Nilai Kimia
"Lo kok diem. Kenapa?"
Ella menghampiri meja Shinta, teman karibnya sejak kecil namun sekarang mereka dipisahkan oleh tembok kelas. Ella dan Shinta yang biasanya satu kelas sejak SD hingga tahun lalu, tahun ini ditempatkan di kelas yang berbeda, Ella di kelas XI A3 dan Shinta di XI A2. Masih bersebelahan, tapi rasanya tetap terpisah.
"Gue sedih La," jawab Shinta, murung.
"Kenapa, mama sama papa lo ke luar negri lagi?" tanya Ella berusaha bersimpati.
"Nggak. Nilai kimia gue, La..."
Ella mendengus. Dia benci sahabatnya ini jika sudah mulai membicarakan pelajaran. Bagaimana tidak? Shinta adalah juara umum kelas XI, sedangkan Ella, jangan ditanya. Karena peringkatnya tak layak disebutkan.
"Nilai kimia gue cuma 95," lanjut Shinta sambil menunduk melihat coretan indah merah di atas kertas A4 bertuliskan unsur-unsur, senyawa dan komplotannya.
Tuh kaaaaan... 95 CUMA? batin Ella. Dia ingin menangis meratapi dirinya yang hanya memiliki otak beku yang tak bisa diajak berfikir. Jika sahabatnya yang memiliki otak cair seperti itu saja masih mengeluh, lalu dia harus bagaimana? Bunuh diri? Ogah. Dirinya terlalu berharga untuk dibunuh hanya gara-gara nilai kimia. Dan Ella adalah anak yang tangguh, tak mungkin menangis hanya karena nilai jelek. Baginya, kesedihan baru benar-benar akan menghampirinya ketika stok makanan di dunia ini habis.
"Shin, bersyukurlah! Kalau gue nih, yang dapet nilai 95, gue bakalan sujud syukur sampe jidat gue item kayak Ustad Hilmi!" ucap Ella sambil menunjuk-nunjuk kertas yang dipegang Shinta.
"Lo nggak tau sih. Gue tuh cuma salah di sini doang," Shinta menunjuk tulisan kecil berupa angka 10 pangkat negatif 6. "Harusnya pangkat min 7," lanjutnya sedih.
Ella menggertakkan giginya geram. "Shin! Gue laper. Mending kita ke kantin. Meratapi nilai kimia lo nggak bakalan bikin kita kenyang!" Ella menyeret lengan sahabatnya itu, membawanya ke luar kelas melewati beberapa siswa di koridor menuju kantin.
"SELAMAAT ULANG TAHUUN KAMI UCAPKAN!!! SELAMAT..."
Segerombolan anak berseragam putih abu-abu tengah menyanyikan lagu ulang tahun mengelilingi seorang perempuan cantik berambut panjang yang berdiri di depan meja bundar dengan kue tart besar disertai lilin-lilin kecil diatasnya. Sungguh pemandangan yang menakjubkan.
"Yeeeei selamat ya Vita... makin cantik deh."
"Makasih."
"Makin langgeng ya sama Rangga."
"Makasih."
"Bahagia selalu ya Vita..."
"Makasih."
"Rangga mana, Vit?"
"... Hmm nggak tau, paling lagi main basket atau lagi ngerjain tugas."
"Yeee... gimana sih tu anak? Pacar ulang tahun, ngucapin selamat kek."
"Hmm... mungkin dia lagi nyiapin kejutan buat gue," jawab Vita dengan senyum malu-malu sambil memotong kue dan membagikannya ke teman-teman. "Eh, Shin! La! Sini-sini... makan kue bareng!" teriaknya sambil melambai-lambaikan tangan meminta mereka berdua mendekat.
"Eh, mereka siapa La? Kamu kenal?" tanya Shinta sambil berbisik. Tapi karena jarak mereka terlalu dekat, jadi banyak anak yang mendengar bisikannya.
"Ish. Dia Vita and the geng! Sekelas sama lo!" bisik Ella pelan sambil mencubit lengan sahabat tak tahu malunya itu.
"Iya? Sekelas sama gue? Beneran? Duh! Gue belum apal nama-nama sama muka mereka," bisiknya lagi.
"Lah, udah mau satu semester, Shin!"
Senyum ceria anak-anak di kerumunan itu telah lama menghilang. Mereka benar-benar kesal sekelas dengan orang pintar tapi sombong seperti Shinta. Mereka sudah benci Shinta tak pernah mau membagi contekan pada mereka, dan kebencian mereka makin tumbuh dan berkembang tak terkendali saat mengetahui Shinta bahkan tak mengingat mereka sebagai teman sekelasnya. Tak sedikit tatapan membunuh menusuk mata Shinta, tapi Shinta dengan cuek mengabaikannya.
"Eh, kita sekelas ya, maaf ya gue emang pelupa," ucapnya tanpa memperlihatkan rasa bersalah sedikitpun.
Vita juga merasa sangat kesal karena sebagai perempuan paling cantik di sekolah yang selalu menjadi pusat perhatian di sudut manapun, tiba-tiba mengetahui ada satu teman sekelasnya yang tidak menyadari keberadaannya. Harga dirinya terluka. Hingga ia ingin melemparkan kue penuh lemak yang terpotong setengah di hadapannya itu ke muka anak sombong tak tahu malu itu. Tapi sayang, meski berlemak, kue itu sangat mahal. Jadi lebih baik ia memakannya saja.
"Lah, Vita? Lo ultah? Kok nggak bilang-bilang?" Rangga dan kedua temannya datang dari arah belakang Shinta. Pacar macam apa yang menanyakan pertanyaan bodoh semacam itu? Harusnya, dari sekian banyak penghuni sekolahan, pacar adalah orang pertama yang tahu tentang ulang tahun pasangannya bukan?
"Waaaah... kuenya kelihatan enak!" sahut teman yang berdiri di belakangnya.
"Lo beneran lupa, Ga? Gue aja tau gara-gara lihat status di IG dia hahaha!" celetuk temannya yang lain kini menertawakannya makin kencang saat Rangga mengangguk dengan muka polos membenarkan pertanyaannya.
Rasanya Vita ingin menghilang seketika. Dia sungguh malu. Malu pacarnya sendiri melupakan hari ulang tahunnya. Hari ulang tahun anak paling cantik di sekolah ini!!! Dan dia sudah mengumumkannya dari seminggu yang lalu di semua medsosnya!!! Teganya Rangga!!!
"Eh, gue mau makan nasi aja," ucap Shinta sambil menarik tangan Ella menuju kantin. Dia hanya ingin menghindari kerumunan dan tak mau melihat drama kehidupan nyata yang sebentar lagi akan terjadi.
PLOK!!! PLUK.
Suara benturan sesuatu yang lunak, seolah menghentikan waktu. Mereka semua terdiam.
Rangga mengusap wajahnya yang kini berlumuran krim kue.
Shinta dan Ella menghentikan langkah mereka, mereka benar-benar melongo dengan mulut terbuka lebar menyaksikan pemandangan langka di depan mereka. Akhirnya Vita benar-benar melemparkan kue tart yang tinggal setengah itu, bukan ke muka Shinta tapi ke muka Rangga, pacarnya.
Vita benar-benar tak tahan dan merasa dipermalukan. Dia menutup mukanya dengan satu tangan, lalu berlari menuju kelas, meninggalkan kerumunan anak yang terbengong menatap kue-Rangga-Vita bergantian. Kerumunan itu bingung, apakah mereka boleh memakan kue yang telah mereka terima sebelumnya atau tidak? Tapi mereka ingin memakannya. Tapi jika melihat si pemberi yang tengah bersedih mereka juga harusnya ikut bersedih bukan? Bagaimana menurut kalian?
Akhirnya, mereka lebih memilih memakan kue yang mereka dapat daripada mubazir, meski pemiliknya kini tengah menangis tersedu-sedu di atas bangku di dalam kelasnya.
"Mereka pacaran?" tanya Shinta polos.
Ella mengangguk.
"Emangnya pacar harus inget hari ultah pacarnya?" tanya Shinta lagi.
Ella kembali mengangguk.
"Berarti gue nggak boleh pacaran. Gue pikun. Ntar gue sering kena lempar kue kayak dia." Shinta menunjuk Rangga yang kini mendapat banyak tissue dari beberapa fans perempuannya.
Rangga tertegun mendengar ucapan polos Shinta, tapi dia mengabaikannya. Mukanya yang tampan harus segera dibersihkan kalau dia tak mau jerawatan.
Rangga masih membersihkan mukanya dari krim lengket kue tart itu sambil memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya. Dia tak menyangka Vita akan semarah itu mengetahui dia tak mengingat hari ulang tahunnya. Dia tipe orang yang tidak terlalu suka terbebani dengan apapun. Haruskah ia memutuskan Vita? Perempuan paling cantik di sekolah?
______________________________________________________________________________________________________
Hewan favoritku.
Happy Reading ...
Kocak
Comment on chapter 2. Sejarah yang membosankan