"Adikmu aneh," ucap ayah mereka saat mereka bertiga duduk di atas tikar mengelilingi makanan. "Pagi-pagi histeris, sampai warga bertanya-tanya, pakaiannya juga aneh." Tatapan ayahnya meneliti Shinta dari atas ke bawah. "Dia juga tidak mandi, dia nangis, dia diam, sekarang dia tak mau makan." Ayahnya mendesah sebelum memasukkan makanan ke mulutnya. Bahkan saat mengunyah makanan pun, tatapannya tak pernah beralih dari Shinta.
"Dia memanggilku Rangga, dia bertanya tentang GUA, dia tidak ganti baju," dengus Rangga mengamati adiknya yang duduk diam di sampingnya.
"Dia juga terus menanyakan ada di mana," lanjut ayahnya.
Shinta tak tahan dengan semua ini. Sudah hampir setengah hari ia ada di desa aneh ini. Dan sekarang mereka berdua yang mengaku sebagai ayah dan kakaknya tengah sibuk terang-terangan membicarakannya.
"TIDAK ADA BAJU GANTI! DAN AKU MEMANG BUKAN ANAKMU!" semburnya tak terima mereka terus mengamatinya.
Rangga beranjak meninggalkan mereka berdua, masuk ke dalam bilik, lalu keluar dengan setumpuk kain di tangannya.
"Ini. Semua ini adalah bajumu," ucapnya sambil menumpuk kain itu di pangkuan Shinta.
Shinta membelalak. Tangannya memilah kain demi kain di pangkuannya, mencari kain mana yang Rangga sebut sebagai baju.
"Tidak ada baju! Ini cuma kain!" Shinta berusaha sekuat tenaga menahan amarahnya, tapi tetap gagal.
"Apa kau lupa bagaimana berpakaian?" tanya Rangga sambil tersenyum penuh arti. "Sepertinya benar, aku harus membawamu ke Mbah Suji," lanjutnya.
Ayahnya hanya mengangguk-angguk setuju sambil memperhatikan kedua anaknya. Dia tetap melanjutkan acara makannya tanpa terusik oleh keanehan Shinta.
***
BRUSSS.
Shinta membelalak. Dia gelagapan mengambil napas sambil menahan mual yang kini melanda perutnya. Tangannya meraih kain sarung Rangga untuk mengusap wajahnya yang kini basah kuyup karena disembur dengan air bau dari mulut orang gila di depannya.
Mbah Suji masih sibuk komat-kamit membacakan mantra sambil memukul-mukul pundak dan kepala Shinta menggunakan ranting penuh daun yang telah dicelup dengan air aneh hingga beberapa bagian pakaian dan tubuh Shinta juga basah kerananya.
"Kak... pulang yuk..." Shinta menarik lengan baju Rangga, dengan muka memelas. "Aku tidak kesurupan... sumpah kak... iya kak, aku adikmu, anak ayah... kak, bawa aku pulang..." Mata shinta berkaca-kaca meminta simpati kakaknya. Dia bahkan rela mengakui Rangga dan orang asing itu sebagai kakak dan ayahnya hanya demi bisa menjauhi tempat itu.
"Mbah Suji, Shinta makin aneh. Tolong obati dia," ucap Rangga.
Dan... BRUSSS!!!
Mbah Suji kembali menyemburkan air bau itu ke mukannya. Shinta tak sanggup lagi menahan mual. Dia langsung memuntahkan isi perutnya ke samping.
"Pergilah kau arwah penasaran!!! Kartikaswari! Jangan ganggu Shinta!!! Pergi!!! Keluarkan semuanya!!!"
Ingin rasanya Shinta menjelaskan bahwa ia muntah bukan karena kesurupan, tapi mual karena tak tahan dengan air bau yang disemburkan mulut dukun gila itu. Tapi mana mungkin kakaknya akan mempercayainya?
"Arya, adikmu harus memakan buah aneh berwarna merah darah. Arwah Kartikaswari yang meninggal dalam keadaan mengidam empat puluh hari yang lalu merasukinya." Mbah Suji mengambil kemenyan, menaburkannya ke atas bara di pembakaran kecil, lalu memutarkan asapnya ke depan muka Shinta hingga Shinta terbatuk-batuk hebat.
Cukup! Shinta akan patuh! Dia akan memakai baju kemben itu, dia akan mandi, dia akan melakukan apapun demi bisa meninggalkan tempat terkutuk itu!
"Kaak... aku sudah sembuh. Kak... sudah... bawa aku pulang..." rengek Shinta.
Rangga melihat Mbah Suji, menunggu penjelasan darinya.
"Ya, arwah itu sudah keluar, jaga adikmu baik-baik. Bawa lagi ke sini jika dia aneh lagi," ucap Mbah Suji sambil meniupkan asap berbau kemenyan itu ke sudut-sudut ruangan.
Shinta menggeleng-geleng. Dia akan patuh! Dia tak mau lagi dibawa ke tempat ini. Dia tidak mau!
Rangga mengangguk. "Terima kasih Mbah. Ini buat mbah." Dia menyerahkan bungkusan kain berisi beras ke dukun itu, lalu menarik lengan Shinta yang dengan patuh mengikutinya.
"Mandilah, kakak tunggu kamu di sini." Rangga menunjuk sebuah bilik kecil tertutup kain di pekarangan rumah mereka. Dia sana, Shinta menemukan wadah tembikar besar berisi penuh air.
Shinta ragu-ragu, tapi akhirnya dia patuh mengguyur badannya tanpa melepas pakaiannya dengan air itu. Dia takut kakaknya akan membawanya kembali ke dukun gila itu jika dia tak menuruti perintahnya.
Shinta bergerak-gerak tak nyaman dengan kedua tangan berusaha menutupi bagian pundaknya yang terbuka. Dia mengenakan dua kain kemben sekaligus dan mengikatnya di tubuhnya. Sungguh tidak nyaman.
"Kak, boleh pinjem baju kakak?" tanya Shinta dengan mata berkaca-kaca. Kakaknya hanya menggeleng sambil tersenyum.
"Bagaimana perkembangan Hutan Carik? Apa Raden Wijaya sudah menetapkan nama untuk desa ini?" tanya ayahnya, mengalihkan topik.
Shinta membelalakkan kedua matanya, nama Raden Wiaya, sepertinya dia pernah mendengar atau melihat nama itu di suatu tempat!
"Sekitar seminggu lagi, kita pasti bisa memperluas pemukiman desa ini, Ayah." Rangga mengalihkan perhatian sepenuhnya pada ayahnya. "Raden Wijaya belum menemukan nama yang tepat untuk desa kecil ini, Yah. Dia ingin nama yang berkesan."
“Bentar! Kak, Pak! Eh, Ayah. Siapa Raden Wijaya?” potong Shinta sambil memajukan badannya hingga dia duduk di tengah-tengah di antara kedua pria yang tengah bercakap-cakap itu.
Ayahnya menghela napas. "Raden Wijaya adalah anak seorang pangeran kerajaan Singasari, tapi nasib membuatnya menjalani hidup berat seperti ini. Dia adalah pemuda yang tangguh dan tabah."
Rangga mengangguk-angguk menyetujui setiap ucapan ayahnya.
Shinta tertegun di tempatnya. RADEN WIJAYA! Jangan bilang... Raden Wijaya pendiri kerajaan Majapahit? Ada di mana aku sekarang? Bentar, aku nggak lagi jadi artis di TV-TV kan? batinnya panik. Shinta kembali mengamati kedua pria itu bergantian.
“Kak, sekarang tahun berapa?” tanyanya hanya iseng memastikan.
“1292 Masehi,” jawab Rangga santai.
Shinta melihat sekeliling ruangan. Jadul. Shinta mengamati pakaian yang dikenakannya, juga jadul. Shinta bahkan mengamati muka ayahnya, jadul.
"Shin... hidupkan lampu!" perintah ayahnya sambil mengamati gelagat aneh putrinya yang kembali bertingkah seperti orang kebingungan tersesat di suatu tempat. Tangan ayahnya menunjuk ke arah pojokan dinding kayu rumah itu saat hari mulai gelap.
Shinta beranjak dari tempat duduknya. Dia meneliti dinding kayu itu lama. Mencari-cari letak saklar. Dia hanya berdiri di sana hingga tak sadar Rangga mendekatinya dan menyentil keningnya.
"Ayah tadi nyuruh kamu hidupkan lampu. Malah melamun," ucapnya sambil menyunggingkan senyum sinis.
"Iya. Ini lagi nyari saklar," jawab Shinta menajamkan penglihatannya ke dinding.
Rangga mengambil botol lampu ceplik, mengasah batu, lalu membakarnya. "Saklar itu apa? Kamu aneh lagi?"
Shinta berjengit mendengar kata aneh yang diucapkan kakaknya. Kata itu membawanya berakhir disembur sang dukun gila. Dia menggeleng-geleng kuat sambil tertawa sumbang. "Saklar itu... nama makanan kak... rasanya enak, manis, ada gula-gula di dalamnya," ucap Shinta terburu-buru.
Serius nggak ada lampu??? LISTRIK??? Thomas Alva Edison udah hidup belum ya??? Terus ngecharge hp aku gimana dong??? Batin Shinta. Dia menatap nanar kilau api dari lampu ceplik yang dipasang kakaknya ke dinding. Matanya berkaca-kaca. Dia sungguh merindukan ponselnya... Dia tak mampu memikirkan bagaimana dia bisa bertahan melewati hari esok tanpa benda itu.
"Oh... jadi kamu sekarang sudah lapar? Seharian kamu tidak makan apapun, Shin..." Rangga menghela napas lega. Dia memang mengkhawatirkan adiknya yang seharian ini bertingkah aneh.
"Ya! Ya kak. Aku lapar!" jawab Shinta sambil mengangguk. Apapun akan dilakukannya demi dianggap normal oleh kakak dan ayahnya.
________________________________
Semangat Shinta!!! Bertahanlah!!!
Kocak
Comment on chapter 2. Sejarah yang membosankan