Aku berdiri di pojok ruangan yang penuh dengan orang-orang. Pandanganku tak luput dari sepasang manusia yang berdiri di atas panggung berhiaskan berbagai macam bunga dengan berbagai macam kain yang menjulur indah di belakangnya. Sepasang manusia yang mengenakain gaun pengantin tersenyum cerah sejak tadi menyapa tamu yang terus berdatangan memberikan selamat. Aku yakin mereka adalah orang paling bahagia saat ini.
Aku ikut tersenyum. Mereka adalah sahabatku. Riska dan Andi. Dua orang yang sangat berarti dalam hidupku, namun dalam makna yang berbeda. Andi adalah teman masa kecilku yang sangat kusayangi juga Riska, teman dekatku sejak aku duduk dibangku SMP hingga saat ini aku telah menyelesaikan kuliah S1-ku.
“Anggi!” seseorang menanggil namaku.
Aku menoleh. Seorang perempuan bergaun merah melambaikan tangan ke arahku. Aku balas melambaikan tangan kepadanya. Ria, temanku yang lain.
“Kamu datang?” tanyanya takjub.
“Iya dong! Masa nikahan sahabat sendiri enggak datang,” jawabku setengah bercanda.
“Oh iya bener juga ya, heheh. Kalau gitu, kamu berarti udah enggak suka sama Andi lagi?” tanyanya.
Aku langsung terdiam. Iya. Aku memang masih menyukainya. Dia adalah laki-laki pertama yang membuat hidupku bewarna, mengingat bahwa aku terlahir tanpa sempat melihat wajah ayahku untuk pertama kalinya. Dia laki-laki yang selalu menjagaku, karena aku hanya anak tunggal yang ceroboh. Dan dia adalah laki-laki pertama yang mengajarkan aku tentang cinta.
Aku dulu terlalu yakin bahwa suatu saat aku yang akan berdiri dipanggung itu bersamanya. Aku terlalu percaya diri bahwa hanya akulah yang suatu saat menjadi satu-satunya gadis yang membuatnya terpikat. Namun dugaan itu salah besar. Sampai aku menemukannya dengan saabatku, Riska.
Sekitar lima tahun yang lalu, di hari pertama kuliah, aku mengenalkannya pada Riska. Aku pikir akan menjadi menyenangkan bila kami bertiga bisa menjadi teman dekat di kampus. Setidaknya itu adalah pikiranku selama satu tahun kemudian sampai Andi bercerita bahwa dia mulai mempunya perasaan lebih kepada Riska. Tentu saja aku kaget mendengar itu. Aku menyukainya sejak lama. Dan aku pikir ketika setiap hari kita bertemu, dia akan jatuh cinta padaku juga. Karena begitulah yang terjadi padaku. Setiap hari aku bertemu dengannya, rasa sukaku padanya semakin besar. Namun kenyataannya tidak. Semakin hari, aku mulai menyadari perasaan Andi kepada Riska semakin besar. Begitu juga akhirnya aku sadar bahwa Riska menanggapi perasaan Andi. Itu adalah masa-masa yang berat bagiku. Setiap kali kami bertiga berkumpul, selalu Riska yang Andi perhatikan. Tidak ada hal lagi yang bisa kubiarakan dengan Andi karena lelaki itu terlihat lebih asyik membahas banyak hal bersama Riska. Dan aku hanya bisa bersabar sambil tersenyum melihat mereka.
Aku punya masih kesempatan, bukan? Selama mereka belum punya ikatan yang sah, aku masih punya kesempatan untuk membuat cintaku yang searah ini terbalaskan. Namun aku tahu, bahwa dimata Andi, diriku tidak akan pernah lebih dari seorang ‘adik’. Aku tidak akan bisa menjadi sespesial Riska di matanya. Tidak akan.
“Anggi?” Ria memanggil namaku.
Aku tersadar dari lamnunanku. Ria mengangkat alis. “Kamu masih menyukainya, ya?”
Aku tersenyum. Kemudian menggeleng. “Jangan bercanda, Ria. Aku tidak mungkin menyukai seseorang yang menjadi suami sahabat terbaikku sekarang,” kataku sambil tertawa kecil.
Ria ikut tersenyum. “Syukurlah kalau begitu. Yaudah, aku ke sana dulu ya,” kata Ria pamit untuk pergi.
Aku mengangguk.
Sudah banyak kebohongan yang aku buat tentang perasaanku. Sama seperti ucapanku di bawah semburat langit senja ketika Andi mengajakku bertemu berdua saja, tanpa Riska. Sejujurnya saat itu aku sedikit berharap. Karena mungkin Andi mulai menyadari perasaannya padaku. Namun apa yang dia katakan?
“Aku akan menikahi Riska, Anggi. Aku sudah mendapar restu dari ibu, dan aku juga ingin tahu darimu,”
Bagaikan tersambar petir, aku tidak bisa berkata apa-apa saat itu. Sungguh, itu adalah hal yang paling membuatku sakit hati selama aku merasakan jatuh cinta. Lebih menyakitkan daripada melihat mereka dulu saling berbicara dengan mengabaikanku. Aku tidak akan lupa hari itu. Bahkan sampai sekarang, suara beratnya, nada bicaranya, masih terngiang jelas di telingaku. Ya, aku sudah membuat banyak kebohongan tentang perasaanku sebelumnya, jadi untuk saat itu aku mengatakan bahwa aku merestui dan mendukung. Aku tidak bisa melakukan apa pun. Riska juga sangat menyukai Andi. Dia adalah sahabatku yang paling baik, dia orang yang selalu membantuku, dan dia pasti akan bahagia bersama Andi.
Aku menghela napas panjang. Sekali lagi, kutatap wajah kedua sahabatku saat ini. Gurat kebahagiaan terus terpancar di wajah mereka, tak pernah pudar. Dari pojok ruangan ini, aku juga akan tersenyum melihat dua orang yang membuat hidupku berarti bahagia.
Aku menundukkan pandangan, menatap amplop putih yang sejak malam aku persiapkan. Entah mengapa, dadaku kembali sesak. Pandanganku buyar. Aku memejamkan mata. Tes! Setetes air mata memukul lembut pipiku. Aku menghembuskan napas. Aku tidak ingin menangis karena cinta. Cinta begitu indah jika aku ingin melihat sisi baiknnya. Dia mengajarkan aku pentingnya seseorang, meski pada akhirnya aku juga merasakan pedihnya kehilangan. Cinta membuat masa-masa remajaku begitu bewarna.
Aku kembali mengangkat wajah, menghapus air mataku. Pandanganku beralih kepada seorang anak kecil yang berlari didepanku.
“Kintan!” Aku berseru memanggilnya. Anak kecil itu menoleh. Kintan, adik sepupu Andi yang cukup dekat denganku.
“Kak Anggi!” serunya sambil berlari ke arahku.
Dia memelukku. Aku tersenyum. Aku mengelus kepalanya lembut. Aku pasti akan sangat merindukannya. Sama seperti aku merindukan memori-memori masa kecilku dulu bersama Andi. Kintan memandangku heran.
“Kak Anggi mau ke mana? Kok bawa koper?” tanya Kintan sambil menunjuk koper hitam di samping tempatku berdiri.
Aku tersenyum. “Kakak mau pergi.”
“Pergi ke mana? Kakak enggak main-main sama Kintan sama Kak Andi kayak dulu lagi?” kata Kintan sedih.
Aku bertekuk lutut dan menyentuh kedua pipi Kintan. “Kintan masih bisa main-main sama Kak Andi, lagian juga ada Kak Riska. Kak Anggi harus pergi buat mengejar mimpi Kak Anggi. Nanti kalau Kintan udah besar, Kintan harus bisa kayak Kak Anggi ya,” pesanku padanya.
Kintan hanya cemberut. Aku juga tidak ingin meninggalkannya, meninggalkan semua kenangan di kota ini. Meninggalkan Andi, juga Riska. Tapi aku manusia normal. Sekalipun aku berusaha untuk sabar, ada titik di mana hatiku masih terasa sakit. Berada di samping mereka berdua membuatku tersiksa. Karena itu aku memutuskan untuk pergi, mengejar mimpiku di negara yang lain.
Aku menyerahkan amplop putih pada Kintan. “Tolong sampaikan ini pada Kak Andi ya.”
Kintan menerima surat itu dan mengangguk. Sekali lagi dia memelukku. Setelah itu aku melihatnya berlari, menaiki tangga, menuju tempat Andi dan Riska yang kini tengah duduk menunggu tamu lain yang datang. Kintan menyerahkan surat itu pada Andi. Andi menerimanya dengan wajah berkerut. Kulihat laki-laki itu langsung membukanya.
Dear Groom,
Andi, terimakasih telah menjadi seseorang yang sangat berharga dalam hidupku. Aku senang akhirnya kamu bisa membangun rumah tangga dengan seseorang yang selalu kamu cintai, Riska, sahabatku juga. Aku akan doakan hidup kalian selalu bahagia sekarang maupun diakhirat nanti.
Ndi, mungkin ini terdengar jahat jika aku mengatakan sekarang. Tapi setiap hari aku memikirkan ini dan aku enggak bisa lega jika aku enggak mengucapkannya. Bahwa, selama ini aku menyukaimu. Aku enggak melihat kamu sebagai seorang abang. Seperti kamu menganggap aku sebagai seorang adik. Aku melihatmu sebagai seseorang yang aku cintai. Tapi aku tahu, kamu enggak pernah melihatku seperti itu. Sampaikan maafku pada Riska juga jika dia membaca bagian ini, aku hanya ingin menyampaikan saja tidak berharap apa pun.
Aku tidak akan memaksakan cinta, karena cinta akan tumbuh dengan sendirinya. Aku yakin Tuhan memang telah mentakdirkan pertemuanmu dengan Riska melalui aku, karena itu aku sama sekali tidak menyesal melihat kalian bahagia sekarang. Aku sadar ada banyak hal yang tidak bisa kita miliki di dunia ini, namun hanya sebagai pelajaran.
Andi, kamu menikahi sahabatku yang berharga. Jangan membuat dia menangis dan hibur dia ketika dia sedih. Dia selalu melakukan itu padaku. Semarah apa pun padanya nanti, jangan pernah menyakitinya. Dia adalah perempuan berhati berelembut yang penuh kasih sayang.
Terkahir, aku pamit padamu juga Riska. Aku akan pergi ke Inggris, kuliah di sana. Jikalau setelah ini kamu mencariku, mungkin aku tidak ada lagi. Karena hari ini juga, aku akan pergi. Terimakasih telah membantuku tumbuh menjadi perempuan seperti ini
Salam,
Anggi
Aku masih berdiri di sana sampai akhirnya Andi mengangkat kepala. Wajahnya yang begitu khawatir menoleh ke kanan dan kiri, seperti mencari seseorang. Lembaran kertas yang tadi digenggamnya erat telah beralih ke tangan Riska.
Sekali lagi aku menghela napas. Aku menarik gagang koperku, kemudian menggeretnya. Aku berjalan, melewati kerumunan orang-orang yang saling berbincang tentang mewahnya resepsi ini. Aku berhenti beberapa langkah sebelum keluar di pintu utama.
Aku menoleh. Mataku langsung bersitatap dengan mata Andi. Dadaku terasa sesak kembali. Aku tersenyum kecil. Dia ikut tersenyum, memberiku semangat. Aku melambaikan tangan. Kadang aku berpikir ingin seperti dulu. Saat kecil, melambaikan tangan adalah hal yang aku sukai. Sambil tertawa aku melambaikan tangan pada pesawat yang lewat. Tapi sekarang, bukan seperti ini yang aku sukai. Melambaikan tangan dengan senyuman terpaksa padanya bersama orang lain.
Namun aku tidak punya pilihan. Hari ini adalah hari terkahir aku melihatnya. Sampai nanti aku menemukan cintaku yang baru, aku harap aku tidak melihat wajahnya. Sampai nanti aku bertemu dengan seseorang yang baru, aku berharap aku tidak akan melihatnya.