tanpa meninggalkan jejak”

“Raa,”

“Lo harus bersyukur punya ayah, sedangkan gue, untuk sekedar lihat wajah ayah aja gue gak bisa, gue—“  Ucapan Dira langsung terpotong saat Adit sudah terlebih dulu berbicara.

“Lo punya ibu, dan masa kecil lo begitu indah karena lo gak pernah denger sesuatu yang bikin lo sakit telinga,” Adit kemudian menceritakan semuanya pada Dira, tentang ibunya yang pergi menikah lagi dengan laki-laki lain, dan saat itu terjadi saat Adit masih duduk di kelas 6 SD dan sampai saat ini ia dan ayahnya tidak tahu ada dimana ibunya.

“Ayah selalu bilang, untuk apa nyari wanita yang jelas-jelas udah gak cinta sama dia, ayah orang yang berpikir jauh ke depan, yang ada di pikirannya saat itu Cuma kak Resty yang saat itu duduk di bangku SMA, gue yang masih SD dan putri yang baru umur 2 tahun”

Dari sini Dira mengetahui satu hal, semua orang mempunyai kadar hidup yang berbeda, yang dilihat dari luar memang nampak baik-baik saja, tapi siapa yang tahu jika jauh di dalamnya, semua hancur berantakan, justru malah terasa rumit. Lebih rumit dari yang Dira pikirkan.

Dira mengira jika hanya Dirinya yang haus akan kasih sayang, tapi ternyata Dira sadar, Dira bukanlah orang satu-satunya yang menginginkan kasih sayang orang tua, tapi Adit juga. Pantas saja Adit selalu senang setiap kali datang kerumah Dira dan membatu Ibunya untuk membereskan toko atau melayani pembeli, itu semua karena Adit rindu pada sosok ibu.

Benar?

“Udah ya nangis-nangisannya, temen-temen kayaknya udah dateng deh,” kemudian mereka berjalan menuju ke ujung taman, dan Dira berharap jika di sama ia tidak menemukan kesedihan.

***

 

Sudah petang, tidak terasa waktu berjalan begitu cepat dari seharusnya. Maaf tapi itu hanya pendapat seorang Aditya Rhazes yang terlalu senang berada di samping wanita cantik seperti Dira. Walaupun sesungguhnya tidak benar-benar berdua, tapi Adit merasa jika sejak tadi mereka berdua. Dasar Adit memang aneh!

“Zal, gue balik duluan” teriak Adit pada Zali yang sedang memasukan gitar kedalam tasnya. “Ken, Gaz, Reind, gue balik duluan,” ucap Adit kepada ketiga temannya itu. Kenzo, Reind, dan Gazza. Dan kemudian mereka berjalan meninggalkan ujung taman yang masih tersisa oleh ke empat manusia itu.

Senja adalah hal yang paling di sukai oleh Dira, karena keindahan langit berwarna jingga itu selalu membuatnya ingin berlama-lama untuk menatap keindahannya, Dira tidak pernah tahu ada apa dengan senja, Tapi ia selalu suka. Tapi kekagumannya itu jarang sekali bisa di nikmati dengan santai seperti ini. Karena Dira memang selalu menghabiskan waktunya di restoran untuk bekerja. Tidak pernah mempunyai waktu luang untuk bermain, Dira hanya memikirkan pekerjaan agar ia bisa mengumpulkan uang dan membantu meringankan biaya sekolahnya.

Di depan halte mereka berhenti, dan rasanya seperti ada ketakutan muncul dalam diri Dira. Sebuah ketakutan yang membuat luka itu terus ada hingga saat ini. Dira menghela nafasnya saat Adit bilang jika mereka akan menaiki bus untuk pulang ke rumah karena hanya itu jalannya. Motor miliknya sudah berada di rumah karena Marvin, dan Marvin sudah pulang sejak tadi.

“Beneran naik bus?” Wajah Dira sudah memucat, Keringat dingin sudah mengalir di tubuhnya, jantungnya berdetak lebih cepat dari seharusnya. Tuhan, Kenapa harus?

“Iya, Gak masalah kan? Soalnya motornya kan udah ada di rumah.”

Dira menengguk ludah, Bagaimanapun ia harus tetap naik bus dan melawan traumanya, Tapi, Apa bisa? Dira malu jika harus berteriak di dalam Bus karena ketakutan, dan saat ini ia bersama dengan Adit. Manusia menyebalkan. Jangan sampai besok ia menjadi bahan tertawaan karena ia teriak di dalam bus tanpa seban yang tidak di ketahui oleh laki-laki menyebalkan itu.

Bus yang ditunggu sudah datang, Tapi stop! Dira tidak menunggu kehadiran bus ini, mungkin hanya Adit yang menunggunya, Dira tidak.

“Ayo naik Raa, kenapa berdiri di sana?” Ucapan Adit membuat Dira tersadar dari lamunannya, laki-laki dihadapannya ini sama sekali tidak mengetahui secara jelas jika ia amat sangat menakuti benda panjang yang terbuat dari besi dan mesin-mesin itu.

Dira masih terdiam di tempat, wajahnya pucat pasi, rasa tegang sudah menyelimuti diri Dira sejak mereka melihat bus itu. Adit menarik tangan Dira untuk segera masuk ke dalam bus, Berdirinya Dira di sini hanya membuang-buang waktu dan hanya membuat dirinya semakin takut dengan semua sugesti yang ada di kepalanya.

Genggaman tangan Dira pada Adit begitu kencang, dan mungkin saja Adit kebingungan dengan sikap Dira yang menganehkan itu,Tapi Dira tidak peduli itu, Ia hanya memejamkan matanya dan merasakan jika busnya mulai berjalan.

Satu detik.

Dua detik.

Tiga detik.

Masih aman, tapi detik selanjutnya mulai terasa, Dira panik saat mobil itu mengerem mendadak dan sontak Dira langsung memeluk Adit. Ini memalukan, tapi hanya ini yang bisa Dira buat, Dira terlalu takut.

“Dit, turun ya Pliss turun sekarang” Pinta Dira. Tapi adit mengabaikannya, ia hanya menatap Dira dan kemudian memasang earphone di telinganya.

“Tolongin gue! Turun sekarang” Pinta Dira sekali lagi, Tapi Adit mungkin tidak mendengar karena masih tidak ada respon.

Jantung Dira berdetak  begitu cepat, rasanya ia ingin menangis dan berteriak di dalam bus ini, tapi ini bukanlah tempat yang baik. Semesta, Tolong Dira!

“Hey lo kenapa?” Adit melepaskan earphonenya dan menatap wajah Dira yang pucat.

“Turun sekarang, gue mohon” Dan akhirnya ini adalah puncaknya, Dira menangis di baju Adit, Jika bisa ia teriak, ia akan teriak sekencang-kencangnya. Tapi sayangnya ini adalah Bus, bukan lapangan sepak bola.

“Raa, ini masih di jalan, kita harus berhenti di halte” Adit mencoba untuk menenangkan Dira, Tapi Dira tidak butuh itu, yang ia inginkan adalah turun dari bus yang sudah membuat semuanya hancur. “Lo kenapa?”

“Gue mau turun!” Dengan sedikit bentakan akhirnya Adit meminta kepada kenek bus untuk menghentikan busnya.

Rasanya masih tegang, Detak jantungnya belum berkontraksi secara normal, semuanya datang secara tiba-tiba saat bus itu berjalan, bayangan kejadian 1 tahun lalu seakan berada tepat di hadapannya, membuatnya takut sekaligus ngeri karena peristiwa itu membuatnya kehilangan sebagian jiwanya. Jika bisa menangis kencang, ia akan menangis. Tapi sayangnya itu adalah bus, bukan kamarnya.

“Kenapa sih Raa? Lo kenapa? Kenapa lo minta turun? Kita harus pulang keburu malem, Raa, jawab Raa.” Mereka baru saja turun dari bus, Adit langsung menyambar Dira dengan pertanyaan yang membuatnya semakin merasa takut. Bukan takut dengan bayangan lagi, tapi takut untuk berbicara tentang semuanya.

“Kenapa diem? Raa, kalau gak naik bus, Kita pulang naik apa? Kasih gue alasan Raa. Kenapa sih dari dulu lo Cuma bisa diem sambil nangis? Kenapa lo nggak bisa kasih jawaban selain air mata?” Dira masih terdiam, ia mencoba untuk menetrakan detak jantungnya, membiarkan rasa tegang berubah menjadi rasa tenang.

Ditariknya nafas panjang-panjang, lalu menghembuskannya secara perlahan, kini yang ia cari sejak tadi sudah ditemukan. Ketenangan untuk berbicara.

“Ada trauma sama bus” ucapnya pelan, tapi sepertinya Adit mendengar ucapan Dira.

“Maaf, Gue gak tahu,” suara Adit Terdengar sangat ragu, Dira tahu itu. “Minum dulu ya Raa, biar lo sedikit tenang”

“Gak usah, gue mau langsung pulang aja,”

“Mau pulang gimana? Lo takut naik Bus, Raa, kalau ada trauma tuh bilang. Kalau ada apa-apa kan ribet, apapun alesannya tetep aja gue yang salah.”

Sudah 12 tahun mereka berteman, tapi baru kali ini, Dira mendengar Adit membentaknya. Dan lebih malunya lagi. Ini adalah tempat umum.

“Maaf, Maaf kalau ngerepotin terus, makasih udah mau direpotin,” Dira membalikkan tubuhnya kemudian berjalan meninggalkan Adit yang masih terdiam kaku di belakangnya.

***

Mengejar Dira? Itu yang harusnya Adit lakukan, tapi ia malah terdiam menatap kepergian wanita itu dari hadapannya. Bukannya Adit tidak mau mengejar Dira, tapi Adit tahu siapa Dira, dia tidak suka dibentak oleh siapapun, dan tadi, secara langsung, tepat di hadapan wajahnya Adit membentak Dira.

Semesta, Jika waktu bisa diputar, Adit akan lakukan itu agar tidak menyakiti hati Dira. Tapi nyatanya Adit emosi, dan bahkan tidak tahu jika Dira akan melakukan hal ini. Pulang sendirian dengan keadaanya yang masih kacau karena teringat akan traumanya.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 2 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
ENAM MATA, TAPI DELAPAN
563      352     2     
Romance
Ini adalah kisah cinta sekolah, pacar-pacaran, dan cemburu-cemburuan
I'il Find You, LOVE
5326      1404     16     
Romance
Seharusnya tidak ada cinta dalam sebuah persahabatan. Dia hanya akan menjadi orang ketiga dan mengubah segalanya menjadi tidak sama.
Aku menunggumu
4536      955     10     
Romance
Cinta pertamaku... dia datang dengan tidak terduga entahlah.Sepertinya takdirlah yang telah mempertemukan kami berdua di dunia ini cinta pertamaku Izma..begitu banyak rintangan dan bencana yang menghalang akan tetapi..Aku Raihan akan terus berjuang mendapatkan dirinya..di hatiku hanya ada dia seorang..kisah cintaku tidak akan terkalahkan,kami menerobos pintu cinta yang terbuka leb...
Lavioster
3493      969     3     
Fantasy
Semua kata dalam cerita dongeng pengiring tidurmu menjadi sebuah masa depan
Just a Cosmological Things
776      432     2     
Romance
Tentang mereka yang bersahabat, tentang dia yang jatuh hati pada sahabatnya sendiri, dan tentang dia yang patah hati karena sahabatnya. "Karena jatuh cinta tidak hanya butuh aku dan kamu. Semesta harus ikut mendukung"- Caramello tyra. "But, it just a cosmological things" - Reno Dhimas White.
Letter hopes
852      477     1     
Romance
Karena satu-satunya hal yang bisa dilaukan Ana untuk tetap bertahan adalah dengan berharap, meskipun ia pun tak pernah tau hingga kapan harapan itu bisa menahannya untuk tetap dapat bertahan.
Little Spoiler
829      517     0     
Romance
hanya dengan tatapannya saja, dia tahu apa yang kupikirkan. tanpa kubicarakan dia tahu apa yang kuinginkan. yah, bukankah itu yang namanya "sahabat", katanya. dia tidak pernah menyembunyikan apapun dariku, rahasianya, cinta pertamanya, masalah pribadinya bahkan ukuran kaos kakinya sekalipun. dia tidak pernah menyembunyikan sesuatu dariku, tapi aku yang menyembunyikan sesuatu dariny...
Truth Or Dare
7602      1397     3     
Fan Fiction
Semua bermula dari sebuah permainan, jadi tidak ada salahnya jika berakhir seperti permainan. Termasuk sebuah perasaan. Jika sejak awal Yoongi tidak memainkan permainan itu, hingga saat ini sudah pasti ia tidak menyakiti perasaan seorang gadis, terlebih saat gadis itu telah mengetahui kebenarannya. Jika kebanyakan orang yang memainkan permainan ini pasti akan menjalani hubungan yang diawali de...
An Invisible Star
1687      893     0     
Romance
Cinta suatu hal yang lucu, Kamu merasa bahwa itu begitu nyata dan kamu berpikir kamu akan mati untuk hidup tanpa orang itu, tetapi kemudian suatu hari, Kamu terbangun tidak merasakan apa-apa tentang dia. Seperti, perasaan itu menghilang begitu saja. Dan kamu melihat orang itu tanpa apa pun. Dan sering bertanya-tanya, 'bagaimana saya akhirnya mencintai pria ini?' Yah, cinta itu lucu. Hidup itu luc...
Frekuensi Cinta
226      191     0     
Romance
Sejak awal mengenalnya, cinta adalah perjuangan yang pelik untuk mencapai keselarasan. Bukan hanya satu hati, tapi dua hati. Yang harus memiliki frekuensi getaran sama besar dan tentu membutuhkan waktu yang lama. Frekuensi cinta itu hadir, bergelombang naik-turun begitu lama, se-lama kisahku yang tak pernah ku andai-andai sebelumnya, sejak pertama jumpa dengannya.