Aku pernah begitu keras mengejarmu hingga hayalan memenuhi ruang di kepalaku. Setiap saat. Tanpa henti. Dan, ketika sinar pagi berhasil menembus tembok kamar yang terlintas tetap sama. Senyum yang terukir di sudut bibir ini akibat pengaruh bawah sadar yang tidak bisa ku cegah. Andai aku bisa menuntut, hal itu sungguh melanggar hak asasiku sebagai manusia yang berhak mengambil keputusan. Tetapi lupakan, bagaimana bisa kumenuntut tubuh yang sama. Apakah mereka akan percaya bahwa senyuman ini seenaknya saja membentuk setengah lingkar di wajahku tanpa meminta izin dari pemilik senyum? ini sungguh tidak masuk akal, aku bisa merasakan itu.
Hari dimana janji-janji itu sempurna membiarkanku terus berlari. Walau aku tidak yakin akankah kutemukan titik henti.
Saat itu, keinginan akan dirimu tidak pernah ku tolak. Melihat sebagian orang bergandeng tangan. Entah itu teman, sahabat atau bahkan lebih dari sahabat, mereka saling mengisi canda bergantian tertawa. Aku memandangi setiap panorama yang disajikan di hadapanku, sesekali terhenti pada satu bagian yang saat ini kukejar. Senyum itu terukir lagi, namun berbeda dengan hatiku. Bahkan diriku sendiri tidak bisa menebak apa sebenarnya keinginanku. Perbedaan yang saling membela ini membuat semangatku seperti sedang beradu gengsi.
Apakah kamu tau benda semacam roller coaster? jika kamu bisa mendefinisikan perasaan macam apa yang aku alami. Mungkin roller coaster perumpamaan yang tepat. Aku bisa menebak bahwa didepan sana ketinggian menungguku untuk ku lintasi, aku bahkan sangat mudah menebak bahwa didepan sana juga aku akan melawan arus angin. Tetapi daripada semua itu, aku tidak bisa menebak bagaimana seharusnya sikapku menghadapi ketinggian itu, aku tidak bisa mengatakan hal yang pasti walaupun aku bisa melihat dengan jelas tujuan dari permainan ini.
Sebagian besar kumpulan cerita yang hadir di kisahku, tidak lain karena tingginya egoku untuk memilikimu. Bahkan ketika aku benar-benar putus asa dengan diriku, aku masih tetap mengandalkan semua darimu. Lagi-lagi menggantungkan semuanya padamu. Seolah-olah kau pantas diandalkan.
Setiap keluh kesah yang ku lontarkan, rintihan tangis, bahkan bahagiaku kamu masih menjadi ruang paling favorit untuk kujadikan pelampiasan. Kisah ini makin terlihat tak menentu. Aku mengejar hal yang sama, hal yang aku tangisi justru apa yang aku kejar selama ini. Ini terlihat lucu bukan? mengejar apa yang membuatmu terobsesi, menangisi obsesi yang kamu kejar, melampiaskan obsesi yang kamu tangisi, dan mengadu atas apa yang mengobsesi dirimu, ini merupakan siklus yang berulang jauh sebelum aku hadir, dan tahukah? siklus yang terjadi padaku sesungguhnya berada pada satu tujuan. Dunia.
Beruntungnya jalan menuntunku bertemu hari dimana pergantian kisah bermula kembali. Ketika lembaran buku berisi coretan diganti dengan buku berisi lembaran bersih tanpa coretan. Rasanya aku menemukan sosok lain yang hadir di tubuhku, tanpa segan meminta pikiranku kembali mengingat peristiwa siklus yang kukenal sangat baik.
Setiap detik
Setiap menit
Setiap jam
Setiap hari
___
ternyata umurku tidak lain kujalani dengan sandiwara. Bagaimana mungkin aku tidak menyadari ini? Apakah mata yang kugunakan kurang untuk sekedar menyadari peristiwa diluar sana? Aku salah arah, langkahku seharusnya tidak sejauh ini. Yang kukejar ternyata tidak pernah benar-benar nyata, ini permainan waktu. Dunia berhasil membutakan segalanya, mengubah buruk menjadi baik.
Walaupun aku bersikeras membela diri, membenarkan setiap tindakan meskipun aku tau itu tidak akan mempengaruhi proses yang susah payah kubangun dahulu. Hatiku terlanjur ku titip ditempat yang salah, yang terlihat baik dimata saat itu tidak menjamin itu benar-benar baik pada akhirnya. Kini aku paham bukan dia yang patut ku kekejar dan bukan dia yang pantas kuandalkan mengenai hati.
Aku mengejar dunia, jika sudah begini seisi dunia akan kumiliki tetapi tidak ada tempat untukku di surga.
Aku sungguh tidak ingin menggadaikan surgaku hanya untuk dunia yang memperdaya. Aku berani bertaruh tidak ada yang akan mengasihimu ketika dunia menggetarkan bumi. Adakah diantara kita yang teguh mempertahankan harta ketika bumi memberontak mengeluh lelah?
ketika itu manusia tidak terlihat seperti manusia,
ketika itu teriakan silih berganti,
ketika itu tidak ada yang bisa menolong selain Pemilik Kerajaan Langit.
Aku salah satu manusia yang mengejar dunia hanya karena kesenangan memperdaya. Lelah kumengadu ke dunia, bahkan hatiku kupertaruhkan untuk dunia. Jika saja ada kata yang mampu menjelaskan perihnya hatiku saat ini, mengingat egoisnya manusia mempertaruhkan dunia sedangkan hidup dan mati berada di langit. Bahkan, bahasa dunia tidak mampu menjelaskan sakit ini. Bukan sakit berdarah, itu tidak ada apa-apanya. Tapi aku sakit karena takut ampunan tidak bisa aku peroleh dari-Nya.
Pikiranku mulai kemana-mana, apa yang akan terjadi jika hari itu Pemilik Kerajaan Langit menarikku dari bumi, sungguh celakalah bagiku. Apalah aku yang tidak lain pendosa bumi yang meminta nikmat langit.
Lancangnya aku mengharapkan Langit sedangkan aku berlari ke bumi.