Aku duduk di atas tempat tidur rumah sakit bagian gawat darurat. Aku tidak suka rumah sakit. Ini yang membuat wajahku mungkin terlihat lebih pucat dari yang seharusnya. Mademoiselle Sophia menemaniku, ia yang membawaku kesini. Ia bilang aku pingsan lagi dan darah dari telingaku keluar lebih banyak dan membasahi bajuku. Tapi mungkin itu yang terbaik, aku merasa sangat lemas dan tidak bertenaga, seperti sudah terkuras habis tenagaku. Dan telinga kananku menjadi sangat ngilu. Membuatku sulit mendengar.
Kami sama-sama mengunggu ayah dan ibuku datang. Mademoiselle Sophia menelpon mereka sejak tadi. Dan kini mereka sedang di perjalanan menuju tempat ini.
“miss” panggilku pelan. Ia mengangkat kepalanya dari arah ponsel dan tersenyum lembut.
“ya?”
“winter masih di sekolah?”
“ya, dia berada di kandang. Apa kau cemas?”
Aku mengangguk.
“baiklah kalau begitu nanti winter akan ku bawa pulang sementara menginap dirumahku, oke?”
Aku mengangguk dan tersenyum. “terima kasih miss”
Tak lama ibu dan ayahku datang. Wajah mereka terlihat sedikit panik, marah dan malu. Terutama ayahku. Mereka menyapa Mademoiselle Sophia dengan keramahan yang dipaksakan. Namun ibu sekilas terlihat sedih juga saat pandangannya bertemu denganku.
“maaf Selene merepotkanmu ia masih harus banyak belajar” tutur ibuku. Mereka bertiga menjauh dariku. Mademoiselle Sophia serpertinya menceritaan kejadian di sekolah, dan mengenai hasil pemeriksaan dokter. Dan terakhir adalah resep obat baruku yang harus diambil di apotek.
Saat mereka berbincang ayahku hanya mengangguk, kadang tersenyum sok ramah, dan melirikku. Ibuku terus bertanya, menjatuhkan kedudukannya sebagai ibuku. Seharusnya ibuku tahu lebih banyak tentang anaknya bukan orang lain. Tapi itu tidak bisa dipaksakan. Aku hanya melihat mereka dengan lemas. Benar-benar lemah bahkan untuk berbicara. Dan Mademoiselle Sophia pun pamit pulang.
Saat sosoknya sudah jauh barulah kedua orang tuaku mendekatiku. Ayahku diam di samping ranjangku. Ibuku meletakkan telapak tangannya ke dahiku tanpa berani melirikku. Tapi aku selalu mengejar matanya.
Dan saat matanya sudah tertangkap basah dengan mataku. Aku hanya bisa menatapnya dan mengirimkan pesan bahwa aku sangat lelah dan sakit. Aku berharap ia bisa memahaminya.
“kenapa kau tidak pernah memakan obatmu hah?” pandangan rapuh yang sesaat ku lihat dari matanya kini naik jadi pandangan marah. Seolah dipaksakan.
Aku gagal mengirim pesanku padanya, aku terlalu lemah untuk menjawab. Menjawab sama saja memberi kesempatan untuk pertanyaan yang lain. Dan ini tidak akan berakhir.
“jawab” pintanya dengan penekanan pada nadanya.
“lebih baik kita kedokternya sekali lagi. Aku ingin mendengar langsung dari dokter dan agar ia tidak tahu bahwa ia tidak bisa mmbohongi kita” tutur ayahku.
Ibuku menurunkan aku ke bawah dan mengenggam erat lenganku dan berjalan cepat. Aku yang lemah sangat sulit menyetarakan langkah kecilku dengan mereka. Sehingga berkali kali aku hampir tertinggal dan ibuku menarikku.
“kecelakaan kemarin saat jatuh dari anak tangga membuat kepalanya terbentur keras. Namun kepala bagian belakang sebelah kananlah yang lebih parah karena saat jatuh kepala itu yang menahannya. Ada penggumpalan yang terbentuk di sekitar bawah telinga kanan sampai ke kepala belakang sebelah kanan. Benturan keras kemarin membuat beberapa saraf otak terganggu, dan penggumpalan darah memperparahnya. Ini yang menyebabkan Selene sering mengeluarkan darah dari sebelah telinga kanan. Dan hilang ingatan sesaat. Dari hasil pemeriksaan lab, kita tahu bahwa obat yang kemarin kami berikan tidak masuk kedalam tubuh sehingga tidak meringankan daya kambuhnya. Karena itu kami menaikan dosis dan menambah obat lain untuk menghindari kemungkinan penyakit lain. Setelah meminum obat itu sampai habis. Ibu bisa kembali dan melakukan pengecekan. Apakah penggumpalannya semakin kecil, dan saraf mana saja yang terganggu. Jika ini dibiarkan maka resikonya bisa menjadi hilang ingatan, tuli atau tumor……………”
Begitu tutur dokter. Itu membuatku semakin lemah. Kini kami menunggu giliran di loket apotek. Dan kami sama-sama diam.
“kau dengar kata dokter tadi, minum obatmu kalau kau tidak ingin hilang ingatan? Mengerti?” tutur ayahku berbisik di telingaku.
Aku sampai rumah pada malam hari. Ibu menyuruhku duduk di ruang makan dan tidak bergerak. Kedua kakakku mulai rewel karena ditinggal cukup lama. Ayahku masuk kekamar untuk mandi. Kedua kakakku duduk di dekatku dan seperti biasa menggangguku. Aku memegang kantong plastik obatku dengan erat. Selain karena ibu menyuruhku dengan tegas, aku juga tidak ingin ingatanku hilang, tuli ataupun penyakitan. Aku ingin kuat untuk bisa membuktikan aku bisa mandiri dan sukses. Setidaknya aku ingin sembuh.
Tapi kedua kakakku menggangguku. Seharusnya aku tidak satu meja dengan mereka. Ibu sibuk menyiapkan makan malam. Sehingga Ia tidak menghiraukan kami yang hampir bertengkar. Biasanya ia akan marah dan membela kedua kakakku. Aku sendiri tak kuasa melawan. Sehingga hanya bisa memukul mereka, tapi pukulanku hanyalah sentuhan ringan bagi mereka. Mereka menarik rambutku dan mengambil obatku. Aku memukul mereka. Tapi mereka tetap saja seperti itu. Mereka membuka kantong plastik itu dan mengeluarkan suatu botol kecil berisi kapsul kuning, sebuah plastic berperekat berisi tablet putih dan banyak lagi.
“eh” desahku saat ingin menggapai obatku kembali tapi aku terlalu lemah.
Kembalikan kumohon, kembalikan. Biarkan aku sembuh dan aku akan pergi dari dunia kalian. Aku tidak akan menganggu kalian lagi. Kembalikan. Biarkan aku sembuh.
“hah kau mau obat mu kembali? Hah? Ayo ambil ! ambil !” tutur Rodger sambil mengangkat tinggi tinggi segumpal plastik obatku. Aku mencoba meraihnya dengan tenaga yang tersisa.
“obat apa ini? Wah banyak sekali” Ronny membuka botol obatku dan menuangkan isinya keatas meja. Dan kapsul kuning pun berserakan di meja.
“Ronny Rodger hentikan!” teriak ibu marah. Kedua kakaku membeku termasuk aku. Ibu merampas dengan kasar plastik obatku dari Rodger, dan memukulnya. Kemudian mengambil botol obat yang setengah kosong dari Ronny dan memukulnya.
“kalian tahu ini pakai uang untuk membelinya? Hah? Apa kalian bisa mencari uang? Hah? Ronny masukan obat ini kembali ketempat semula. Rodger kembalikan semuanya ke plastik cepat!”
Ronny mulai menangis.
“tidak perlu menangis! Kau sudah besar ! kau laki-laki ! jangan cengeng cepat rapikan!” aku mencengkram keras lututku saat Rodger meletakkan plastik obat ku di depanku dengan dingin.
Ibuku mengambil sesuatu dari dapur dan kembali dengan semangkuk bubur.
“kau, makan ini dan habiskan. Makan obat mu jangan sampai tidak!” tutur ibuku. Ronny belum juga membereskan obat-obatku. Ibuku geram dan membawa Ronny menjauh.
“diam disini. Tidak perlu nangis ! jangan cengeng mengeriti?! hah!” ibuku mencubit Ronny. Ronny menangis sejadi jadinya. Sedangkan ibuku mulai membereskan obatku dengan cepat.
Segala yang ibu lakukan menimbulkan bunyi-bunyi berisik yang membuatku takut. Aku menyendok buburku perlahan. Tanganku gemetar. Saat obatku sudah kembali di tempatnya ibu mengambil dua piring lain didapur dan membawanya ke kamar Rodger.
“kalian berdua ayo cepat masuk kamar!” teriak ibu.
Rodger menuruti sambil menarik Ronny yang masih menangis.
“ADA APA INI??!!” Tanya ayah ku keluar dari kamarnya. Matanya merah, ia melihat kearahku, ibuku dan kedua kakakku. Ronny segera berhambur ke pelukan ayah. Mengadu. Ayahku menatapnya bingung sekaligus marah. Dan segera mengejar ibuku. Ibuku masuk kekamar Rodger dan meletakkan kedua mangkok di meja belajar Rodger, aku masih bisa melihatnya.
“Ronny, Rodger makan” tutur ayahku saat sampai di kamar Rodger. Kemudian ayah segera menarik ibu ke kamar mereka.
“bbuuukkkk” suara pintu di banting keras-keras. Aku merasakan angin dari pintu yang terbanting itu menerbangkan beberapa helai rambutku.
Aku membeku di ruang keluarga sendirian. Belum pernah aku melihat ibu memarahi Rodger dan Ronny seumur hidupku, ada sedikit rasa senang dan takut. Kedua, aku melihat ayah marah pada ibu. Ia benar-benar mengerikan.
Tanganku bergetar memegang sendok berisikan bubur hambar. Rasanya aku ingin berdiri di depan pintu kamar kedua orang tuaku untuk mendengar apa yang terjadi di dalam. Pasti ayah memarahi ibu. Aku belum bisa mengambil kesimpulan mengapa ayah marah pada ibu. Karena itu aku ingin tahu. Tapi berdiri di depan pintu kamar mereka sama saja menyerahan diri pada musuh. Jadilah aku diam dan mengunyah buburku secara perlahan.
“pranggg!!!” suara kecil teredam itu terdengar dari kamar ibuku. Aku menggigit sendok, rasa sesak yang aneh menjalari tubuhku. Tidak aku tidak boleh menangis. Untuk apa aku menangis? Aku sendiri tidak tahu masalahnya apa?
Dan seumur hidup aku tidak pernah menangis. Aku menunduk kearah bubur. Aku harus menghabiskan ini sebelum mereka keluar.
Aku tidak lagi memikirkan masalah kedua orang tuaku. Aku mencoba menenangkan diri. Mengingat penyakitku saja sudah memusingkan apalagi memikirkan masalah orang dewasa.
“kreeekk..” suara pintu kamar ibuku terbuka. Sekilas aku melihat wajah ibuku yang datar dan hampir tersenyum sebelum akhirnya aku menunduk. Ayahku menyusul di belakang ibuku dan segera pergi kekamar kak Ronny dan Rodger.
Aku menelan bulat-bulat buburku tanpa mengunyahnya. Ibu berjalan ke dapur. Terdengar suara dentingan dua benda beling disusul suara aliran air. Sepertinya ia sedang mengambil air minum. Kini sudah tinggal mangkuk yang besisa ketika ibuku duduk didepanku.
“minum obat mu” tutur ibuku dingin.
Aku mengambil obatku dan gelas air putihku. Aku benci obat, benci sekali. Tapi jika ini dapat membantuku sembuh maka aku harus memakannya.
“kenapa kau tidak memakan obatmu hah? Jawab ibu!” tanyanya dengan penekanan di setiap kata. Aku baru hendak membuka mulut untuk menjawab ketika ia melanjutkan perkataannya.
“kau kira obatmu itu murah? Ayah tidak bekerja dan ibu banting tulang. Kenapa kau tidak menghargai usaha ibu? Dengar kalau kau sampai tuli atau hilang ingatan, siapa yang akan mengurusmu? Ibu kerja, ayah akan segera melamar pekerjaan dan kedua kakakmu sekolah. Apa kamu akan ingat jalan pulang kerumah kalau kamu keluar, siapa yang akan menjagamu? Pikirkan!” tutur ibuku kesal. Ia memukul meja diakhir perkataannya. Aku memejamkan mata.
“karena itu minum obat mu! Dengar?” tutur ibuku. Aku mengangguk dan memasukan tablet terakhir ke mulutku. Disaat yang sama ayahku keluar dari kamar kakakku.
Ia menghampiri ibuku. Ibuku menunduk sejenak seperti memikirkan sesuatu. Ayahku meletakan tangannya di bahu ibuku. Meremasnya. Ibukupun mengadahkan kepala. Aku menegak minumku sambil menunggu mereka berbicara.
“berjanji pada ibu, kalau kau tuli atau hilang ingatan atau apapun jangan menolak jika kami membawamu ke panti asuhan…” aku mengadah dan menatap wajah ibuku. Tapi ibuku tidak berani menatapku. Ia berpura-pura membereskan obatku.
“setiap sabtu dan rabu kami akan menjemputmu” tutur ayahku. Kami bersitatap untuk beberapa saat.
“apa kau ingin berjanji dengan ibu? Jika kau tidak berjanji maka kami akan membiarkanmu dirumah sendirian tanpa penjaga yang akan membimbingmu. Apa kau mau hilang tanpa arah ketika kau berjalan keluar? Apa kau mau mati ketabrak di luar sana?”
Aku diam masih menatap lekat-lekat ibuku. Tapi ia tidak menatapku.
“berjanjilah” desak ayah.
“aku berjanji” tuturku akhirnya.
“sekarang mandi dan tidur” tutur ibuku. Ia mengambil piring nasiku. Biasanya aku harus mencuci sendiri segala piring. Tapi mungkin karena aku sekarang dalam keadaan sakit, ibu jadi memperhatikanku. Aku berharap begitulah seterusnya.
Biarlah, aku harus sembuh. Aku tidak ingin hilang ingatan ataupun tinggal di panti asuhan.
Tapi sesuatu mengganjal. Seperti ada masalah ganjil. Itu membuatku sesak. Entah karena konsekuensi yang terlalu berat, entah karena penyakitku, atau karena masalah kecil seperti sikap ibu yang tidak ingin menatap mataku?
Hari ini aku tidak berangkat ke sekolah. Apa yang aku harapkan bahwa aku akan mendapat perhatian dari ibuku selama aku sakit ternyata salah. Ia malah bersikap semakin aneh padaku. Ia menjadi dingin dan acuh tak acuh. Aku berusaha bertanya senormal mungkin padanya tapi ia menjawab dengan kikuk. Biasanya ia menjawab dengan seadanya atau bahkan ketus. Kali ini ia menjawab antara ingin dan tak ingin. Sepertinya ada dilema yang begitu besar yang ia rasakan. Tapi aku tidak tahu apa itu. ia bahkan jadi sering marah-marah padaku karna hal-hal sepele. Seperti mengapa kamarku berantakan? Mengapa nilai matematikaku nol? Dan sebagainya.
Sekarang kamarku terasa amat sepi karena winter dibawa oleh Mademoiselle Sophia ke rumahnya. Semoga saja miss tidak melupakan janjinya. Aku merasa lemas dan kepalaku pusing. Orang tuaku memang menolak merawatku di rumah sakit. Karena aku tahu uang keluarga kami kini menipis.
Aku menghela nafas panjang. Aku memaksakan diri untuk bangun dari tempat tidur, tenggorokanku sangat kering dan aku butuh air. Aku menenggelamkan diri dalam balutan selimut sambil berjalan perlahan. Aku menyempatkan menengok ke luar jendela. Diluar hujan deras. Air hujan yang menggenang di pekarangan rumah membuat daun-daun yang rontok mengapung. Daun-daun yang berwarna coklat. Tapi anehnya aku tidak mendengar apa-apa. Aku tidak mendengar suara air hujan yang menerpa genteng rumahku yang tepat berada diatas kepalaku. Aku tidak bisa mendengar suara gemuruh antara awan dan awan yang saling bergesekan. Semuanya sepi.
Aku memegangi telingaku, dan aku merasa ada suatu cairan pekat yang menempel di tanganku. Darah. Astaaga aku benar-benar lemas. Aku berjalan mendekati kaca. Dan aku melihat diriku begitu aneh. Aku pucat. Dengan telinga berdarah, dan darah itu terus menjalar ke pipi kananku. Dan rambutku pirang! Seingatku rambutku tidak pirang. Dan kini aku memakai bandana pink yang ku temukan di mobil. Astaga apa ini?
Wajahku mirip dengan gadis yang samar ku lihat di mobil dan samar ku lihat di kamarku. Gadis yang duduk di jok belakang dan gadis yang mengelus winter. Wajahku persis dengan wajah hantu itu. Aku berjongkok. Dan sepertinya aku berteriak. Tapi aku tidak dapat mendengar suara teriakanku. Tidak ada suara apapun.
Tiba-tiba aku merasa ada sebuah tangan memegang pundakku. Aku tidak berani membuka mataku. Kutenggelamkan kepala diantara tangan yang memeluk dengkulku. Aku menjerit sebisaku tapi aku tidak mendengar suaraku. Sia-sia. Tapi tangan itu terus mengguncangku dan mengelus kepalaku. Aku merasa berlaian itu nyata dan tidak berniat jahat. Aku membernaikan diri mengintip siapa yang memelukku saat ini. Aku tidak ingin melihat hal-hal yang aneh-aneh saat ini. Kepalaku terlalu sakit untuk berpikir. Aku benar-benar takut.
Tapi saat aku mengintip tangan itu mulai mengelus kepalaku dari dahi hingga ubun-ubun. Aku kenal tekstur tangannya yang lembut. Itu tangan ibu!
Aku membuka mata dan melihat ibu disana. Ia menatapku dengan tatapan khawatir. Ia memegangi kedua pipiku dengan kedua tangannya. Dan melihat tubuhku dari atas sampai bawah. Matanya melebar dan tangisnya pecah. Ia menggumamkan sesuatu yang tidak bisa ku dengar. Kemudian ia memelukku.
Oh begitu hangatnya. Aku benar-benar merasa tenang berada di pelukannya. Rasa dingin yang sedari tadi menerpa ku kini menguap. Dan matakku memanas. Aku tidak tahu ini mimpi atau kenyataan. Tapi aku senang ibu ada disni menemaniku. Aku senang.
Dan kesenanganku yang besar itu tiba-tiba terhenti. Karena aku tidak bisa merasakan apa-apa.
Aku bangun dengan kepala yang terasa sangat sakit. Sebuah cahaya silau menerpaku sehingga aku harus menyipitkan mata. Aku baru bisa beradaptasi dengan cahaya ruangan beberapa detik kemudian. Dan aku melihat wajah seorang wanita muda dengan rambut lurus berbandana ungu. Ia tersenyum melihatku. Tak lama ia mundur dan seorang pria paruh baya dengan kaca mata tersenyum kepadaku. Ia meraba dahiku, meletakan sesuatu di dadaku, yang terhubung dengan tali ke telinganya. Benda yang ia kenakan nyaris seperti headset. Sepertinya ia seorang dokter. Ia memakai pakian biru dengan masker biru pula. Ia menatapku dan aku bisa melihat ia berbicara di balik maskernya. Bahkan aku bisa melihat senyumnya karena mata dokter itu melengkung ramah. Ia melepas maskernya, dan kini ia benar-benar berbicara denganku. Tapi aku tidak bisa mendengar apa yang ia katakuan. Ia bebicara lagi. Dan aku hanya bisa meyipitkan mata dan mengerutkan alis. Nyaris seperti seorang yang tidak bisa berbicara bahasa lokal. Akupun menggeleng. Memberikan tanda kepada sang dokter. Dan iapun berhenti mengajakku mengobrol. Begitulah. Ia kemudian menyuruh suster di sebelah kananku untuk mencatat. Aku baru melihat ternyata ada orang lain di sekitarku. Ada ibu, ayah, dan wanita cantik tadi yang baru kukenali sebagai Mademoiselle Sophia. Dokter itu berbicara kepada ayah dan ibuku. Taklama mereka mengangguk, dan dokterpun pergi menginggalkan ruangan.
Yang pertama mencoba mendekatiku adalah Mademoiselle Sophia dan ibu. Mereka tidak mengajakku mengobrol tapi mereka saling berbincang sambil sesekali melirikku. Tangan Mademoiselle Sophia mengenggam lengan kiriku. Aku tidak bisa mendengar apapun. Tapi kini aku benar-benar haus. Aku mengerang dan keduanya sentak melihat kearahku. Aku berdehem. Dan ternyata Mademoiselle Sophia yang lebih mengerti apa maksudku. Ia membantuku minum sementara ibuku hanya diam.
Aku merebahkan badanku dan bersikap acuh tak acuh. Ibuku mengatakan sesuatu kepada Mademoiselle Sophia sambil menyunggingkan senyum yang terasa dipaksakan. Dan Mademoiselle Sophiapun mengagguk. Ia melihat kearahku. Mengelus kepalaku dan perlahan-lahan melangkah pergi.
Setelah Mademoiselle Sophia pergi ayahku baru mendekat. Ia menatapku tanpa ekspresi. Bahkan tampak kesal. Ibuku hanya diam. Dan aku memutuskan untuk pura-pura tidur. Aku tidak begitu senang melihat mereka.
Aku ingin bertemu winter.