Boat putih bergaris biru itu merapat disebuah pulau kecil, para pria bergegas menurunkan barang bawaan kami. Walaupun hanya menghabiskan jarak tempuh satu setengah jam dari kota Jakarta, pulau ini seakan berada di sudut lain dari negara ini. Terpencil, bak surga tersembunyi.
Kami diantarkan oleh seorang pria berumur empat puluhan yang ikut menjemput kami di dermaga. Beliau menjelaskan sinyal handphone dapat dijangkau dan listrik pun tersedia. Hanya televisi yang tidak ada disini, jika butuh bantuan ia berada di pulau yang lebih besar sekitar 10 menit dari pulau ini. Saat kami sampai di main cottage sepasang suami istri menyambut kedatangan kami dengan welcome drink dan kalung untaian bunga.
“Wow… feel in like Hawaii!” Celoteh Salman.
Mereka mengantar kami berkeliling melihat-lihat tiga cottage yang tersebar di dalam pulau. Pulau ini rasanya hampir seluas kampus utamaku, hanya lebatnya pepohonan yang menjadikan sekat antara empat bangunan-bangunan itu. Kami sedikit terkejut setelah diberitahu bebas memilih kamar karena satu pulau ini telah disewa oleh Jessica. Serentak kami melirik padanya yang hanya melipat lengan dan memperhatikan ujung kukunya dengan sedikit senyum kebanggaan.
Cottage pertama berbentuk rumah Joglo, sekilas tampilannya hampir mirip dengan rumah keluarga Banyu. Terdiri dari ruang tamu, ruang makan dan dua kamar tidur besar. Kami memutuskan untuk menaruh barang di tempat ini, beristirahat sebentar baru kemudian berkeliling. Sepasang suami istri itu mengiyakan dan bergurau bahwa kami tidak akan tersesat di pulau ini walaupun tanpa panduan mereka. Kami tertawa bersama mendengarnya.
Banyu terlihat mengagumi detail ukiran di setiap pilar dan daun pintunya. Ini jelas terlihat sesuai dengan seleranya. Ia menggumamkan jenis kayu yang dipakai, tekhnik ukiran dan menerka-nerka berapa usia kayu itu. Salman hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah sahabat sekaligus Boss-nya itu.
Aku memutuskan untuk mandi lebih dahulu, mengingat pagi ini aku dibawa secara paksa. Aku melewati sebuah kamar tidur besar yang dindingnya berupa ukiran kayu yang ternyata bisa dibuka. Dan saat masuk ke kamar mandi batu-batu alam mendominasi, dan konsep menyatu dengan alam juga dipakai dalam kamar mandi ini. Mengejutkan, kamar mandinya hampir tanpa atap dan dindingnya pun hanya beberapa inchi lebih rendah dari tinggi badanku.
Aku kembali ke ruang tamu dan membisikkan hal itu pada Jessica, iya tertawa geli mendengarnya. Aku merajuk dan memintanya berjanji untuk menahan kedua lelaki itu tetap berada di dalam ruangan. Khawatir tiba-tiba mereka berada di belakang kamar mandi, Jessica mengangguk dengan mantap. Sekalipun bath ub berwarna abu-abu kelam itu menggoda untuk dipakai berendam, namun aku memilih untuk mandi dengan pancuran dengan secepat kilat.
Bahkan saat berganti pakaian pun, privasi ku sulit untuk dilindungi. Karena aku bisa melihat bayangan entah Salman atau Banyu yang sedang berjalan melintasi ruangan sebelah. Ya Tuhan, kenapa semua sekat itu harus diukir secara menembus? Menyisakan celah-celah kecil yang mencederai privasiku. Akhirnya aku kembali kekamar mandi dan berganti baju disana, ya walaupun atapnya terbuka setidaknya dindingnya tertutup.
Jessica masuk dan menyodorkan dua kantung kertas besar, ia memasang senyum genitnya.
“Aku lupa memberikan ini padamu.” Ucapnya.
“Apa ini?” Tanyaku sambil menggosok-gosokan rambut basahku pada handuk putih.
“Sebenarnya aku ingin melakukan ini bersamamu dari dulu.” Senyumnya makin membuatku takut.
Gaun-gaun cantik dengan warna-warna cerah dan bikini warna-warni. Aku tersenyum melihatnya, apa yang sebenarnya dia ingini?
“Lihat ini semua satu warna, aku tahu kamu tidak akan mau memakai yang terlalu terbuka jadi aku memutuskan hanya memadukan warna yang sama saja. Selama tiga hari ini kita akan kompakan memakai baju dengan warna yang sama. Bukankah itu lucu?” Jelasnya dengan gemas.
Aku tak kuasa menolak permintaannya.
“Jadi sekarang kita pakai yang mana?” Aku mencoba bersikap penuh semangat.
Ia langsung melonjak-lonjak kegirangan dan mencubit pipiku gemas. Ia menyodorkan gaun dari bahan chiffon yang ringan berwarna biru muda. Aku langsung memakainya, kemudian ia menawarkan diri untuk membantuku mengeringkan rambut dengan hair dryer yang dibawanya. Di tengah proses ia tiba-tiba berhenti, kemudian berlari keluar ruangan.
“Mon … mon…” Teriaknya.
Ia langsung menyeret Salman ke kamar dan mengalungkan kamera padanya.
“Take our picture!” perintahnya.
“Foto gimana?” Salman kebingungan.
“Ini! Kebersamaan ini!” Tegasnya.
“Kebersamaan ngeringin rambut?” Tanyanya.
“OMG… Just take our picture!” Bentaknya.
Salman langsung menurutinya, dan berlagak layaknya fotografer professional mengarahkan kami melakukan banyak gaya yang membuat kami tertawa terpingkal-pingkal.
***
Matahari sudah hampir berada tepat diatas kepala kami, saat kami memasuki cottage utama untuk menyantap makan siang. Sepasang suami istri itu menjelaskan hidangan yang dimasak ini berasal dari tangkapan nelayan sekitar. Makanan-makanan laut segar disajikan dengan bumbu-bumbu khas Indonesia yang memanjakan lidah. Jessica dan Salman banyak menyuapi dan menaruh makanan di piringku, memaksa aku mencoba semua makanan yang dianggapnya lezat.
“Berhenti memperlakukannya seperti binatang peliharaan yang perlu diberi makan!” Ketus Banyu.
“Apa sih lo?” Bentak Jessica.
“Neng, yang ini juga enak nih!” Ucap Salman sambil menaruh sepotong ikan berkuah kuning dipiringku.
“Man!” Banyu memandang tajam pada temannya itu.
“Ya, Des? Mau gue pilihin makanan juga?” Ledeknya.
“Enggak perlu!” Jawabnya.
Jessica menggeser kamera tepat ke hadapan Salman, seakan memberikan isyarat Salman untuk bertugas lagi. Dengan lebih santai Salman mengambil gambar-gambar kami secara candid. Setelah selesai makan kami kembali ke Cottage berencana menggelar notebook kami dan memutuskan untuk berkeliling pulau saat matahari sudah tergelincir.
Kami mengambil posisi masing-masing menyelesaikan tugas-tugas yang memang tak bisa ditinggalkan. Berkomitmen menyelesaikan semuanya hari ini agar esok lebih santai.
Tiba-tiba aku merasa sedikit mual, mungkin karena terlalu banyak makan atau karena pagi ini aku sama sekali tidak sarapan. Lama kelamaan rasa mual itu naik ke tenggorokan, membuat aku langsung berlari ke kamar mandi. Sebelum sempat menggelegak memuntahkan semua isi perutku. Jessica berteriak-teriak di luar kamar mandi, Banyu dan Salman datang menghampiri. Dua tangan kekar, menepuk-nepuk punggungku dan memijat lembut leherku. Setumpuk tisu diberikan, dan aku menarik nafas lega.
“Sorry, Puppy aku enggak bisa bantuin kalau yang itu!” Ucapnya sambil membelai rambutku dan memintaku untuk berbaring.
“Kamu pucat. Apa perlu obat? Apa perlu ke dokter?” Tanya Banyu khawatir.
Aku hanya menggelengkan kepala.
Salman membawakan secangkir teh manis hangat.
“Minumlah ini! Ini akan membuat perutmu hangat.” Ucapnya.
Banyu mencoba membelai rambutku namun aku menghindari sentuhannya.
Jessica meminta kedua pria itu untuk mengikutinya keluar dan membiarkan aku untuk beristirahat sejenak. Aku memejamkan mata berharap meredakan ketidak nyamanan tubuh ini.