Terdengar suara-suara pena di seret diatas kertas, namun sepertinya hanya garisan semrawut yang dibuat. Aku membuka mataku perlahan, ada Jessica di sampingku sedang memegang buku dan pena yang dipegangnya diputar-putar. Sepertinya ia sedang bosan, aku jadi merasa bersalah telah membuatnya khawatir.
“Sica, aku lapar!” Ucapku manja.
Membuatnya menoleh dan tersenyum kegirangan.
“Mau makan apa?” Tanyanya bersemangat.
“Kamu sudah bangun?” Tanya sosok yang tiba-tiba muncul dari samping tempat tidur.
Membuatku berteriak terkejut setengah mati.
“Astaga! Bikin kaget aja lo!” Bentak Jessica.
Banyu mengucek matanya.
“Kenapa tidur dilantai?” Tanyaku.
“Emangnya boleh ikut tidur di samping kamu?” Ia bertanya balik.
Aku enggan menjawabnya. Ia duduk di tepi tempat tidur,memandangiku dengan rasa lega. Namun ada yang aneh dengan wajahnya.
“Wajah kamu kenapa?”
“Kena tinju Kangguru!” Ia tersenyum disambut lemparan bantal oleh Jessica.
“Berantem lagi?” Tanyaku datar.
Sudah terlalu biasa bukan mereka sering kali bertengkar. Yang ditanya hanya senyum-senyum saja.
“Kali ini karena apa?” Aku penasaran.
“Jessica pikir kalau aku…” Banyu seakan sengaja memperlambat kata-katanya demi melihat reaksi Jessica yang ternyata sudah siap menabuh genderang perang yang selanjutnya.
“Hayo kita main pasir, sambil nunggu sunset!” Ajak Jessica coba mengalihkan topik pembicaraan.
Aku mengangguk dan mengikuti langkahnya keluar cottage, ada yang sedang asyik memilih angle foto terbaik sepertinya. Terlihat Salman sedang mengangkat handphonenya ke berbagai arah, fotografer juga butuh kenang-kenangan untuk dirinya sendiri sepertinya. Kami berdua saling melirik jahil, seakan-akan sama-sama mengerti. Kami berlari dan langsung merangkul Salman, berusaha masuk kedalam frame jepretannya. Ia terkejut namun langsung melanjutkan mengambil gambar kebersamaan kami. Karena tinggi yang tidak seimbang, Ia berusaha membungkuk dan menyuruhku naik kepunggungnya. Tiba-tiba sebuah tendangan mendarat di bokongnya yang membuat ia terjatuh ke atas pasir.
“Banyu!!!” Aku dan Jessica meneriakinya secara bersamaan.
Kemudian kami membantu Salman untuk kembali bangun. Jelas terlihat Salman kesal kali ini, ia langsung berlari dan mendorong Banyu.
“Keterlaluan lo kali ini!” Teriak Salman.
“Gue udah bilang jaga jarak!!!” Banyu berteriak lebih keras.
“Astaga! Gue udah bilang, gue cuma anggap dia teman sekalipun lebih dari itu gue pasti Cuma anggap dia adik gue!” Jelas Salman.
“Ban…Udah deh! Masa lo cemburu sama temen lo sendiri!” Lerai Jessica.
“Gue masih ingat semua kata-kata tentang ketertarikan lo sama dia sebelum gue tau kalau dia itu Millia! Setelah kita sama-sama tahu pun, Lo masih berusaha deketin dia!” Banyu secara tidak langsung mengakui ia cemburu.
Jika aku tidak berbicara sesuatu, hubungan keduanya pasti akan memburuk.
“Ban…Setiap Salman sama aku, yang dia ceritain itu kamu. Berhentilah tidak percaya pada temanmu sendiri!” Aku membujuknya.
Ia memegang ujung jari-jariku dan memandang tepat ke pusat mataku. Aku menariknya mendekati Salman dan memintanya bersalaman, keduanya kembali tersenyum dan Salman langsung memeluknya dengan cara yang jantan.
“Sorry,Bro!” Banyu mengatakan dengan tulus.
“Enggak apa-apa, gue ngerti kok!” Jawab Salman santai.
Kami melanjutkan dengan berkeliling pulau yang memakan waktu tak sampai lima belas menit. Rasanya pulau ini sedikit lebih kecil dari kampusku, untuk sampai ke gedung tempat biasa kami praktek saja dari depan gerbang membutuhkan waktu sepuluh menit lebih. Kami memutuskan meilhat-lihat dua cottage lainnya yang berada di sisi lain pulau.
Ada sebuah ruangan yang didominasi warna merah dan emas, dan lagi-lagi dindingnya hanya sekat ukiran yang bisa dibuka. Terdapat dua tempat tidur berukuran sedang yang berdampingan, dan kamar mandi yang letaknya terpisah itu lebih berkonsep “terbuka” dari kamar mandi di cottage utama.Cottage yang satunya lebih mirip sebuah rumah pohon terbuat dari kayu dan hanya pas untuk sebuah tempat tidur. Aku menyukainya, ingin menyempatkan diri mencoba untuk bermalam di rumah pohon itu.
Jessica menjelaskan pulau ini biasanya disewakan kepada pengantin-pengantin baru untuk berbulan madu. Kebanyakan adalah para-para turis asing yang menyewanya, saat ada penyewa pulau penjaga akan kembali ke rumah mereka di pulau yang lebih besar dan sepasang suami istri yang bertindak sebagai koki itu hanya akan keluar jika dipanggil untuk menjaga privasi para tamu.
“So, bebas! Mau ngapain aja bisa,enggak usah takut ada yang ngintip.” Jessica terkekeh-kekeh sendiri setelah menyelesaikan ucapannya.
“Asyik ya! Mau dikamar, di tengah hutan, di pinggir pantai. So,erotic!” Salman mulai lagi dengan pikiran mesumnya, entah kenapa wajah Banyu terlihat memerah. Aku berusaha tak ingin menebak pikiran para pria.
“Berapa harga sewanya,non?” Tanya Salman dengan antusias.
“Almost 10.000 USD.” Jawab Jessica datar.
“Astaga! Kalau dirupiahin hampir seratus lima puluh juta?” Salman terbelalak heboh.
Kami tertawa melihatnya seperti itu, Aku dan Banyu sudah mengenal lebih dulu Jessica hal seperti itu tentu hanya hal kecil baginya.
“Astaga! Itu bisa buat sewa kosan kita selama seratus bulan, Non! Atau ikut gue aja yuk kita bisa beli rumah kecil diatas gunung di Bandung.” Salman memiliki banyak perhitungan di kepalanya.
“Too much “Astaga” tau gak sih lo! Gue butuh tempat yang Millia enggak bisa kabur kemana-mana.” Ledeknya.
“Memangnya aku mau kemana?” Tanyaku sambil tertawa.
Kami turun dari rumah pohon itu dan berjalan ke pinggir pantai untuk menikmati sunset dan menyantap makan malam yang sudah disediakan tepat diatas dermaga.
“Oh, It’s so romantic!” Jessica sedikit terbawa suasana begitu juga dengan diriku.
“Mon, take a good picture!” Jessica menarik Banyu berhadapan denganku.
Rasa hangat menjalar dipipiku, Banyu tersenyum dan menggenggam tanganku. Ia mengecup keningku dengan lembut. Jessica dan Salman berteriak menyemangati untuk ciuman lain yang lebih berani. Aku menggelengkan kepala kepada Banyu, ia pun mengerti dan hanya tertawa melihatnya.
Kami kembali duduk, banyak berbincang sambil menikmati santapan malam yang memang sangat lezat. Setelahnya kami kembali ke cottage, ketiganya kembali mengecek pekerjaan masing-masing. Mereka orang-orang sibuk yang berusaha lari dari kesibukkan tapi nyatanya kesibukkan itu tetap mereka bawa kesini.
Aku memutuskan untuk berendam dengan air hangat dan bunga-bunga segar yang telah disediakan di dalam kamar mandi. Selain butuh ketenangan saat ini aku juga merasa kondisinya aman. Aku memutar musik-musik akustik lembut dari handphoneku dan membiarkan suaranya menggema diruangan. Sementara aku memejamkan mata dan coba menjernihkan pikiran.
“Hey…”
Aku terperanjat mendengar suara yang ku kenal, namun aku tak melihat ia ada dimana-mana. Aku mematikan alunan musik yang baru saja berputar selama tiga menit.
“Apa kamu sedang berendam?” Tanyanya.
“Iya.” Aku menjawab singkat.
Aku merasa tidak nyaman, sekalipun pria itu tidak berada satu ruangan denganku. Aku mencoba untuk keluar dari bathub, tapi sepertinya ia mendengar riak air yang bergerak.
“Jangan pergi, temani aku dulu!” cegahnya.
Terpaksa aku kembali menyandarkan kepalaku dan berendam kembali.
“Sorry…” Ucapnya lirih.
“Iya..enggak apa-apa.” Jawabku.
“Aku terlalu emosional jika itu tentangmu.” Jelasnya.
Aku hanya membalasnya dengan kesunyian.
“Kau tahu, aku agak sulit terang-terangan.”
“Ya…aku juga begitu. Jadi ini semua bukan sepenuhnya salahmu.”
Aku juga menyadari ketidak terbukaanku membuatnya seringkali berjalan tanpa petunjuk yang membuatnya menabrak apa saja yang menurutnya jadi penghalang.
“Apa kau masih ragu dengan perasaanku?”
Aku menggigit bibir bawahku. Bingung menjawab apa.
“Ah tidak.”
“Lalu?” Tanyanya.
Aku terdiam lama.
“Aku yang masih ragu dengan perasaanku sepertinya…”
Ia tidak menjawab. Apakah ia marah?
“Karena itu aku masih butuh sedikit waktu.” Lanjutku.
“Ya tentu saja, pikirkanlah lagi baik-baik! Aku akan menunggumu.” Ia menjawab dengan nada kecewa.
Terdengar suaranya melangkah dan pergi menjauh. Sepertinya ia benar-benar marah kali ini.