:
“Keluarin di mulut aja...” Kata suara perempuan dari video ekstensi .3GP yang dipelototin Uzie sejak tujuh menit yang lalu. Itu masih setengah, total durasinya 15 menit sampai habis. Resolusinya standard rekaman kamera ponsel tiga jutaan, tapi situasi pengadeganan didalamnya lumayan jelas. Apalagi kalau brightness layarnya dinaikkan 10%, nampak bercak jerawat si perempuan rambut gonjes lagi telungkup nggak pakai baju. Tangan kanannya naik turun menggenggam penis sombong yang basah kena ludah, sesekali dia beter[1]ke kamera pakai mata nantang. Yang ditindihnya, si empunya barang geletak telentang sambil tangan satu merekam aksi perempuannya via ponsel. Lirih komentar “Enak sayang”, terutama kalau geli sampai lututnya kedut-kedut. Pas model dalam video mangap lebar mulutnya untuk melahap, Uzie mendelik[2] matanya! Melongo ikut nganga sambil naik alis memandang Kolor diseberang meja.
“Gila kau Lor! Ngapain masih ko simpan-simpan macam gini. Kan udahnya putus kau sama si Nala ini.” Uzie buka suara.
“Namanya pun arsip pribadi, baru pun ini ku keluarkan. Kan kau tadi yang nanya!” Jawab Kolor.
“Kubilang ngapain ko simpan-simpan!?”
“Ngapain ko urusi? Sukak hatiku lah apa yang mau kusimpan. Sukak-sukakmu sukakku?” timpal Kolor.
“Ngeri kali si kawan ini.” Tambah Uzie sambil geleng-geleng. “Masuk semua bikinnya bah. Nggak muntah dia Lor?” tanya Uzie penasaran walau sisa durasi video bisa jawab pertanyaannya di minus tujuh menit. Perasaannya campur-aduk segala macam, sebab Uzie kenal dekat sama si Nala ini. Waktu masih pacaran sama Kolor dulu dia sering bantu-bantu jaga warnet, kadang sampai memperbaiki router Wifi pun bisa dia. Sistem cabut-colok. Sementara Uzie masuk kategori pelanggan batu. Kalau udah online, bonus soda dua botol pun Kolor nggak rugi. Si Nala ini malah yang paling sering ngantar, “Minum dulu bang.” Katanya. Baik dia, orangnya kalem. Sopan santun dijaga, etika nomor satu. Tapi rupanya urusan nyedot pun jago si butet[3] ini. Dihisapnya macam peminum cendol yang cincau-nya nyangkut di sedotan. Diperasnya ibarat penderita diabetes yang peler Kolor jadi sumber insulin. Seketika bayangan tentang Nala yang lemah lembut nyenengin berubah total jadi Nala yang ganas ngacengin.
Sebetulnya, si Uzie nggak mesti harus sekaget ini. Ya namanya orang pacaran. Apalagi jaman sekarang ini. Tapi macam jadi pelajaran besar yang ia bisa dapat kian malam ini. Kalau rupanya orang-orang ini ibarat superhero yang punya alter-ego sendiri-sendiri, sesuai kebutuhan lingkungannya. Toh juga, istrinya dulu juga bertingkah sebelas-duabelas. Sebelum mereka nikah, apalagi. Suatu kali, ia keselek batuk-batuk gilak waktu si istri terbawa suasana terujung bersiap klimaks sampai hilang kendali pas duduk diatas muka uzie. Aksi cunnilingus yang pertamanya dibangun romantis berubah bencana cimpa[4] busuk waktu Uzie kehabisan napas karena aroma fermentasi jamur sehingga refleks sekuat tenaga mendorong istrinya terbang menghantam dinding. Bocor kepalanya kena sudut laci meja rias. Dari kejadian itu, Uzie senang bukan main sadar napsu istrinya yang segitu tinggi, tapi susah buat diapresiasi didepan kawan-kawan. Ngapain pulak sampai ada situasi cerita birahi bini? Tapi sekarang apresiasi tadi seolah hilang ditelan video 15 menit, sebab rupanya goncangan bininya nggak sebanding sama fleksibilitas kerongkongan Nala. Malah, rasanya justru sedotan barusan ini terasa lebih kompetitif. Seolah Nala sebagai juri selektif yang memberi peler Kolor kesempatan kedua dibabak semifinal. Minta keluar di mulut pula, boro-boro boleh direkam, seumur-umur sejak dari pacaran pun uzie cuma boleh tumpah di perut.
“Berarti cuma nontoni ini aja kerjamu tiap hari?” tanya Uzie.
“Nggak pulak tiap hari!” Bantah Kolor. “Tapi kadang masih kupakai kalau di kamar mandi.” Lanjutnya.
“Ish, pecundang kali kau.” Kata Uzie.
“Kurasa malah sebaliknya. Bayangkan coba kalau kau jadi suami si Nala ini. Faktanya di satu tempat ada orang yang bikin binikmu jadi modal coli. Bukan gara-gara binikmu cantik, cuma karena memang lagi nyepong aja dia. Senang aja aku sama konsep gitu. Atau kalau mamakmu itu, cemana? Apa ko bilang?” Jawab Kolor.
“Astaga Lor, Itu hal paling menyedihkan yang pernah kau akui didepanku. Segitu anjeng-nya kau rupanya. Jijik. Makan taik aja kau.” Kata uzie.
Sontak Kolor ketawa, tapi dia tidak membantah lebih dari “Sukak hati kau mau ngomong apa”, dengan wajah datar. Secara si Kolor ini punya cewek, Danti anak Peceren. Ya walaupun sampai sekarang belum dikawininya, tapi kalau sama Nala pun sampai punya video, nggak mungkinlah sama yang sekarang malah turun kelas. Jadi kenapa nggak sepongan Danti aja yang ditontoni anak ini? Pikir Uzie.
Apalagi si Nala itu udah punya anak satu sekarang. Apa kata keluarganya kalau ternyata di sudut dunia ini rupanya ada yang masih nonton-nonton aibnya jaman dulu. Kan nggak lucu. Tambah lagi, ternyata yang tahu bukan cuma satu orang pulak, sekarang pun udah ditunjukkannya, jelas bakal ada kemungkinan kalau besok entah mata siapa lagi yang bakal komentar.
“Lagian Nala sekarang ikut Indonesian Idol, kalaulah siapa tahu menang dia nanti, kan bisa jadi duit ini.” Kata Kolor.
“Kacau kau Lor, kacau. Sikit-sikit duit, sikit-sikit duit! Berarti Danti nggak pernah mau kau videokan kalau lagi nggegek kan?” Tanya Uzie.
“Nteh, patatmu! Ini nah, liat. Kau hitung berapa jumlahnya itu. Segala macam gaya dimaenkannya didalem!” Bantah Kolor sambil menunjukkan daftar video didalam ponselnya.
“Pukimak! Gilak kali kau. Kolektor kau rupanya. Astaga… Mana Danti, liat sini.” Uzie merespon.
“Patat, enak aja kau. Jadi bahan lah samamu, anjeng! Lagian malah bakal makin iri kau ngeliat si Otong” Kata Kolor spontan.
“Dari tadi kita bertekak, apa bedanya?” Balas Uzie.
Sampai beberapa menit kemudian layar ponsel berganti otomatis waktu masuk panggilan telepon. Nama ”Gratisan” dengan foto lidah Kakang menjulur tampil menggantikan acara video skandal istri orang. Kolingan tengah malam macam begini seringkali jadi dilema sama Kolor. Satu sisi, agak bikin tenang pas tahu masih ada orang yang ingat sama dia. Tapi disisi lain, kalau nelepon malam-malam udah pasti lagi butuh pertolongan. Nolong orang ini sikitpun nggadak enak-enaknya. Selain bikin susah, repotnya pun setengah mampus. “Abis bensinku Lor. Tolong jemputkan aku di jalan kolam!” atau “Besok aku mau kondangan. Pinjam jasmu yang hitam.” Segala macam. Apalagi giliran pinjam-pinjam duit. Aduh, itu lagi satu. “Tolong kali lah bro. Telat pulak masuk transferan. Lusa langsung pagi kubalikkan samamu.” Rupanya maksud si kawan dilusa-lusakan. Tiba-tiba chat WhatsApp cuma dua ceklis aja terus, nggak biru. Padahal udah dikirim dua hari yang lalu. Last Seen-nya pun nggak lagi bisa ditengok. Giliran udah kenak maki, langsung posting quote internet “Karakter asli manusia akan terlihat saat kau berurusan tentang uang.” Wo, betul memang! Karakter manusia jenis pengecut-lari-makan-duit-tiga-ratus-ribu-yang-sakit-hati-kalau-ditagih. Harusnya yang posting yang punya duit lah, kok ini malah yang minjam?
Logikanya, kau punya duit segepok. Segepok katakanlah lima juta yang rencananya mau kau habiskan buat sesuatu untuk dirimu sendiri. Makan kentaki, servis kereta, nginap di Parloha, ataupun boleh kasih sama mamak, terserahlah. Yang jelas, perencanaannya terperinci. Dari seminggu sebelum turun duit, kepalamu udah mimpi mau bayar-bayar ini itu. Segepok tadi pun nggak sempat nginap lima hari di dompet. Terus, pas hari H cair ketanganmu sekian perak, masuklah pulak telepon tadi, “Dimana kau bro? Bisa kita jumpa sebentar, perlu kali lah ini.” Katanya dari ujung sana. “Ayok.” kau bilang. “Di kedai Mawan aja kita jumpa, kubayari kau teh susu.” Kau bilang sama si Polan[5] tadi. Secara kau baru cair, mau berbaik-baik pulaklah. Gitu jumpa basa-basi sebentar “Wuih, udah sukses kau ya.” Puji si Polan, jadi pulaklah obrolan tadi agak kesana-kemari sejenak. Susu tinggal setengah, rokok nebeng, barulah masuk misi utama sikawan tadi nelepon ngajak jumpa. Rupanya bini sikawan ini baru melahirkan via sesar yang masih dibayar DP-nya tok. Udahlah kemarin masuknya susah, sekarang keluarnya pulak malah dilarang, terkait sisa pelunasan DP. “Jadi bro, aku pun nggak tahu lagi harus cemana ini, dari semalam aku mutar-mutar nggak dapat jugak.” Bilangnya. “Inilah keponakanmu tadi” Katanya pulak sambil geser-geser album foto ponselnya nunjukin foto-foto bayi keriput yang belum melek. “Berapa kau perlu?” Kau bilang, “Empat juta setengah.” Katanya.
“Tapi bro, minggu depan turun kok danaku. Sebenarnya gini, dari awal mau masuk kemarin pun udahnya kusiapkan, taulah namanya bini kita mau lahiran, kan gitu. Cuma pas pulaklah 3 hari sebelum lahiran tadi, bosku (bapak dia maksudnya) ngantar tamu bule ke Samosir. Nah, dari Travel kerjanya cuma tiga hari, jadi hitunganku pas juga. Makanya kukasi sama bosku 5 juta buat pegangan. Harusnya hari ini dia balik, tapi rupanya ekstensi pulak tamunya tadi sampai minggu depan. Gitu dia bro.” Jelasnya pelan-pelan samamu. “Nah, jadi gitu nanti bosku balik kerumah, uangmu pun langsung kubalekkan. Nggak mungkin lewat hari senin. Mau berapa lama pulak rupanya bule itu disana, kan gitu?” Tambahnya lagi.
Karena kau dapat kejadian detailnya, jadi nggak sampai hati pulak kau ngebayangkan cemana istri sama anaknya ditahan dirumah sakit macam napi. “Memang lagi ada kupegang ini 5 juta bro, tapi mau kusetor sama mamakku rencananya ini.” Kau bilang. “Iya bro, aku pun paham kalau kau punya kebutuhan. Makanya paling lambat minggu depan langsung kubalikkan. Itupun paling lambat, bisa aja lusa udah balik bosku tadi.” Katanya.
Nah, gini dia! Terkait tuduhan soal lintah darat yang sebelumnya belum terjabarkan, Gini dia: Secara ‘aku pun paham kau juga ada kebutuhan’ katanya, berarti kan sadar dia dunia ini bukan cuma dia yang butuh duit. Jadi, pas akhirnya kau pinjamkanlah duit 4,5 jutamu sama dia otomatis dengan mengorbankan kebutuhan-kebutuhanmu sendiri. Kan gitu? Jadi sekurang-kurangnya yang dia bisa lakukan ya dengan ngebayar pengorbananmu untuk menunda makan kentaki sama servis kereta, iya kan? Bayaran pun bisannya lewat segala macam bentuk, pijitin badan kek, masakkan sayur lodeh kek, apapun lah yang dirasa sepadan. Karena orang udah berkorban demi bini orang pulak ini ceritanya. Dan, mengingat kemungkinan keuntungan lain yang bisa kau dapat kalau mutar lagi uang 5 juta itu selama seminggu, apa salah kalau pas dibayar agak dilebihkan sikit? Kebutuhan, kebutuhan siapa? duit, duit siapa. Kan gitu.
Lagian kalau diperhatikan, pas habis ditanya “berapa kau perlu?”, semua peminjam ini selalu ngasihpenjelasan ultra detail setelah nyebut nominal. Betul nggak? Anggapannya seolah kayak jaminan kalau nggak mungkin nggak balik uangmu tadi karena memang putaran kondisi ekonominya udah disusun lewat perencanaan mumpuni dan memang seharusnya lancar tanpa kendala, kecuali faktor x yang diluar dugaan peminjam tadi. Intinya diantara kompleksitas teknik yang dijalankannya, ada salah langkah kecil minta ampun yang efeknya bikin goyang fondasi. Jadi mau nggak mau dia harus bikin utang yang mana hal itu aslinya bukan satu solusi yang mau dijalankannya, karena perhitungannya selalu detail nggak pernah meleset. Paling enggak, itu guna alasan mendetail tadi, menurut dia. Kalau pinjaman dibawah sejuta, rata-rata faktor x yang tidak bisa diduga adalah “Kartu ATM ketelan, dan hari sabtu Bank tutup. Jadi mau nggak mau harus nunggu sampai senin pagi.”
Tapi sialnya, tipe-tipe kombur[6] alasan ultra detail ini pulak yang ternyata paling susah bayar. Begitu udah minggu depan, hilang ditelan Bumi pun enggak lagi. Sebab kalau masih di planet ini dia, masih bisa dicari. Yang bikin ngenes, giliran urusan bayar, sama sekali nggak respon. Pantaslah pas minjam alasannya canggih, seratus orang pulaknya udah dicobak satu-satu. Tiap orang responnya beda-beda, jadi alasan ke orang berikutnya ya makin lama makin terisi detail. Tapi pas ditagih, kasih alasan lagi pun udah nggak bisa. Ya cemana, orang yang nagih cuma satu orang. Chat nggak dibaca, telepon nggak diangkat, tapi status bolak-balik ganti. Hampir dua minggu lewat, belum juga nampak batang hidungnya, kan makin palak kau. Mulai masuk bahasa gamblang, lima jam kemudian baru dibalasnya. Itupun isinya “Sori bro baru baca. Aku lagi di Medan bro, lusa balik, sekalian kubayar yang kemaren ya.” Katanya. Kan anjeng. Tersinggung lah kau, ujung-ujungnya agak kau paksa pakai ultimatum, “Yaudah, kalau gitu sekalian balikin 5 juta pas ya.” Kau bilang. Nggak dibalasnya hari itu. Besok siangnya baru masuk jawaban “Oke.” Udah, itu cuma. Oke.
Sampai lusa yang dijanjikan pun belum bayar juga. Sengaja kau diamkan, malamnya dia sendiri biasanya yang chat duluan. “Sori bro, baru sampe di Berastagi ini.” Katanya. Kau udah nggak mau ambil pusing. Akhirnya, lunas juga lah utang tadi. Tapi masalahmu enggak. Karena rupanya kelang[7] tiga-empat hari sampai juga ke kupingmu bahwa si Polan tadi ngomong ke siapa-siapa kalau kau sekarang udah jadi lintah darat. Mantap kan? Nggak bisa kau komentar apa-apa lagi kecuali bilang “Ah, miskin!” dalam hatimu. Tapi ya nggak papa lah, mau cemana lagi dibikin. Memang rata-rata yang miskin ini pulak yang terlalu banyak protes. Kecapekan meratapi nasib. Maunya kalau dia susah, orang yang bantu angkat beban. Gurih kali kan hidupnya. “Jangan dekat-dekat sama lintah darat.” katanya. Darimana lagi rupanya istilah lintah darat ini keluar, kalau nggak dari mulut orang miskin macam tadi? Sebab kan nggak pernah ada pulak ceritanya lintah darat yang cari mangsa. “Hoi orang! Tolonglah klen pinjam dulu duitku ini, kebanyakan dikantong nggak muat kusimpan di dompet”. Ada rupanya? Apa pernah dalam sejarah pas satu malam kira-kira jam sepuluh, perempuan paruh baya ngetok-ngetok rumah papan lapuknya Wati, misalkan.
“Tok tok tok, permisi…” Hujan deras ceritanya. Basah bajunya.
Wati buka pintu, “Astaga! Kak Melda, oalah. Masuk kak, masuk. Ada apa malam-malam? -bikin dulu teh untuk buk Melda ini nak-.” Kata Wati sama anaknya yang cewek.
Kak Melda tadi sambil ngelap airmatanya bilang “Gini dek, sebelumnya minta maaf lah aku malam-malam datang kerumah-ndu[8] ini. Karena kepepet, udah nggak tau lagi kakak harus kemana.” Katanya tersendu.
“Eh ada apa tadi kak?” Tanya si Wati lah.
“Jadi gini, kan kam[9] taunya kalau kakak ini lintah darat, dekku[10]” Kata Melda, “Kayak gini makin lama makin stres kakak udah, capek kali badan sama pikiran kakak.” Sambil nangis ini ceritanya.
“Iya kak, apa rupanya bisa kubantu?” Tanya Wati penuh perhatian.
“Jadi gini dek, besok ini pun pagi-pagi buta kakak mesti harus bawak ponakanmu tadi ke Sun Plaza jalan-jalan belik baju baru, itupun kok lah masih tetap aja kebanyakan duit kakak, numpuk satu gunung dirumah itu. Jadi tolong kali lah ini dek, apa nggak bisa kam[11] pinjam sikit? Berapa-berapa pun jadi yok, asal udah kurang duit kakak itu. Banyak kali pulaknya dek, sampai capek kakak ngitungnya.” Katanya sambil air matanya nggak berhenti jatuh.
“Astaga kak, aduh cemanalah ya? Berapa rupanya yang kam butuh dipinjam?” Kata Wati ikutan sedih.
“Ini pun abis dari sini masih harus kakak ketok lagi rumah-rumah tetangga kita ini dek, biar lepas sikit beban kakak. Gini aja lah: Kalaupun mau kam pinjam tiga juta, udah nolong kali itu sama kakak. Syukur kali kakak rasa. Bunganya pun lebih besar dari bunga Bank dek. 25%. Cemana dekku?” Kata Melda pakai mata memelas.
“Ih gitunya kak? Tapi kan kakak tau kami orang miskin ini. Nggaklah nanti terbayar kami kalau bunganya segitu. Bapaknya pun belum pulang jam segini, lembur kak.” Jawab Wati sambil memegang tangan Melda yang dilanda sedih.
“Kalau itu nggak usah kam takut dekku. Masih banyak nya barangndu yang bisa kakak sita nanti. TV, kursi-ndu ini, atau pun kalung anakndu itu kan pas nanti masuk tenggat waktunya, main asal kakak sita aja. Kadang nanti sampai kakak bawaak pun polisi. Kam nanti paling tinggal pasrah ajanya dek.” Kata Melda sambil buang ingus sedihnya.
“Oh gitunya kak? Yaudahlah, namanya kita bantu-bantu orang. Sini 3 juta tadi yok, jangan kam takut. Besok biar kupakaikan dulu untuk bayar berobat anakku yang kecil, kan gejala paru-paru basah pulak dia.” Kata Wati.
“Ih, makasih banyaklah ya dekku, memang kam baik kali jadi orang. Penolong kali murah hatindu.” Kata Melda. Pelukan pulaklah orang itu.
“Udah nggak papa kak. Saling bantunya kita disini. Udah-udah, yang penting sekarang kam bawak dulu anakndu tadi foya-foya. Jangan pulak nanti sampai terlambat, kejadian pulak nanti yang enggak-enggak.” Kata Wati.
“Iya dek, makasih banyak ya dekku.” Kata Melda.
Nah, Jadi sampai kiamat pun nggak bakalan ada skenario kayak gitu tadi. Pada kenyataannya, justru profesi rentenir pulak yang paling cepat dan sigap membantu orang kepepet. Dan akad pinjam-pinjamnya pun ucap didepan. Jelas sebelum si miskin ngantongin duit, udah setuju dia soal besar bunga yang nyedot darahnya nanti. Pikirnya dia sanggup bayar, “iya” katanya. Ternyata nggak sanggup, “lintah darat” kita dibilangnya. Makanya Kolor jadi takut ketemu pengangguran yang punya keluarga. Tiap lewat depan rumah tepas-tepas reot, hatinya bak berteriak: “Tolong! Ada orang miskin!”
Tapi biar segitu panjang menggerutu, tetap yang namanya panggilan dari kawan ini rasanya kurang afdol kalau tidak ditunaikan. Sapatau pulak sesat si Kakang ini entah dimana. Atau udah nusuk anak siapa. Atau mau ngubur mayat darimana, kan kita nggak tau-tau. Maka tanpa ada rasa curiga, Kolor menjawab “Halo” dengan percaya diri, tanpa berpikir kalau dia mau diajak ikut campur urusan potong-memotong daging. Padahal lewat telepon, Kakang sempat mengungkit soal ketidakstabilan Mawan. “Tapi hati-hati kita Lor, Mawan lagi pegang Beceng.” Katanya dari seberang.
Mesti kali ‘beceng’ yang diungkit-ungkitnya? Kenapa kali rupanya sama beceng-beceng itu? Terakhir dia berurusan sama beceng waktu ditawarin si Janta pistol rakitan jenis FN, warna hitam berkarat. “Tiga setengah, marih!” Kata Janta. Yang sontak bikin dia teriak “Apa pulak tiga setengah juta!?” Protesnya pakai nada yang pas kali intonasi sama temponya di skala tenor waktu sekarang ini dia kaget ngedengerin eksposisi dari Kakang didepan Mawan sama Jepri.
“Apa pulak motongi mayat!? Ngeri kali! Udah gila kau semua disini!” Teriak Kolor berulang-ulang.
“menye-menye kali kau. Udah tinggal dipotong aja pun susah kali. Anggap aja motong kambing, ya’ah.” Kata Mawan dengan muka serius. Jepri langsung nyambung, “Nggak lucu, Wan. Diam kau.” Perintahnya. Orang berempat ini sekarang sampai di titik saling tuduh, tapi Kolor yang merasa paling dipojokkan.
“Kau denger dulu! Kayak gini udah makin nggak jelas kurasa Lor. Tadi ide Kakang yang manggil kau kesini. Kayak yang dibilang Mawan tadi, setau kami kau tukang potong mayat buat kau kasih makan babi. Terus, sekarang disini kami punya mayat makanya kau kami panggil. Nah, sekarang udah disini kau, kau sangkal pulak omongan kakang ini. Jadi kalau kau diposisiku sekarang, kekmana Lor? Mulut siapa yang harus kudenger ini?” Jepri buka suara. Kolor hesitan ditodong pernyataan macam ancaman.
“Aku nggak pernah motong mayat, bang.” Jawabnya agak memelas.
“Babi kau, Lor. Ngelak kau terus, yakin kali tadi Kakang cerita: Kau potongi mayat terus kau kasih makan babi, Babi!” Ujar Mawan mengambil alih situasi. “Gini aja, kalau kau ngerasa nggak kayak yang dibilang Kakang, kau ludahi sekarang mukanya, cepat. – Siap kau Kang?” katanya kemudian.
“Siap yok, Bang!” Kakang merespon mantap.
Kalau udah situasi begini, apalagilah mau dibilang, cobak? Bertahan sampai mampus pun nggak bakal orang ini percaya. Satu dulu, tiga orang ini udah tersudut. Yang satu gila teriak, yang satu sok-sok pemimpin, si anjeng satu ini pun cuma mau ambil aman.
“Gini dia bang, denger dulu…” Kolor mulai bicara. “Memang iya, aku pernah nganterin mayat…” Jawab Kolor yang segera direspon dengan muka sinis dari para pendengar.
“Denger dulu, itu ceritanya gini: Malem-malem aku di telpon bang Tertib, “Lor, bisa minta tolong?” katanya samaku. “Apa kin bang?” kubilang. “gini Lor, bisa kau ke gudang sekarang? Di bak Datsun yang merah ada bungkusan plastik, isinya nasi babi Yanto. Maksudku sekalian tolong kau anterkan ke kandangnya. Barusan telponnya aku, dia nunggu disana itu. Aku lagi diluar pulak ini. Bisa Lor?” Katanya. “Bisa bang” Kubilang lah. Jadi aku cuma nganter. Nganter! Lagian pas waktu itu pun aku nggak tau kalau itu daging orang, makanya kuajak anak ini!” Jelaskan Kolor dengan nada gamblang sambil menunjuk Kakang. Jepri mendengar dengan seksama sambil memperhatikan gerak-geriknya, siapatahu ada yang ganjil.
“Kekmana kau tahu itu daging orang?” Kata Mawan mencoba menyerang.
“Nggak tahu aku. Udah dalam plastik dia. Yanto pun nggak ngomong apa-apa. Memang kami bantui ngangkat sampai ke kandang, abis itu ya udah. Sebulan lewat baru kasih tau Tertib kalau itu daging orang.” Beber Kolor lewat sisa napasnya.
Mawan menoleh ke Kakang, “Tadi nggak kayak gini ceritamu Kang. Mayat Kloyor ko bilang, bagus kali mulutmu itu.” Katanya.
“Aah, nggak betul itu! Bikin-bikinnya cuma. Anak ini pabual[12]!” teriak Kolor menuduh Kakang dihadapan Mawan dan Jepri. “Nggak pernah kasih tahu Tertib itu mayat siapa. Aku pun nggak mau nanya.” Jelasnya lagi.
“Anjeng lah kau Kang, gara-gara kau udah tambah lagi satu orang disini.” Gumam Jepri dengan gigi rapat.
“Ya paling enggak bisa nambah kepala buat kita mikir bang.” Kata kakang pulak.
“Kepalamu! Ko pikir aku main-main?” Jepri meraung. Kakang segera tutup mulut.
“Yaudah lah, kayak gini nggak abis-abis. Jadi cemana ko rasa ini Lor?” Tanya Jepri.
Kolor yang kebingungan pun cuma sanggup melempar nama orang lain pulak, “Ya mending lah Tertib kita panggil bang, udah jelas kerjaannya ngurusin gini.” Katanya.
“:Eeeeeeeeh, kalo nggak sekalian aja satu Parloha kita panggil kesini, kan udah! Kau pun babi kau Kang. Kenapa nggak Tertib aja kau bilang dari awal!?” Teriak Mawan dengan sontak dari ujung ruangan.
“Aku nggak kenal sama Tertib bang.” Jawab Kakang dengan nada spesifik.
Makin lama makin gusar si Jepri, udah mulai dia pegang-pegang kepala. “Taik lah sama klen semua. Udah nunggu berjam-jam, jadi apa pun enggak ujung-ujungnya.” Ia protes.
“Taik ko bilang, jam 6 harus buka kedaiku ini! Kau pikir masalahmu ini?” Timpal Mawan.
Kolor cuma berusaha mengikuti alur situasi. Di titik ini nggak perlu dia nanya kira-kira dia bisa keluar pulang apa enggak. Karena pastinya enggak. Mau nggak mau, dia masuk jadi bagian inti dari tim mayat yang tadi niatnya mau di distribusi merata sebagai pakan hewan. Kalau cuma ngantar, okelah. Tapi masalahnya siapa yang mau motong?Motong orang ceritanya ini.
“Gara-gara kau aja ini Kang, coba tadi kalau mau kita tanem, kurasa udah ketanem anak ini tadi.” Kata Jepri.
“Memang iya! Aku pun udah terlibat kau bikin disini.” Tambah Kolor. “Kalau gitu kau lah tanggung jawab sekarang, Kang. Bang Jep, kalau aku jadi abang, anak ini kusuruh yang motong!” Lempar Kolor.
Kakang kaget. “Pantat babi sama kau, kok jadi aku pulak yang salah?” Katanya.
Mawan pun setuju, “Pas itu! Kan salahmu tadi dari awal kau maen nyelonong masuk! Terus mulutmu pun mulut parloha! Sekarang tanggung jawab kau. Kau yang potong Kang!” Tambahnya.
“Iyuh, makasih banyak! Siapa rupanya yang mecahin kepalanya tadi? Dialah yang tanggung jawab.” Kakang membela diri.
“Yaudah. Klen duanya yang motong, aku sama Kolor yang nyiapin plastiknya. Gitu aja dah! Lama kali pun.” Jepri menambahkan.
“Iyah, nggak bisa gitu bang! Aku klen suruh urusan motong, mending aku klen potong sekalian. Patat. nggak mau aku.” Kata Kakang.
“Kelamaan Kang, iyakan aja kan udah! Macam bencong kau, anggap aja motong kambing.” Komentar Kolor.
“Kepalamu Lor!” balasnya. “Kalau nggak, gini: Sut aja kita yok. Yang kalah yang motong.” Kakang memberi solusi.
“Bapakmu lah kau ajak Sut, masalah mayat ini! Kau putuskan pulak pakai undi-undi jari, anjeng kau Kang.” Balas Mawan.
“Yuh, jadi kekmana? Salah abang ini! Udah sukur kami mau bantu!” bantah Kakang tersinggung. “Tengok itu, udah merembes lagi darahnya. Bolak-balik kita bertekak, jadi tambah panjang urusan!” jelasnya sembari menunjuk ke sudut ruangan.
Dari balik tumpukan kardus, darah kembali merembes membentuk genangan macam tumpahan plastik kresek bekas inang-inang[13] meludah pas makan sirih. Mata Kolor membaca tulisan Polytron dari kardus penutup berbercak darah. Lalu memperhatikan sekeliling mencari sesuatu yang diharapkannya.
“Langsung klen gulung tadi ini bang?” Tanya Kolor kemudian.
“Maksudmu?” Jepri balik tanya.
“Gitu dia tewas, kan pecah kepalanya. Jadi pecahannya klen sapu, trus orangnya langsung klen gulung disini, gitu?”
Iyalah, jadi!?” Nada sarkas keluar dari Jepri.
“Berarti nggak sempat klen telanjangi, nggak sempat klen keluarkan dompetnya, nggak ingat klen cabut identitasnya, langsung aja klen gulung. Gitu kan?” Tanya Puja balas sarkas, alisnya naik satu.
Jepri terperangah, ia melempar muka bengongnya ke Mawan.
“Pukimak lah. Mau klen kubur pulak sama dompetnya. Kan mantap kali.” Kata Kolor.
“Rogoh aja kedalam, nggak bisa?” Mawan penasaran.
“kekmana ngerogohnya bang? Trus bajunya?” Tambah Kolor meyakinkan.
“Ck, buka lagi lah terpaksa, kalau kayak gini. Ikatan abang pun ikatan dewa ini bang.” Sambung Kakang sambil menarik-tarik ikatan tali gulungan.
“Kan tolol kali kau, yang nggak perlu pun kau kerjakan. Ko pegangilah semua itu, biar berselemak sidik jarimu disitu.” Ucap Kolor ke Kakang.
Mawan sontak kaget. “Ayayayayay! Dari tadi kin kau ngomong! Ah lonte lah Jep, bikin kerjaan aja pun. Kita bakar aja udah!” Protesnya sambil berputar-putar di ruangan. Gelisah macam penderita berak darah, ngomel-ngomel nggak karuan.
“Udah lah Wan! nanti kau nangis, ini dulu kita urus. Macam perempuan kali pun.” Protes Jepri. Kolor juga semakin tak sabar. “Kelen cemananya, mau beres apa enggak!? Nggadak persiapan kali pun kayaknya. Mau diapain ini, udah langsung aja. Kalau potong, ya potong. Atau kalau mau bakar, ayok bakar! Mengkek kali. Taik lah sama kelen!” teriaknya.
Mengkek, kata buat balita yang pensiun netek tapi ngotot bilang “Mak, nenen.” Sambil merajuk.
[1] Lirik
[2] Melotot
[3] Panggilan untuk perempuan
[4] Makanan khas
[5] Nama samaran yang paling umum
[6] Omong kosong
[7] setelah
[8] Bahasa Karo: Kepunyaan kamu. “Your” kalau Bahasa Inggris
[9] Kamu, dalam bahasa Karo
[10] Adikku
[11] Anda
[12] Tukang tipu
[13] Ibu-ibu tua