Read More >>"> Di Bawah Langit (Bab. 1 (Manggopoh Ujung) ) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Di Bawah Langit
MENU
About Us  

 

Rutinitas pagi kembali mendendangkan alarm jiwa. Sesiapa sudah membelah jalan dengan jejak tapak yang ditinggalkannya walau tak membekas. Namun, mereka yang memiliki uang sedikit lebih banyak, tak lagi menyehatkan tubuhnya dengan berjalan kaki setiap hari. Ya, karena lebih memilih membusungkan dada dengan mengendarai sepeda motor, atau pun sepeda ontel miliknya.

Di Ulakan Tapakis paling akhir—Manggopoh Ujung, menghidupkan pagi dengan sedikit pongah. Bumi bagai dunia robot. Bergerak searah. Berpijak kuat dan padat. Kaki-kaki itu ingin memulai aktifitas pasti, katanya. Padahal, tetap berakhir di tetepian rumah tetangga. Hasrat pemalas masih menyukai aktifitas bergunjing.   

Aku masih menunggu Amak di atas bangku kayu yang  sudah sangat rapuh, kakinya panjang sebelah,  bahkan berdecit-decit jika posisi tubuhku sedikit berubah.  Akan tetapi, bangku yang usianya jauh lebih tua dariku ini, meyimpan banyak kenangan. Jenaka, namun juga pernah dramatis. Pemuda Batak yang merupakan teman sepermainanku, acap kali terbahak-bahak ketika mata beloknya memergokiku—terjengkang dengan posisi menungging—dari bangku tersebut.

“Pul...”

“Yo, Mak?”

Kenangan masalalu terhuyung-huyung meninggalkan pikiranku seketika suara Amak terbawa lelarian angin. Kakiku bergegas mencari keberadaan Amak, dan membiarkan kain lusuh yang sudah kugulung—untuk membatuku mencari nafkah—tergeletak di atas bangku.

“Salanyo alah masak, pailah lai[1].” Amak masih bersemangat seperti biasanya, walau harapan ibu dari dua orang anak itu  selalu berbentur keras dengan kata-kata bijak anak sulungnya, ia tetap berpegang teguh pada kayakinannya—yang mengatakan bahwa setiap manusia punya jatah sukses, hanya saja waktunya yang berbeda-beda.

Amak menyusun Sala Lauak—makanan tradisinonal khas minang—itu ke dalam loyang bulat berbahan melamin yang berukuran cukup besar. Ya, yang nantinya akan bertengger di kepalaku dengan gulungan kain melingkar sebagai alasnya. Jika anak-anak yang dipilih oleh takdir menghabiskan paginya di dalam ruang kelas dengan balutan seragam berdasi, maka seperti inilah rutinitasku sebagai anak yang tak terpilih untuk mengenyam pendidikan.

“Beko kalau hari angek, bawolah bataduah yo, Nak[2].”

“Iyo, Mak, assallamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsallam.”

Aku men-start perjuanganku dari langkah pertama meninggalkan Amak seorang diri di dalam rumah yang atapnya seringkali meludahkan hujah ke dalam. Namun sebelumnya, aku menyambar gulungan kain yang masih terletak di atas bangku, metelakannya di kepala, kemudian barulah menenggerkan loyang yang telah berisikan sala. Padahal, harganya hanya 500 rupiah, tapi, aku merasa seakan menjajakan emas 24 karat. Butuh waktu berjam-jam barulah terjual.

“Sala ... sala lauak, sala lauak[3]…” Aku—anak yatim ini—kembali memamerkan suara yang mereka bilang cepreng, di tengah keriuhan Manggopoh. Banyak anak-anak sepertiku yang juga menjajakan hasil pekerjaan amaknya di dapur. Jika  para orangtua tak sanggup menyekolahkan anaknya, diusia muda, kami anak-anaknya khususnya laki-laki, haruslah pandai mencari nafkah. Berbeda dengan anak perempuan yang untuk hal ini sedikit lebih memprihatinkan. Mereka yang baru saja beranjak remaja, akan dikenalkan dengan toke-toke untuk dinikahkan diusia muda. Katanya agar mengurangi beban orangtuanya yang miskin. Ah, bagiku itu hanyalah masalah pendeknya pemikiran.

“Pul, rajin kali kau aku tengok!” Seorang pemuda berperawakan  dekil mengagetkanku dengan suara baritonnya. Togar, si anak batak. Masih dengan tampilan khasnya; pakai celana pendek dan baju yang diangkat setinggi dada, seperti orang yang sedang kepanasan.

“Lebih baik kau pergi main denganku, bagaimana?”

Aku memerhatikan mulut lebarnya yang kembali mengalurakan suara. Gigi-gigi yang jarang sekali disikat terlihat menguning di dalamnya. Hidupnya begitu enteng, walau hanya tinggal dengan kakek tua yang dipanggilnya Opung. Jika sedang merindukan masa kanak-kanak, maka ia akan menghabiskan hari-harinya hanya dengan bermain. Bahkan ia pernah tak menghiraukan kotoran sapi yang menempel di rambut gimbalnya ketika terjatuh. Tapi, jika ia sedang begitu ingin mencicipi kesuksesan, lebih dari sepuluh pekerjaan bisa dilakukannya hanya dalam sehari. Dan untuk pekerjaan, aku yang selalu beriringan pulang pergi mengaji dengannya ini, tak pernah lupa diajaknya. Kami pernah menjadi kaki tangan para nelayan, pernah menjadi pemerah sapi, membersihkan kandang ayam, bahkan pernah diutuskan untuk mencari kucing anak orang kaya yang hilang.

“Masih pagi, Gar. Aku harus menjual sala-sala ini.”

“Ayolah, mumpung masih pagi. Nanti lepas bermain kau pigilah berjualan. Sudah lama aku tak main dengan kau, Pul.”

“Kalau sala-sala ini tak habis, aku bisa dimarahi Uda, Gar. Lain kali saja,” kali ini aku sedikit berkelakar, dan kembali menaruh daganganku di atas kepala. Aku sempat menurunkannya karena Togar begitu berambisi mengajakku berbincang. Bahkan sudah terlihat seperti reporter yang sedang memburu informasi dari seorang artis papan atas. Padahal, suasana Manggopoh sudah terlalu riuh untuk berlama-lama di tengah jalan.

Aku menghadang Togar demi waktu yang terus berjalan, namun ia sigap dan segera menepi. Aura mengerikan mulai meraba ujung-ujung perasaanku, sehingga meninggalkannya bagai tak sengaja membunuh seseorang. Ya, penuh dengan rasa bersalah.

“Sesekalinya aku ajak kau main!”

Teriakan itu seperti berjarak 1 cm dari telinga, sementara itu aku sudah lima langkah meninggalkannya. Seperti mobil kehabisan bensin tiba-tiba, kakiku terasa berat untuk dijalankan hingga akhirnya benar-benar berhenti. Harusnya aku tak seperti itu di saat tanganku sedang memikul sebuah tanggung-jawab. Tapi juga tak bisa dipungkiri; bahwa aku masih berada ditahap sedang candu-candunya bermain.

“Cuma sebentar saja, kan?”

“Asyiiik ...! Kau tenang saja, Kawan, nanti aku bantu kau pegi berjualan.”

Kami kembali menyerupai balita nakal. Berlari ke sana ke mari, terkadang melompat perlangkah. Daerah bagian dari Ulakan Tapakis ini memang begitu menggugah gairah untuk bermain. Terlebih-lebih bila kaki ini sedikit berjalan jauh ke ujung perkampungan. Kini barang daganganku telah berpindah tangan, Togar yang handle. Ia akan menyembunyikannya untuk sementara waktu di tempat yang aman. Aku menurut saja, karena memang pemuda batak itu selalu menyimpan ide-ide berlian, yang akan dipergunakannya di waktu-waktu tertentu.

“Nah, dagangan kau ini kita letakan di sini dulu, Pul.”

“Kau yakin, Gar?”

“Amannya ini. Tenang saja kau.”

Tempat yang dulunya digunakan warga sebagai kandang kambing, di sanalah Togar mengamankan daganganku. Kedua tangannya terjulur menyerupai seorang ibu yang menyerahkan bayinya ke dalam gendongan sang suami, cepat-cepat ditenggerkannya daganganku di sekat-sekat pondok itu. Aku sedikit tak yakin, sala lauak yang baunya menggugah selera diletakan di tempat seperti itu. Tempat yang dulunya bersetubuh dengan hewan-hewan yang senang memperbanyak kotoran.

“Kenapa kau, Pul? Sudah macam anak perawan yang sedang jatuh cinta aja, aku tengok. Diam, diam....”

“Aku tak yakin, Gar. Kalau amakku tahu, bagaimana?” Tubuh cekingku masih menghadap lurus ke arah bekas kandang kambing tersebut. Kali ini aku lamban mengikuti pergerakan Togar. Pemuda berbau khas serangga terbakar itu sudah berbalik badan, siap mengambil kuda-kuda untuk berlari mengejar kesenangan masa muda.

“Orang-orang sudah jarang ke sini, Pul. Tak usahlah kau takut. Biar kau senang, aku yang akan menjamin.”

“Kau janji, ya?”

“Iya, tenanglah, kau.” Togar menghancurkan kuda-kudanya. Langkah kaki pendeknya kembali mundur mendekatiku, bahkan kini berada jauh di depanku. Togar memasuki  kandang kambing  tersebut. Dan jemarinya yang berkuku hitam itu berusaha menjangkau sesuatu.

“Untuk apa itu, Gar?”

“Ini bisa dijadikan galah, Pul. Sudah lama aku tak mencuri rambutan.” Diacungkankannya kayu panjang itu ke arahku. Aku menarik napas panjang, sungguh pemandangan itu tak ubahnya suku dayak yang ingin bertempur ke medan perang. Semakin diperkuat dengan warna kulit dan rambutnya yang gimbal. Wajar saja kalau orang yang baru pertamakali melihatnya—tidak merasa kalau Togar adalah anak batak dari marga Hasibuan, hanya logat bicaranyalah yang memberitahukan mereka akan hal tersebut.

Akhirnya aku tak setengah-setengah meninggalkan daganganku di kandang kambing. Kami benar-benar meliarkan diri sebagai anak yang haus akan kesenangan, bahkan kami telah berpenampilan layaknya pendekar sakti. Togar menjadikan daun pisang yang sudah mengering sebagai ikat kepala, juga hand band. Tentunya kenakalan itu tidak kami lakukan di kawasan seputar rumah. Kelengahan membuatku harus menyetujui gagasan Togar—yang ingin bermain di luar Manggopoh; jauh sekali.

Sebelum menjadikannya galah, kayu panjang yang sudah kunobatkan menjadi pedang saktinya Togar, dipergunakannya sebagai tongkat untuk membantunya mendaki tanah yang ditumpuk di tepi jalan. Anak-anak miskin seperti kami begitu senang bermain di tempat yang akan ada pembangunan. Dimana banyak tanah, semen, dan batu-bata yang disusun hingga tinggi. Tanah-tanah itu sudah menyerupai bukit kecil, dan di atasnyalah aku dan Togar saling mengadu kekuatan. Kami bermain seolah-olah aku adalah pahlawan yang sedang berusaha mengalahkan musuh.  

“Hah ... hah, penat aku, Pul.” Togar terduduk di tanah, ia memang sudah terbiasa pulang bermain dalam keadaan yang sangat kumuh. Aku yakin, sebentar lagi pemuda pendek itu akan menanggalkan bajunya.

“Ayolah, Gar, kita pulang. Ini sudah lebih dari sejam.” Aku turun lebih dulu tanpa menunggu aba-aba si pengendali rencana, Togar. Karena ada dua alasan; aku sudah bosan bermain perang-perangan, dan untuk mengantisipasi kalau-kalau si empunya tanah memergoki kami bermain di kawasannya. Jika itu terjadi, pastilah akan ada adegan yang terlihat seperti kucing terpontang-panting karena acungan tangkai sapu—dari seseorang yang memergokinya sedang menggali tanah untuk menampung kotorannya. Miris bercampur sadis.

“Kita masih punya banyak waktu, Pul, takut kali kau ini. Yasudah, ayolah kita mengambil rambutan, haus aku.”

“Tapi, setelah ini kita pulang ya, Gar?” Aku kembali mengikuti gerakannya yang berjalan terseok-seok dengan kayu panjang terebut. Hampir-hampir seperti orang pincang. Inginku pulang, agar bisa menjajakan daganganku secepatnya. Akan tetapi, rencananya untuk mencuri rambutan harus terealisasikan.

Masih kurus, rambut belah tengah, dan telinga semakin terlihat jengang. Begitulah gambaran tentang diriku yang dipantulkan air dalam sebuah kubangan. Aku berjongkok dengan tangan yang disilang ke dada, memerhatikannya sangat lamat. Ternyata penampilanku belumlah segagah nama yang diberikan oleh ayah waktu aku merasa bosan tinggal di dalam perut amak, Saiful Bahri. Jika seperti ini, maka wajarlah mereka memanggilku dengan panggilan yang menurutku sedikit jenaka, Ipul.

“Sudahlah, kawan, jangan kau ratapi wajahmu itu, syukuri saja. Lebih baik kau bantu aku memanjat,  ternyata pohonnya tinggi kali.”

Celetukan nyaring itu menyadarkanku. Aku berbalik ke belakang, karena di sanalah Togar dan pohon rambutan incarannya berada, namun perkiraanku salah. Aku harus medongak untuk menemukannya yang sudah memajat di pagar-pagar kayu pembatas pohon tersebut.

“Cepatlah, Gar, nanti kita ketahuan.”

Bruk! Kelakarku justru dibalasnya dengan melemparkan baju kumuhnya. Perkiraanku berbuah; kini si anak batak yang pandai mengaji itu sudah bertelanjang dada.

“Pul, mendekatlah kau, biar kujatuhkan rambutan-rambutan ini.”

“Cepatlah ambil, aku mau pulang!”

“Makanya kau kumpulkanlah rambutan-rambutan itu.”

Pandanganku langsung saja beralih ke bawah. Benar saja, satu-persatu rambutan berhasil dijatuhkannya. Aku segera menuruti perintahnya untuk mengumpulkan rambutan-rambutan itu. Bukan karena takut dengannya yang layaknya komando ketika memerintah, melainkan agar aku bisa pulang secepatnya, dan menjajakan daganganku. Sebelum melangkah dari rumah, aku sudah berdoa panjang untuk hari ini. Siapa yang tahu, kalau nanti akan ada seseorang yang memborong habis sala-salaku yang mungkin sedang kesepian di kandang kambing.

“Gar,  daganganku!”

Togar tak kalah cepat berlari ke kandang kambing. Dari jarak 5 meter, kami terjingkat ketika mendapati sala-sala itu terjatuh dari tempatnya. Timbul rasa bersalah karena aku lebih tak memedulikan dagangan itu daripada harus membuang jauh keinginan untuk bermain. Aku memang lengah, namun tak lebih dari tiga jam. Akan tetapi, resiko yang harus kutanggung nantinya pastilah terasa lebih berat dari ini semua.

Tangan-tangan kami yang masih membekaskan kumuh tanah, bergerak lincah memunguti sala-sala itu ... walau kutahu itu tak akan lagi berguna. Mataku berkaca-kaca, entah kenapa kali ini penyesalan datang membawa bambu-bambu runcing; aku tertusuk.

“Cengeng kali kau ini!” Togar berteriak sambil berusaha menyikutku. Kami masih sibuk mengurusi daganganku. Bagaimana tidak, makanan itu sudah sangat kotor, bahkan ada yang terjatuh ke dalam kubangan air. Harusnya keraguanku diawal berhasil melarikan daganganku dari tempat mengerikan seperti ini, namun keinginan untuk sukses sedang tidak bersamaku.

“Mau ke mananya kau?”

“Pulang,” jawabku. Kutinggalkan teman bermainku itu setelah membawa kembali sala-sala yang sudah tidak ada artinya kini. Hatiku sedang buruk untuk diajak berbicara.

“Pul, aku minta maaf ...!” Aku tahu, Togar juga sedang dirundung rasa bersalah, bahkan mungkin saja lebih besar dariku.

Mata kami bersitatap ketika kusempatkan berbalik ke belakang. Wajah yang tak segar itu terlihat semakin layu. Aku tak marah padanya, hanya terlalu menyesali kebodohan diri. “Lebih baik kau pulang, Gar.”     

Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku mengerang kesakitan sambil menangis. Mungkin malam inilah yang akan kubawa dalam ingatan. Sebelum ini iku berteriak menandingi suara deras hujan memandikan malam. Sakit; uda memukuliku dengan ikat pinggang kesayangannya, sehingga kini aku terisak di sudut jendela kamar yang tak berjeruji. Aku tak bisa menyembunyikan sala-sala yang kumuh itu. Sambil menangis aku membawanya pulang. Mulanya hanya amak yang kuberitahu, karena seperti apa pun kesalahan anaknya, amak tetaplah seorang ibu yang tak bisa mengasari anaknya. Namun, percakapanku dengan amak didengar oleh uda—yang baru pulang dari bertandang. Pemuda pengaguran itu pulang dalam keadaan mabuk, semakin mengikis rasa ibanya terhadap seorang adik.

"Pul, makan dulu, Nak."

"Amak?" Sempoyongan aku beranjak dari tempatku bermuram durja, menyambut amak walau tangan kurusku sedang menyeka airmata pilu. Aku yang seharusnya mendapat hukuman dari, justru dimanja dengan dihidangkannya sepiring nasi yang dibawakan amak untukku. Memang amak tak bisa memarahiku, tapi, amak juga tak dapat menghentikan emosi uda—anak sulungnya—yang harus dilampiaskannya ke tubuhku.

"Mak, Ipul minta maaf. Ipul khilaf, Mak." Kepalaku kubenamkan di pundak amak yang tertutupi daster lusuh. Aku menopang pada amak yang duduk bersimpuh di lantai kayu kamarku. Aku belum berani untuk menyambar langsung nasi dan sepotong tempe di dalam piring itu. Biarlah kujerakan tubuhku dengan menahan rasa lapar. Tapi, sepertinya amak mengetahui niatku yang ingin menzalimi diri. Makanan itu segera diraihnya, dan aku tahu kalau amak akan menyuapkan nasi itu untukku langsung dari tangannya.

"Amak indak berang, Nak[4]. Amak ikhlas. Itu alun jadi razaki awak. Makanlah dulu, amak suok an[5]."

Dari dulu aku adalah anak yang cepat sekali merasa damai dan optimis hanya dengan mendengarkan amak berbicara. Aku mengangguk takzim. Sebuah anggukan yang kuartikan sebagai tanda menyusun kesuksesan. Mulutku terbuka menerima suapan nasi dari tangan hangat Amak. Mulai mengunyah sambil mencuri-curi pandang ke arah majalah usang yang tergeletak di halaman tengah. Menampakan pria berdasi yang sukses tanpa pernah duduk di bangku sekolah; eksekutif muda.

****

 

[1] Salanya sudah masak, pergilah

[2] Nanti kalau cuaca panas, bawa berteduh ya, Nak.

[3] Sala Lauak = Gorengan yang dibuat dari adonan tepung beras dan ikan asin.

[4] Amak tidak marah, Nak.

[5] Itu belum jadi rezeki kita. Makanlah dulu, Amak suapkan.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • SusanSwansh

    Alaaamaakkk keren kali ni cerita.

    Comment on chapter Bab. 1 (Manggopoh Ujung)
Similar Tags
Nirhana : A Nirrathmure Princess
13918      2041     7     
Fantasy
Depresi selama lebih dari dua belas tahun. Hidup dalam kegelapan, dan berlindung di balik bayangan. Ia hanya memiliki satu harapan, yang terus menguatkan dirinya untuk berdiri dan menghadapi semua masalahnya. Ketika cahaya itu datang. Saat ketika pelangi akhirnya muncul setelah hujan dan awan gelap selama hidupnya, hal yang tak terduga muncul di kehidupannya. Fakta bahwa dirinya, bukanlah m...
Annyeong Jimin
26010      2999     27     
Fan Fiction
Aku menyukaimu Jimin, bukan Jungkook... Bisakah kita bersama... Bisakah kau tinggal lebih lama... Bagaimana nanti jika kau pergi? Jimin...Pikirkan aku. cerita tentang rahasia cinta dan rahasia kehidupan seorang Jimin Annyeong Jimin and Good Bye Jimin
My Reason
585      381     0     
Romance
pertemuan singkat, tapi memiliki efek yang panjang. Hanya secuil moment yang nggak akan pernah bisa dilupakan oleh sesosok pria tampan bernama Zean Nugraha atau kerap disapa eyan. "Maaf kak ara kira ini sepatu rega abisnya mirip."
One Step Closer
2002      815     4     
Romance
Allenia Mesriana, seorang playgirl yang baru saja ditimpa musibah saat masuk kelas XI. Bagaimana tidak? Allen harus sekelas dengan ketiga mantannya, dan yang lebih parahnya lagi, ketiga mantan itu selalu menghalangi setiap langkah Allen untuk lebih dekat dengan Nirgi---target barunya, sekelas juga. Apakah Allen bisa mendapatkan Nirgi? Apakah Allen bisa melewati keusilan para mantannya?
Dinding Kardus
8169      2066     3     
Inspirational
Kalian tau rasanya hidup di dalam rumah yang terbuat dari susunan kardus? Dengan ukuran tak lebih dari 3 x 3 meter. Kalian tau rasanya makan ikan asin yang sudah basi? Jika belum, mari kuceritakan.
Aku Bukan Kafir!
8909      2150     6     
Inspirational
Pemuda itu bernama Arman, suku jawa asli yang lahir dari seorang buruh sawah di daerah pelosok Desa Peloso, salah satu Desa di Jombang. Ngatini adalah adik dari almarhumah Ibu kandung Arman yang naik ranjang, menikah dengan Pak Yusup yang biasa dipanggil Lek Yusup, Bapak kandung Arman, yang biasa dipanggil Lek Yusup oleh orang-orang sawah. Sejak kecil Arman selalu ikut Lek Yusuf ke sawah. Hingga ...
Republik Kerusuhan
1919      1083     0     
Romance
Putih abu-abu kini menjadi masa yang tidak terlupakan. Masa yang mengenalkan pada cinta dan persahabatan. Hati masih terombang-ambing kadang menjadi sesuatu yang mengecewakan, menyedihkan, kesenangan dan rasanya nano-nano. Meski pada akhirnya menjadi dewasa pada suatu masa dan membuat paham atas segala sesuatu. Serunya masa, mimpi yang setinggi angkasa, pertengkaran, di sini pula akan ada pemaham...
Love Finds
14129      2536     19     
Romance
Devlin Roland adalah polisi intel di Jakarta yang telah lama jatuh cinta pada Jean Garner--kekasih Mike Mayer, rekannya--bahkan jauh sebelum Jean berpacaran dengan Mike dan akhirnya menikah. Pada peristiwa ledakan di salah satu area bisnis di Jakarta--yang dilakukan oleh sekelompok teroris--Mike gugur dalam tugas. Sifat kaku Devlin dan kesedihan Jean merubah persahabatan mereka menjadi dingin...
FORGIVE
1788      613     2     
Fantasy
Farrel hidup dalam kekecewaan pada dirinya. Ia telah kehilangan satu per satu orang yang berharga dalam hidupnya karena keegoisannya di masa lalu. Melalui sebuah harapan yang Farrel tuliskan, ia kembali menyusuri masa lalunya, lima tahun yang lalu, dan kisah pencarian jati diri seorang Farrel pun di mulai.
BIYA
2788      887     3     
Romance
Gian adalah anak pindahan dari kota. Sesungguhnya ia tak siap meninggalkan kehidupan perkotaannya. Ia tak siap menetap di desa dan menjadi cowok desa. Ia juga tak siap bertemu bidadari yang mampu membuatnya tergagap kehilangan kata, yang tak pernah ia sangka sebelumnya. Namun kalimat tak ada manusia yang sempurna adalah benar adanya. Bidadari Gian ternyata begitu dingin dan tertutup. Tak mengij...