''Reina.'' panggilan itu tak dapat terdengar akibat keadaan kelas yang ricuh bagaikan pasar induk di pagi hari. Alasannya tentu saja, kelas kosong.
Kelas kosong memang selalu menjadi salah satu waktu merdekanya para pelajar. Disaat itu, mereka bisa melakukan apa saja yang tertunda saat pelajaran. Namun, selalu saja ada seorang yang masih saja memikirkan tugas ditengah waktu bahagia itu.
Pip.
''Yaaah,...'' satu suara kompak muncul tepat bersamaan.
Proyektor yang tadinya menayangkan film mendadak mati. Ternyata, kabelnya telah dicopot seseorang. Rupanya dia.
''Bentar, bentar. Liat sini dulu,'' seru cewek berambut cepak yang tak lain adalah pelepas kabel proyektor itu sambil mengetuk-ketukkan spidol di papan tulis kelas. Walau belum semua temannya memberi perhatian, ia tetap menjelaskan hal yang menurutnya perlu. ''Jangan lupa literasi, ya, kawan-kawan. Gue udah ditagih sama Bu Rita. Minggu depan terakhir.''
Suara dengusan napas terdengar hampir di penjuru kelas. ''Eka, serius itu doang? Gue kira ada hal yang lebih penting.''
Bola mata Eka berputar malas. Selalu saja, teman-temannya itu malas. ''Usahain satu lembar atau lebih ya. Biar bagus.'' cewek yang berada di depan kelas itu kembali membuka mulut. Tetapi, teman-temannya terlanjur tidak tertarik dengan topik itu.
Dengan santai, cewek berambut cepak itu kembali duduk di tempatnya dan mencoret-coret kertas di mejanya.
Seorang relawan bamgkit untuk kembali memasang kabel proyektor. Sementara yang lain menonton film yang sudah mulai setengah jalan itu, dua cewek tetap duduk manis di tempat mereka.
''Reina.'' cewek yang dipanggil tak kunjung menyahut. ''Na, ish.''
Akhirnya, ia pun menoleh juga. Namun hanya sebentar. Ia sebenarnya sedang mencuri-curi pandang ke film yang tengah diputar di depan kelas. ''Apa?''
''Lo kenal Bagas anak kelas IPA, nggak?''
Cewek yang tengah fokus membaca resep masakan itu hanya menggeleng tanpa bersuara. Matanya lekat membaca deretan huruf disana. Sampai ia tidak menyadari raut wajah sahabatnya yang berbinar.
''Reina!'' tangan cewek yang di panggil Reina itu mendadak berat karena digelayuti. Namun perhatiannya tetap tak berpaling. ''Ih, jahat banget deh lo, Na.''
''Apa, Rin?''
''Kenal nggak?'' tanya Sherin dengan nada yang menunjukkan bahwa ia sudah gondok dengan sahabatnya itu. Reina itu suka lambat. Tetapi tak dapat dipungkiri, bahwa rasa senang masih bercokol di hatinya.
Reina yang paham betul bagaimana kebiasaan sahabatnya yang akan mengoceh panjang lebar kalau diacuhkan, ia pun mengalah. Susah payah ia mengingat nama yang tadi disebutkan Sherin. ''Ngga pernah denger, Rin.''
Bibir Sherin mengerucut. ''Bukannya ada apa-apa. Gue cuma pengin tahu aja orangnya kayak gimana. Soalnya ...'' Sherin menggantungkan kalimatnya. Sadar bahwa Reina bukan sosok kepo seperti dirinya, cewek manis berkacamata itu melanjutkan, ''Dia ngajak gue jalan.''
''Lo kenal nggak, tapi?''
''Kalau nggak salah, Mami gue deket sama Mamanya dia.''
''Oh.'' Reina hanya bergumam kecil.
Terbiasa dengan sikap cuek nan dingin Reina, Sherin terus saja mengoceh. ''Tapi tentu aja gue tolak. Gue bilang, mau pergi sama Mami. Padahal mah, boro-boro!'' Sherin terkikik geli karena perkataannya sendiri. ''Yah .., lo tau sendiri gue jarang banget kemana-mana.''
''Baguslah.'' ekspresi super datarnya Reina membuat cewek di sebelahnya itu ingin menggaruk wajahnya.
Wajah Sherin yang tadinya cerah mendadak suram, suatu hal seperti muncul tiba-tiba di benaknya. ''Na, gue baru keinget sekarang. Mami kan mau touring sama temennya. Terus gue gimana, dong?''
''Kenapa lo nggak terima ajakan Bagas aja?''
''Nggak suka gue, Na. Pastilah, Na, gue punya alesan kenapa sampe bohong gini.'' Sherin menggenggam dasi abu-abunya dengan erat. Menahan rasa panik dan resah dalam hatinya.
''Mana Mami sama Ibunya Bagas itu deket, kan. Nanti kalau Bagas cerita ke Mami, habis gue!''
Reina mendecak gemas. ''Ya kenapa lo nggak langsung tolak aja?'' tanyanya dengan wajah serius. Selama 5 tahun berteman dengan Sherin, cewek itu lebih suka mencari jalan pintas dibanding jalan keluar.
Kepala Sherin menunduk, ''Gue nggak enak. Kasian.''
''Rasa bersalah lo setelah bohong ke dia, akan lebih besar dari rasa kasian lo, Rin.'' Meski sikapnya yang dingin, Reina selalu bisa memposisikan diri di tempat yang tepat. Kapan harus serius, kapan harus biasa saja.
''Nggak gitu, Na.''
''Kalau dilihat dari sudut pandang gender, perempuan punya tingkat buta rasa lebih besar daripada laki-laki,'' jelas Reina datar. ''Jadi, seringkali lo nggak sadar apa yang sebenernya lo rasain.''
''Na, gue harus gimana?''
Sambil mengendikkan bahu, Reina kembali memusatkan perhatian kepada buku resepnya. ''Lo sendiri yang bikin rumit, Rin.''
''Jujur, gue ... terlanjur baper sama Bagas. Tapi, setelah tahu dia kayak gini, ya, pasti risih, Na. Gue tahu lo paham.'' Sherin mengetuk-ketikkan jarinya diatas meja. Kebiasaan yang ia lakukan setiap kali merasa gugup dan tidak tenang.
''Siapa saja, kalau mau, harus terbiasa dengan sensasi merasa kecewa,'' kata Reina bijak. Ia merangkul dan menyenderkan kepala di pindah Sherin. ''Kecewa itu bukan suatu yang hina. Percaya sama gue.''
---
Tempat tidur di hari Sabtu adalah tempat menghamburkan waktu terbaik sepanjang masa. Seperti banyak orang bilang, saat akhir pekan, benda-benda empuk memiliki gravitasi lebih besar dari hari biasa. Dengan tiduran dan membaca buku, Reina bahkan telah melewatkan sarapan dan mandi pagi. Waktu pun hampir menunjukkan saatnya makan siang.
''Ya, pagi?'' telepon dari ponselnya terpaksa membuat Reina bergerak lebih banyak. Sungguh, ia selalu saja naik pitam ketika acara membacanya diganggu.
''Gue seneng banget, Reina!!!'' mau tidak mau, cewek yang tengah tenggelam dalam buku tebal itu menjauhkan ponsel dari telinganya kalau tidak mau jadi tuli. Pekikan Sherin benar-benar buat ia emosi.
''Kenapa, sih?''
''Mami gue dapet tiket nonton pergelaran gitu, Na. Ikut, yuk! Jadi kalau si Bagas nanya, gue beneran ada alasan. Lagipula, gue nggak akan betah di rumah sendirian.''
''Pagi.'' ulang Reina karena merasa lawan bicaranya belum menjawab salamnya.
''Hmm, pagi.'' jelas sekali Sherin jengkel dengan kebiasaan Reina yang harus memberi salam dulu ketika memulai percakapan di telepon. ''Mau nggak, Na? Please ...''
''Lo nawarin, ngajak atau maksa?'' sindir Reina seraya tertawa kecil. Benar-benar, rusak sudah akhir pekan impian Reina. Tadinya, ia bermaksud menyelesaikan buku yang dipinjamkan kakaknya. Namun, mimpi tinggal mimpi.
''Kali ini gue maksa.'' suara itu terdengar tanpa dosa. Emosi Reina semakin tersulut. Buku dipangkuannya sudah tertutup rapih.
''Kalau gue nggak mau?''
''REINA!!!''
Tawa kembali keluar dari mulut Reina. Senang rasanya bisa membalas cewek bawel itu. ''Iya, pergelaran apa dulu, Rin?''
''Culture-culture gitu. Nggak ngerti gue. Ah bodo! Yang penting keluar rumah. Ayolah, Na.''
''Tapi gue nggak yakin kasur gue siap untuk ditinggal. Dia masih kangen gue.''
''Acaranya mulai jam 2. Lagian, kasur lo pasti sesek napas. Lo kan berat, Na.''
''Kok lo malah ngehina sih?'' tanya Reina pura-pura merajuk. ''Mending gue nggak usah ikut, kali ya.''
''Ya ampun, gue bercanda doang.
''Buruan mandi. Bukunya simpen, terus siap-siap. Ketemuan langsung disana aja, oke?'' seperti bisa menerawang, Sherin dapat menebak apa yang Reina lakukan disana.
Butuh banyak dukungan batin dari dirinya sendiri untuk bangkit. Kedua orang tuanya yang sudah pergi keluar kota sejak malam membuat Reina lebih bebas lagi. Dan tak akan tertangkap basah masih tergeletak di kasur.
Sekitar dua jam kemudian, Reina sudah siap dengan pakaiannya. Sederhana dan sesuai umur. Juga tidak berlebihan. Meski parasnya tidak secantik Sherin, setidaknya penampilan rapi dan sopan membuatnya menarik. Yang terpenting dari penampilan adalah, kenyamanan dan percaya diri. Dengan kedua itu, siapapun akan mudah menjalani hari.
Setelah memastikan bahwa Sherin sudah dalam perjalanan, Reina juga memanggil ojek langganan nya untuk mengantarnya ke tempat yang sudah dikirim Sherin. Memang tidak terlalu jauh, tapi cukup lelah kalau berjalan kaki. Apalagi matahari sedang menyengat dengan sangat siang itu.
''Reina!''
Kepala Reina langsung menoleh ketika mendengar suara cempreng Sherin. Ia bergegas membayar ojek dan berjalan menuju cewek berkacamata yang selalu mengajaknya pergi dikala masa kemageran nya. Tangan Reina balas melambai menandakan ia sudah mengetahui keberadaan Sherin.
''Gimana, macet?'' tanya Sherin seraya terkekeh geli. Setahunya, Reina itu sangat benci ketika berada di jalanan macet. Pasti, secara otomatis mulutnya akan menggerutu tanpa henti. ''Nggak kan, ya?''
''Lumayan.'' Reina tersenyum kecut. Tangannya mengelap peluh yang turun dari dahinya. ''Lumayan bikin emosi, maksudnya. Untung aja ojek gue baik. Jadi masih bisa nahan deh.''
''Langsung masuk aja, yuk, Na,'' ajak Sherin yang lalu menarik tangan Reina untuk memasuki pintu depan. Disana, mereka melakukan pemeriksaan barang bawaan juga tiket yang dimiliki.
Pameran itu ternyata tidak seperti pameran kebanyakan. Justru lebih condong ke pekan raya. Karena jumlah stan yang hampir sama dengan kesenian yang dipamerkan. Namun, itulah yang menjadi daya tariknya. Pengunjungnya pun beragam. Tak hanya dari kalangan pemerhati seni, tapi kalangan muda juga banyak yang hadir. Inilah dunia modern, ketika yang kuno bisa dimodifikasi menjadi lebih dilihat. Ditambah lagi dengan adanya mini konser musik untuk menambah antusiasme dari pengunjung muda. Dalam hati, Reina memuji siapapun pencetus acara ini.
''Mau liat apa dulu, nih, Rin?'' Reina memperhatikan peta jadwal yang diberi di pintu depan tadi. Disana sudah tersusun acara pembukaan hingga penutupan. Sehingga pengunjung bisa tahu stan mana yang bisa dikunjungi lebih dulu.
''Terserah lo, Na. Gue kesini cuma biar keluar rumah aja. Tau sendiri, gue nggak ngerti apa-apa,'' keluh Sherin yang tetap mengekori Reina.
Decakan keluar dari mulut Reina, mulai lagi. Sikap sahabatnya yang tak pernah bisa menghargai momen inilah yang paling ia sesali. ''Justru karena lagi keluar rumah, Rin. Nikmati. Sebelum hari ini jadi sejarah. Sejarah nggak akan bisa diganti atau diubah.''
Sherin mengangguk-angguk. ''Iya, iya. Tapi tetep aja gue nggak ngerti. Makanya, lo aja yang nentuin mau kemana. Gue ikut aja.''
''Setengah jam lagi ada parade besar-besaran. Buat pembukaan kayaknya. Kita nunggu itu aja,'' usul Reina sambil tetap memperhatikan kertas di tangannya.
''Parade? Berarti kita bakal berdiri terus, dong. Pegel tau, Na,'' sahut Sherin. Wajahnya mengkerut.
Lagi-lagi Reina dibuat mendecak sebal, ''Gue jamin lo akan nyesel udah ngomong gitu. Makanya, kalau jalanin hari itu dinikmati, bukan diresahin.''
Sherin mengacungkan ibu jarinya tanda setuju. Pada akhirnya memang ia selalu kalah argumen dengan cewek di sampingnya itu.
''Sambil nunggu, makan yuk. Gue belum makan apa-apa dari pagi, Rin. Ayo,'' ajak Reina. Ia menarik tali tas selempang Sherin menuju jejeran stan makanan yang ada disana.
''Ya iyalah, lo kan paginya kenyang makan buku,'' ejek Sherin yang langsung disambut wajah cemberut cewek di depannya.
''Asal lo tahu, itu buku gue baca juga buat literasi, Rin. Satu minggu bukan waktu yang lama untuk baca satu buku dan nulis rangkuman. Saat membaca, setiap kata harus dipahami dan dinikmati, supaya maknanya bisa kita rasain.''
Sherin hanya mengangguk-angguk. Jujur, ia sudah capek kalau mendengar Reina mengoceh tentang buku dan yang lainnya. Mata cewek yang dilapisi kacamata itu menyisir sekeliling. ''Banyak banget makanannya, Na. Lo mau apa?''
''Gado-gado aja, Rin.'' tanpa menunggu respon sahabatnya, Reina langsung melangkah ke stan penjual gado-gado. Makanan itu seakan hal wajib bagi Reina ketika keluar rumah. Terutama saat keluar bersama Sherin.
Mereka berdua segera memesan dua porsi. Makanan yang berasal dari Surabaya itu selalu bisa memuaskan rasa lapar Reina maupun Sherin.
Melenceng sedikit dari rencana awal, mereka menghabiskan waktu lebih dari setengah jam untuk menghabiskan gado-gado. Bukan karena porsinya banyak, tapi, karena mereka kembali memesan satu porsi untuk berdua. Oleh karena itulah, jalanan untuk parade sudah penuh oleh manusia yang penasaran. Sejak awal, parade inilah yang menjadi sorotan dan bagian paling menarik juga ditunggu-tunggu dari pameran budaya ini. Bahkan, saat masuk tadi, sudah banyak yang membicarakan parade ini. Jadi, Reina sudah menjamin bahwa parade ini akan memuaskan.
Tak lama kemudian, barisan parade mulai muncul. Awal sekali dibuka oleh beberapa pasang lelaki dan perempuan yang memakai baju adat dari provinsi-provinsi di Indonesia yang tentunya, sudah diberi sentuhan modern. Mereka melambai kearah pengunjung yang menonton. Senyum para pasangan muda-mudi itu menular kepada siapapun yang menonton. Termasuk Reina dan Sherin, mereka beruntung dapat berada di bagian depan barisan penonton.
''Mau ngapain, Rin?'' tanya Reina saat melihat sahabatnya mengotak-atik ponsel. Terlihat sangat sibuk.
''Mau bikin snapgram. Ternyata aesthetic juga ya, paradenya. Bagus buat jadi feeds Instagram juga. Kan lumayan, nanti kali aja jadi ada yang tertarik buat kesini,'' jawab Sherin seraya membuka aplikasi tersebut. ''Keren banget, Na.''
Reina hanya tersenyum kecil. Ia tahu, sahabatnya sangat suka hal-hal yang berbau aesthetic dan modern. Dan apa yang ada dihadapannya adalah kombinasi dari keduanya, ditambah dengan sentuhan budaya Indonesia yang menonjol.
Ditengah menikmati acara itu, Sherin menyikut pinggul Reina hingga cewek di sebelahnya menoleh. ''Kenapa?''
''Itu, banyak banget orang luar yang kesini. Gila, gue bangga banget.'' dengan dagunya, Reina menunjuk beberapa orang berwajah Asia Timur sedang asyik memotret barisan parade.
Sherin meringis, ''Iya. Disaat kita sibuk mengikuti tren luar negeri, justru mata dunia tengah mengamati hal yang kita abaikan, budaya Indonesianya kita.''
''Iya, tapi kadang gue kecewa kalau ada yang ngambil budaya kita.''
''Mencintai bukan sekadar memiliki atau mengakui. Tetapi juga bagaimana cara kita menjaganya agar tetap tinggal. Lo paham kan? Jangan cuma ngaku cinta budaya tapi nggak ada usaha. Cinta itu butuh usaha, bukan hanya untaian kata.'' Sherin memasukkan ponselnya ke dalam clutch bag miliknya.
Parade itu berjalan cukup lama. Hampir setengah jam karena barisan yang panjang. Namun, setiap inci dari parade itu dapat sangat dinikmati.
''Eh, eh, Na.'' Sherin seketika saja membuat Reina tersentak.
Reina yang baru saja duduk di sebelahnya menoleh, ''Kenapa?''
''Bagas comment story gue.'' mata Sherin terpaku pada benda di tangannya. ''Dia malah nanya gue dimana. Duh, jangan sampe dia kesini. Kan ada musisi yang dia suka banget tuh. Gue panik, Na!''
''Terserah dia, lah, Rin. Kalaupun kesini, beli tiketnya juga bukan pake duit lo. Lo juga yang mancing. Santai.''
''Ya, tapi...''
''Lagian, ya, lo kenapa nggak suka banget sama dia? Kayaknya ada yang aneh gitu.'' Reina memicingkan mata. Namun kepalanya lurus kearah stan-stan yang berjejer.
Sherin menghela napas berat, ''Dia ngedeketin gue, bikin gue baper, ngajak gue jalan. Tapi ternyata dia kayak gitu ke semua cewek. Gimana gue nggak risih?'' mimik wajah Sherin mendadak berubah.
Sebenarnya, Bagas itu baik, Reina akui itu. Wajahnya juga tergolong tampan dengan alis tebal dan hidung mancungnya. Tetapi, sikap adalah nomor satu.
Kekehan kecil keluar dari mulut Reina. ''Gue paham. Tapi jangan menghindar gini juga. Kali aja dia nggak ngerti atau bahkan nggak sadar sama apa yang dia lakuin.''
''Na, cowok itu harus punya wibawa. Sekalipun di depan cewek yang dia suka atau apalah itu. Nilai tambah cowok, mau dia jelek atau cakep, asal punya wibawa, pasti siapapun mau sama dia.''
''Tapi lo sendiri harus paham. Nggak semua orang itu punya perspektif yang sama kayak lo,'' balas Reina tak mau kalah.
Kepala Sherin mengangguk-angguk. Lagi-lagi, ia kalah. ''Oh ya, omong-omong, Na. Disini sampe malem aja, ya. Mami gue pulang besok. Gue sendirian di rumah.''
''Iya. Tapi jangan terlalu larut. Kita perempuan, nggak baik.'' Reina meminum es kopi botol yang ada di mini backpacknya.
Kembali, keduanya larut dalam parade yang megah itu. Penutup parade itu berupa kelompok Gambang Kromong yang anggotanya memakai pakaian serba merah-putih. Tak hanya lagu daerah, namun lagu-lagu kekinian juga dimainkan mereka. Saat lagu-lagu tersebut dimainkan, para penonton ikut bernyanyi. Terutama saat lagu wajib, membuat siapapun yang menghayati akan merinding.
Malam itu Reina dan Sherin menghabiskan waktu dengan bersenang-senang. Konser musik diakhir susunan acara nampaknya menjadi penutup yang sempurna. Jumlah pengunjung tidak banyak berkurang. Bahkan bertambah hampir dari setengah pengunjung awal. Ketika dua sisi yang berbeda digabungkan, memang selalu menimbulkan hasil tak terduga.
''Oh, ya, Na. Temen gue waktu itu ada yang nanya soal lo.'' saat itu mereka tengah menanti penampilan musisi selanjutnya. Setiap berakhirnya suatu penampilan, akan ada jeda sekitar 15 menit. ''Katanya, kenapa sih, lo jutek banget?''
''Karakter pembeda setiap orang itu datangnya dari pengalaman. Bisa dijelasin, tapi sulit dimengerti,'' jawab Reina dengan nada datar khasnya.
Sherin menghembuskan napas. Ya, ia sendiri tidak mengerti. Sedikit berbeda paham. Untuknya, pengalaman adalah cara orang melewati setiap jalan. Walau kelihatan sama, pasti ada pembeda. Walau terlihat cepat, padahal di dalam diri ada kabut pekat. Walau terlihat memudahkan, tapi sebenarnya sedang berusaha berjuang melawan sesuatu yang tak terlihat.
Di tengah lamunannya, tiba-tiba saja tangan Sherin digenggam. ''Jangan kebanyakan bengong. Udah mau mulai, tuh.'' Reina pun membawa sahabatnya itu kembali mendekati panggung. Mereka berjalan cepat kesana.
Sekali lagi, insan manusia disana terhanyut dalam suasana dan momen yang mungkin merupakan suatu hal baru dalam hidup mereka. Atau, ada juga yang merasakan ini semua seperti rutinitas hidup.
---
Tinggal satu musisi lagi. Dan malam sudah terlanjur larut. Baik Reina maupun Sherin masih belum berniatan pulang. Jika datang saat pembukaan, maka pulang saat penutupan. Begitu kira-kira maksud mereka.
''Rin,'' panggil Reina. Sikunya menyenggol Sherin yang sedang meminum air mineral. ''Itu Bagas bukan, sih? Apa gue salah lihat?''
Mata Sherin memicing. Ia memperhatikan arah yang ditunjuk Reina dengan seksama. Tas itu ... Ah, emangnya yang punya tas kayak gitu cuma Bagas? ''Beda orang kali, Na.'' Sherin kembali melanjutkan minum air. Walaupun sebenarnya ia tengah menutupi rasa takut.
Sejujurnya, Bagas bukanlah orang jahat. Hanya saja, ia terlalu terbuka. Termasuk soal perasaan. Kalau hanya itu saja masalahnya, untuk Sherin tak apa. Yang jadi persoalan adalah Bagas mempunyai perasaan pada banyak cewek. Ya, Sherin salah satunya. Cewek itu sadar diri bahwa ia baperan. Karena itulah, setengah mati ia mencoba menjauhi Bagas.
''Rin, itu beneran Bagas. Lo harus lihat.'' tangan Reina tidak berhenti menarik-narik sisi baju Sherin.
Sherin menggeleng. Ia pun juga tak memperhatikan. Ditepisnya pelan tangan Reina. ''Jangan halu, deh, Na.''
Dengusan napas bisa didengar Sherin. Sungguh, Sherin kepala batu! Berulangkali Reina menyenggol bahkan mencubit pinggangnya, Sherin tetap saja tidak memperhatikan. '' Sebagai upaya terakhir, Reina memaksakan kepala Sherin agar berputar. ''Tuh, lihat!''
Mulut Sherin spontan menganga. Ia menyenderkan kepala ke tembok. ''Iya, iya.''
''Bahkan dia dateng sama anak kelas kita juga, Rin. Nggak mungkin lagi kita salah orang,'' ucap Reina yang masih ingin meyakinkan Sherin. ''Sapa mereka, kuy.''
Dengan cepat Sherin mencekal tangan Reina yang mencoba menariknya. Kepalanya pun sudah menggeleng keras menandakan ia menolak keputusan sahabatnya itu. ''Lo aja, sih.''
''Gue dateng sama siapa? Karena siapa?''
''Nggak ada hubungannya sama itu, kali!'' tetap, Sherin melakukan penolakan. Entah bagaimana, Reina bisa lebih kuat dari Sherin dan menyeret cewek itu ke beberapa remaja yang merupakan teman sekelas mereka dan beberapa anak kelas IPA, salah satunya Bagas.
''Bentar. Gue siapin mental dulu,'' tahan Sherin yang kemudian menegakkan tubuhnya. Cewek mungil itu menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. ''Yuk.''
Gelak tawa Reina tidak dapat ditahan lagi. Selain kepala batu, Sherin juga konyol. Seringkali Reina sampai terpingkal geli. ''Alay lo ayam,'' ledek Reina seraya terkikik.
Sesampainya di hadapan teman-temannya, Sherin tak melakukan apa-apa selain membeku di tempat. Kalau saja Reina tidak dengan sengaja merangkulnya, mungkin ia akan tetap diam sampai pameran dibubarkan.
''Kalian cuma berlima aja?'' tanya Reina berbasa-basi. Di depannya ada lima orang yang termasuk Bagas sedang menikmati es bubble.
Salah satu cowok bernama Ardy menyahut, ''Hmm, lo berdua kok nggak bilang-bilang kalau kesini? Kita kan bisa bareng, seharusnya.'' dari nadanya, jelas Ardy hanya bergurau. Namun, Sherin merasa tersindir.
Reina terkekeh menanggapi sahutan temannya. ''Iya. Si Sherin kasih kabarnya dadakan. Gue juga tadinya mager,'' ujar Reina sambil mengikut pinggang Sherin agar cewek itu bereaksi.
''Maaf.'' hanya itu yang bisa keluar dari mulut Sherin. Maklum, ia adalah tipikal orang yang sangat mudah gugup dan canggung. Kali ini diperparah dengan kehadiran Bagas.
''Santai, Na.'' ya, Bagaslah yang menanggapi sambil tersenyum manis. Kacaulah sudah Sherin di sisa hari ini.
''Oh ya, gue suka deh sama acara ini. Unik. Jarang aja gue temuin acara kayak gini,'' ujar Ardy berkomentar.
Bagas tersenyum simpul sebelum berniatan menjawab, ''Keunikan itu justru menjadi kelebihan yang terbatas, membuat mudah dikenali. Sehingga melekat di ingatan dan sanubari, juga jadi banyak dicari.''
Kepala Ardy mengangguk-angguk mengerti. Selang beberapa detik, ia menunjuk ke suatu arah, ''Eh konsernya udah mau mulai lagi, tuh!''
Ketujuh remaja itu berlari kecil menuju panggung utama. Senyum yang sepertinya akan susah luntur itu menghiasi wajah mereka.
Pada menit-menit awal, Sherin masih merasa canggung. Bagas yang berdiri tepat di sampingnya, membuat tangannya mengepal menahan grogi. Namun lekas Sherin sadari. Mencari, mendapat dan mempertahankan kebersamaan dengan teman itu lebih sulit daripada perasaan. Karena itulah, ia segera menepis segala rasa canggung dan gugup yang ada.
Malam itu, harus jadi malamnya mereka.
''Nggak jadi pergi sama Mami, Rin?'' tanya Bagas ketika Sherin tengah menunggu ojeknya. Sementara yang lain sudah pulang lebih dulu karena kelelahan.
''Biasa, Mami pergi. Ibu-ibu rempong,'' jawab Sherin sekenanya. ''Maaf ya, gue nggak bisa terima ajakan lo yang itu.''
Bagas menyunggingkan senyum manis lalu berujar, ''Iya. Lagian kan kita juga ketemu disini. Hahaha.''
Tak dapat menahan senyum saat melihat Bagas tertawa, Sherin menundukkan kepala. Dalam hati ia merutuki tukang ojeknya yang tidak kunjung datang. Sehingga ia harus berada di dekat Bagas lebih lama. Jantungnya bisa copot karena terlalu cepat berdegup.
''Ojek lo lama banget, ya.''
''Iya.''
''Udah malam, Rin,'' kata Bagas tiba-tiba.
Ya mata gue masih normal ya. Gue tahu! umpat Sherin dalam hati. ''Iya.''
''Gue antar lo pulang mau nggak? Kali aja ojek lo udah ketiduran. Kasihan kalau di bangunin.'' mata keduanya bertemu cukup lama sebelum Sherin memutus kontak itu.
Sherin menimbang-nimbang sebentar. Kalau ia menolak, dipastikan ia akan kembali diliputi gugup luar biasa karena harus kembali mengobrol dengan Bagas sampai tukang ojeknya datang. Namun jika ia menerima, maka Bagas akan menjadi teman cowok pertama yang memboncengnya, setelah Papi, saudara-saudara serta tukang ojek. Ah, ia sedikit tak rela kalau Bagaslah yang memiliki predikat itu.
''Gimana, Rin?''
''Ayo.''
Sherin melangkah beberapa detik setelah Bagas berjalan. Ia butuh menetralisir detak jantungnya terlebih dahulu.
--
Ketika Reina tengah dilanda kesulitan mengerjakan tugas Ekonomi, teleponnya yang berada di kasur nya berdering.
''Ya?'' tanyanya malas-malasan. Jika siapapun bisa mendengar, pasti nada Reina akan terdengar ketus.
''Malam, Na.''
''Ada apa? Buruan, gue lagi nggak mood ngomong,'' sahut Reina dengan nada tak kalah ketus dari yang pertama. ''Waktu lo lima menit, atau teleponnya gue matiin.''
''Selamat malam, Reina. Kok orang sapa nggak dibalas?''
''Malam,'' balas Reina ketus. ''Lo mau apa?''
''Galak banget, mba. Hmm, gue pengin kasih tahu. Ada yang mau gue omongin. Besok di sekolah, pas kita ketemu.''
Reina menggerakkan giginya geram dan terbelalak. Selain tugas Ekonomi membuat soal menganalisis dari masing-masing sub-bab, ternyata Sherin lebih menyebalkan. ''Tangan gue udah gatel bin pegel, ya, Rin. Gatel buat nyubit hidung pesek lo itu.''
''Ada apa, Nona Reina?'' tanya Sherin seperti tak terjadi apa-apa. ''Jadi perempuan itu harus lemah lembut, jangan galak-galak. Nanti nggak laku.''
''Kalau emang mau omonginnya besok, ya nggak usah pakai telepon segala. Kasihan operatornya.''
''Ya kali aja kalau gue lupa, lo bisa ingetin.''
''Lo udah selesai, kan? Gue tutup, ya.''
Terdengar kekehan menjengkelkan di telinga Reina, ''maaf, deh. Gue tahu, lo pasti lagi ngerjain Ekonomi. Nih, ya, gue saran aja. Mending kita kerjain bareng-bareng di sekolah. Soalnya ...''
''Apa?''
''Kalau menyalin tugas di sekolah, kebersamaan antar teman lebih terasa.''
''Terasa kepala lo! Udah belum?''
Lagi-lagi, Sherin tertawa kecil. ''Gue hapal lo kayak gimana. Daripada telinga gue pecah karena omelan lo, mending udahan aja deh teleponnya.''
''SHERIN!''
''Ehehe, bye!''
Jikalau itu bukan Sherin, niscaya ia sudah memaki sejak awal. Bagaimana tidak, tugas sebanyak itu baru diberikan pada jam istirahat terakhir, dan harus dikumpul besok sebelum bel masik. Jika saja rumahnya tidak jauh dari sekolah, pasti Reina akan bergabung dengan teman-temannya untuk mengerjakan tugas di pagi hari.
Baru saja ingin bermalas-malasan, Reina teringat akan janjinya kepada Bapak. Ia harus tekun dan mendapat beasiswa kuliah di luar negeri, atau setidaknya di perguruan negeri. Yang artinya, tak boleh ada tugas yang ditunda.
Dengan mata penuh kantuk, dan jari yang kaku, Reina mengerjakan tugas itu dengan bayang-bayang Bapak yang tersenyum bangga akan dirinya.
Setelah tugasnya rampung, Reina tiduran di kasur kesayangannya. Sejenak ingin menutup mata, lagi-lagi terlintas perkataan Bapak padanya. Matanya yang sudah terpejam seketika menerawang ke langit-langit kamar. Bapak; orang yang paling di sayang nya yang dengan sangat harus dibuat bangga.
''Obsesi dan mimpi itu berbeda. Untuk mencapai obsesi, kamu akan lakukan apa saja. Tapi, untuk menggapai mimpi, kamu harus kerja keras. Kepuasan setelahnya juga berbeda. Tergantung mana yang dipilih untuk kamu tuju.''
Dan saat itu juga, Reina paham. Membahagiakan Bapak bukan sekedar obsesi atau ilusi. Melainkan sudah menjadi mimpi besar baginya.
---
Keesokan harinya, setiba di sekolah, Reina menggeleng-geleng. Benar saja, sesuai perkataannya di telepon semalam, Sherin datang pagi-pagi untuk menyalin tugas Ekonomi. Gadis mungil pemalas itu, sebenarnya bercita-cita menjadi seorang penulis buku.
Sherin tersentak saat Reina memukul meja yang ia tempati. ''Ih, Reina. Rese banget lo.''
''Jangan marah-marah. Nanti nggak laku,'' canda Reina mengikuti ucapa Sherin tadi malam. Ia meletakkan tas ranselnya lalu kembali memperhatikan cewek di sebelahnya. ''Banyak banget. Rajin juga ya, lo, ternyata.''
''Enak aja. Tadinya gue pengin kerjain setelah telepon lo. Eh si Eka baru kirimnya tengah malem pas gue udah tenggelam dalam mimpi. Jadi, mau nggak mau gue kerjain sekarang,'' jelas Sherin santai. Nampaknya, karena terlalu sering melakukannya, ''Tapi ya, kerjain tugas di sekolah itu capek juga. Nggak bisa tenang, bawaannya deg-deg an.''
''Iya. Persis kayak lo lagi di deket Bagas, kan?'' ejek Reina yang langsung dibalas cubitan oleh Sherin. Semenjak acara pameran itu, Reina semakin gencar meledek Sherin dengan Bagas.
Tak sempat membalas cubitan Sherin, seorang kakak kelas muncul dari pintu. ''Assalamualaikum, disini ada yang namanya Rebeka dan Syareina nggak?''
Eka dan Reina spontan berdiri dan bertanya-tanya apa yang terjadi. ''Kenapa, Kak?'' tanya Eka yang sudah menghampiri kakak kelas tersebut.
''Lo berdua dipanggil Bu Rita di kantor. Bawa buku sama pulpen. Buru, ya,'' jelas si kakak kelas sebelum akhirnya pergi keluar kelas.
Setelahnya, Reina ikut mendekati Eka yang sudah berada di depan kelas. ''Kok kita dipanggil, ya, Ka?''
''Nggak tahu. Mungkin ada yang nggak piket, kali,'' jawab Eka asal. Cewek itu mendahului Reina berjalan ke kantor guru. Namun, segera ia sadar bahwa Reina belum juga berjalan, ia berseru, ''Ayo, Na!''
Di dalam ruang guru, mereka berdua menghadap Bu Rita, wali kelas mereka. Entah apa yang telah terjadi, keduanya cemas. ''Maaf, Bu, ada apa ya?'' untuk kesekian kalinya, Eka membuka mulut lebih dulu.
Guru itu mengangguk-angguk lalu menyahut, ''Gimana literasi kelas kalian? Sudah dikoordinasikan konsepnya?'' Bu Rita bertanya dengan nada formal khas guru.
''Nanti kita berdua kasih tahu lagi, Bu. Pada bebal anak kelas kita,'' jawab Eka. Sepertinya, ia meluapkan amarahnya di pernyataannya barusan. Memang, seringkali teman sekelas mengacuhkannya karena terlalu ingat dengan tugas. ''Kalau mereka nggak mau kumpulin, denda aja ya, Bu.''
''Iya, Boleh.''
Reina hanya menghela napas. Ia menyadari bahwa kehadirannya disana hanya sebagai hiasan. Sedari tadi, hanya Bu Rita dan Eka yang bertukar jawaban. Sementara ia hanya bisa setuju tanpa dapat berargumen. ''Ya sudah, Bu. Saya sama Eka balik ke kelas dulu.''
''Iya. Langsung masuk, belajar,'' kata Bu Rita setelah menyalami kedua anak muridnya.
Eka dan Reina berjalan bersisian menuju kelas mereka. Di dalam hati, Reina ingin sekali menghujat apa yang telah dikatakan cewek di sebelahnya. Akan tetapi, tak ada yang dapat disalahkan.
Di lain tempat, Sherin sudah merampungkan tugasnya. Ia meletakkan kepala di atas meja dengan tangan sebagai bantalan dan berniatan untuk tidur. Baru saja matanya terpejam, ia merasa pipinya di tepuk-tepuk. Reina. ''Rin, lo mau ngomong apa?''
''Ha?'' memang, kalau orang mengantuk pasti saat diajak bicara akan ngelantur. Persis Sherin.
''Yang tadi malem. Jangan bilang lo nggak jadi ngomong,'' ancam Reina dengan nada bergurau. ''Gue cubit hidung lo, ya.''
''Aih.'' Sherin segera menepis jemari Reina yang mendekat. ''Itu, Na. Gue mau ajak lo nginep di rumah gue. Kayak biasa, Mami gue liburan lagi. Dan nggak ngajak gue,'' jelas Sherin menampakkan wajah sedih yang dibuat-buat. Reina sudah hapal trik sahabatnya untuk membuatnya menerima ajakan itu.
''Gue tanya Bapak dulu. Nggak janji bakal bisa, jangan maksa,'' kata Reina diakhiri kekehan. Sebelumnya, setiap kali mengajak menginap, Sherin selalu memaksanya. Sehingga ia menerimanya karena tak enak hati. ''Malem gue kabarin.''
''Pak Efan otewe, woy!'' seruan panik cowok bernama Revan itu menular ke seluruh penjuru kelas. ''Otewe!''
''Belum bel kali! Mabok donat kantin, ya, lo?'' tanya Tyana yang masih santai menggambar di meja guru. Ia sama sekali tidak menggubris perkataan Revan.
Tak sampai semenit, segerombol cowok yang biasa nongkrong di depan kelas mendadak masuk. Artinya, ada guru.
''Kok ada guru, deh? Perasaan gue nggak denger bel.'' Reina berbisik kearah Revan yang duduk di belakangnya.
''Kata guru piket tadi, aliran listrik belnya ada bermasalah. Jadi nggak bunyi. Malahan, sekarang udah masuk jam ketiga,'' jelas Revan. Terdengar sisa-sisa napas bekas panik tadi. Cowok itu sama seperti Sherin, mudah panik. ''Pada nggak percaya sama gue.''
Sesosok lelaki muda masuk ke kelas X IPS A. Itu adalah Pak Efan, guru seni musik mereka. Tanpa banyak basa-basi, ia mengumumkan berita duka bagi anak-anak kelas itu.
''Bapak pikir, kalian sudah siap di tes. Jadi, maju satu-satu, ya?'' pertanyaan itu lebih terdengar seperti ancaman.
''Maju apa, Pak? Tes pianika?'' tanya Revan, yang lagi-lagi, panik. ''Kayaknya pada nggak bawa, Pak.''
Kepala Pak Efan mengangguk. Selama beberapa detik lelaki itu terdiam. Membuat seluru siswa menahan napas. ''Tes nyanyi lagu daerah.''
''Ini pilihan lagunya,'' lanjut Pak Efan kemudian bangkit dari kursinya. Ia menuliskan beberapa lagu di papan tulis.
• O INA NI KEKE
• DESAKU
• BUTET
• ANGING MAMIRI
• BUKA PINTU
''Bapak kasih waktu 15 menit untuk pilih lagu dan siap-siap. Acak ya, urutannya.'' Pak Efan kembali duduk ditemani senyum jahil di wajahnya.
Reina mengumpat dalam hati. Satu-satunya lagu yang ia tahu adalah Desaku. Itupun, masih harus lihat lirik. Ia jadi mual sendiri.
Seorang siswa yang duduk di pojok mengacungkan jari, ia hendak bertanya. ''Pak, boleh lihat lirik di google nggak? Saya lupa bawa buku lagu daerah.''
''Yaps, boleh. Tapi jangan chattan sama doi, ya.''
Bagaikan memiliki tombol pengatur, semuanya kompak sibuk dengan ponsel masing-masing. Bagi yang sudah hapal lagunya, sibuk menguji suara.
''Lo lagu apa, Na?'' tanya Sherin. Ia sendiri sudah menjatuhkan pilihannya pada satu lagu.
Reina menggeleng frustasi. ''Lagunya asing semua buat gue. Ya Tuhan, koneksi disini lambat banget!'' ia mengepalkan tangan dan memukul-mukul pahanya sendiri.
Sherin yang berasal dari Bugis, Sulawesi Selatan itu merasa diuntungkan karena tahu lagu yang ada di papan. Ya, ia memilih lagu Anging Mamiri.
Lagu itu seperti lagu galaunya suku Bugis. Berkisah tentang kerinduan seorang lelaki akan wanitanya yang jauh dimana. Hingga melampiaskan rindu pada banyak hal.
Beberapa anak sudah dipanggil ke depan. Mayoritas memilih lagu Desaku yang sudah terkenal. Dan tibalah waktu yang tidak ditunggu siapapun.
''Sherina Senna Nirmala. Yok,'' panggil Pak Efan dengan nada khasnya yang sok cool. ''Mau nyanyi yang mana?''
Ketika Sherin menyebutkan lagu yang akan dibawakan, semua saling berpandangan. Lagu itu belum dipilih sebelumnya.
''Boleh, dimulai.''
Sherin memulai dengan mengambil suara. Lalu lirik demi lirik disenandungkan dengan eloknya. Beberapa improvisasi membuat lagu itu semakin enak dan tidak membosankan. Ya, selain memiliki bakat menyalin tugas super cepat, Sherin juga memiliki suara yang indah. Walau ia sendiri tidak bercita-cita menjadi penyanyi.
Usainya lagu yang berasal dari Sulawesi Selatan itu mengundang tepuk tangan dari seluruh penghuni kelas. Setelah melempar senyum dan memberi salam, Sherin kembali ke tempat duduknya.
''Tahu dari mana lo lagu itu, Rin? Gue baru denger.''
''Youtube. Awalnya, gue ketemu yang versi Jazz. Tapi karena nggak cocok sama warna suara gue, gue cari yang ori. Terus, improv deh.''
''Lo siapin dari lama? Rajin juga lo.''
Sherin menggeleng dengan kekehan. ''Improvnya baru tadi di depan. Masuk, nggak?''
''Masuk banget!'' jawab Reina seraya mengangguk semangat. ''Tapi kok lo kepikiran buat nyari aransemen lagu daerah di Youtube?''
''Gara-gara acara kemarin. Kan ada musisi yang bawain aransemen lagu-lagu daerah. Ternyata enak. Makanya gue cari lagu yang lain. Dan, wow, gue terpukau,'' jelas Sherin sambil tersipu-sipu. Ia sendiri bangga akan dirinya. Baru kali ini ia menggunakan media sosial untuk sesuatu yang berfaedah. ''Lo harus coba.''
''Maaf nih, gue nggak minat sama lagu. Lebih suka fotografi. Banyak ahli foto Indonesia yang udah mendunia. Padahal, objeknya itu hal-hal yang sering kita temuin. Tapi dengan perasaan, mereka buat foto itu jadi punya ceritanya masing-masing.''
Reina menceritakan fotografer idolanya degan semangat. Sampai-sampai tak terasa sudah gilirannya untuk maju ke depan.
Karena terlalu semangat bercerita, ia tidak sempat memikirkan lagu yang akan dinyanyikan. Dari daftar lagu di papan tulis, hanya ada satu yang mampu ia bawakan. Dengan suara ala kadarnya, Reina membawakan lagu Desaku dengan hati-hati. Setidaknya, walau suaranya tidak bagus, pesan dalam lagunya harus tetap tersampaikan.
''Gue malu-maluin banget, astaga!'' Reina kembali ke kursinya sambil menggerutu. Seharusnya, ia pilih lagu dengan nada yang tidak setinggi lagu Desaku. ''Ah, parah!''
''Santai sih.'' tangannya menepuk-nepuk punggung Reina. ''Setiap orang punya kemampuan dan pengetahuan yang berbeda. Tergantung mimpi yang ingin dicapai. Itulah yang membedakan cara setiap orang untuk menjalani hidup.''
''Aduhai, Ibu Penulis ini semakin pintar ngomong, ya ... Belajar dari Pak Bagas, pastinya. Ya kan?'' goda Reina. Belakangan di ketahui bahwa Bagas juga menyukai diksi-diksi seperti halnya Sherin. Hal itu tentu membuat Reina senang bukan kepalang. Sebab, semakin banyak bahan untuk menjahili sahabatnya.
Bibir Sherin langsung manyun menanggapi godaan Reina. Walaupun dalam hati, ia berbunga-bunga. Dasar Sherin!
---
Disinilah Reina.
Di depan rumah bergaya semi modern dengan ukuran dua kali rumahnya. Rumah Sherin memang cukup untuk disebut rumah mewah. Dan sesuai rencana mereka beberapa waktu lalu, Reina menerima ajakan Sherin untuk menginap. Ia diantar Bapak yang memaksa. Sebenarnya, Reina sudah menolak keras. Bapak pasti lelah setelah bekerja hampir 7 hari dalan seminggu. Namun, bapak tetaplah bapak. Mau disanggah seberapa kuat pun, pasti tetap pada pendiriannya.
Sesampainya di dalam kamar Sherin, Reina langsung membuka ponsel dan memastikan Bapak sudah sampai dengan selamat. Kebiasaan itu sudah menjadi hal wajib bagi keluarganya setiap berpergian.
''Gue gabut banget deh, Na. Kita pergi kemana, yuk.''
Reina menatap Sherin datar. ''Lo ngajaknya nginep doang, ya. Gue nggak mau.''
''Tenang, Na. Gue bayarin.'' Sherin memberikan senyum manis terbaiknya.
''Nggak.'' Reina memberikan tatapan tidak suka. ''Lo pasti tahu gue kayak gimana. Kita bukannya baru kenal sehari-dua hari.''
Sherin hanya bisa diam. Ya, selama mereka berteman, Reina tidak pernah mau dibelikan atau diberikan sesuatu tanpa alasan. Apalagi soal dibayarin. Itu adalah hal yang sangat anti.
''Mending kita ngapain gitu.''
''Gimana kalau lo ceritain perkembangan hubungan antara lo dan Bagas?''
Spontan Sherin langsung memukul bantal di dekatnya ke lengan Reina. Tak habis-habis sahabatnya itu menggoda. ''Sebel sama Reina.''
''Bodo.''
---
Selama menginap di rumah Sherin, tak ada hal berfaedah yang mereka lakukan. Paling-paling hanya memasak bersama, saling curhat, dan stalking media sosialnya kakak kelas ganteng. Intinya, mereka gabut.
''Kayaknya lemes banget, lo,'' tegur Sherin sesaat setelah Reina duduk di kursinya. ''Habis ngeronda, Bu?''
Reina mendecak singkat, ''gara-gara lo.''
Memang, yang tadinya berencana menginap tiga hari, menjadi empat hari satu malam. Akibatnya, Reina baru sampai di rumah pukul 11 malam dan tidur kurang dari 5 jam. Untung saja, Bapak sangat pengertian. Reina dibangunkan setengah jam lebih lambat dari biasanya. Huh, Reina sayang Bapak!
''Hey, hey!'' suara papan tulis di tepuk-tepuk membuat kelas yang sudah ramai semakin ricuh. Siapapun penghuni kelas itu tahu pelakunya. ''Kawan-kawan, lihat kesini sebentar. Nggak sampai satu jam gue ngomong.''
Dengan amat terpaksa, teman-temannya memalingkan wajah. Senyum Eka langsung mengembang. Sebagai ketua kelas, ia sangat patuh terhadap perkataan guru dan tata tertib. Sangat terlalu patuh.
''Lama,'' keluh beberapa cewek yang tadinya sedang bergosip di pojok kelas. Sebagai seorang perempuan, kegiatan bergosip memiliki jadwalnya sendiri. Bisa juga dadakan saat ada yang membawa berita panas.
''Jadi, kemarin kan kita sudah libur empat hari, nih. Berarti, tugas literasi kalian sudah selesai, kan. Sekarang kumpulin.'' Eka berjalan ke mejanya dan mengambil beberapa lembar kertas, yang diyakini sebagai laporan hasil literasinya. Setebal kliping.
''Gue lupa bawa. Besok deh.'' Hampir semua anak cowok beralasan sama. Lupa bawa. Padahal, lupa kerjainnya.
''Besok yang nggak bawa, gue bilang ke Bu Rita untuk denda, ya.'' pandangan Eka tiba-tiba saja tertumpu pada Reina. Seketika cewek itu salah tingkah. ''Reina, catat siapa saja yang sudah mengumpulkan. Kasih ke gue.''
Tak sedikit teman sekelasnya yang mencebik kesal.
Reina dibantu Sherin mencatat nama-nama yang sudah mengumpulkan tugas itu. Mengejutkan, jumlahnya lumayan banyak. Namun, ada lagi hal luar biasanya. Jika yang lain hanya menuliskan laporan literasi satu buku, maka Eka membuat laporan lima buku. Pantas saja miliknyalah yang paling tebal.
'Tangannya nggak keriting apa, ya, nulis sebanyak itu. Tugas Ekonomi aja gue sudah nyerah,'' ujar Sherin sambil terkikik kecil. ''Ya, bagus, sih. Pengin kayak gitu. Tapi belum terbiasa.''
''Lo nggak akan terbiasa kalau belum mulai.'' Reina mengangkat satu alisnya.
''Iya, Bu Guru ...''
Sampai pada satu kertas yang dioper Sherin, mata Reina membelalak. Apa-apaan ini?! Bayangkan, laporan literasi Sherin hanya satu paragraf. Berisi 7 baris yang hurufnya besar-besar.
''Nggak waras lo,'' gurau Reina seraya meletakkan lembar itu ditumpukan. ''Bu Rita tahu, abis lo.''
''Ih, yang penting gue paham isinya. Percuma, kalau panjang-panjang tapi sontek google. Tujuan literasi kan membiasakan diri untuk membaca, jadi kita paham apa yang kita baca.''
''Percuma, kalau gue tulis laporannya panjang-panjang, yang tahu isinya kan cuma yang udah baca.'' lanjut Sherin masih belum selesai.
''Iya. Tapi seenggaknya lo hargai orang yang sudah baca, sekaligus buat laporannya lebih dari satu paragraf,'' balas Reina. ''Hidup itu soal gimana lo perlakuin sesama. Sikap orang lain itu bertindak sebagai kaca. Apa yang lo lakuin, itu yang lo dapat.''
Kepala Sherin mengangguk-angguk. Nampaknya, tiada hari tanpa berargumentasi dengan Reina. Akan tetapi, ia suka. Membuat pikirannya lebih terbuka kepada banyak topik sehari-hari.
''Kali ini, gue maklum. Selanjutnya, kalau begini lagi, gue kasih tahu Eka,'' ancam Reina diakhiri kekehan. Wajah panik Sherin sangatlah konyol.
''Lain kali, kalau dikasih tugas jangan ditunda, ya. Nanti jadi kebiasaan,'' tambah Reina tegas.
Sherin mengukir senyum yang membuat Reina bergidik. ''Oh iya, Na. Lusa gue mau tampil. Dateng ya.''
''Tampil ngapain?''
''Tari Kipas Pakarena. Dalam rangka pengumpulan amal buat Palu Donggala dan Sigi dari kelompok kesenian kampung gue.''
''Gue harus ke Bugis dulu?'' tanya Reina ragu-ragu. ''Jauh, ah.''
''Acaranya disini. Tapi memang atas nama Sulawesi Selatan. Terus, kalau sudah kekumpul, baru dibawa kesana,'' jelas Sherin. Ia selalu saja semangat ketika menjelaskan budaya kampung halamannya itu. ''Lo mau datang, kan?''
''Kalau Bagas boleh datang.''
''Reina, jangan bercanda dong,'' sungut Sherin kesal. Bibirnya mencebik.
''Iya. Kabarin aja. Mungkin gue akan ajak Bapak. Boleh?''
''Boleh banget! Ajak siapa aja boleh. Biar makin ramai. Jadi acaranya juga makin seru,'' sahut Sherin yang masih semangat. ''Lo harus nonton pas gue tampil. Nggak mau tahu.''
Cewek disebelahnya terkekeh geli. ''Iya. Sekalian, gue rekam kasih ke Pak Efan supaya lo disuruh tampil ke depan pas Jumat Budaya.'' setiap hari Jumat, sekolah mereka memang menyelenggarakan Jumat Budaya. Dimana para siswa diharuskan menampilkan sesuatu bertema budaya. Boleh menari, menyanyi atau apapun.
''Enak aja!''
---
Hari yang ditunggu Reina telah tiba. Ia sungguh tak sabar melihat sahabatnya menampilkan kemampuan menarinya. Walaupun bawel dan malas, Sherin sangat menghormati dan mencintai budaya kampung halamannya, Sulawesi Selatan. Nama tengahnya pun berasal dari bahasa Bugis. Sanna, artinya bunga lili.
Acara tersebut diselenggarakan di pelataran rumah yang masih bergaya tradisional. Sepertinya, rumah panggung itu adalah rumah adatnya Sulawesi Selatan, Bola dan Balla. Ditemani cuaca yang bersahabat, semuanya bersiap-siap. Termasuk Sherin.
''Gue gugup, Na!'' lapor Sherin sebelum acara dimulai. Ia sudah menggunakan seluruh atribut menarinya. Tari Kipas Pakarena memang ditempatkan menjadi pembukaan.
''Santai. Gue udah ajak Bagas kesini, kok.''
''Ah, Reina jahat sama gue. Tega lo!'' omel Sherin sambil memukul-mukul lengan Reina. Ia menghentak-hentakkan kakinya gemas. ''Nggak bisa dia disuruh pulang dulu?''
''Nggak.''
''Lo tahu sendiri kan, tarian ini tuh lama banget. Gue nggak pintar sembunyiin gugup, Na. Gue mohon... ''
''Hai, Rin, Na.''
Keduanya menoleh ketika mendengar suara tersebut. Reina langsung menyambutnya antusias. Sementara Sherin hanya tersenyum kikuk.
''Semangat, ya!'' kata Bagas dengan senyum manisnya. ''Hmm, gue nonton dari depan aja, ya. Duluan.''
Setelah Bagas pamit dan berlalu, Sherin langsung terduduk lemas. ''Ah, kacau.''
''Kok kacau? Bagus dong. Kan ada Bagas,'' canda Reina seraya mencoel dagu Sherin. ''Jangan mengkerut gitu. Cantik, kok.''
''Gue tabok ya, Na.''
Reina hanya tertawa kecil. Terasa sekali bahwa Sherin sangat gugup saat itu. berkali-kali ia memeras ujung kainnya.
Kini saatnya Sherin untuk tampil. Bersama keenam cewek lainnya, ia memulai pertunjukkan. Para penonton menyaksikan dengan seksama. Walaupun terlihat serius, Sherin sempat beberapa kali melirik ke arah penonton. Dan yang ditemukannya adalah Bagas.
''Keren, Rin!''
Sherin yang tengah memakai sepatunya dibelakang panggung mendongak. ''Makasih. Oh, ya, makasih juga udah datang.''
''Kan lo yang minta. Masa iya gue abaikan gitu aja.''
''Iya.'' Bibir Sherin melengkungkan senyuman. ''Na, makan yuk. Gue lapar.'' Sherin langsung menarik Reina selepas memakai sepatu. Bajunya sudah diganti, jadi ia lebih bebas bergerak.
Reina hanya mengikuti arah tarikan sahabatnya itu. Tadi itu komentar jujur. Menurutnya, Sherin memang keren. Apalagi ini adalah kali pertamanya menonton pertunjukkan Tari Kipas Pakarena yang ternyata sangatlah indah.
Di beberapa sudut tempat, banyak meja-meja berisi makanan yang disediakan untuk tamu. Makanan itu dimasak sukarela oleh beberapa kelompok ibu rumah tangga. Yang disajikan juga tak jauh dari makanan dari Sulawesi Selatan.
''Lo harus coba Sop Konro-nya. Dijamin nagih!'' ajak Sherin. ''Bundo, mau sopnya.'' (Bundo = Bibi, Bahasa Bugis)
Wanita yang dipanggil Bundo itu tersenyum singkat. Lalu mengambilkan dua mangkuk Sop Konro untuk Sherin dan Reina. ''Habiskan.''
Kepala keduanya mengangguk-angguk. Dari aromanya saja sudah menggelitik perut, sudah dapat dipastikan, sop itu akan habis.
Di tempat duduknya, Reina memulai suapan pertama. Namun mula-mula ia menyesap kuahnya terlebih dahulu. Segar!
''Gimana, Na?''
Walau tak ada kata yang diucap, mimik wajah Reina sudah mengatakannya. Ia menikmati makanan di hadapannya itu. ''Boleh nambah nggak, nanti?'' tanya Reina tanpa malu-malu. Selain cuek, ia juga blak-blak an.
''Jangan kenyang dulu. Masih banyak yang belum lo cobain.'' Sherin juga ikut menyesap kuah sop nya. ''Ada Es Palubutung, Pisang Epe, Barongko. Duh masih banyak, Na.''
Mata Reina mengerjap beberapa kali. Apakah Sherin sedang menyuruhnya untuk memakan itu semua? ''Kayaknya gue penasaran sama Es Palubutung, deh.''
Sesudah makan dan istirahat sebentar, mereka berdua kembali berjalan ke jajaran meja tadi. Sekarang, Es Palubutung. Hidangan itu berupa segelas es dengan pisang yang disiram dengan sirup merah.
''Siang-siang gini memang enaknya minum es, ya,'' kata Reina ketika sudah memegang es miliknya. ''Gila, makanannya enak-enak semua, Rin.''
Sherin tersenyum. Diam-diam, ia merasa bangga dengan kampung halamannya itu. Selain menampilkan pemandangan luar biasa, Sulawesi Selatan juga memiliki banyak sekali kuliner yang lezat. Beberapa yang terbaik disajikan di acara ini.
Saat siang datang, dimulailah pengumpulan amal yang nantinya akan dibelikan makanan untuk korban tsunami Palu, Donggala dan Sigi. Tak sedikit jumlah uang yang dikeluarkan para tamu. Siapapun tahu, seberapa besar uangnya, pasti rasa peduli antar sesama bangsa Indonesia jauh lebih besar.
---
Malam semakin larut. Suasana tidak kalah meriah dibanding siang tadi. Dan ketika memasuki jam 8 malam, tamu-tamu sudah mulai pulang. Karena keluarganya adalah salah satu penggelar acara ini, maka Sherin tetap tinggal ditemani Reina.
''Rin, ada yang mau ngomong sebentar sama lo.''
Sherin menoleh dengan tatapan bingung. Kenapa Reina sampai segitunya? Dan siapa yang hendak bicara kepadanya.
Tak perlu banyak tanya lagi, sesosok cowok familiar muncul. Bagas. Ia menyungginkan senyum seperti biasa. Karena sering tersenyum, ia jadi jauh lebih manis, menurut Sherin. ''Bagas?''
''Tadi siang gue nonton. Bagus, Rin. Gue suka,'' ujar Bagas yang masih tersenyum. Jantung Sherin berdetak cepat saat Bagas mengucapkan, 'gue suka.'. ''Lo lihat nggak?''
Lihat, lah! Gue kan salah fokus ke lo terus, Gas. ''Iya, sekilas tadi.''
Bagas kembali tersenyum lagi. Lalu menunduk. Wajahnya jadi sedikit gelap karena melawan arah cahaya malam itu. ''Emm,... katanya, lo baper sama gue, Rin?''
''Ha?'' pasti kerjaannya Reina, nih, rutuk Sherin dalam hati.
''Iya. Lo... suka sama gue?''
Demi apapun, Sherin ingin pulang saja! ''Kata siapa, Gas?''
''Soalnya, gue,... juga.''
''Bagas, lo halu, ya?'' tanya Sherin bercanda. Padahal, detak jantungnya sedang tidak bercanda. Ia gugup.
''Rin, lo mau, jadi ... Pacar gue?''
Tanpa keduanya sadari, Reina berjalan melewati mereka. ''Pasti diterima, Gas. Sherin juga suka sama lo, tahu!''
Tangan Bagas mengisyaratkan agar Reina meninggalkan mereka berdua. ''Rusak suasana aja nih, Reina,'' ujar Bagas sedikit kecewa. Namun tetap dengan tawa kecilnya. ''Tanggung nih.''
Reina pun kembali berlalu.
''Gimana, Rin? Gue udah minta izin sama Mami lo. Katanya boleh. Asal nggak ganggu pelajaran dan bikin lo jadi lebih baik lagi.''
Kepala Sherin sudah berputar-putar. Pasti ia habis oleh ledekan Mami sepulang dari sini. ''Gue,...''
''Ya?''
''Gue mau.'