Sari Si Penari Ronggeng
Saya melangkah memasuki ruangan dalam keadaan jantung berdetak tak beraturan entah karena saya menahan kaki yang sedikit sakit karena terkilir saat pementasan tadi atau faktor saya yang kelelahan. Dengan gestur tetap santai saya mengambil tempat duduk disudut ruang balai desa sambil menunggu dan sama sekali tidak terbayang atau berharap saya akan menjadi pemenang dari acara bakat tahunan ini. Yang pasti saya telah menampilkan sebuah tarian yang menjadikan pengalaman baru yang mencengangkan bagi saya pribadi. Saya menari ronggeng. Tarian dari jawa yang menampilkan kemistikkannya, dan hal itu membuat saya merasa menjadi bagian dalam segala hal malam ini.
“Isih lara?” (Masih sakit) Tanya Mba Puteri dengan logat jawa kental yang mungkin melihat saya sedaritadi gelisah sambil memperhatikan kaki saya yang terlihat kebiruan. Mba Puteri adalah guru sanggar saya. Guru yang mengajari saya menari.
“Sethithik sih mba, ning ta wis dijamoni,” (Sedikit sih mba, tapi kan sudah diobati) jawab saya jujur tak kalah medok dari Mba Puteri sambil melihat sekeliling ynag ternyata lebih gelisah dari saya, mereka gelisah bukan seperti saya yang merasa kesakitan terkilir, tetapi mereka gelisah mungkin karena sebentar lagi pengumuman akan diumumkan. Mba Puteri cuma tersenyum sambil kembali fokus ke depan.
Hal yang ditunggu-tunggu pun tiba. Sang pembawa acara dengan perlahan dan sukses membuat acara ini menjaadi menegangkan, terlebih lagi kepada kita peserta lomba. Saya sendiri sudah tidak mengharapkan banyak. Saya ingin malam ini berakhir cepat.
“Pemenang ketiga, diraih… Sutan Cahyono. Pemenang kedua, diraih… Gisella Kalintang. Dan pemenang pertama, dengan talenta yang penuh emosional, diraih oleh… Dena Madhani… kepada seluruh pemenang, harap keatas panggung guna mendapatkan piala dan kesempatan untuk mewakili daerah kita tingkat kota.”
Tepat sekali perkiraan saya. Saya tidak menang, dan tidak dapat dipungkiri lagi itu cukup membuat saya sakit hati. Saya mengumpat segala hal dalam hati guna mengeluarkan segala keluh kesal. Mungkin karena saya kurang latihan serius, makanya saya tidak mendapatkan apa-apa.
Memang benar kata orang, penyesalan selalu datang belakangan. Dan saya membenci hal itu.
“Mba, aku wis kalah,” (Mba aku sudah kalah) ujar saya sambil menunduk takut Mba Puteri marah.
Tanpa diduga, Mba Puteri tertawa pelan mendengar penuturan saya. Saya menoleh menatapnya. Apa yang lucu?
Mba Puteri menepuk pundak saya pelan seakan mengatakan pernyataan tersirat untuk sabar. “Kamu ndak usah pikirin masalah lomba tadi. Ganti pakaianmu, Mba traktir bakso didepan balai. Mau?” sungguh tanpa diduga-duga. Mba Puteri sungguh baik.
Saya mengangguk dan berdiri lalu berjalan terseok-seok menuju ruang ganti ditemani Mba Puteri.
Nama saya Sari Sukma Purnawati, gadis berumur enam belas tahun yang sedang duduk disekolah menengah atas dan menyukai tarian, karena menari ada didalam nadi saya. terutama Ronggeng.
…..
Tak kenal, maka tak sayang, tak sayang maka tak akan menang. Dengan bermodalkan gadget butut saya mencari wawasan lebih tentang Tari Ronggeng, mulai dari asal-usul tarian tersebut hingga hal mistis yang cukup membuat bulu kuduk saya merinding. Ternyata begitu banyak hal yang tidak saya ketahui.
“Simbok, aku tahun depan mau ikutan acara tahunan lagi. Bolehkan mbok?” ijin saya saat saya tengah menanak nasi.
“Boleh ndo, tapi jangan berorientasi dengan kemenangan. Belum tentu menang itu bagus, sing penting kamu senang jalaninnya.” Pesan simbok kepada saya. Terbesit dipikiran saya tentang perkataan Simbok. Bagaimana mungkin orang mengikuti suatu lomba tanpa berorientasi pada kemenangan, sedangkan kalau mengikuti lomba yang diinginkan pasti kemenangan.
Saya menggangguk mengiyakan.
Lambat laun, saya mulai mengetahui Tari Ronggeng, tari dari jawa yang memiliki segudang cerita, yang diperuntukan untuk acara tertentu.
Dengan semangat yang menggebu-gebu, diselingi juga dengan padatnya jadwal sekolah saya tetap melatih diri saya. Saya harus menang tahun depan, karena saya sudah mengambil jam terbang yang cukup jauh.
Pagi itu, jam 07.00, pelajaran pertama, saya sedang belajar Fisika disekolah. Pelajaran yang amat saya hindari. Memuakkan. Rasa-rasa saya ingin segera pergi dari kelas. Apa sih keuntungan mempelajari pelajaran ini. Saya tidak suka pelajaran ini, lebih baik saya berlatih menari.
“Sari, coba kamu kerjakan soal ini.” Suruh Pak Karyo yang sukses membuat saya mendesis. Saya tidak mengerti sama sekali. Saat saya didepan, saya hanya diam mematung sambil memegang spidol dan melirik kebelakang memasang wajah melas pada teman sekelas. Tapi ternyata, teman sekelas saya juga tidak ada yang memahaminya.
“Saya ndak bisa mengerjakannnya, pak. Saya ndak mengerti,’ ujar saya menatap wajah Pak Karyo yang menghela napas kasar. Mungkin dia kesal.
“Nanti istirahat, ikut bapak keruang kepala sekolah. Ada hal yang ingin dibicarakan.” Tiba-tiba jantung saya deg-deg’an saat Pak Karyo mengucapkan hal tersebut. Pikiran saya sudah luntang-lantung tak karuan. Mengapa harus kepala sekolah? Sepertinya ada yang tidak beres.
Saya pun dipersilahkan duduk kembali. Pelajaran kembali dilanjutkan dengan saya yang masih tidak mengerti.
Waktu bergulir, isitirahat pun tiba. Saya langkah berat mengikuti Pak Karyo keruang kepala sekolah. Demi apapun, perasaan saya tidak enak. Saya intropeksi diri, serasa-rasa saya tidak memiliki masalah apapun.
Saat saya masuk keruang kepala sekolah, Pak Karyo tidak ikut masuk. Saya terkejut. Disitu ada Simbok. Ada apa sih ini sebenarnya?
“Silahkan duduk, Sari,” seru Pak Samsudin, kepala sekolah saya.
“Saya, ada masalah apa yah pak?” Tanya saya langsung to the point, karena bingung dengan posisi saya yang merasa tersudut.
“Jadi begini Sari. Saya telah membicarakan hal ini dengan Simbok kamu. Kamu taukan nilai kamu sangat rendah?” Tanya Pak Samsudin dan dengan sangat saya sadari saya mengangguk.
“Nah, maka dari itu. Saya berbincang dengan Simbok kamu tentang keseharian kamu dirumah. Katanya kamu suka menari?” Tanya Pak Samsudin kembali.
“Iya.”
“Maka dari itu, demi nilai kamu. Kami sepakat, agar kamu berhenti dulu dari dunia menari untuk beberapa bulan. Setidaknya sampai Ulangan Akhir Semmester yang akan dilaksanankan lima bulan lagi.” Saya pun menatap Simbok dan kepala sekolah bergantian. Saya harus meninggalkan apa yang saya sukai demi sebuah nilai yang fana. Saya menghela napas. Lalu bagaimana dengan acara tahun depan? Apakah saya akan kecewa lagi? Tentu saya tidak mau.
“Ning pak, mbok. aku dhemen njoget, karo maneh uga manut aku njoget kuwi ndak salah,” (Tapi Pak, mbok. Saya suka menari, dan lagi pula menurut saya menari itu ndak salah) bela saya.
“Kami sudah menduga kamu akan berbicara seperti ini. Maka dari itu, semuanya terserah kamu. Kamu mau terus menari dan nilai kamu anjlok, kamu ndak naik kelas. Atau kamu mau vakum dulu selama lima bulan, memperbaiki nilai kamu sehabis itu terserah deh kamu mau menari apapun.”
Simbok diam saja. Mungkin dia prihatin dengan keadaan sekarang. Simbok pasti tidak mau saya meninggalkan dunia menari. Tapi apa boleh buat.
“Yaudah kalau begitu saya akan ninggalin dunia menari,” ucap saya terpaksa karena takut simbok kecewa jika saya menolak.
Pak Smasudin tersenyum lega.
“nah seperti itu dong. Baiklah, terimakasih atas kerjasamanya. Sari dan simboknya sari,’ seru Pak Smasudin berdiri dan mempersilahkan saya dan simbok pergi keluar.
Setelah saya dan simbok diluar ruang kepala sekolah. Simbok berbisik, “Kamu ndak apa-apa ndok?” Tanya simbok memegang lembut bahu saya.
Saya menoleh menatap simbok sambil tersenyum. “Ndak apa-apa mbok, kan cuman lima bulan saja,” jawab saya berusaha sebisa mungkin agar saya tidak terlihat menyedihkan.
Simbok mengehela napas.”Simbok tahu loh Sari, kamu sekarang lagi bohong. Sari, sari, simbok sudah enam belas tahun sama kamu,” ujar simbok berhasil membuat saya terkejut.
“mau digimanain lagi mbok. Demi sekolah juga,” balas saya pada akhirnya.
“kalau misalkan kamu mau ngelanjutin menari ndak apa-apa. Lagipula nilai yang kamu dapat sekarang juga ndak berpengaruh untuk masa depan kamu.” Pesan simbok yang sukses membuat saya termotivasi.
“tapi aku harus jadi orang mbok,” seru saya pelan.
Simbok terkekeh sedikit. “lah, sekarang juga kamu sudaj jadi orang. Masa hantu.”
Saya memanyunkan bibir saya, lantas sedetik kemudian terkekeh bersama simbok. Simbok, simbok, orang terhebat yang pernah ada dalam hidup saya.
……
Hidup itu harus dibawa enak. Simbok pernah berbicara seperti itu pada saya. Simbok mengatakan segala hal yang ingin saya dengar, bukan seperti kebanyakan orang tua yang saya dengar dari teman-teman syaa. Simbok itu ibu saya sekaligus sahabat sejati saya. Simbok itu separuh hidup saya. Dia yang mengajari saya untuk pertama kalinya bersyukur kepada Tuhan atas apa yang kita punya. Sederhana, tapi sangat berharga.
“Mbak puteri, aku mau vakum berlatih selama lima bulan,” ucap saya dan mendapat respon kak puteri yang cukup terkejut mendengar penuturan saya.
“kenapa?” Tanya kak puteri yang tengah merapikan asesoris menari anak-anak SD tadi.
“Saya disuruh belajar lebih giat sama kepala sekolah, mbak. Katanya nilai saya anjlok banget.”
“Yowes ndak papa” (Yaudah gak papa) balas Mbak Puteri dengan senyum menyemangati.
Waktu bergulir tak tearasa lima bulan dan sekarang saya sedang pembagian raport. Demi apapun, saya tidak terlalu berharap untuk mendapatkan nilai bagus.
“Ndo, kamu peringkat lima.” Simbok berucap bersemangat, berita yang sangat sulit untuk dipercaya. Saya sangat exited mendengar penuturan Simbok.
”Seriusan mbok?”
Simbok mengangguk.
Tak terasa sudah enam bulan dari pengambilan raport terakhir. Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu pun datang. Hari ini, hari saya akan tampil didepan banyak orang untuk menari yang kedua kalinya. Saya tidak akan menceritakan kepada kalian tentang hasilnya. Biar saja kalian memikirkannya sendiri. Saya Sari. Mengundurkan diri.
BERSAMBUNG