“Ajar, maafkan aku.” Amina mengucapkannya sambil melihat mata ajar. Dia sudah di sana lebih awal pagi itu, di belakang sekolah. Ajar hanya melihatnya sekilas. Menyenderkan sepedanya ke dinding dan ditopang dengan kayu agar tidak jatuh.
“Aku sudah jahat kepada kau.” Ia tahu pertanyaannya tak akan dijawab. Ajar mengambil gembok dan mulai merantai sepedanya. Memasukkan sisa koran pagi ini ke dalam tas dan beranjak pergi.
“Akulah yang sangkutkan sepeda kau di pohon, Jar” Ia mulai mengikuti langkah ajar yang berjalan santai.
“Juga sepedamu di lubang sampah itu.” Ia mendahului ke depan dan memperlihatkan tangisannya. Ajar masih terus berjalan. Lantas Amina menghalangi langkah ajar yang terus maju agar ia berhenti.
“Setidaknya, katakanlah sesuatu, Jar” Ia mulai menarik tangannya dan ajar mulai berhenti telak. Ia menarik tangannya dari pegangan erat Amina.
“Kau tak harus menarik tanganku, duduklah di sana.”
Amina pun terus berjalan di depan sambil menyeka air matanya. Ia duduk di sebuah bangku panjang dan Ajar berdiri melihatnya.
“Minumlah” ia mengeluarkan sebotol air minum yang dibawa dari rumah. Amina meminumnya.
“Kau tak perlu memberi tau semuanya. Aku sudah tau. Dan tak perlu meminta maaf, aku sudah memaafkan kau jauh sebelumnya.”
“Tapi kau tak tau perasaanku, gam.” Tangisannya sudah pecah sepagi itu.
“Dan kau tak pernah tau perasaan Riuh.”
Hanya dengan sepatah kata itu saja, tangisan pecahnya terhenti seketika. Ia mencoba mengingat sesuatu dan mencocokkannya, sambil melihat Ajar pergi dan menaiki tangga. Selembar kertas dengan sepotong tulisan, amina menaruhnya di bawah botol air ajar. “Air ini menyejukkan.”