Kau tahu, ini bukan awal pertemuan kita.
Di titik tengah, pada intinya,
tanpa sadar takdir memaksa kita untuk terus berjuang
*****
Who Are You?
Sudah lama. Sudah seminggu berlalu sejak kegiatan MOPDB dilaksanakan. Pagi ini terlihat sangat indah. Sinar matahari perlahan mengintip dari arah timur, menembus pucuk – pucuk pohon Mahoni yang ditanam hampir di sepanjang jalan. Sesekali ada kendaraan yang lewat, rata – rata berkecepatan sedang. Mungkin karena ini masih daerah pinggiran. Satu dua orang yang bersepeda berhenti, mengambil air dari tempat minumnya dan melepas lelah barang sejenak. Pintu – pintu rumah masih belum terbuka seluruhnya. Yakinlah, orang – orang ini pasti akan menyesal melewatkan pagi yang menakjubkan.
April berjalan sendiri. Kali ini tidak ada Septi di sampingnya. Sahabatnya itu bilang kalau ia akan berangkat sedikit lebih siang. Masalah perutnya kambuh. Ada – ada saja.
Sambil terus mengamati sekitar, April kembali mengecek sakunya, memastikan kalau barang yang sudah disiapkannya tidak ketinggalan. Dia tidak mau dihantui lagi oleh pesan – pesan yang sama dari cowok itu. Ya, teman sekelasnya yang baru, yang membuatnya berangkat sepagi ini. April menghela napas. Dia menatap lurus ke depan, tapi pandangannya tidak terfokus pada apapun.
Gerbang sekolah masih dikunci. Ah, tunggu, sudah dibuka sedikit. April menyibakkan rambut yang menutupi wajahnya. Mendadak angin berhembus lebih kencang. Sialnya ia bahkan tidak membawa jaket. Udara menjadi sangat dingin, bukan sejuk lagi. Dan ia masih harus membuka gerbang sekolah yang beratnya cukup membuat berkeringat.
“Huh, lumayan, keringat bisa membuat badan sedikit hangat, ya, kan?” gumamnya sendiri.
Dia lalu melangkah ke depan. Meraih salah satu ujung gerbang dan menariknya. Benar dugaannya, berat. Bahkan menurutnya lebih berat dari terakhir kali ia membukanya. Ya, itu kemarin.
Kemarin ia juga harus membuka gerbang ini untuk bisa pulang. Waktu itu, jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Hampir tidak ada tanda – tanda kehidupan di sekolah. Ya, karena bujukan Ningrum ia mau membantu untuk menuliskan tata tertib sekolah karena Ningrum terlambat kemarin. Beruntung, bayangan itu tidak ada kemarin.
Sekarang, setelah usaha yang melelahkan ia berhasil membuka gerbangnya. April duduk sebentar, sembari mengusap keringat yang mengalir di pelipisnya. Walaupun angin masih berhembus kencang, suhu badannya tetap naik dan ia merasa kepanasan. Tangannya membuka kantong tas bagian depan, meraba sebentar, berusaha mencari sesuatu.
Ketemu, tangannya meraih sebuah ikat rambut berwarna merah muda. Kesukaannya. Sambil mengatur napas, ia menarik rambutnya ke belakang, dikucir kuda. Kemudian, ia melirik jam di tangannya, pukul enam lebih lima belas.
“Dia pasti belum datang.” Katanya ringan. Sesekali, ia melihat sekelebat bayangan Pak Sobar, petugas kebersihan sekolah sedang menyapu halaman. Sosok yang akrab disapa Pak Sob itu dikenalnya di hari terakhir MOPDB.
Hari itu sudah sore. Setelah kegiatan MOPDB yang melelahkan, bukannya pulang, April dan Septi malah duduk – duduk santai di bawah pohon Kamboja yang diyakini ada penunggunya. Tapi kedua gadis itu tidak memiliki rasa takut sama sekali. Katanya, mereka lebih takut kalau sang ibu berhenti memberikan uang jajan. Pak Sobar yang baru kembali dari Bank Sampah yang terletak di halaman belakang sekolah melihat keduanya dan ikut nimbrung.
“Dek, belum pulang? Sudah sore, tidak baik anak gadis masih ada sekolah jam segini.”
Sosoknya yang jangkung menatap ke arah April dan Septi yang terkejut melihat kedatangannya. Pak Sobar, sorot matanya yang teduh rupanya langsung meluluhkan hati Septi. Tidak lama, gadis itu menarik lengan April dan bangkit. Pak Sobar hanya tersenyum.
Selain pertemuan pertama itu, sosok Pak Sobar yang humoris membuat April betah berlama – lama mengobrol dengan beliau. Kebanyakan, April berusaha mencari informasi terbaru mengenai sekolah. April yakin Pak Sobar yang dekat dengan para guru memiliki banyak informasi.
“Bapak tidak pernah punya kesempatan menguping. Bapak baru lewat saja guru – guru sudah pada pergi. Mungkin takut kebauan sampah, ya.” Pak Sobar tertawa mendengar leluconnya sendiri.
Pak Sob selalu seperti itu.
Sekarang April sudah berada di depan kelasnya. Ia memutuskan untuk pergi dari tempat duduknya tadi setelah merasa lebih baik. Angin masih berhembus, membuat daun – daun pohon Ketapang yang kering berjatuhan. Daunnya berwarna kecoklatan, berbaur dengan tanah.
Ia terus menunggu. Menit – menit berlalu sangat lambat. Ia membunyikan buku – buku jari untuk mengusir rasa jenuh. April masih belum masuk ke dalam kelas. Simpel. Ia tidak berani. Ah, orang yang ditunggunya tidak kunjung datang. Bibirnya mengerucut ke depan, tangannya bergerak menopang dagunya. Benar – benar bosan. Seharusnya ia tidak datang. Lagipula siapa yang mau datang ke sekolah pagi – pagi buta? Tapi ini sudah pukul enam lebih dua puluh.
Matanya terus mengawasi sekeliling, itu dia! Cowok dengan tinggi sedang, rambut yang sedikit berantakan, berjalan menuju ke arahnya. April berdiri. Menatapnya tajam. Benar – benar tidak enak dilihat.
Cowok itu sampai di tempatnya. Ia berdiri tidak jauh dari April. Keduanya terlihat canggung. April perlahan meraba sakunya, mengeluarkan benda yang sudah disiapkannya sejak tadi malam. Ketika cowok itu kembali menghubunginya.
“Ini, kamu harus menyimpannya baik – baik. Tolong jangan menghubungiku kalau tidak benar – benar penting, karena aku mungkin tidak bisa setiap saat memegang handphone.” April menyerahkan kertas yang dilipat kecil berisi daftar mata pelajaran harian kelas mereka. Ia tidak tahan lagi kalau Handi terus menghubunginya setiap malam karena alasan yang sama.
Cowok itu menerima dengan gugup.
Kenapa dia malah nyengir?
Cowok itu, Handi, tersenyum pada April sambil mengucapkan terima kasih. Suasana masih canggung.
“Sama – sama.” April membalas singkat. Ia kemudian menarik gagang pintu dan masuk ke dalam kelas.
“Tunggu, tapi aku masih boleh menghubungimu kan? Ada banyak materi pelajaran yang tidak kumengerti. Kamu sangat pintar dan,” belum selesai Handi bicara, April langsung memotongnya.
“Ya, tapi tolong jangan terlalu sering.”
Handi tersenyum senang. Tapi ada yang aneh, cowok itu tidak ikut masuk kelas bersama April, kemana dia?
April baru saja membuka novel ketika Handi kembali, kali ini ia tidak sendiri, tapi dengan teman – temannya-lebih tepatnya teman – teman sekelas mereka. Suasana yang tadi hening mendadak terasa lebih hidup. Tapi April sama sekali tidak menggubris mereka, mencoba untuk tetap fokus pada novel di hadapannya. Sementara itu, udara semakin dingin.
“Kamu harusnya lebih berani, Dana. Dasar pengecut! Kamu hanya berani mengirim pesan singkat padanya. Para gadis menginginkan lebih!” suara Handi memenuhi seluruh ruang kelas. Tunggu, ia menyebut Dana?
Serta – merta April mendongak, mencoba mencuri pandang ke arah Dana. Ya, pemuda yang dibicarakannya dengan Ningrum seminggu yang lalu. Bodohnya, hingga saat ini ia bahkan belum mengobrol dengan Dana. Bahkan sapaan kecil sekalipun, tidak.
Tapi, ada satu hal yang tidak pernah ia mengerti. April tahu ini bukan penyakit, tapi ia selalu merasa pusing di saat – saat seperti ini, saat ia memutuskan untuk memandang wajah Dana. Hanya tatapan kecil saja sudah membuat kepalanya pusing. Awalnya hanya rasa sakit biasa, tapi akhir – akhir ini semakin kuat. Rasa sakit itu bahkan membuatnya berhalusinasi. Ia merasa melihat bayangan Dana di suatu tempat. Entahlah.
“Aduh,” tanpa sadar April bersuara. Seperti biasa, kali ini ia juga merasa pusing. Spontan, cowok – cowok itu menghentikan pembicaraan dan menatap ke arah. Tidak terkecuali Dana.
“Kamu tidak apa – apa?” Handi bertanya cemas kepadanya.
April tidak segera menjawab. Ia hanya memegang dahinya, berusaha memijat pelipisnya, kemudian mengambil novelnya yang tadi ikut jatuh. Tanpa ia sadari, semua mata kini menatap ke arahnya, tidak terkecuali Dana. Hening.
“Tidak, aku tidak apa – apa. Jangan khawatirkan aku, kalian bisa kembali mengobrol.” setelah itu, April kembali tenggelam dalam novel tebalnya.
“Jangan terlalu khawatir Handi, ia tidak akan kenapa – kenapa,” Dana mengejek Handi yang terlihat sangat serius.
Mendengarnya, April berdecak. Kepalanya masih pusing. Dana, kenapa dia malah berkata seperti itu? Entahlah. April hanya ingin hari ini berlalu dengan tenang, tidak Handi, tidak juga Dana dalam pikirannya. Belajar. Dia menarik kursi tempatnya duduk sedikit ke depan, dan pandangannya semakin ditundukkan.
“Hei, kau kenapa? Apa rasa sakit bisa menjalar?” tidak lama sayup – sayup suara Handi cs terdengar.
Siapa yang sakit?
April memutuskan untuk mengacuhkannya, walaupun jujur ia sangat ingin tahu. Apakah itu Dana? Apa Dana juga merasakan sakit yang sama dengannya? Dan lintasan waktu itu? Apa mereka benar – benar pernah saling mengenal? Entahlah.
Ketika April memilih untuk tidak peduli, tebakannya benar. Dana meringis memegang kepalanya. Hal ini tidak lepas dari pemikiran Handi. Dan seseorang, terlihat di luar kelas seorang perempuan berbaju serba putih berdiri, memandang ke arah mereka lewat pintu kelas yang dibiarkan terbuka. perempuan itu hanya diam. Tatapannya tajam. Sepertinya ia terluka.
*****
Setelah seluruh kejadian hari ini, April berharap tidak ada lagi yang lainnya. Ia sudah terlalu lelah. Dan kehadiran Septi disisinya kali ini mungkin akan sedikit membantu.
Mereka sedang berjalan melewati taman menuju kompleks perumahannya. Mendung. Angin kencang tadi pagi rupanya menggiring awan bermuatan penuh-air dan petir, ke daerah mereka. Jalanan lengang. Di saat seperti ini orang – orang lebih memilih menghabiskan waktu di dalam rumah. Mereka tidak mau mengambil resiko untuk berada di luar rumah sementara awan yang bergumul siap menumpahkan isinya kapan saja.
April berhenti. Ia menarik lengan Septi dan mengajaknya untuk duduk sebentar di bangku taman. Tangannya menelusuri serat – serat kayu yang menjadi bahan dasar bangku taman ini. Masih terasa sedikit basah, sisa hujan kemarin. Pandangannya menyapu ke seluruh penjuru taman. Hening, April hanya diam, tatapannya kosong.
“April, kamu kenapa? Bagaimana harimu?” Septi yang mengerti akan keadaan sahabatnya mencoba mencairkan suasana.
“Ha? Ah, tidak, tidak apa – apa.” April yang tersadar dari lamunan menggelengkan kepalanya. Tapi raut wajahnya tidak berubah.
“Hariku menyenangkan, teman – teman baru sangat menyenangkan, bagaimana harimu? Kamu belum bilang apapun, hei!” Septi mengibaskan tangannya di depan wajah April yang kembali melamun sendiri.
“Ehm, ada banyak hal yang terjadi. Tapi, menurutmu, apa aku harusnya membuka kembali hatiku?” tanya April sambil menoleh ke arah Septi, menatapnya.
“Kenapa kamu bertanya seperti itu? Pasti, lah. Kamu harus bisa mengikhlaskan semuanya, lagipula kamu sekarang sudah tidak akan bertemu dengannya jadi kamu bisa mulai untuk menyukai orang lain.” jelas Septi panjang lebar. Ia menepuk pundak April. Berharap ini bisa membantu mengusir rasa sepi yang sedang menghinggapi sahabatnya.
Haruskah?
Terlepas dari peristiwa yang terjadi hari ini, April mendadak teringat kepada seseorang, cinta pertamanya. Kenangan tentangnya tiba – tiba menyeruak memenuhi ruang di kepalanya yang terbatas. Mendengar nasihat Septi-yang sebenarnya selalu saja sama dari waktu ke waktu, ia kembali menghela napas. Ia hanya tidak siap untuk kembali tersakiti. Cinta pertama yang gagal, memberinya begitu banyak hal yang bisa direnungkan. Tidak, bukan sekarang, bukan dia.
Air hujan mulai jatuh. Padahal seharusnya musim kemarau masih berlangsung. Tapi pemanasan global rupanya telah membuat dunia kehilangan siklusnya. Pencemaran semakin parah saja.
April meraih tangan Septi, mengajaknya berlari. April ingin ia tidak hanya berlari dari hujan, tapi juga dari kenangan yang tidak bisa dilepaskannya. Dalam pelarian mereka, April memandang Septi. Septi yang selalu ceria setiap waktu.
Mereka masih berlari. April memandangi rinai hujan yang turun membasahi mereka. Gerimis. Entah kenapa, ia ingin menumpahkan segalanya, termasuk peristiwa tadi siang.
Istirahat kedua. Pukul 12.15.
Kamar mandi sekolah.
“Kutunggu di luar.” Anti, teman sekelasnya lalu melangkah ke luar.
April berada di ruangan ini sendirian. Ia kemudian menyalakan keran wastafel. Menengadahkan kedua tangannya lalu membasuh wajah. Rambutnya yang terkena cipratan air menjadi sedikit basah.
Setelah merasa segar kembali, April beranjak pergi namun sesuatu menahannya. Lampu ruangan berkedip – kedip. Rasa takutnya muncul. Ia kembali, menatap ke arah cermin. Tidak lama, sekelebatan bayangan hitam muncul di belakangnya. Ia menoleh. Hilang. Tidak ada siapa – siapa. Ia terdiam.
“Tenanglah, aku akan segera menemuimu,” terdengar suara dari dalam salah satu bilik kamar mandi. Tidak, April tidak berani mendekat. Ia memutuskan untuk meninggalkan tempat itu dan pergi.
Sekarang, tiba – tiba, sebuah nama muncul di pikirannya.
Bagaimana dengan Dana?
*****
@Retha_Halim terima kasih :)
Comment on chapter My Walkways