Sakit itu bagaimana dan bahagia itu seperti apa?
Bagaimanakah perasaan cinta?
Mengapa orang saling jatuh cinta ketika mereka tahu bahwa mereka akan putus?
Mengapa orang hidup ketika mereka tahu mereka akan mati?
*****
Love On
Gerimis kembali mengguyur di luar. Jam istirahat sudah berakhir, tapi masih banyak siswa yang terlihat keluyuran di luar kelas. Rata – rata sibuk membawa jajan yang baru dibelinya dari kantin yang teletak di sudut belakang sekolah, tepat di samping kelas April. Bahkan kadang – kadang ada beberapa teman gadis itu yang menyelinap selama pelajaran hanya untuk membeli makanan karena jarak kantin yang begitu dekat. Hanya perlu beberapa langkah dan kau akan sampai.
Tapi dibalik semua itu, sekolah ini memiliki daya tarik lain yang membuat April memutuskan untuk melanjutkan studi di tempat ini. Halaman sekolahnya begitu luas dan rindang. Jaraknya dari rumah April yang tidak terlalu jauh-gadis ini hanya perlu berjalan kaki sekitar sepuluh menit. Selain itu, metode pembelajaran yang bagus dan fasilitas yang memadai membuat sekolah ini diimpikan oleh seluruh siswa.
Perlahan, April mulai menikmati waktu berada di sekolah ini. Ia menyukai waktu ketika ia datang pagi, sendirian. Sekolah begitu lengang, udara pagi sangat sejuk, dan bahkan ia bisa saja tidak sengaja berpapasan dengan Dana lagi. Untuk yang satu itu, April tidak tahu kenapa nama sang pemuda selalu terngiang di kepalanya.
Sudah lewat sepuluh menit dan guru pengajarnya belum datang juga. Kelasnya masih riuh, sementara April melamun sendirian. Dia masih memikirkan perkataan Anti tadi. Apa itu benar? Apa tanpa sadar ia mulai memperhatikan Dana, bahkan mulai menyukainya. Tidak, bahkan belum satu bulan berlalu.
April mengarahkan pandangannya kepada Dana. Pemuda itu terlihat sibuk menulis sesuatu.
Dia belum mengerjakan pr? April tergelak.
Tanpa gadis itu sadari, sedari tadi Anti terus memperhatikan ke arahnya. Temannya itu diam – diam tersenyum kecil. Anti pikir ia punya rencana yang sempurna. Tapi bukan sekarang. Ia akan membiarkan semuanya berjalan apa adanya.
Mereka butuh waktu.
Lima belas menit berlalu. Kelihatannya guru fisika April absen lagi hari ini. Tapi, tunggu. Teman – temannya yang berada di luar mulai berhamburan masuk ke ruang kelas. Mereka terengah – engah, mencoba duduk di bangkunya masing – masing-berpura – pura bersikap tenang. April tersenyum. Bagaimana mungkin, sudah jelas – jelas guru fisika akan tahu apa yang mereka lakukan. Ini seperti bersembunyi di balik telunjuk.
Syukurlah, guru Fisika April benar – benar datang. Pak Hadi, begitu beliau akrab disapa, masuk kelas dengan langkah tegap. Seperti biasa, ada tas ransel besar di punggungnya. Kelas seketika berubah sunyi senyap.
Satu fakta aneh, yang tidak pernah diketahui alasannya oleh April. Pak Hadi selalu membawa tas ransel besar, tapi beliau bahkan tidak pernah membuka buku ketika mengajar. Semua materi seperti sudah dihafalkan di luar kepala olehnya. Ada satu kali, Pak Hadi pernah menunjukkan isi tasnya. Seperti guru yang lain, di dalamnya ada sebuah laptop, buku – buku pelajaran dan alat tulis. Tapi April pikir Pak Hadi tak pernah mengeluarkan-lebih tepatnya membutuhkan benda – benda itu ketika sedang mengajar di kelas. Entahlah.
Sekarang Pak Hadi sudah siap menjelaskan materi, hari ini sudah menginjak bab baru. Pak Hadi melangkah ke arah papan tulis dengan membawa spidol berwarna biru di tangannya ketika handphonenya mendadak berdering. Beliau merogoh sakunya, berusaha mengeluarkan benda kecil itu. Dapat.
Pak Hadi melangkah keluar disertai dengan napas lega dari teman – teman April. Dugaan mereka benar. Pak Hadi kembali masuk ke kelas, melanjutkan menulis. Ada beberapa soal yang sudah tertera di papan.
“Kerjakan soal ini. Ingat, jangan menyontek, karena kalian tahu konsekuensinya. Saya tinggal sebentar.”
Benar Pak Hadi yang notabene Wakasek Kurikulum tidak bisa mengajar lagi hari ini. Salah seorang teman April bahkan mengintip lewat jendela. Memastikan Pak Hadi benar – benar sudah melangkah jauh dari kelas mereka, lalu ia berteriak kencang dan membuat kelas kembali gaduh.
April mencari telepon genggam yang ia letakkan di saku tas paling depan. Setelah dapat ia segera memasang headset dan mengatur musik yang ingin ia dengarkan. Musik kemudian mengalun, memenuhi seluruh ruang di pikirannya hingga tidak ada tempat untuk yang lain. Kelas kembali riuh. April terdiam. Ia mulai mengerjakan.
*****
Satu jam pelajaran berlalu. April meletakkan pulpen dan menutup buku tugasnya. Ia sudah selesai dengan pekerjaannya. Ia mengecek handphonenya. Kosong. Sama sekali tidak ada notifikasi yang masuk. Ah, gadis itu mulai bosan. Ia menyesal tidak membawa novelnya tadi. April meninggalkannya tergeletak di atas belajar.
Bukan salahku, pikirnya.
April pikir ini akan menjadi hari yang sibuk karena seluruh mata pelajaran eksakta yang harus dipelajarinya seharian. Dan jam kosong yang mendadak seperti ini mau tidak mau membuatnya harus tahan dengan rasa bosan.
April beralih menatap pemandangan dari luar jendela. Di belakang sekolah mereka tepatnya, hanya ada ladang terhampar berwarna hijau yang diakuinya menyejukkan mata. April suka menatap kesana saat otaknya mulai lelah. Ketika tugas menumpuk di kelas, atau bahkan ketika ulangan sedang diselenggarakan. Menatap keluar jendela, ke alam lepas bisa sedikit meringankan rasa pening di kepalanya.
Detik berlalu begitu lambat menurutnya. Pandangannya mendadak mengarah ke bawah, ke dinding di bawah jendela. Dinding itu terlihat sedikit hitam, mungkin terkena penghapus papan tulis yang sering dijadikan alat lempar – lemparan oleh teman – temannya.
Nampak jelas goresan hitam. Bergerak. Goresan hitam bekas penghapus itu terlihat bergerak jika diperhatikan lebih cermat. April membelalakkan matanya. Ini nyata. Ia tahu, hanya dirinya yang bisa melihat ini. Gerakan itu semakin jelas, dan alunan nada kematian mulai terdengar di kepalanya. Cukup, untuk yang satu ini April hanya berhalusinasi.
Gadis itu bergidik. Apa bayangan itu akan muncul lagi kali ini? Di tengah keramaian, di tengah kelasnya? Terakhir kali ia melihat bayangan itu, kemarin, saat ia bersama Nata dan bayangan itu sudah berani muncul tepat dihadapannya. Apa lagi sekarang? Bayangan itu akan mulai menyentuhnya?
April mengawasi sekitar. Pandangan matanya menyapu seluruh isi ruang kelasnya. Nihil. Bayangan yang ia takutkan tidak muncul. Syukurlah. April mengehela napas panjang.
Kumohon jangan muncul lagi.
Biarkan aku menikmati hidupku.
*****
Bayangan itu tidak juga muncul. Tersisa waktu lima belas menit sebelum bel istirahat kedua berbunyi. Pak Hadi tiba – tiba masuk ke kelas. Raut wajahnya teduh, tapi jelas sangat tegas.
“Kumpulkan tugas kalian tadi. Sekarang.”
Seluruh siswa mulai bangkit, membawa selembar kertas hasil pekerjaannya ke meja guru. Ketika hendak meletakkan tugasnya, tangan April tidak sengaja menyentuh lengan Dana yang juga hendak menyerahkan kertasnya.
Dingin. Itu yang pertama kali dirasakan April. Tapi, baginya ini dibawah suhu normal manusia pada umunya. Jauh di bawah suhu normal. Tapi setelah diperhatikan lagi, bahkan teman prianya yang bersentuhan dengan Dana terlihat baik – baik saja, seperti tidak ada yang aneh.
Pak Hadi kemudian keluar kelas, tidak lupa dengan meninggalkan pr. Jumlah soalnya 15 dan setiap siswa akan mendapatkan satu soal. Jumlah siswa di kelas mereka ada 32 jadi paling tidak ada dua siswa yang mendapatkan nomor soal yang sama. April mulai mengurutkan berdasarkan nomor absen. Baik, ia akan berpasangan dengan...
“April,” suara pria itu sontak mengagetkannya. April menoleh. Handi sudah berdiri di hadapannya, lengkap dengan buku dan pulpen berada di tangannya.
“Tolong, bisakah kamu ajari aku sebentar soal yang diberikan Pak Hadi tadi? Aku belum paham seluruhnya.”
April menghela napas. Gadis itu melirik jam tangannya, tinggal 2 menit lagi. Dan benar saja, bel istirahat kedua kemudian berbunyi. April tersenyum.
“Berarti kamu sudah paham sebagian, coba kamu terapkan dulu ilmu yang sudah kamu pahami. Tugas ini masih lama, seminggu lagi, jadi aku akan mengajarimu lain waktu. Maaf aku harus pergi.” April lalu bangkit dari tempat duduknya dan melangkah ke luar kelas. Tanpa memperdulikan Handi yang masih berdiri mematung di tempatnya.
Sebenarnya, bukan Handi masalah utama yang harus dipikirkan April. Bukan juga Dana. Karena, mereka sudah ditakdirkan untuk bertemu dalam siklus yang cukup membingungkan. Tapi, yang harus dikhawatirkan oleh April adalah ketika ada beberapa karakter yang berusaha merubah takdirnya. Seperti bayangan perempuan itu-sosok yang lain, yang juga menatapnya sedih ketika ia bersama Dana. Bayangan perempuan itu menatap kebersamaan April dengan Handi kali ini, sambil tersenyum.
“Baiklah, sudah ada Handi disisimu, jadi kau bisa menjauh dari Dana, gadis terkutuk.” gumam bayangan perempuan itu dari balik jendela kelas mereka. Sama seperti yang pertama, bayangan perempuan itu masih mengenakan pakaian putihnya.
*****
April berjalan pulang. Matahari mulai mendapatkan ruang lagi di langit. Awan mendung seperti mengalah, menyingkir. Mungkin ia sadar karena sudah menguasai langit beberapa hari ini. April berharap matahari akan bersinar lebih lama. Membiarkan hawa cerah ikut terserap dalam dirinya. Energi positif.
Ngomong – ngomong dimana Septi? Ia terakhir kali melihat sahabatnya tadi pagi, waktu Septi hendak pulang mengambil buku biologinya yang ketinggalan. Bahkan, April sudah mencari kekelasnya, tapi batang hidung Septi juga tidak terlihat, handphonenya tidak aktif juga. Kemana sahabatnya itu?
Handphonenya berdering. April langsung mengangkatnya tanpa berpikir panjang. Mungkin dari Septi.
“Halo.” suara cowok menyapanya dari seberang. Nata.
“Ya.” April menjawab singkat. Cowok menyebalkan ini lagi.
Hening sesaat.
“April maafkan aku, walau sekolah kita sama, aku tidak bisa setiap hari berangkat bersama denganmu. Aku tidak bisa menemanimu setiap saat. Dan sekarang, aku harus pergi dulu. Nenekku sakit. Aku meninggalkan sesuatu untukmu di kamarmu. Bukalah. Sudah dulu, jaga diri baik – baik. Bye.” Nata langsung menutup telponnya. Cowok itu bahkan sudah bicara panjang lebar, tanpa memberikan April waktu untuk menyela ucapannya.
Baiklah.
Tidak lama, April sampai di kamarnya. Benar, ada kotak kecil di atas meja belajarnya. Pasti dari Nata. Ada tulisan di atasnya.
Pakailah sepanjang waktu, maka kamu akan aman. Nata.
April membuka pelan kotak itu. Isinya cincin. Sebuah cincin berwana putih yang indah.
*****
@Retha_Halim terima kasih :)
Comment on chapter My Walkways