Aku membuka mata untuk yang kesekian kali malam ini. Berkali-kali mencoba untuk tertidur, namun pikiranku terus terasa terganggu. Sejujurnya aku merasa gugup karena pertunjukan piano perdanaku akan dilangsungkan esok hari. Bukannya tidak yakin dengan diri sendiri, hanya saja seorang profesional pun bisa saja merasa gugup, bukankah itu hal yang manusiawi?
Karena itulah aku beranjak dari tempat tidur, melirik sekilas pada jam yang menunjukkan pukul 11 malam, dan bergerak menuju piano yang sengaja kuletakkan didalam kamar.
"Kamu juga suka main piano?”
Pertanyaan itu melintas ketika aku membuka tutup pianonya, teringat kembali akan senyum manisnya setelah mengatakan itu.
Melody. Itulah namanya. Gadis yang memiliki hobi sama denganku, bermain piano. Waktu itu adalah pertemuan pertama kami, ketika aku diam-diam mengamatinya bermain piano di ruang musik sekolah. Alunan melodi yang mengalun begitu indah, membuatku terhipnotis untuk menghampirinya dan menyaksikan secara dekat permainannya. Sebenarnya itu bukan kali pertama aku mengamatinya secara diam-diam, aku sudah seringkali melakukannya tanpa diketahui. Alasannya karena aku takjub dengan permainan pianonya, dan kuakui aku juga terpesona dengan wajah cantiknya.
Dari waktu ke waktu, hubungan kami berjalan baik. Dialah yang berperan besar menumbuhkan semangatku untuk bermain piano kembali, setelah bertahun-tahun yang lalu aku memutuskan berhenti karena jari-jari tangan kiriku yang tak bisa bergerak leluasa seperti sebelumnya akibat kecelakaan motor yang kualami. Karena dukungan dan perhatiannya yang begitu besar terhadapku, tanpa sadar aku telah jatuh hati padanya. Aku menyayanginya lebih dari sekedar teman. Namun aku sama sekali tak pernah mengungkapkannya, aku terlalu takut jika harus menerima penolakan.
Tapi itu adalah lima tahun yang lalu, saat kami mulai saling mengenal.
Sampai pada akhirnya perpisahan menjadi penghalang hubungan pertemanan yang sudah kami bangun, membuat kami kehilangan komunikasi satu sama lain, seakan dunia sengaja membuat kami berjauhan. Setelah kelulusan SMA, Melody memutuskan pergi ke luar negeri untuk melanjutkan studi di sana. Ingin rasanya saat itu aku menahannya pergi, bersikap egois sekali saja. Tapi aku tak ada hak untuk itu. Aku bukan siapa-siapa, hanya sebatas teman yang memiliki hobi sama dengannya. Ingin pula aku mengungkapkan seluruh perasaanku padanya, tapi lagi-lagi aku terlalu takut terhadap penolakan. Jadi, aku menyiakan kesempatan itu dan melepaskan kepergiannya begitu saja tanpa sepatah katapun...
Jemariku mengambang diatas tuts. Sebuah alunan melodi terbayang dalam benakku. Aku menarik napas dan mulai memainkan melodi tersebut.
Mengapa melodi ini terdengar menyedihkan?
Malam pun semakin larut, sama sepertiku yang kian larut dalam melodiku sendiri. Bukan lagu ini yang kuinginkan. Bukan melodi ini yang ingin kudengar.
Namun entah kenapa jemariku tetap bergerak diatas tuts menciptakan nada-nada pilu yang menyiratkan sebuah kerinduan. Perasaanku semakin tak karuan saat kuingat sosok Melody, seakan aku berharap disana ia juga sedang merindukanku.
Kuhentikan permainan pianoku. Pikiranku mulai menerawang, membayangkan betapa bahagianya seandainya Melody datang menyaksikan pertunjukan pianoku besok. Aku ingin mengucapkan beribu terima kasih padanya karena telah menjadi temanku, menjadi guru yang selalu menyuruhku berlatih piano, menjadi gadis yang pernah mewarnai hari-hariku, dan... menjadi segalanya bagiku.
Aku merindukannya.
Itulah kalimat yang terlontar dari mulutku sebelum aku membaringkan tubuh di kasur. Aku berusaha terlelap tidur, mempersiapkan yang terbaik untuk pertunjukan esok hari.
***
Disinilah aku. Berada diatas panggung dengan sorotan beberapa lampu sorot berwarna biru malam, disuguhi seribu penonton yang kini sedang menyaksikan takjub permainan pianoku. Inilah moment yang seringkali kubayangkan sejak dulu. Inilah panggung impian yang kutunggu-tunggu. Mimpiku untuk melangsungkan sebuah pertunjukan piano akhirnya tercapai. Mungkin tak ada hal lain yang bisa melampaui kebahagiaanku saat ini.
Tak terasa sudah satu jam berlalu, pertunjukkan pianoku sebentar lagi akan berakhir. Aku mengedarkan pandanganku pada penonton sebelum menampilkan penampilan terakhir.
Deg.
Jantungku berhenti berpacu beberapa detik saat tak sengaja mataku bertemu pandang dengan salah seorang penonton yang duduk di pojok kanan barisan kedua dari depan. Ia sedang bertepuk tangan sama seperti penonton lainnya, namun yang membuatnya berbeda ialah aku mengenali senyumnya. Senyum itu sangat bahagia dan menyiratkan sebuah kebanggaan.
Melody.
Benarkah itu dia?
Namun aku tak bisa memastikan. Aku harus segera memulai penampilanku. Mataku kualihkan pada barisan tuts dihadapanku, dan sedetik kemudian alunan melodi yang indah mulai terdengar setelah jemariku bergerak cepat diatasnya.
Diriku berharap semoga permainan ini cepat berakhir. Aku ingin segera memastikan apakah yang kulihat tadi benar-benar Melody atau bukan. Setidaknya aku sudah menyiapkan hati. Jika ia benar Melody, aku berjanji akan mengungkapkan perasaanku hari ini juga. Namun jika bukan, aku akan menerima kenyataan dengan ikhlas bahwa mataku lelah sehingga aku salah mengenali orang.
Permainanku sudah berakhir. Aku berdiri menghadap penonton dan membungkukkan tubuhku sebagai penutup dan wujud terima kasihku pada mereka yang mau meluangkan waktu menyaksikan pertunjukan pianoku.
Tepuk tangan riuh penonton terdengar bersahutan, menandakan mereka puas dengan penampilanku. Aku tersenyum, sambil kembali mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru.
Aku tak menemukannya disana. Aku tak menemukan Melody duduk di kursi penonton seperti yang kulihat sebelumnya. Kursi itu kosong. Aku kecewa, benar-benar kecewa. Aku terlalu merindukannya sehingga berhalusinasi, membayangkannya ada di sini menyaksikan pertunjukanku. Aku terlalu berharap menginginkan kehadirannya...
***
Au melangkah menuju ruang ganti dibelakang panggung. Perasaanku lega telah menyelesaikan pertunjukan piano perdana ini dengan sukses. Mimpiku menjadi seorang pianis terkenal sebentar lagi akan tercapai. Aku hanya harus terus berlatih setiap waktu agar bakat bermain pianoku semakin profesional dan semakin terasah lebih baik.
Tubuhku menegang setelah memasuki ruang ganti. Kulihat seorang gadis duduk di sofa di sudut ruangan. Ia membelakangiku, tapi aku mengenalinya.
Ia tak asing bagiku.
“Melody?” tanyaku penuh harap.
Ia menoleh dan langsung beranjak dari duduknya saat menyadari kehadiranku. Seulas senyum terukir di wajahnya, “Hei, Juan. Long time no see.” ucapnya sambil melambaikan tangan.
Ia benar Melody. Ia nyata, bukan bagian dari halusinasiku, dan kini ia melangkah menghampiriku.
Aku hanya bisa berdiri kaku ditempat. Memandanginya dari ujung kaki sampai ujung kepala. Tak banyak yang berubah darinya. Suaranya. Senyumnya. Wajahnya. Semuanya, aku merindukannya. Tak bisa kupungkiri, dia lebih cantik dan terlihat dewasa dari terakhir kali aku melihatnya beberapa tahun lalu.
“Bagaimana kabarmu? Kenapa kau tak mengabariku bahwa kau di Indonesia?” tanyaku setelah mengumpulkan kembali kesadaranku yang tadi direnggut olehnya.
“Aku baik, apalagi setelah menyaksikan pertunjukanmu yang luar biasa,”
Ia berkata dengan bangga memuji penampilanku tadi. Jadi aku tak salah bahwa yang kulihat di kursi penonton itu adalah Melody. Perasaan bahagia menjalar di tubuhku saat tahu ia menyaksikan pertunjukan pianoku.
“Aku hanya ingin memberi kejutan untukmu. Aku juga tidak ingin kau grogi saat tahu ‘guru pianomu’ ini menontonmu dari kursi penonton.” Melody melanjutkan perkataannya. Ck, gadis ini. Aku menjadi gemas dengannya dan membuatku sedetik kemudian menariknya dalam pelukanku.
“Hei, hei. Kenapa kau begini? Sebegitu rindukah kau padaku? Aku hampir tidak bisa bernapas, Juan.”
Aku mengabaikan protes yang dilontarkannya. Yang penting sekarang aku bisa menyalurkan seluruh kerinduanku padanya melalui pelukan ini.
Tak lama kemudian, kurasakan tangan Melody mendekap punggungku, membalas pelukanku.
“Aku merindukanmu, Melody...” ucapku kemudian sambil menopangkan daguku pada bahunya, “Apa yang membuatmu pergi begitu lama dan sulit kuhubungi?”
“Aku juga merindukanmu,”
Perasaan hangat dan bahagia muncul dalam diriku mendengar bahwa ia juga merindukanku.
“Setelah lulus dari universitas, aku bekerja sebagai dokter di daerah pedesaan yang tak terjangkau akses internet. Kau tahu, disana aku juga mengajarkan piano bagi para pasien agar mereka tak bosan berada di rumah sakit.” lanjutnya. Gadis ini membuatku bangga. Ia punya hati yang secantik wajahnya.
Perlahan kulepas pelukanku padanya. Kini aku meraih kedua tangannya dan menggenggamnya. Aku akan menepati janji untuk mengungkapkan perasaanku padanya sekarang. Masalah penolakan atau semacamnya, aku tak peduli lagi. Yang terpenting Melody tahu usahaku selama ini yang berjuang menyimpan cinta hanya untuknya.
“Melody, aku mencintaimu.” Kata-kata itu keluar mulus dari mulutku. Pengakuanku berjalan lancar. Syukurlah aku tidak grogi. Aku menatap matanya, menunggu respon apa yang akan dikatakannya sebentar lagi.
“Aku... juga mencintaimu. Tapi,”
Jawabannya berhenti disitu, menggantungkan harapanku. Ia mencintaiku, tapi... ada banyak hal yang memungkinkannya tidak bisa berada di sisiku. Aku menarik napas perlahan, mempersiapkan diri seandainya aku akan menerima penolakan.
“Apa hanya begini kau mengungkapkan perasaanmu? Tak ada bunga atau cincin? Padahal sejak lama aku berharap begitu.”
Aku terdiam mendengar lanjutan ucapannya, butuh waktu lama memerosesnya sampai aku benar-benar mengerti. Astaga... Gadis ini benar-benar membuatku hampir frustasi karena pernyataan konyolnya. Jadi ia menginginkan bunga atau cincin saat ‘ditembak’? Itu artinya ia tak menolak cintaku, kan?
“Aku hanya bercanda, Juan, jangan ambil pusing.” Ia tertawa sesudahnya, mungkin karena ekspresi ‘campur aduk’-ku saat ini yang bingung harus mengatakan apa selanjutnya.
“Jadi, apa kau menerima cintaku?” Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulutku.
Kulihat Melody mengangguk, tak lupa sambil menampilkan senyumnya. Kuakui, itu adalah senyum termanis yang pernah kulihat. Melody menerima cintaku. Aku bahagia, terlampau bahagia sampai membuat aku kembali memeluknya, lebih erat dari sebelumnya.
“Terima kasih...”
Kata itulah yang mampu mewakili seluruh perasaanku saat ini. Sungguh, hari ini adalah hari terbahagiaku sepanjang masa. Pertunjukan piano perdana. Melody yang akhirnya menjadi kekasihku. Itu mimpi dan impianku sejak dulu.
Dua hal itu merupakan anugerah terbesar dan terindah bagiku dari Tuhan.