Dira mengayuh sepedahnya untuk menuju ke sekolah, senyuman di pagi hari mengawali hidupnya. Dari dulu, bahkan sejak Dira lahir ke dunia ini, pagi adalah hal yang patut untuk disenyumi. Dimulai dari pagi, hidup semua orang berawal di setiap hari, dan dimulai dari pagi, Dira lahir ke dunia ini.
Alunan lagu dari Camilla Cabello yang berjudul Havana mengiringi jalannya menuju ke sekolah, ini adalah lagu kesukaan Dira, yang selalu mengiringinya , setiap kali belajar dan setiap kali berangkat sekolah.
Hidup Dira memang tidak terlalu baik, tapi Dira tidak mempunyai alasan untuk tidak tersenyum setiap paginya. Dira menyapa semua orang yang ia lewati, termasuk tukang sapu jalanan,bapak-bapak tua yang sedang berjualan, dan Adit.
Laki-laki itu adalah laki-laki yang paling menyebalkan seantero SMA Pandu sejahtera. Seperti saat ini, Adit menyipratkan air yang menggenang di jalanan menggunakan motornya, dan itu membuat baju Dira kotor pada bagian bahu.
“Adit mah, jahat banget sih jadi orang” Ucap Dira setelah memarkirkan sepedanya di parkiran sepeda yang berdekatan dengan parkiran motor.
“Ya maaf, kan jalananya becek” Adit malah tertawa dan mengambil sebuah tisu basah yang ada di dalam tasnya. Dira adalah wanita yang tidak bisa marah, oleh sebab itu, Adit sering mengganggu Dira.
Adit mengeluarkan tisu basah dari tasnya dan membersihkan sepatu putih milik Dira yang sudah ternodai, dari sepatu, Adit kemudian beralih membersihkan lengan baju Dira yang sudah kotor juga.
Adit adalah laki-laki yang dikagumi oleh banyak siswa di sekolah ini, wajahnya tampan, pintar bermain musik dan juga kalem. Tapi Adit sedikit dingin pada orang yang tidak ia kenal.
“Enak ya jadi kak Dira, jadi pengen”
“Dit, aku aja dong, kenapa harus Dira”
“Duh si Adit,pagi-pagi udah bikin panas aja”
“Gak tahu cowonya atau cewenya yang gatel, tapi dua-duanya sama aja”
Dan masih banyak lagi ucapan yang keluar dari mulut orang-orang yang melewati tempat parkiran, terlebih lagi dari pada wanita, kakak kelas dan adik kelas, juga teman satu angkatan.
“Nggak hilang, tapi senggaknyaa jadi nggak terlalu kotor” Ucap Adit yang kemudian memberikan semua sisa tisu itu pada Dira. Setelah memberikan tisu, Adit menarik tangan Dira untuk pergi ke kelas bersama.
Satu langkah
Dua langkah
Tiga langkah
“Diraaaa”panggilan itu membuat Adit dan Dira menoleh ke arah belakang, mereka menemukan siapa pemilik suara itu yang kini sedang terengah-engah berlari ke arah Adit dan Dira. Adit menarik tangan Dira, kemudian mereka belari bersama.
Langkah kaki Adit dan Dira terlalu cepat sehingga si pemilik suara itu tidak dapat mengejar mereka berdua. Kini mereka sudah sampai di kantin, alasannya karena Adit belum sarapan pagi, dan kali ini ia meminta Dira untuk menemaninya.
“Kenapa lari?” tanya Dira pada saat mereka berdua sudah duduk di kursi kantin.
“Nggak kenapa-napa, Cuma mau isengin Dita aja”
“Emang Dita kenapa?”
“Si Dita tuh kaya anak lo aja, kemana-mana ngintilin mulu udah kaya buntut,”
Dira tertawa mendengar ucapan Adit, Dia selalu bisa membuat orang lain tertawa karena ucapannya.
Dan Dira adalah seorang wanita yang kini sedang menjalani pendidikan sebagai siswi kelas 11 SMA, suka menulis, suka mengambar, dan suka menghindar dari kehidupannya yang pahit. Laki-laki yang baru saja mengajaknya berlari adalah Adit, laki-laki yang di mata Dira tidak pernah baik, sulit untuk menerima jika Adit adalah laki-laki baik, karena Dira sudah mengenal Adit selama kurang lebih 11-12 tahun jadi ia sudah hapal betul dengan sifat anak itu, sengaja melakukan sesuatu tapi bilangnya “Tidak sengaja” Dira sudah sering.
***
“Dira jahat yaaa, pergi berduaan aja sama Adit, nggak inget apa kalau punya Ditaa” Kini Dira sudah duduk di depan Dita, Dira duduk di sebelah Marvin, dan Dira duduk bersebelahan dengan Adit.
“Adit yang narik” ucap Dira.
Dita langsung menjitak kepala Adit, tindakan itu terlalu tiba-tiba sehingga Adit terkejut dibuatnya.
Belum sempat Adit membalas pukulan Dita, Bu Rere yang akan mengajar pelajaran pertama datang untuk mengajar pelajaran bahasa Indonesia.
Bu Rere adalah wali kelas XI IPA 2 dia sangat baik, umurnya masih muda dan saat ini sedang melanjutkan program studi S2, dia belum menikah dan itu sebabnya Bu Rere sering mendapatkan godaan dari beberapa murid, termasuk Marvin.
“Dira tolong kumpulkan semua PR” ucap Bu Rere, Dira beranjak dari kursinya dan berjalan menuju ke setiap kursi untuk mengambil semua buku PR.
Sampai akhirnya Dira sampai di meja Marvin, lagi-lagi laki-laki itu tidak mengumpulkan PRnya dan kini malah sedang asik dengan handphone yang ada di genggamannya.
“Mana PR lo?” Tanya Dira pada Marvin, tapi Marvin hanya menggeleng pandangannya kemudian berpindah ke arah handphonenya.
“Kumpulin aja sana, gue belum ngerjain” Setelah dari meja Marvin, Dira berjalan menuju ke meja guru untuk memberikan semua PR ini pada Bu Rere.
Kadang Dira berpikir jika hidup Marvin terlalu membosankan, dalam hidupnya sama sekali tak ada tantangan, anak itu begitu menikmati hidupnya sebagai anak pemilik sekolah, tidak mengerjakan PR bukanlah suatu masalah bagi Marvin. Ayahnya adalah pemilik sekolah, jadi seharusnya tak ada sama sekali alasan untuk bermalas-malasan seperti ini.
“Terimakasih Dira, nanti saat istirahat kamu ke Ruang Guru ya, ada yang mau ibu bicarakan” Ucap Bu Rere pada saat Dira mengumpulkan buku PR itu.
Saat ini Bu Rere sedang menjelaskan tentang fakta umum dan fakta spesifik, satu meja dengan Adit membuat Dira kadang tidak fokus dalam belajar, Adit selalu menjadi penggoda dalam setiap kegiatan belajar Dira,
Adit selalu mempertanyaan hal yang seharusnya tidak ia tanyakan pada Dira, pertayaan yang jawabannya bisa ia cari tahu sendiri, seperti saat ini, Adit menanyakan tentang tugas wartawan pada Dira.
“Cari di google” ucap Dira.
“Oke google, apa tugas wartawan?” Dira melihat Adit yang benar-benar membuka aplikasi google dan merekam suaranya lewat google voice.
“Wartawan itu kaya kurang kerjaan tahu nggak sih, mereka nyari informasi tentang gosip atau gibah. Itukan dilarang sama agama. Apalagi Gibah, dosa tahu” Dira tutup telinga. Adit terlalu banyak menganggunya. Ini jam pelajaran tapi laki-laki ini terus berbicara tanpa henti.
“Tugas Pewarta emang gitu, itu kerjaan mereka”
“Dosa nggak sih?” Dira hanya menaikan kedua bahunya sebagai arti tidak tahu.
“Oh iya Ra, kalau sekolah dari pagi sampe magrib seru nggak sih?”
“Nggak tahu, lo sekolah Cuma sampe jam 2 siang aja udah tidur mulu di kelas, gimana sampe magrib”