Yura terbangun dengan kepala pusing. Aroma Soju berpadu Wine mahal menyeruak ke seisi ruangan. Mendadak perutnya mual dan otaknya tidak mengingat apa-apa. Terkahir kali ketika ia masih sadar, ingatannya berkutat pada info terbaru bahwa mantan kekasihnya itu pergi ke Jepang. Lelaki itu pindah, meninggalkan Korea serta dunia Yura yang teramat mendamba kehadiran dirinya.
Kemudian ia menggila. Pergi ke Bar dan menenggak segala jenis minuman. Sudah diduga, memang Yura peminum terbaik di dunia. Buktinya dia bisa selamat sampai ke rumah, yah… walau tidak mengingat kejadian selanjutnya. Hebat bukan?
Usai berbenah diri, Yura keluar, memulai pagi yang serba cerah ceria. Pagi memang tidak setia, bagaimana bisa ia bersinar terang sementara Yura berduka? Sisa-sisa sakit hatinya semalam masih terasa. Rindunya masih menyeruak. Dan ia merasa gizi buruk menyangkut perasaan. Dia miskin kasih sayang, sekaligus pengemis cinta yang paling menyedihkan.
Amour Organizer lenggang, terlihat tenang, cenderung tidak banyak suara. Tidak ada yang berubah dari kehidupannya. Seperti biasa, Anna selalu asik dengan percakapan bersama pegawainya. Sementara sisanya menghabiskan pagi dengan mendiskusikan berbagai hal, termasuk scandal artis idola. Semua orang Nampak bahagia, seolah tidak ada yang sudi bersukarela turut ikut berduka atas luka yang ia derita.
“Apa kau sudah bisa menghubunginya?” suara Anna diiringi pagutan sepatu dengan ubin menggugah lamunan Yura.
Ia menggelengkan kepala, “Sepertinya nomor ini sudah dibuang, mereka Cuma bercanda,” desahnya.
Anna menepuk-nepuk pundak sahabatnya penuh pengertian. Mungkin siapapun akan langsung setuju bahwa aura Anna yang tenang dan dingin mampu menyejukkan gusar dengan sekali sentuhan, tak terkecuali Yura. “Tenanglah, hal seperti itu sudah biasa terjadi. Kau dulu juga sejahil itu saat mendapat selebaran di toko roti, ya kan?”
Yura tersenyum. Kenangan indah itu nyaris terlupa bersama sakitnya kehilangan mantan tercinta. Sepertinya Yura sudah menghapus banyak hal, tanpa memilah kenangan baik atau bukan. Hatinya terlalu banyak terluka, sampai-sampai ia muak mengingat apapun tentang Korea. Ia terlalu sibuk mengulas luka, tanpa menyadari ada kebahagiaan yang terselip di antaranya.
Dengan penuh ambisi yang mendadak terbakar, Yura kembali meraih ponsel lama yang sudah menetap di mejanya. Ia menempelkan benda kecil itu ketelinga, kemudian menatap Kwon Ann Ha dengan mata melebar, “Nada masuknya berbunyi!” serunya.
Sementara itu Anna menahan nafasnya, tak sabar menantikan terjemahan dari expresi wajah Yura yang gelisah. Bibirnya bergerak, membentuk kalimat yang menanyakan ‘bagaimana?’
Yura menjawabnya dengan gelengan menyerah. Ia nyaris menekan tombol merah kalau saja ponsel tua itu tidak menimbukan suara.
“Halo?”
“Selamat pagi bapak, kami dari Amour Organizer. Apa benar tempo hari bapak mencoba menghubungi kami? Sebagai permintamaafan kami mengenai ketidakpuasan anda dengan pelayanan kami, Amour Organizer menyiapkan promo special untuk bapak,” jelas Yura susah payah, sementara pria dibalik telpon hanya bergeming.
“Dengan promo ini bapak bisa mendapatkan gaun special yang digambar langsung oleh designer asal Paris. Juga mendapat diskon harga mencapai 20% dengan pelayanan yang full setiap hari. Bagaimana pak?” sambung Yura ala marketing. Rasanya seperti dia berprofesi sebagai tukang tipu keliling.
“Apa ini penipuan?” sahut suara diseberang sana sinis.
“Bukan pak, anda bisa mengecek nomor ini di kartu nama yang bapak hubungi tempo hari. Bapak bisa mengunjungi kantor terbaru kami di daerah Gangnam. Mohon maaf atas ketidaknyamanan anda, pak. Terima kasih.”
Yura membanting telpon itu sembari menghembuskan nafas lega, ia berhasil dan tinggal menunggu lelaki itu datang ke kantor mereka. Tidak ada Wedding Organizer semurah ini di Korea. Yura sudah menghitung segala peruntungannya dan diskon inilah yang paling baik untuk strategi marketing.
Anna yang sejak tadi memperhatikan juga ikut lega. Walau peluangnya tidak terlalu besar, namun semua orang akan tergiur pada diskon kan? Dengan senyum rekah, Anna menyentuh pundak Yura yang langsung melihat ke arahnya.
“Aku merasa ini akan berhasil,” serunya penuh ambisi. Anna bisa melihatnya, mata gadis itu seolah memancarkan bara penuh percaya diri.
“Tentu saja, karena kau adalah Yura Park, ya kan?”
Kemudian mereka pun tertawa lepas. Sejenak Yura melupakan lukanya, masih sejenak, sebelum ada orang baru yang bersedia memasuki dunianya yang masih tertutup rapat.
***
Dokter mengatakan bahwa kondisi Sarang ternyata masih sangat amat lemah. Gadis itu tak punya pilihan lain selain tertidur pasrah. Untuk sementara waktu bahkan Ahn Sarang tidak boleh memikirkan hal berat. Ia harus berada dalam pengawasan yang serba ketat, karena selain fisik, psikologisnya juga dalam masalah.
Entah apa yang Ahn Sarang sembunyikan, yang pasti gadis itu acap kali melakukan tindakan diluar akal sehat. Ia sering melakukan percobaan bunuh diri, dan semakin mendengarnya Seong Woo merasa tidak sampai hati melimpahkan masalahnya pada gadis ini. Haruskah Ong Seong Woo menyelesaikan semuanya sendiri? Tapi dia bukan malaikat. Dia hanya manusia biasa yang mudah frustasi.
Pandangan Seong Woo menatap ke arah Ahn Sarang yang masih terlelap. Nafasnya berhembus samar, nyaris tidak terdengar. Wajahnya sangat kusam, menutupi aura cantiknya yang sudah indah natural. Apa yang terjadi padanya? Semakin diperhatikan rasanya hari itu Seong Woo tidak salah lihat, bahwa gadis itu sengaja menabrakkan dirinya agar segera tewas.
Di antara pagi yang belum sempurna memulai hari ini, Seong Woo terus menerus memikirkan hal yang tidak masuk akal. Logikanya berusaha keras menganalisis kejadian sebenarnya. Apa yang sedang Ahn Sarang sembunyikan? Sampai-sampai membuat ayahnya yang serba kaya itu menjodohkan putrinya dengan sembarang orang. Dan sejak awal, Ong Seong Woo memanglah seorang korban.
Seong Woo keluar kamar, membebaskan dirinya karena semalaman harus menginap. Punggungnya terasa pegal, bukan karena tidur di sofa, melainkan usai berlelah-lelah membopong gadis yang kemungkinan besar tidak akan menginat dirinya.
Semalam usai memanggil taxi dan melarikan diri dari dua lelaki bertubuh kekar, Seong Woo memilih mengakhiri aksinya naik taxi. Setelah dua ratus meter, ia turun, ternyata traumanya pada mobil sampai seburuk itu. Walau bukan dia yang mengemudi, tetap saja tubuhnya bereaksi negative.
Ia menjadi mual, pening dan gemetar hebat hingga pucat pasi. Dan pada akhirnya Seong Woo memutuskan untuk menyeret gadis itu sampai halte bis. Ingatannya mengulas malam kemarin, mengingat betapa lucunya gadis kunci mobil yang menceritakan semua kisah cintanya yang terdengar begitu sakit.
Sepanjang sisa perjalanan mereka, gadis itu bahkan sempat menangis. Berdongeng perihal luka-luka yang ia tuai akibat terlalu mencintai. Menyadarkan Ong Seong Woo bahwa di dunia ini bukan hanya dia yang paling sakit hati. Karena ternyata ada banyak manusia yang juga mengalami hal sulit, termasuk gadis itu dan juga Ahn Sarang—mungkin.
Sementara itu Jung Jae Min belum menghubunginya lagi. Seolah lelaki itu sudah menyerah atas kelangsungan karir Ong Seong Woo yang tengah terombang-ambing. Sepertinya pihak agency sudah mengosongkan semua jadwal Seong Woo sampai tiga bulan masa percobaannya habis. Setelah itu ia akan didepak pergi dan kehilangan Jung Jae Min.
Karirnya yang sangat ia cintai itu akan berakhir. Berubah menjadi hari-hari buruk sebagai seorang suami dari gadis yang tidak ia cintai sama sekali. Seong Woo sudah berjalan sejauh ini, senekat saat ia memutuskan untuk melalui semuanya sendiri. Iya, pada akhirnya pembelaan apapun tetap saja menghakimi.
Ia mendorong pintu supermarket, meraih Kimbab ukuran mini dan langsung menyerahkannya pada penjaga kasir. Pria tua itu meraihnya dengan senyuman ramah yang menghiasi bibir. Menekan barkut, kemudian menyerahkan benda mungil itu pada sang pembeli.
Seong Woo menyerahkan dua lembar uang yang langsung disambar penjaga kasir, kemudian sekelabatan ia mengingat satu hal penting yang terjadi hari ini. “Apa anda pernah lihat Wedding Organizer di sekitar sini?” tanyanya berusaha keras meramahkan diri.
“Saya tidak begitu yakin dengan namanya, tapi sepertinya tempat baru di ujung jalan menawarkan jasa yang serupa,” sahut penjaga toko itu ramah.
“Baru?” ulang Seong Woo memastikan.
“Iya, salah satu pegawainya juga ada yang sering datang kemari,” jelasnya, “Itu dia,” ujarnya diikuti suara pintu minimarket yang terbuka, menghadirkan seorang gadis berambut panjang yang langsung bisa Seong Woo kenal.
“Kunci mobil?” gumam Seong Woo sukses membuat langkah gadis itu berhenti.
Gadis itu menyipitkan mata beberapa detik, sebelum akhirnya mendengungkan kata ‘Ah…” sepanjang mungkin. “Ka—kau lelaki tuli? Ku pikir kau juga bisu, ternyata bisa bicara tuh,” cibirnya dengan gaya yang sama persis saat adegan malam itu terjadi.
Seong Woo meringis, mengejek kebodohannya berkali-kali. Nyatanya gadis ini memang tidak mengingatnya sama sekali. Betapa ia bersusah payah membopong tubuh gadis itu sampai apartemennya, kemudian membawa tubuh kecil serba berat itu ke lantai empat. Kebaikannya dinistakan dan Seong Woo tidak bisa berkata-kata.
“Agassi ini Park Yoo Ra, dia yang saya ceritakan tadi. Hya.. Yoo-ra~Ssi, lelaki ini mencarimu,” ujar sang penjaga kasir membuat Ong Seong Woo mendelik.
“Bu—bukan, bukan begitu maksudku, Hya! Ahjussi!!” protes Seong Woo yang hanya dibalas senyum meringis.
“Tunggu, apa kau menguntitku?” tuduh Yura asal memahami situasi. “Jadi selama ini kau mencari tahu keberadaanku hanya karena aku mengejekmu tuli dan bisu?” timpal Yura semakin membuat Seong Woo pening, “Apa kau menyimpan dendam padaku? Bukankah seharusnya aku yang membencimu? Woah… laki-laki Korea memang gila!”
Sementara pria di meja kasir itu terkekeh, Seong Woo justru membengkap mulut gadis itu dengan telapak tangan. “Keumanhae, tolong dengarkan aku dan jangan salah paham dulu, oke?”
Yura berontak, sebisa mungkin ia melepaskan dirinya dari bengkapan tangan Seong Woo yang begitu kuat. Namun sebagaimanapun ia mencoba, usahanya tetap saja sia-sia. Ong Seong Woo sudah menyeretnya keluar mini market, dan menarik pergelangan tangannya ke sebuah kafetaria yang lebih privasi.
“Kita bicarakan ini baik-baik, jadi diamlah dan turuti aku.”
Yura pun hanya diam. Memasrahkan dirinya yang sudah lelah berontak. Toh setelah ini ia bisa melarikan diri lagi kan?