Sebuah brosur disodorkan tepat di hadapan gue. Tanpa minat yang berlebih gue membacanya sekilas dan kemudian sebuah teriakan secara tak sadar keluar dari mulut gue.
"Anjirrr!" Gue menatap orang yang menyodorkan brosur tadi kemudian melanjutkan seloroh senang.
"Malem jum'at nanti doi manggung, gue jemput di rumah okey."
Gue manggut senang.
Ayolah siapa yang tidak senang saat band kesayanganmu mengadakan konser, gue sudah menunggu hal ini jauh-jauh hari. Kebetulan yang gak disengaja gue dan Jivan sama-sama Sheilagank, jadi gak ada alasan buat gak dateng buat nonton konser itu.
"Lo nanti minta izin sama bonyok gue ya, tau sendiri gimana rempongnya mereka saat anak perawannya keluyuran di malam jum'at."
"Santai semua beres komandan." Jawabnya sembari memberi hormat, gue terkekeh melihatnya.
Seakan teringat gue kembali memperingatkan, "Berdoa semoga aja gak hujan. Tau sendiri kaum jomblo biasanya berdoa yang buruk-buruk tiap malem jum'at, yah gue juga sebenernya termasuk cuma untuk kali ini jadi pengecualian."
"Huh dasar jomblo ngenes lo! Cari pacar gih biar kalo ada orang pacaran lo gak doain mereka supaya cepet putus."
Jleb. Ngena banget deh ucapannya, gue cuma bisa mencebik kesal.
"Gue setia kawan, gak enak kalo lo jomblo sendiri."
Jivan terdiam.
Mampus! Sekarang kita gantian.
Keheningan yang lama membuat gue jadi canggung pada akhirnya mau gak mau gue yang pertama kali mencairkan kembali suasana.
"Pokoknya ntar pas konser kita paling depan ya!" Seru gue bersemangat, kali gue gak sekedar omdo karena gue bener-bener serius akan hal tadi.
"Gak usah! Ntar kalo lo mati kegempet gue juga yang susah!"
Sompret!
"Kalo gue mati lo yang pertama gue gentayangin!" Jawab gue sarkas.
"Ih dendeman lo anaknya, padahal mati salah sendiri tetep aja gak terima!"
"Ya jelas, soalnya lo tidak menjaga gue dengan baik."
"Tau gini, lo mati aja dari dulu Ilo! Ck, bikin repot." Ujarnya dengan nada suara yang tidak sungguh-sungguh.
Gue tersenyum miring, kali ini gue sama sekali gak tersinggung dengan ucapannya.
"Tapi sayang 'kan?" Tanya gue usil.
"Iya untung gue sayang." Jawabnya lugas.
Buset! Bisa beneran mati gue sekarang.
"Lo mau terusan bersiri di sini apa mau masuk kelas?" Gue berusaha mengalihkan pembicaraan tadi kalo gak mau mati muda.
"Gue mau ke toilet dulu, lo masuk duluan aja."
*****
Pelajaran sejarah sudah dimulai sekitar 20 menit yang lalu tapi entah kenapa rasanya seperti sudah setengah abad kami berada di kelas dengan penjelasan mengenai kerajaan Majapahit.
Temen-temen sekelas gue cuma bisa menahan dagu agar tetap terjaga sekedar menghormati bu Meike, beliau sudah terlalu tua untuk dipermainkan takut tiba-tiba kena serangan jantung dan tentu semua tak berakhir lucu seperti yang kami bayangkan.
Jivan udah gak sanggup bertahan gue rasa itu terlihat dari kepalanya yang kini lunglai lemas diatas meja.
Plak.
"Aw." Ringis Jivan sembari mengelus kepalnya.
"Jangan tidur, tahan dulu sebentar lagi." Ujar gue dengan nada perintah yang amat ketara.
Jivan memelas mohon untuk dibiarkan tidur barang sejenak. Tentu saja gue gak akan memberi izin, selain karena gak sopan juga tentu sebagai bentuk solidaritas antar kawan.
"Gue izin ke toilet deh kalo gitu."
Gue menggelengkan kepala tidak setuju. Alasannya Jivan memang sangat banyak sekali, dia pikir gue akan mudah tertipu. Oh tidak akan, gue sangat paham maksud toilet yang dia bilang tentu saja kantin.
"Lo udah ke toilet sebelum pelajaran tadi, bilang aja mau ke kantin 'kan lo?"
Jivan menyengir. Gue mendengus sebal.
Kemudian kami kembali mendengar penjelasan yang disampaikan bu Meike. Penjelasan yang sebenernya tidak begitu kami pahami berkat cara mengajar beliau yang terbilang unik, dimana proyektor menyala dengan menampilkan sebaris kalimat tentang materi kemudian dengan suara yang terdengar seperti kumur-kumur beliau menjelaskan seadanya, disaat kami mulai untuk mencatat dengan cepat bu Meike akan menganti slidenya dengan yang baru menggunakan remote yang ada digengamananya.
Jika sudah begitu kami hanya bisa diam dan sepanjang pelajaran buku kami akan tetap kosong tanpa coretan pena bahkan hingga kenaikan kelas sangking tak ada bahan untuk ditulis. Semua tidak berhenti sampai disitu karena sialnya setiap ujian bu Meike dengan sadis memberikan kami soal ulangan esia dengan jumlah soal yang gak nanggung-nanggung yaitu 50 soal.
"Kenapa sih bu purba lama banget keluar kelasnya." Tanya Jivan kemudian.
Gue menoyor kepalanya.
"Geblek jangan kenceng-kenceng ngomongnya, ntar kedengaran tahu rasa lo!" Hardik gue.
Yah satu lagi yang luput gue sampaikan tentang bu Meike yaitu nama panggilannya yang kami buat sebagai berikut; bu purba. Jangan tanya alsannya karena gue gak akan tega mengatakan bahwa beliau yang sudah berumur ini memiliki perawakan yang khas sekali yaitu kacamata besar yang terpasang dikedua matanya tak lupa rantai digagang, rambut keriting megar yang terlihat kusut, tas ranselnya yang begitu besar dipunggung tak lupa tas jinjing yang berada dikedua tangannya tentu menambah kesan unik gak tertahan atau bahasa kasarnya beliau sangat cocok mengajar sejarah karena guru sepertinya memang patut untuk disejarahkan. Biar begitu kami gak berniat kurang ajar dengan mengatakannya secara gamblang dan mengingat jasanya yang tetap mau mengajar diusia senja membuat kami sangat bangga dengan pengabdiannya untuk itu meski sangat bosan dan ingin tidur, gue dan temen-temen yang lain tetap berusaha serius ketika pelajarannya dimulai.
"Sampai disini saja ibu akhiri, ibu paham dijam terakhir seperti sekarang kalian pasti mengantuk apalagi belajar sejarah." Ujarnya sembari membenarkan kacamatanya yang melorot.
Tak bisa dipungkiri ucapannya tadi membuat kami senang. Seketika rasa kantuk mengilang entah kemana.
"Jangan lupa untuk terus belajar sejarah supaya kita tak kehilangan jati diri bangsa. Mengerti semua?" Tanya beliau kembali, sekarang bu Meike sudah mematikan mesin proyektor yang dibantu Mahesa.
"Mengerti bu." Jawab kami serentak yang balasnya dengan senyuman.
Sebelum benar-benar pergi meninggalkan kelas, bu Meike gak pernah sekalipun melewatkan untuk memberi muridnya beberapa cemilan yang dibuatnya sendiri.
"Mahesa, nanti bagikan ini ke teman-teman sekelas ya." Beliau menyodorkan bungkusan pada Mahesa baru kemudian benar-benar pergi.
Kukis coklat. Kali ini beliau repot-repot mebawakan kami cemilan kukis coklat.
"Enak banget kukisnya, bu purba selalu baik ya." Ucap Jivan dengan mulut yang penuh dengan kukis.
Gue cuma bisa mendecih.
"Siapa tadi yang mau bolos ke kantin? Coba kalo gak dilarang, gak makan kukis enak ini lo!"
Jivan nyengir kemudian menggaruk tengkuknya yang sangat gue tahu maksudnya yaitu sebagai tanda bersalah, sikap refleks yang selalu dia lakukan tiap kali merasa bersalah.
"Iya maaf deh Milo."
"Jangan minta maaf sama gue itu gak ngaruh, sama bu Meike harusnya."
Jivan menunduk, membuat gue terkikik geli. Selalu saja begini tiap kali gue marahin, kadang gue suka mikir kenapa dia selalu nurut perkataan gue sih.
"Geblek, lain kali jangan diulang. Gak usah melas, muka lo tambah jelek tau gak."
"Masa? Bukannya tambah ganteng ya?" Tanyanya membuat gue memutarkan mata jengah.
Sontak dia tertawa yang dengan mudah dikuti gue, rasanya ini begitu lucu hubungan yang gue rasa gak akan pernah maju ini nyatanya sudah lebih dari cukup, seperti kebaikan bu Meike yang gak pernah minta pamrih gue rasa cinta gue akan terus berkembang seperti itu.
Masih banyak typo dan campur aduk gaya bahasa. Mampir bentar doang, semoga bisa dirapiin lagi yah.
Comment on chapter Memori Masa Lalu