...
Untuk alasan apapun, bohong adalah perbuatan yang tak baik. Tapi terkadang, saat seseorang benar-benar menginginkan sesuatu dan jalan satu-satunya untuk bisa memperoleh adalah berbohong, maka terpaksa, menipu pun dilakukan.
Sore itu, saat Ezra baru saja pulang kerja, ia mendapat telepon dari pihak rumah sakit. Mereka mengabarkan bahwa Okta mengalami kecelakaan dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit. Setelah mendengar itu, Ezra langsung menuju rumah sakit. Ia bahkan tak mengatakan apapun pada Anita.
Sampai di kamar yang ditunjukkan salah satu perawat di sana, Ezra menemukan Okta tengah tertidur. Ia memaki dirinya sendiri. Ia gagal menjaga Okta. Beruntung gadis itu tak menderita luka serius. Hanya keningnya saja yang memar.
Setelah memastikan keadaan Okta baik-baik saja, Ezra keluar dari ruang rawat itu, Ia menghubungi Anita, kemudian masuk lagi. Ezra duduk di samping tempat tidur gadis itu.
Tak lama, Okta pun bangun. Ia menatap Ezra, lalu tiba-tiba saja menangis. Ezra yang melihat itu sangat terkejut. Ia akhirnya memeluk Okta dan membiarkan gadis itu menangis selama beberapa menit.
“Kau kenapa? Terkejut? Karena itu berhentilah keras kepala. Aku sudah mengusulkan diri untuk menjemputmu tadi sore.” Ezra mengelus rambut Okta.
“Ezra….” Okta mengeratkan pelukannya pada Ezra.
Ezra terdiam. Tubuhnya serasa kaku. Ini bukan pertama kalinya Okta memanggil namanya. Tapi barusan ada yang berbeda. Laki-laki itu pun menegakkan tubuh dan menatap wajah Okta.
Okta menunduk, tak sanggup bersitatap dengan Ezra. Ia amat bingung harus melakukan apa saat ini. “Ezra.”
…
Seminggu sudah Okta pulang ke rumah, dan seminggu pula gadis itu bersikap aneh. Setiap hari pergi bekerja sangat pagi. Jika shift siang, ia hanya akan mengurung diri di kamar. Setelah pulang bekerja, sebisa mungkin ia tak bertemu dengan Anita dan juga Ezra. Menghindar. Okta memang menghindar. Ia tak punya cara lain lagi. Untuk sementara biarlah seperti ini.
Sikap Okta yang mendadak menjauh disadari oleh Ezra dan Anita. Mereka bahkan saling bertanya untuk bisa tahu penyebab Okta seperti sekarang. Tapi sayangnya, mereka sama-sama tak tahu.
“Apa ini semua karena Alex?” tanya Anita
Ezra diam, namun suara dalam kepalanya mengiyakan. Laki-laki itu pasti sudah mencuci otak Okta selama 1 bulan ini. Tak mungkin sikap Okta berubah tanpa alasan, kan?
“Kau sudah cek kebenarannya? Alex memanglah tunangan Okta?”
Ezra berdiri setelah mendengar pertanyaan Anita. “Mantan tunangan,” ralatnya tak terima.
Darah Anita mendidih. Sewaktu Okta menceritakan semua hal tentang Alex, ia sempat tak percaya. Tapi melihat reaksi Ezra barusan, ia pun mau tak mau harus meyakini fakta itu. Dengan wajah marah, Anita keluar dari kamarnya. Ia tak ingin meledak di depan Ezra dan malah membuatnya tersudut.
Anita duduk di sofa. Ia sedang memaksa otaknya menemukan sebuah cara. Semuanya sudah jelas. Pertama, Ezra suaminya itu memang menaruh rasa pada Okta. Kedua, Alex muncul. Satu akibat dari dua perkara ini hanya satu. Okta akan segera meningalkan rumahnya. Gadis itu akan pergi dan meninggalkan Anita sendirian. Tak bisa dibiarkan. Anita tak mau melepas Okta. Setidaknya, tidak tanpa perlawanan.
Esok paginya, Okta yang memang sedang libur akhirnya turun ke dapur setelah lumayan siang, pukul 11. Ia tahu Anita sedang pergi, gadis itu sempat pamit padanya tadi. Okta pikir rumah sudah sepi, jadi tanpa beban ia melenggang ke dapur.
Okta ke dapur untuk mencari makanan, tapi gadis itu malah menemukan Ezra di sana. Laki-laki itu berdiri di depan kompor dan kedua tangannya terlihat sibuk. Meski melihat dari belakang, Okta tahu bahwa Ezra sedang memasak. Pertanyaannya, kenapa Ezra memasak? Mana bi Ratmi?
Ezra mematikan kompornya setelah memindahkan nasi goreng yang baru dimasaknya ke piring besar. Saat ia berbalik, ia menemukan Okta di sana. Berdiri menatapnya dengan tatapan yang menurutnya sedikit tak biasa.
“Bi Ratmi tak masuk. Aku hanya bisa membuat nasi goreng.” Ezra berjalan menuju meja makan lalu meletakkan nasi goreng olahannya tadi di sana. “Ayo makan,” ajaknya.
Okta diam sebentar, sampai akhirnya memutuskan untuk ikut bergabung dengan Ezra yang sudah duduk. Mencoba biasa saja, gadis itu mmulai menyendokkan nasi ke piringnya. Kemudian mereka pun makan dengan diam, bahkan hingga selesai.
.
Anita bilang ia hanya akan pergi beberapa jam. Tapi hingga malam seperti sekarang, wanita itu belum kunjung pulang. Sembari menunggu Anita pulang, Okta sedang duduk di teras belakang. Awalnya ia sendirian, sampai akhirnya Ezra datang.
Ezra duduk di sebelah Okta. Laki-laki itu membuka percakapan langsung pada inti masalah. Alex. Ezra ingin tahu apa saja yang sudah Alex ceritakan dan apa saja yang sudah mereka lakukan.
Mendengar pertanyaan Ezra, Okta diam untuk beberapa saat. Kemudian ia pun menoleh pada laki-laki itu. Saat mulutnya terbuka, bukannya jawaban yang ia keluarkan, tapi pertanyaan.
“Aku ini siapa untukmu, Ezra?”
Ezra menaikkan kedua alisnya. Bukankah ia dan Anita sudah menceritakan semuanya pada Okta? Lalu kenapa gadis itu bertanya lagi?
“Alex mengatakan sesuatu yang membuatmu ragu akan semua yang sudah kami ceritakan?” tebaknya
Okta menggeleng. Wajah gadis itu semakin terlihat muram. “Aku hanya ingin bertanya,” kata Okta. “Senang bisa melihatmu lagi, Ezra,” sambungnya.
“Anita mengunjungi ayahnya. Sepertinya malam ini tak akan pulang. Kau tidur saja, tak usah menunggunya.” Ezra pun berlalu. Ia sama sekali tak menyadari tatapan aneh yang sedari tadi Okta layangkan padanya.
Anita pulang esok sorenya. Ia sangat lelah hingga berniat untuk segera tidur. Tapi niatnya itu harus ia urungkan kaena Okta tiba-tiba saja mengatakan sesuatu yang mengerikan.
Di ruang tamu rumah Anita, Okta bilang ia akan pindah sore ini. Gadis itu berkata sudah mengontrak sebuah rumah yang dekat dengan tempatnya bekerja dan akan meninggalkan rumah Anita dan Ezra saat ini juga. Sangat tiba-tiba.
“Kenapa tiba-tiba sekali? Ada apa ini, Okta?” Anita tak terima
“Apanya yang tiba-tiba, Anita? Aku kan sudah pernah bilang padamu kalau suatu saat aku akan pindah dari rumah kalian. Dan sekaranglah saatnya.” Okta menatap Anita dan Ezra bergantian.
“Apa ini karena Alex? Apa kau akan tinggal bersamanya?” tanya Ezra.
“Tentu saja tidak. Aku tinggal sendirian di sana.” Okta berdiri lalu mengulurkan tangannya pada Ezra. “Aku pergi, Ezra. Terima kasih untuk semua kebaikanmu selama ini. Sungguh, aku tak akan melupakannya.”
Ezra menatap Okta tak terpecaya. Tega sekali gadis itu meninggalkannya dengan tiba-tiba begini. Ezra tak mau mendengar ucapan perpisahan itu dan tak mau menjabat tangan Okta. Ia berdiri, hendak meninggalkan ruang tamu. Tapi tiba-tiba saja ia ditarik Okta dan berakhir dalam pelukan gadis itu.
“Aku pergi, Ezra. Terima kasih,” ucapp Okta sembari mengeratkan pelukannya. Ini terakhir kalinya ia bisa memluk Ezra. “Jangan selalu memasang wajah galakmu itu, orang-orang akan takut.”
Ezra menegang di tempatnya. Seluruh tubuhnya terasa kaku untuk sebentar. Tapi pada akhirnya ia tak bisa menahan diri untuk tak membalas pelukan Okta. Sudah lama ia menantikan saat ini.
Anita berdiri dari duduknya. Ia melihat wajah suaminya yang bersedih. Apa benar Ezra mencintai Okta sebanyak itu? Lalu kenapa dulu laki-laki itu menikahinya?
Okta kemudian menghampiri Anita. Sama seperti Ezra tadi, ia memeluk Anita. Mengucapkan banyak terima kasih, dan meneriakkan ribuan maaf dalam hati. “Jangan lupa padaku. Datang ke rumahku kalau kau sempat,” kata Okta setelah melepaskan pelukannya.
“Okta, kau bisa tinggal di sini sampai kapanpun. Kenapa kau pindah tiba-tiba?” Anita tak bisa menahan tangisnya. Ia tak mau Okta pergi dari rumahnya. Ia tak mau kehilangan gadis itu. Tinggal di rumahnya dan menjadi temannya adalah satu-satunya cara agar ia bisa tetap dekat dengan Okta.
“Aku pergi.” Okta segera pergi. Ia tak mau berlama-lama di sana dan membuatnya berubah pikiran.
Semenjak Okta pergi, suasana rumah Ezra dan Anita benar-benar berubah. Tak ada lagi tawa yang terdengar, tak ada lagi acara berbincang hangat di ruang tamu atau teriakan kekanakan yang sering Okta perdengarkan. Semua hilang.
Bukan hanya itu, Ezra dan Anita pun mulai berubah. Mereka jadi sering bertengkar. Masalah kecil bisa jadi besar. Setiap hari pasti ada saja sesi saling berteriak. Bahkan sekarang, mereka sering tidur di ranjang yang berbeda karena cekcok. Anita tidur di kamar mereka yang di lantai 1, sementara Ezra di kamar lantai 2.
Lain dengan kehidupan rumah tangga Ezra dan Anita yang mulai goyah, Okta malah semakin terlihat baik. Pergi dari rumah Ezra memang keputusannya yang benar. Sekarang ia tak perlu merasa bersalah karena menjadi orang ketiga dalam rumah tangga temannya itu, dan ia bisa lebih banyak meluangkan waktu untuk Alex yang adalah mantan tunangannya.
Salah satu alasan kenapa Okta pergi dari rumah Ezra memang karena tak ingin jadi orang ketiga antara Ezra dan Anita. Okta bukannya tak tahu gosip yang beredar di kalangan asiten rumah tangga di sana. Ia tahu semuanya. Tapi terlepas dari itu, Okta sendiri sadar bahwa memang Ezra bersikap berbeda padanya. Okta tahu bahwa Ezra memanglah menaruh rasa padanya.
Okta tak akan sanggup merusak kebahagian Anita dan juga tak tega pada Alex. Karena itu ia memilih pergi dan mencoba membangun hubungan dengan Alex. Kisahnya dengan Ezra sudah berakhir dan akan selamanya begitu. Okta harus melanjutkan hidupnya, bersama Alex mungkin.
Omong-omong soal Alex, harusnya laki-laki sudah datang untuk menjemputnya malam ini. Tapi setelah melihat semua mobil yang terparkir di depan toko, tak ada mobil Alex di sana. Yang Okta lihat malah sebuah mobil hitam. Okta kenal mobil siapa itu. Ezra.
Dan benar saja, tak lama laki-laki itu pun muncul di depan Okta. Dengan wajah kusut dan rambut sedikit berantakan. Berbaik sangka, mungkin saja Ezra memang sedang lewat sana.
“Hai, Ezra,” sapa Okta sebiasa mungkin
“Aku antar pulang,” Tanpa mau mendengar penolakan atau memberi waktu pada Okta untuk memahami keadaan, Ezra langsung menarik si gadis agar masuk ke dalam mobilnya. Menutup pintu di samping Okta, Ezra bergegas menuju kursi kemudi.
“Ezra, kenapa kau ada di sini?” Okta berusaha tak terlihat bingung.
Ezra diam. Banyak sekali yang ingin ia katakan, tapi tak tahu harus memulai darimana. Ditinggalkan Okta untuk yang kedua kalinya benar-benar membuat Ezra hancur. Ia tak ingin Okta jauh lagi darinya, ia ingin gadis itu tetap berada di sisinya meski dengan status teman. Tapi di sisi lain, Ezra juga sadar bahwa ia tak seharusnya bersikap egois seperti itu. Ia sudah pernah menyakiti Okta dan menginginkan gadis itu lagi hanya akan membuat Okta berasa di posisi sulit.
Okta memandangi wajah Ezra. Ia tahu sedang ada sesuatu yang laki-laki itu pikirkan, sesuatu yang sangat rumit. “Kau sudah makan?” tanyanya kemudian
Ezra menggeleng dengan pelan. Sungguh, hati Okta tak sanggup melihatnya. Bukan Ezra yang seperti ini yang ia kenal dulu. Ezra tak pernah menyerah pada apapun di dunia sebelumnya. Tapi sekarang laki-laki itu malah terlihat sangat putus asa. Sama putus asanya seperti terakhir kali mereka bertemu.
“Antar aku pulang, makan di rumahku, lalu pulang,” ucap Okta sambil memalingkan wajahnya dari Ezra.
Sampai di rumahnya, Okta segera menyiapkan makan malam dadakan untuk dirinya dan Ezra. Bukan sesuatu yang mewah, hanya dua mie instan yang dimasak dengan telur. Okta yakin Ezra suka itu.
“Ayo makan.” Okta meletakkan semangkuk mie rebus yang masih mengpulkan asap di depan Ezra. Mereka makan di ruang tamu, di depan tv, dengan sebuah meja kecil. Rumah yang Okta sewa ini tidak terlalu besar.
Ezra menatap mie-nya penuh minat. Sudah lama ia tak memakan makanan itu. Terakhir kali saat kuliah, itupun juga Okta yang memasakkan. Tanpa berpikir lagi, Ezra langsung meraih sendoknya dan mulai makan. Sesekali ia meniup mie atau kuahnya karena masih sangat panas.
Di depan Ezra, Okta belum juga mulai makan. Ia asyik memandangi Ezra yang makan persis anak kecil yang kelaparan. Melihat itu saja Okta sudah kenyang. “Ezra,” panggilnya
“Hmm?” Ezra menjawab tapi tak menatap lawan bicaranya. Mienya benar-benar enak.
“Kau mau punyaku?”
Saat mendengar kekehan kecil di ujung kalimat Okta, barulah Ezra sadar ia sedang berada di mana. Kepalanya ia angkat pelan-pelan, sampai akhirnya bertatapan dengan wajah mengejek Okta. Tak bisa mengelak, Ezra pun mengeluarkan jurus andalannya. Tersenyum dengan lebar. Biasanya, setiap Ezra malu ia akan tersenyum seperti itu dan orang-orang akan melupakan perbuatannya yang memalukan.
Melihat Ezra tersenyum seperti itu, Okta langsung saja mengacak surai Ezra. Ini masih sulit ia percayai. Bagaimana bisa wajah seram Ezra hilang saat pria itu tersenyum seperti tadi. Senyum lebar Ezra membuat laki-laki itu terlihat seperti anak kecil.
“Ma-makan saja punyaku.” Okta cepat-cepat menarik tangannya dan menggeser mangkuk mienya ke depan Ezra.
Awalnya, Okta hanya mengajak Ezra untuk mengisi perut di rumahnya. Tapi yang terjadi malah membuatnya sakit kepala. Ezra bersikeras tak mau pulang. Tidak sebelum ia diizinkan tidur beberapa jam di sana.
Tentu saja Okta menolak. Mana ada yang percaya jika Ezra hanya tidur, nantinya. Ini tidak benar. Okta pun membujuk Ezra, tapi laki-laki itu tak mau mendengar. Menyerah, Okta membiarkan Ezra.
Ezra benar-benar ingin tidur. Beberapa hari ini ia mengalami kesulitan untuk tidur. Laki-laki itu segera merebahkan dirinya di sofa Okta, sementara gadis itu pergi ke kamarnya. Ezra tersenyum menang. Sejak dulu, Okta memang tak pernah bisa menolak keinginannya.
Okta berbaring di ranjangnya. Menatap langit-langit kamarnya, Okta meneteskan air mata. Kenapa di saat ia sudah bertekad tak akan menengok kebelakang, Ezra malah bersikap
begini. Susah payah ia melawan hatinya sendiri, namun sepertinya sia-sia saja.
...
ceritanya bagus.. bacanya gak bisa berenti, harus tuntas.. Promote kak..
Comment on chapter Bab 14