Loading...
Logo TinLit
Read Story - Pertualangan Titin dan Opa
MENU
About Us  

Lalu lintas nampak sangat rapi dan teratur. Dzakky tak henti memandangi barisan mobil di bawah sana dari kaca bus. Mobil-mobil yang tak kalah canggih dengan bus terbang yang tengah dinaiki dirinya, hanya saja para pemilik mobil itu mengalami mabuk udara jika dalam mode terbang. Oleh karena itulah, meskipun jalur lalu lintas udara tersedia dengan berbagai tujuan. Pemerintah pusat kota tetap menyediakan jalur darat, berupa jalanan beraspal yang amat mulus. Sementara itu, Titin malah tidur. Perut kenyang memang membuat mata menjadi mengantuk.

PRIIIT!

Bus menepi, memelankan laju dan berhenti secara perlahan. Android berwajah serius dengan seragam yang nampak gagah mengisyaratkan tanda berhenti. Tak lama hingga tujuh android berseragam sama mulai merangsek masuk. Sorot mata yang tajam menodong tiap penumpang. Rasa tegang menular dengan cepat kecuali pada Titin yang masih asyik dengan mimpi indahnya.

“Mohon maaf mengganggu perjalanan Anda. Kami dari kepolisian sedang mengejar sorang hacker yang menyusup ke dalam bus ini. Tetap tenang dan biarkan petugas memeriksa kartu identitas Anda,” jelas seorang pria berjambang putih dengan seragam persis para android. Lelaki ini nampaknya adalah pemimpin mereka. Dzakky berkeringat dingin.

Ya ampun bagaimana ini? Aku tidak mungkin punya kartu identitas.

Dzakky menahan napas gugup ketika sang petugas menatapnya tajam. Kepala Titin jatuh ke samping menyeruduk petugas. Android itu terkaget-kaget hampir saja melepaskan tembakan laser. Dzakky cepat-cepat menarik cucunya dan terbata menjelaskan keadaan Titin yang tengah pulas itu.

BRAKK

Salah satu android terbanting. Lelaki tampan bertubuh tinggi langsing melesat, menerobos, dan terjun dari bus setelah mengacau sistem bus untuk membuka pintu. Penumpang bus berpegangan erat pada kursi karena getaran udara akibat pintu yang terbuka. Bus mulai oleng ke kiri dan ke kanan karena gangguan sistem. Para android yang sempat terpaku segera mengejar penjahat tersebut.

Sambil berpegangan dan mendekap cucunya yang masih pulas, Dzakky sempat mengintip dari kaca bus. Si penjahat nampak terbang meliuk-liuk dengan jetpacknya sambil mempermainkan para petugas. Hembusan napas lega terdengar bersahutan ketika sang komndan para android berhasil mengambil alih sistem otomatis bus menjadi sistem manual. Beliau juga menutup kembali pintu bus. Dzakky menatap tak percaya pada cucunya yang nampak tertidur dengan nyaman seolah tak terjadi apapun.

Ya ampun anak ini ... Kalau saja bepergian sendiri bisa terlempar ke luar bus.

Bus kembali berjalan dengan stabil. Dzakky pun melanjutkan aktivitasnya mengamati kota kelahirannya yang berkembang sangat pesat 50 tahun terakhir. Matanya hampir tak berkedip. Bus berbelok dengan mulus memasuki bagian kota dengan kecanggihan melebihi bagian kota yang lain, kompleks pusat penelitian. Bus mengerem perlahan di depan sebuah halte. Badan bus turun dengan lembut hingga roda-rodannya menyentuh aspal. Dzakky segera membangunkan Titin.

“Halte Asteria, Dahulukan penumpang yang akan turun. Perhatikan barang bawaan Anda,” suara mesin otomatis terdengar.

Dzakky dan Titin ke luar dari bus dan mengamati sekitar untuk kemudian membandingkannya dengan peta pada proyeksi dari ponsel. Keduanya menyeberang dan mulai menyusuri jalanan dengan bangunan berteknologi tinggi di kiri-kanannya.

***

Awan yang tadinya bergulung menutupi sang mentari tertiup angin. Kini, terik menyengat para pejalan kaki. Namun, tak lama karena kanopi yang sensitif suhu dan cahaya akan secara otomatis terbuka dan  melindungi mereka dari sengatan matahari. Dzakky sempat terkaget-kaget, hampis saja dia berlari ketakutan, masih sedikit trauma dengan kejadian di bus. Titin tersenyum jahil, meledek sang kakek.

Langkah mereka terhenti ketika posisi mereka telah berada tepat titik kuning yang ada di proyeksi. Keduanya mengamati gedung pencakar langit dengan lambang cawan dan ular tersebut. Tulisan “Klinik Avicena” berwarna merah bergradasi kuning terpampang di bawah lambang cawan.  

“Sepertinya alamatnya di sini ...,” gumam Titin memecah keheningan. Dzakky manggut-manggut sambil memegang dagunya yang tidak berjanggut.

“Kalau dilihat dari peta sih iya,” sahut Dzakky yang kini mengamati proyeksi peta di ponselnya. “Ayo masuk!”

“Opa duluan!”

Setelah sedikit berdebat, akhirnya mereka masuk bersama-sama. Pintu otomatis membuka perlahan. Aroma karbol bercampur obat-obatan tercium kuat. Dinding ruangan didominasi putih. Sebuah loket bertuliskan pendaftaran menarik perhatian mereka. Tak mau membuang waktu, keduanya menghampiri loket.

“Permisi!” sapa Dzakky.

“Selamat siang, Bapak. Ada yang bisa dibantu?” Adroid dengan seragam perawat menyambut mereka dengan ramah. Bibir dari kulit sintetisnya tersenyum hangat, jauh berbeda dengan android petugas kepolisian yang galak itu.

“Kami mau bertemu dengan Profesor Shela,” sahut Titin to the point. Dzakky mendelik melihat Titin yang bersikap seolah hendak menemui teman saja.

“Apakah Anda sudah membuat janji? Atas nama siapa ya?” ucap android perawat sambil memeriksa layar proyeksi di hadapannya, mungkin memeriksa nama tamu-tamu yang telah membuat janji dengan sang profesor.

Titin menjadi panik. Dzakky memutar otak agar mereka tak dianggap perusuh dan diusir oleh android  keamanan yang dari tadi menatap mereka penuh curiga. Keduanya terlalu tegang hingga tak menyadari perubahan raut wajah android perawat. Sang android menganggukkan kepala sopan. Titin dan Dzakky mengerutkan kening. Keheranan mereka segera terjawab setelah terdengar tawa kecil .

“Ya ampun, Rose kamu ini selalu bersikap formal ha ha ha,” suara ramah itu menenangkan hati Titin dan Dzakky. Mereka refleks berbalik dan menemukan perempuan manis dengan jas labnya. Rambutnya tersanggul rapi menyiratkan aura keibuan. Senyuman hangat melunturkan ketegangan. Bordiran dengan tulisan “Shela” pada jas labnya sedikit tertutup ujung sarung tangan yang menyembul dari saku.

“Profesor, saya harus menjalankan sistem keamanan dengan baik,” protes Rose. Shela kembali terkekeh untuk kemudian menatap ramah pada dua orang tamunya.

“Maaf atas ketidaknyamanannya.” Mata bundar milik Shela membulat. Wajahnya nampak antusias. “Ya ampun Titin kamu sudah besar sekali. Shafa membesarkan anak-anaknya dengan baik ha ha ha.”

Titin menatap profesor yang penuh kharisma itu dengan tatapan tak percaya. Bagaimana mungkin profesor yang hidupnya dikelilingi teknologi bisa mengenal ibunya yang menghindari teknologi? Titin mendengar ibunya pernah menjadi guru. Apakah profesor ini mantan murid ibunya? Tapi kenapa profesor itu menyebut nama ibunya seperti teman saja? Shela kembali tersenyum sambil mengacak-acak rambut Titin. Dzakky sedikit kesal karena dicueki.

“Profesor berteman dengan ibuku?” tanya Titin pada akhirnya.

“Dia juniorku waktu di universitas.” Titin dan Dzakky tersentak kaget. Perempuan di hadapan mereka ini terlihat masih usia kepala tiga. Sedangkan, ibu Titin sudah hampir kepala lima. “Ajeng tadi menghubungiku tentang kedatangan kalian. Tapi karena aku masih ada pekerjaan kenapa tidak melihat-lihat saja dulu.” Shela mengalihkan pandangan pada android miliknya. “Rose kamu bisa pandu mereka.”

“Baiklah, Profesor,” sahut Rose patuh.

“Aku permisi dulu.” Dzakky dan Titin mengganggukan kepala sopan. Shela segera berlalu dari hadapan mereka.

Rose ke luar dari ruangan pendaftaran. Dzakky membulatkan mulutnya. Pupil mata menjadi sedikit membesar. Android berseragam perawat itu memang memiliki tubuh ideal yang mempesona. Bentuk pinggul sempurna bagaikan gitar. Kaki jenjang yang mulus terbungkus kaos kaki putih. Titin menyikut sang kakek.

“Ih Opa! Ingat Oma Dzakkya di rumah,” tegur Titin. Dzakky menyengir lebar.

“Anda bisa mengikuti saya,” ucapan Rose membuat Titin dan Dzakky mengangguk sopan. “Saya akan mulai dari klinik.” Rose berjalan perlahan menuju sayap kanan diikuti Dzakky dan Titin.

 “Di sini klinik, terdapat ruang tunggu pasien.” Rose menunjuk barisan kursi empuk berwarna biru laut dan hijau toska dengan nomor di belakangnya. “Di sana ruang pemeriksaan.” Rose menunjuk barisan pintu berwarna putih. “Terakhir, apotek.” Kali ini, Rose menunjuk meja panjang dengan beberapa petugas duduk di belakangnya.

Dzakky melongo ketika sebuah kursi empuk dengan nomor 25 bergerak perlahan menuju meja panjang. Dia baru menyadari ada semacam rel yang menghubungkan kursi warna biru laut dengan meja panjang dan kursi hijau toska dengan ruang pemeriksaan. Titin segera menjelaskan hal itu pada sang kakek. Kursi-kursi tersebut akan bergerak sesuai urutan tunggu pasien, baik pasien yang akan memeriksakan diri maupun pasien yang sedang menunggu resep.

Farmasis di belakang meja, tersenyum ramah, menyalami pasien dan mulai menjelaskan mengenai obat yang diterima si pasien, dari cara penggunaan, efek samping hingga penyimpanan. Setelah penjelasan dirasa cukup, petuga farmasis tersebut kembali menyalami pasien serta mengucapkan semoga lekas sembuh. Kursi biru laut kembali bergerak menuju pintu ke luar klinik dan akan kembali masuk ketika pasien sudah bangkit dari kursi.

“Wow keren sekali!” seru Dzakky.

“Norak banget sih, Opa. Ini ‘kan sudah 50 tahun. Tentu saja banyak perubahan.”

“Kamu menghinaku ya?”

“Bukan begitu!”

Dzakky menjewer telinga Titin. Sang cucu mengaduh walaupun sebenarnya tak merasa kesakitan. Dzakky masih merasa kesal, mendengus pelan. Rose menatap keduanya dengan wajah malas.

“Kita akan menuju ruangan-ruangan laboratorium. Apa Anda berdua sudah selesai?”

“Ah iya, iya.”

Rose membalikkan badannya dan berjalan kembali dengan anggun menuju sebuah pintu besi. Jemari lentik mengutak-atik tombol di dinding. Pintu besi terbuka perlahan. Rose mengajak keduanya masuk. Ruangan persegi tak seberapa luas menyambut mereka. Rose menekan sebuah tombol. Sebuah lemari ke luar dari tembok.

Rose membuka lemari dan mengeluarkan tiga bungkusan. Dzakky dan Titin masing-masing menerima satu bungkusan. Rose membuka bungkusan miliknya, sebuah seragam, penutup kepala dan sepasang sepatu. Dia juga memperagakan penggunaan barang-barang tersebut. Dzakky dan Titin mengikuti langkah Rose tanpa banyak protes.

Rose kembali menekan tombol. Langit-langit ruangan membuka sebuah lubang kecil. Hembusan gas menyelubungi ketigannya. Titin memasang wajah curiga, bergerak perlahan ke samping sang kakek.

“Ssttt Opa ... ini bukan gas beracun ‘kan?”

“Dasar norak! Ini namanya sterilisasi!”

“Opa!”

“Ehem!” Deheman Rose menghentikan pertengkaran yang hampir saja dimulai. Gas mulai perlahan menghilang. “Baiklah kita akan memasuki area laboratorium.”

Rose kembali menekan tombol. Dinding yang sebelumnya nampak kokoh perlahan bergerak, menimbulkan sebuah lubang berbentuk bunga tulip. Dzakky dan Titin membulatkan mata.

Sebuah lorong panjang menyambut mereka. Dzakky dan Titin mengikuti langkah Rose menginjak ubin berwarna abu-abu. Rose nampak mengutak-atik arloji miliknya. Tak lama hingga lantai lorong bergerak perlahan.

“Kita akan memasuki ruangan pertama, ruangan untuk pengembangan obat dan alat kesehatan.”

Lantai bergerak tiba-tiba berubah arah. Sebuah ruangan terbuka seolah mempersilahkan mereka masuk ke dalamnya. Aroma bahan kimia tercium kuat. Suara mesin mendesing pelan. Titin mengamati antusias tangan besi yang mencengkeram tabung reaksi berisi cairan berwarna ungu bergerak perlahan memasukkan cairan ungu ke dalam erlenmayer berisi cairan hijau. Beberapa peneliti sibuk dengan mesin mereka masing-masing, mencatat, menganalisa maupun menghitung. Shela pun nampak ada di ruangan dalam mengamati proyektor dengan gambar sel ginjal.

Titin tak berkedip. Sepasang mata berbinar-binar. Mulutnya sedikit terbuka. Mesin-mesin canggih itu serasa tengah memeluknya lembut. Titin pasti akan sangat bahagia kalau bisa bekerja di tempat seperti ini. Tapi Oma tidak akan setuju.

Sementara itu Dzakky, berdecak kagum berulang kali. Tangannya sungguh gatal ingin menyentuh tombol-tombol yang ada di dinding. Namun, Dzakky selalu tahu menempatkan diri. Saat ini mereka adalah tamu yang harus tahu sopan santun.

Meskipun masih ingin berada di ruangan tadi, Dzakky dan Titin pasrah saja ketika harus mengikuti jejak Rose yang telah berbalik menuju lantai bergerak. Rose mengatur lagi tombol di arlojinya sehingga lantai bergerak berbelok dan berhenti di depan pintu dari kaca.

 “Ruangan ini untuk pengujian efektivitas dan keamanan obat.”

Pintu kaca membuka perlahan. Lantai bergerak membawa mereka bertiga memasuki ruangan dengan tempat tidur yang dipenuhi dengan android. Titin refleks mendekat ketika didengarnya android berambut biru menjerit.

“Mbaknya kenapa? Ada yang bisa saya bantu?”

“Kamu tenang saja, dia tidak apa-apa. Itu hanya pengujian efektivitas penahan sakit.” Titin menatap tak percaya. “Semenjak pelarangan pengujian obat baru pada hewan kami menggunakan android. Ternyata hasilnya lebih bagus. Tubuh android bisa dimodifikasi sehingga sangat mirip manusia,” jelas Rose ringan.

“Tapi entah kenapa aku masih merasa ini kejam ....” Rose menggeleng.

“Laboratorium ini yang terbaik. Jika di tempat lain, setelah dipakai kami bahkan dibuang begitu saja dan menjadi rongsokan. Di sini kami akan diperbaiki. Profesor juga memperlakukan kami seperti anak sendiri. Kami sangat rela digunakan oleh profesor.”

Titin masih merasa tak terima. Matanya terus mengamati android yang kesakitan. Beberapa lainnya malah nampak terkapar tak berdaya. Titin hampir saja mengajukan protes lagi ketika Dzakky menyentuh bahunya dan memberi isyarat untuk diam. Tangannya menunjuk wajah para android. Titin tercekat. Barulah disadarinya ada rasa bangga di mata-mata yang beraneka warna itu.

Setelah menyapa beberapa temannya, Rose mengajak Dzakky dan Titin kembali menuju lantai bergerak. Hanya hening yang meningkahi ketiganya. Kini, lantai bergerak berhenti di ruangan paling ujung.

“Ini ruangan pemusnahan produk gagal dan Pengolahan limbah,” jelas Rose. Di hadapan mereka nampak tabung-tabung besi berukuran raksasa. Bunyi menggelegak terdengar dari dalam tabung membuat bulu kuduk meremang. Tak lama mereka berada di ruangan yang teramat panas tersebut. “Sekarang saya akan mengantar Anda ke ruangan Profesor sesuai instruksi,” kata-kata Rose membuat Titin merasa sedikit lega.

***

Dzakky mempermainkan sendok mungil dalam cangkir tehnya, bosan. Hampir satu jam mereka menanti namun Shela nampak masih belum datang. Teh beraroma vanila itu bahkan tak lagi mengepulkan asap. Titin malah sibuk menggerutu pada Ajeng yang telah memaksa mereka untuk berangkat cepat-cepat. Dia masih kesal karena tak sempat berfoto dengan Afit.

“Pasti Ajeng ingin berfoto sendiri dengan Afit dan pamer padaku,” gumam Titin penuh curiga. Titin menghembuskan napas berat. Dia bangkit dari sofa putih berbulu dan memutuskan untuk melihat-lihat ruangan kerja yang luas dan nyaman itu.

Pertama, dia menyentuh meja kerja standar dengan bahan dari kayu ulin yang sangat langka. Kayu berkualitas tinggi, kuat, tahan lama bahkan semakin kokoh meskipun terendam air. Katanya hanya tinggal 20 batang kayu ulin yang ada di hutan negeri ini. Ada juga kursi empuk berputar warna biru yang nampak sangat nyaman jika diduduki. Beberapa tombol dengan bermacam fungsi terdapat di atas meja.

Titin mengalihkan pandangannya pada pot-pot cantik di pinggiran jendela. Aneka bunga beraroma menyegarkan memanjakan mata dengan keindahan mahkotanya. Titin menghirup aroma bunga itu sejenak.

Terakhir, Titin mulai mengamati figura-figura yang menggantung di dinding, sebagian besar berisi lukisan, hanya ada dua figura berisi foto. Titin merasa merinding ketika melihat sebuah lukisan dengan empat naga di dalamnya. Dia segera mengalihkan pandangan pada foto di dinding. Foto pertama, sebuah foto keluarga, ada Shela, seorang lelaki berwajah humoris dan bocah laki-laki yang tengah memotong kue ulang tahun. Sementara itu, foto kedua membuat Titin terhenyak. Dia mendekat untuk meyakinkan matanya tak salah.

“Eh? Ini ‘kan foto opa!” pekik Titin.

“Jangan bercanda, Titin ....”

“Beneran, Opa!” protes Titin. “Coba Opa ke sini deh!”

Dzakky bangkit dengan malas dari sofa dan mendekati cucunya. Tak lama hingga wajah malasnya berubah menjadi heran. Titin benar soal foto dalam figura. Foto itu memang diambil saat Dzakky memenangkan sebuah nobel.

“Itu memang foto anda. Kak Fauzi, suamiku sangat mengidolakan Anda Profesor Dzakky,” suara lembut dari arah pintu mengejutkan keduanya. Wajah mereka memerah malu, merasa tertangkap basah telah melihat-lihat foto di ruangan tersebut tanpa izin dari pemiliknya.

“Maaf kami tidak sopan,” ucap Dzakky cepat.

“Ah apa yang Anda katakan. Saya justru sangat bangga bisa bertemu dengan tamu spesial.” Senyuman hangat tersungging di bibir Shela. “Sebenarnya, Ajeng sudah menceritakan perihal Anda kepada saya. Soal mesin waktu dan mengapa Anda sampai mempertaruhkan nyawa pergi ke masa ini. Ya ampun suamiku sangat percaya Anda tidak meninggal tapi berhasil dengan mesin waktu itu.”

Shela mengajak keduanya kembali duduk. Dia segera bercerita dengan antusias bagaimana suaminya mengeluarkan berbagai analisis tentang isu kematian Dzakky. Ketidakpercayaan lelaki itu pada berita penemuan jasad terbakar di dalam laboratorium. Mata beriris hitam kecokelatan itu sesekali menerawang, kadang tersenyum tipis saat mengucapkan nama suaminya. Dzakky duduk gelisah. Perempuan berkemeja hijau muda itu nampak tak ingin menyelesaikan ceritanya.

“Jadi, obatnya benar-benar ada ...,” tanya Dzakky tak sabar.

“Ah ya ampun maaf saya jadi keterusan bercerita. Obatnya tentu saja ada, tapi saat ini saya kehabisan stok, perlu tiga bulan untuk produksi yang baru. Anda tak apa menunggu selama itu.” Dzakky menghela napas lega, Shela tak tersinggung ceritanya dipotong

“Tentu saja. Saya betul-betul berterima kasih,” ucap Dzakky tulus dengan mata berkaca-kaca.

“Ah Andai saja suami saya masih hidup pasti dia jadi heboh karena bisa bertemu Anda he he he.” Wajah Dzakky dan Titin mendadak sendu, menatap sang profesor dengan penuh simpati. “Tak apa, Profesor Dzakky, Titin. Saya sudah berdamai dengan kepergiannya. Bahkan, obat yang saya kembangkan ini pun sebagai bentuk balas dendam saya pada penyakit kanker yang merenggut Kak Fauzi dari saya.”

Wajah bersahaja itu sedikit mendung namun senyumannya selalu terlihat cerah. Titin menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia bahkan menelan ludah berkali-kali. Dia tahu kata-kata yang akan diucapkannya sedikit tak nyaman.

“Ah iya Profesor. Soal harganya ....” Tawa Shela pecah seketika.

“Ha ha ha ya ampun Titin. Mana mungkin aku memarik biaya pada profesor idola suamiku. Bisa-bisa mediang suamiku marah padaku.”

“Terima kasih banyak, Prof.” ucap Titin dan Dzakky hampir bersamaan.

Suara sirene meraung dengan keras. Dzakky dan Titin hampir terlonjak dari kursi. Wajah Shela nampak gelisah namun dia berusaha bersikap tetap tenang. Pintu mendadak dibuka dari luar. Pemuda tampan berjas putih merangsek masuk. Titin mendadak lupa dengan rasa kagetnya akibat pesona sang pemuda. Matanya dengan cepat mengamati name tag di jas putih sang pemuda.

Dr. Dani ... dia ini putranya profesor.

“Profesor, gawat perisainya semakin retak!” Pemuda itu nampak tak menyadari keberadaan Titin dan Dzakky dan langsung menghadap pada Shela. Sang Profesor terkekeh melihat wajah panik putranya. Titin mengamati punggung yang begitu kokoh.

Punggungnya aja keren ....

“Tenanglah, Dani. Mama sedang ada tamu penting di sini.” Dani tersentak dan menyadari dua orang yang dipunggunginya. Dia cepat berbalik dan membungkukkan badan..

“Oh Maafkan saya telah menganggu ....”

“Tak apa-apa. Tidak menganggu kok!” sahut Titin cepat-cepat. Wajahnya seketika merona. Dzakky tersenyum jahil. Titin menyikut sang kakek. Setelah puas meledek Titin, Dzakky mengalihkan pandangannya pada Dani.

“Kalau boleh tahu, apa ada hal yang gawat?” tanyanya hati-hati, khawatir akan menyinggung perasaan.

Dani dan Shela saling berpandangan, nampak menimbang untuk memberikan informasi penting yang mereka miliki. Keduanya bahkan sedikit berdebat. Shela nampak tak ingin menyusahkan tamunya dengan masalah tersebut sementara Dani berkeras untuk memberikan informasi. Akhirnya, Shela menghembuskan napas berat mempersilahkan Dani untuk mengatakan yang sebenarnya.

“Sebenarnya, Profesor Shela adalah keturunan Nyi Ageng Sukma, penjaga dunia kita dengan dunia kegelapan yang akan membahayakan umat manusia.” Alis Dzakky dan Titin bertaut tak mengira akan ada cerita metafisika  dalam fasilitas laboratorium secanggih ini. “Selama ini profesor telah menjaga perisai itu dengan baik. Beliau bahkan membuat alarm di titik-titik penting. Tapi karena Profesor Dzakky menembus dimensi waktu terjadi goncangan yang menyebabkan keretakan perisai.” Dzakky jadi merasa tak enak hati. “Maaf, kami sama sekali tidak menyalahkan Anda.”

“Iya, profesor. Sebenarnya, hal ini sudah ada dalam buku ramalan,” tambah Shela. Wanita itu berdiri, berjalan ke arah meja kerja dan membuka lacinya. Shela kembali dengan sebuah buku tua. Dia membuka sebuah halaman yang telah diberi penanda. Dahi Dzakky dan Titin mengernyit melihat tulisan kuno di dalamnya. “Di sini tertulis suatu hari akan ada penjelajah waktu terpilih yang menembus dimensi waktu sehingga terjadi keretakan perisai. Untuk membuat perisai yang baru dibutuhkan empat mutiara naga. Hanya sang penjelajah waktu terpilih yang dapat menemukan kediaman sang naga.”

“Itulah yang saya debatkan dengan profesor Shela tadi. Beliau tidak mau merepotkan Anda. Padahal tim kami sudah berkali-kali mencari di titik-titik yang ada dalam buku ramalan tetap tak bisa menemukan kediaman naga tersebut.” Dani mendadak berlutut di hadapan Dzakky. “Hanya Anda yang bisa menemukan naga tersebut.”

Dzakky menatap ragu. Dia masih tak bisa mempercayai cerita barusan. Dunia yang sudah sangat modern ini rasanya mustahil masih menyimpan hal mistis. Terlebih, hal mistis itu terpaut dengan seseorang yang terlihat amat sangat ilmiah.

“Anda pasti sulit mempercayainya.” Shela tersenyum lembut. Dia membuka telapak tangannya. Perlahan, bulat kecil berwarna merah yang hangat ke luar dari tangannya. “Ini adalah api.” Selanjutnya, bulatan kecil berganti-ganti warna, hijau, biru dan cokelat. “empat elemen kehidupan. Tapi aku tak memiliki cukup kekuatan untuk menjadikannya sebuah perisai karena itulah memerlukan mutiara naga.”

Titin dan Dzakky masih menatap tegang. Keduanya berkali-kali mengucek-ucek mata. Bulatan kecil yang berganti warna itu tetap di sana. Sempat terpikir juga semua itu hanyalah teknologi. Namun, hal yang dilakukan Shela selanjutnya membuat mereka meyakini hal metafisika yang diungkapkan wanita itu. Shela mengarah telunjuknya pada pot bunga, seketika itu juga tanah dalam pot terangkat membentuk bulatan kecil dan terbang ke arah mereka dan tergeletak di atas telapak tangan Shela.

 “Baiklah sekarang kami percaya. Tentu saja kami akan membantu tapi kemana saja kami akan mencari naga itu?” tanya Dzakky meskipun dalam hatinya masih diliputi keraguan. Titin melirik sang kakek kesal.

Kenapa pakai kata kami? Bukannya harusnya Kakek mencari mutiara naga itu sendiri? Yang bikin perisainya retak ‘kan Kakek?

“Kami sudah membuat titik-titik dimana terdeteksi energi yang sangat besar. Ada empat titik utama.” Dani meenkan tombol, muncullah layar proyeksi menampilkan peta dan titik-titik merah. Dani menunjuk sebuah titik merah. “Pertama, berada di dasar laut Utara, lokasinya cukup dekat dengan tambak udang milik istri Anda.” Dani menujuk lagi dua titik merah berdekatan. “Titik kedua dan ketiga berdekatan, lokasinya gunung merapi sebelah Barat.” Dani menunjuk sebuah titik merah. “Kuil mengapung  yang terletak 5 km dari pangkalan angkatan udara.”

Dzakky mendengarkan dengan seksama penjelasan Dani. Sementara itu Titin, lebih suka memperhatikan dengan seksama wajah tampan dokter tersebut. Hampir saja kepalanya digetok oleh sang kakek.

“Perjalanan ini mungkin akan sangat berbahaya. Dani tolong siapkan perlengkapan terbaik untuk profesor Dzakky dan Titin.”

“Baiklah, Profesor.” Shela merengut.

“Kapan kamu akan memanggilku mama?” sungutnya. Dzakky dan Titin menatap Dani heran. Pemuda itu tersenyum tipis

“Saya hanyalah anak adopsi,” jelasnya singkat.

“Tapi kamu memanggil Kak Fauzi dengang sebutan Papa. Itu tidak adil!” protes Shela. Dani tersenyum nakal.

“Rasanya aneh memanggil mama pada wanita yang dilihat dari wajahnya hampir seumuran denganku,” sahut Dani tak mau kalah.

Titin dan Dzakky menggangguk-angguk setuju. Mereka memang heran pada wajah sang profesor yang kelihatan masih 30-an. Titin menatap lekat Shela. Wanita itu terkekeh.

“Ini karena obat yang kukembangkan. Obat untuk menghambat penuaan. Aku megujinya pada diri sendiri karena saat itu hewan uji resmi dilarang. Berhasil sih tapi efek sampingnya sangat mengerikan. Obatnya menganggu sistem hormon reproduksi. Aku takkan pernah bisa melahirkan anak.” Wajah Titin mendadak sedih. “Tak apa, Nak. Itu sudah suratan takdir. Meskipun dulu aku sempat frustasi sampai Kak Fauzi datang membawa Dani ke rumah kami.”

Setelah itu tak banya obrolan serius. Dani telah permisi karena masih banyak pekerjaan yang harus dikerjakannya. Titin sedikit kecewa namun tak lama. Dia kembali terhanyut dalam obrolan ringan tersebut.

***

“Kamu yakin akan terus menyembunyikannya, Sayang?” suara bariton yang selalu mendebarkan dada Ajeng itu terdengar ragu. Ajeng menghembuskan napas berat.

“Aku tidak mau dia terluka lagi, Andi.”

Ajeng mendadak terisak. Andi dengan cepat merengkuh tubuh sang istri ke dalam pelukannya. Tubuh yang nampak rapuh itu berguncang pelan sebelum tertidur.  Andi menatap lembut wajah lelah Ajeng sebelum mendaratkan kecupan lembut di kening snag istri.

“Kuharap keputusan kalian ini tidak membuat Titin semakin terluka,” bisiknya lembut.

....

“Mama!”

Dua bocah  usia sepuluh tahunan itu berlari riang menuju Afit. Wajah lelah sang ibu langsung berubah cerah. Sepasang tangan halusnya merengkuh tubuh mungil dalam dekapan. Senyuman lembut yang hangat tersungging di bibir.

“Sepertinya anak mama senang sekali.” Afit melepaskan pelukannya dan mengajak anak-anaknya duduk di atas sofa ruang keluarga. “Ada cerita asyik apa hari ini?” tanya Afit lembut sembari mengusap rambut kedua bocah.

Sebelum bercerita, dua bocah berbeda jenis kelamin namun memiliki wajah hampir serupa itu ribut dahulu. Afit terkekeh melihat anak-anaknya yang berebutan hendak bercerita lebih dulu meskipun cerita mereka pasti sama. Mereka ‘kan seharian selalu bersama-sama. Akhirnya, Rian, bocah lelaki mengalah, membiarkan adiknya, Riana, memulai cerita. Gadis kecil berlesung pipi dengan rambut hitam kecokelatan itu mulai menceritakan aktivitas mereka di sekolah. Sesekali Rian menimpali. Afit mendengarkan dengan seksama hingga cerita itu berhenti karena anak-anaknya telah pulas. Afit tersenyum lembut.

“Kamu bertengkar lagi dengan Sung Jae,” suara berat mengejutkannya. Afit menoleh. Wajah tegas sang ayah menyambutnya. Hatinya terasa perih. Lelaki yang selalu menjadi kebanggaannya itu ternyata berandil besar dalam peristiwa menyakitkan itu. “Karena peristiwa itu? Ayolah, Fit! Papa melakukannya demi kebaikan kamu,” kilah Josua.

“Afit tidak mau membahas masalah ini lagi, Pa.” Afit memanggil dua orang pelayan dan meminta mereka membantunya membawa dua anaknya menuju kamar.

Ya! Aku tahu Papa bermaksud baik

Tapi ...

Kenapa harus menghancurkan kehidupan orang lain?

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
I Hate My Brother
433      313     1     
Short Story
Why my parents only love my brother? Why life is so unfair??
THE HISTORY OF PIPERALES
2054      801     2     
Fantasy
Kinan, seorang gadis tujuh belas tahun, terkejut ketika ia melihat gambar aneh pada pergelangan tangan kirinya. Mirip sebuah tato namun lebih menakutkan daripada tato. Ia mencoba menyembunyikan tato itu dari penglihatan kakaknya selama ia mencari tahu asal usul tato itu lewat sahabatnya, Brandon. Penelusurannya itu membuat Kinan bertemu dengan manusia bermuka datar bernama Pradipta. Walaupun begi...
Code: Scarlet
24850      4893     16     
Action
Kyoka Ichimiya. Gadis itu hidup dengan masa lalu yang masih misterius. Dengan kehidupannya sebagai Agen Percobaan selama 2 tahun, akhirnya dia sekarang bisa menjadi seorang gadis SMA biasa. Namun di balik penampilannya tersebut, Ichimiya selalu menyembunyikan belati di bawah roknya.
Violetta
608      361     2     
Fan Fiction
Sendiri mungkin lebih menyenangkan bagi seorang gadis yang bernama Violetta Harasya tetapi bagi seorang Gredo Damara sendiri itu membosankan. ketika Gredo pindah ke SMA Prima, ia tidak sengaja bertemu dengan Violetta--gadis aneh yang tidak ingin mempunyai teman-- rasa penasaran Gredo seketika muncul. mengapa gadis itu tidak mau memiliki teman ? apa ia juga tidak merasa bosan berada dikesendiri...
Mahar Seribu Nadhom
4896      1702     7     
Fantasy
Sinopsis: Jea Ayuningtyas berusaha menemukan ayahnya yang dikabarkan hilang di hutan banawasa. Ketikdak percayaannya akan berita tersebut, membuat gadis itu memilih meninggalkan pesantren. Dia melakukan perjalanan antar dimensi demi menemukan jejak sang ayah. Namun, rasa tidak keyakin Jea justru membawanya membuka kisah kelam. Tentang masalalunya, dan tentang rahasia orang-orang yang selama in...
CINLOV (KARENA CINTA PASTI LOVE)
16171      2022     4     
Romance
Mala dan Malto dua anak remaja yang selalu memperdebatkan segala hal, Hingga akhirnya Valdi kekasih Mala mengetahui sesuatu di balik semua cerita Mala tentang Malto. Gadis itu mengerti bahwa yang ia cintai sebenarnya adalah Malto. Namun kahadiran Syifa teman masa kecil malto memperkeruh semuanya. Kapur biru dan langit sore yang indah akan membuat kisah cinta Mala dan Malto semakin berwarna. Namu...
Premium
Akai Ito (Complete)
5774      1329     2     
Romance
Apakah kalian percaya takdir? tanya Raka. Dua gadis kecil di sampingnya hanya terbengong mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Raka. Seorang gadis kecil dengan rambut sebahu dan pita kecil yang menghiasi sisi kanan rambutnya itupun menjawab. Aku percaya Raka. Aku percaya bahwa takdir itu ada sama dengan bagaimana aku percaya bahwa Allah itu ada. Suatu saat nanti jika kita bertiga nant...
Aku Istri Rahasia Suamiku
12224      2385     1     
Romance
Syifa seorang gadis yang ceria dan baik hati, kini harus kehilangan masa mudanya karena kesalahan yang dia lakukan bersama Rudi. Hanya karena perasaan cinta dia rela melakukan hubungan terlarang dengan Rudi, yang membuat dirinya hamil di luar nikah. Hanya karena ingin menutupi kehamilannya, Syifa mulai menutup diri dari keluarga dan lingkungannya. Setiap wanita yang telah menikah pasti akan ...
Love Never Ends
11641      2454     20     
Romance
Lupakan dan lepaskan
Dinding Kardus
9657      2601     3     
Inspirational
Kalian tau rasanya hidup di dalam rumah yang terbuat dari susunan kardus? Dengan ukuran tak lebih dari 3 x 3 meter. Kalian tau rasanya makan ikan asin yang sudah basi? Jika belum, mari kuceritakan.