"Aduh, gimana nih," gumam Evi terus menerus sambil berjalan dengan gelisah di depan gerbang sekolahnya. Langit beranjak semakin gelap dengan ditandai turunnya sang surya, menandakan bahwa sudah waktunya murid SMA pulang ke rumah.
Ia melihat layar ponselnya, mencoba untuk menghidupkannya kembali. Akan tetapi, layar itu hanya memunculkan gambar persegi panjang dengan garis merah, menandakan bahwa baterai ponselnya telah habis.
"Aduh, mana yang lain udah pada pulang". Evira terus bergumam gelisah, hingga ada suara ramai yang terdengar di dalam gedung sekolahnya. Evira menoleh dan melihat anggota tim futsal sekolahnya berjalan ke gerbang depan.
Baju mereka basah oleh keringat, beberapa membawa botol aqua di tangannya, ada juga yang memakai handuk di lehernya, tapi mereka semua membawa tas khusus olahraga yang tersampir di bahu mereka. Meskipun kelelahan sehabis latihan, mereka semua saling bersenda gurau dan melemparkan lelucon.
Tiba-tiba, Evira mengingat bahwa ada salah satu teman kelasnya yang masuk tim futsal. Setelah menimbang-nimbang, Evira memutuskan untuk memanggil teman sekelasnya, masa bodoh dengan gengsi dan harga dirinya, kali ini masalahnya lebih berat!
"Al, Aldi!" panggil Evira diantara anggota tim futsal yang barusan lewat di depannya. Aldi merasakan ada yang memanggil namanya lalu menoleh dan melihat Evira memanggilnya. "Eh, Vira ada apa?" tanyanya sambil berjalan menuju Evira.
"Wah Aldi pacar lo ya?"
"Kok punya pacar ga bilang-bilang,bro"
"Wah traktirannya mana?"
Anggota tim futsal lainnya mulai menggoda Aldi, membuat Evira merasa agak menyesal dengan keputusannya. "Udah, ga usah didengerin mereka suka jahil. Kenapa manggil?" tanya Aldi. "Mm, boleh pinjem ponsel lo bentar?" tanya Evira. "Oh boleh, nih".
Dengan cepat Evira mengetik nomor ayahnya, sudah dua kali ia menelepon tapi tidak diangkat oleh ayahnya. Evira pasrah, sambil menguatkan hatinya ia berusaha mengucapkan sebuah kalimat. 'Ga ada jalan lain!' batinnya.
"Gue boleh nebeng lo ga? Gue ga berani pulang sendiri, ayah gue juga ga balas telepon," ucap Evira dalam satu kali tarikan nafas, Aldi diam sebentar lalu mulai menanyakan alamat Evira. "Waduh gimana yah, gue ga bisa nganter lo pulang nih. Rumah kita arahnya mencar, bentar lagi gue juga ada acara," jawab Aldi yang membuat Evira lemas seketika.
"Coba gue tanya temen gue, sapatau bisa nganter lo pulang. Rumah kalian searah kok".
"Ren, Rendy! Sini!," Aldi memanggil salah satu teman futsalnya. "Apa?" tanya Rendy sambil mengangkat satu alisnya saat ia sudah berdiri di samping Aldi. "Lo tolong anterin temen gue ya, kasihan tuh gada yang jemput. Tenang aja rumah kalian searah kok," ucap Aldi.
Rendy memasang raut wajah 'kok gue' kearah Aldi, sebelum menoleh kearah Evira. "Gue bayar deh," sahut Evira dengan cepat karena jujur, ia amat sangat takut ditinggal sekarang.
"Lo kira gue gojek?" sembur Rendy langsung, sedangkan raut wajah Aldi terlihat sedang menahan tawa.
'Mampus, salah ngomong' batin Evira sambil meringis. Rendy melihat raut wajah Evira yang pasrah lalu melirik kearah Aldi yang sedang memasang raut 'lo-tega?' kearahnya.
"Ya udah, gue anter lo pulang kali ini aja. Buruan sebelum gue berubah pikiran".
"Eh iya,iya makasih banget".
***
Tidak seperti kisah-kisah lainnya dalam novel dimana karakter utama cewe dan cowonya tetap saling berhubungan dan jatuh cinta, yah kisah Evira berbeda 180 derajat dari novel itu.
Evira tidak pernah berbicara lagi kepada Rendy setelah pertemuan pertama mereka yang aneh dan canggung, bahkan mereka tidak saling menyapa walaupun mereka tidak sengaja berpapasan di lorong sekolah. Hingga suatu kejadian kembali mempertemukan mereka berdua.
Saat itu Evira berjalan ke UKS karena penyakit maag-nya kembali kambuh, sambil memegang perutnya dan meringis kesakitan ia mempercepat langkahnya menuju UKS. Sesampainya di UKS ia tidak melihat ada guru yang berjaga di tempat itu, 'mungkin sedang istirahat 'batinnya.
Evira langsung menuju ke lemari yang menyimpan kotak obat didalamnya, lalu segera mengambil satu butir obat untuk meredakan rasa sakitnya. Ia cukup sering kesini karena penyakit maag-nya, jadi ia tidak kesusahan saat mencari obat itu.
"Lo ngapain disini?"
Evira terlonjak saat ia mendengar suara seseorang, dengan cepat kepalanya menoleh dan menemukan orang yang pernah mengantarnya pulang. Rendy.
"Eh, gue habis ngambil obat maag, lo kenapa kok berdarah?" tanya Evira saat ia melihat luka di lutut Rendy.
"Biasa, habis maen futsal. Gue terlalu on fire sampai gue nendang kaki gue sendiri terus jatuh." Evira menahan ketawanya saat mendengar lelucon yang dilontarkan oleh Rendy. 'Ternyata dia orangnya lucu juga', batinnya.
"Mau gue obatin? Hitung-hitung ini sebagai pembalasan gue karena lo udah mau nganterin gue pulang waktu itu."
Rendy mengangkat satu alisnya dan menatap Evira, setelah terdiam beberapa saat akhirnya ia berbicara. "Boleh." jawabnya sambil berjalan kearah kasur UKS untuk duduk. Evira segera mengambil kotak obat untuk menyembuhkan luka di kaki Rendy.
"Tahan bentar ya, agak sakit sedikit."
"Emangnya gue bayi? Udah buruan sebelum lutut gue infeksi."
"Iya,iya bawel! Gue siram pake betadine baru tau rasa lo," gerutu Evira.
***
Semenjak pertemuan mereka di UKS, mereka sudah tidak bersikap seperti orang asing lagi. Mereka kadang menganggukkan kepala jika tiba-tiba berpapasan dan saling mem-follow dan meng-add akun sosial media masing-masing. Meskipun mereka tidak pernah chatting, Evira sudah senang.
Ya, siapa yang tidak senang jika kenal dengan striker andalan sekolah yang memiliki fans bejibun.
Evira tidak berharap lebih karena ia tahu, ia bukan tipe orang yang dapat menarik perhatian seorang Rendy William. Selain itu pertemuan mereka bisa dibilang canggung banget, jadi ia merasa sudah cukup berurusan dengan Rendy. Tapi ternyata, takdir sedang mempermainkannya, entah mengapa tiba-tiba Rendy mengajaknya untuk menonton pertandingan futsalnya.
Rendy juga bilang jika Evira dapat mengajak sahabatnya, Aira, untuk ikut menonton. Awalnya Evira bingung dengan ajakan yang tiba-tiba ini, tapi tak urung dirinya menyanggupi ajakan Rendy.
Pada hari pertandingan, Evira datang bersama Aira untuk menyemangati tim futsal sekolah mereka.Rendy menyadari kedatangan mereka, lalu tersenyum dan melambaikan tangannya.Mereka mengambil tempat duduk paling depan agar dapat menonton pertandingan dengan leluasa. Meskipun mereka tidak tahu tentang peraturan futsal, tapi mereka akan berteriak heboh jika sekolah mereka memperoleh skor.
Dalam setiap tim, semua pemain pasti mempunyai skill yang tidak diragukan lagi. Tapi pasti ada satu pemain yang menonjol dan orang itu adalah Rendy. Evira terkagum-kagum melihat Rendy yang begitu bersemangat dan keren saat menggiring dan menendang bola.
Akhirnya pertandingan selesai dan dimenangkan oleh sekolah kami, kami semua langsung berdiri,berteriak, dan bertepuk tangan dengan heboh.Bahkan ada salah satu anggota tim futsal yang berjoget-joget ria. Evira tersenyum melihat wajah bahagia Rendy, seakan-akan melihatnya bahagia juga akan membuatnya bahagia.
***
"Lo bantuin gue ya buat deket sama Aira, jangan lupa kasih semua informasi tentang dia! Terutama cowo yang lagi deket sama dia!"
"BERISIK! Iya, gue ngerti! Sekarang pergi ga lo, gue butuh ketenangan!"
Sudah kesekian kalinya Rendy meminta bantuan Evira untuk mendekatkannya dengan Aira. Mengejutkan bukan? Sekarang Evira tahu, bahwa Rendy mengajaknya pergi selama ini karena hanya untuk bertemu dengan Aira.Pertamanya, Evira senang-senang saja ketika mengajak Aira karena dengan begitu suasana tidak akan canggung.
Evira adalah perempuan, ia juga pasti berharap jika Rendy selalu mengajaknya pergi. Dan entah bagaimana dan kapan perasaan itu muncul begitu saja, dan disaat perasaan itu muncul disaat itu juga Evira dihempaskan begitu saja dengan kenyataan. Kenyataan bahwa Rendy meminta bantuannya untuk mendekati Aira, kenyataan bahwa Rendy menyukai Aira, sahabatnya.
Evira menghembuskan nafasnya sekali lagi, berusaha menetralisir perasaannya. Evira sudah berusaha begitu keras untuk tidak menumbuhkan perasaan kepada Rendy, tapi hati seseorang suka selalu bertindak sesukanya bukan? Dan sekarang Evira harus menerima konsekuensinya.
Tiba-tiba suara bel mobil menyadarkannya dan membuatnya menoleh. Ia segera berjalan kearah mobilnya, tidak mau berdiri lebih lama lagi di depan gerbang sekolah karena kakinya sudah mulai pegal-pegal.
'Ya udah, dijalani aja toh pasti perasaanku lama-kelamaan hilang', batinnya menyemangati dirinya sendiri.
***
Rendy melihat kepergian Evira dengan mata yang melotot, sedangkan Evira hanya tersenyum lebar sambil melambaikan tangan. Sebenarnya, ia tahu jika Evira memang merencanakan untuk pulang cepat, agar supaya Rendy bisa berdua dengan Aira. Sebenarnya, tadi pagi ia mengajak Aldi,Evira, dan Aira untuk jalan-jalan di sebuah mall.
Aldi tiba-tiba mengatakan bahwa ada acara mendadak dan harus segera pulang, setelah itu Evira juga mengatakan bahwa orangtuanya mengirimkan pesan kepadanya untuk segera pulang. Jadi, tinggallah Rendy bersama Aira berdua, sedangkan Evira diantar pulang oleh Aldi.
Setelah tiba di rumah Evira langsung beranjak ke kamarnya dan merebahkan dirinya di kasur. Ia memandang langit-langit kamarnya dengan tatapan yang kosong, lalu otaknya mulai memutar skenario adegan perlakuan manis Rendy kepada Aira.Memejamkan matanya, Evira menghembuskan nafasnya sekali lagi. 'Aku kuat, aku pasti bisa', batinnya.Tapi, perasaan sesak itu masih juga belum hilang.
Evira beranjak dari kasurnya lalu berjalan ke meja belajarnya. Ia mengambil sebuah kertas dan pena, lalu mulai menggoreskan kalimat demi kalimat kedalam kertas itu. Evira menumpahkan semua perasaannya disetiap goresan penanya, menuliskannya semua yang dirasakannya kedalam kertas itu.Kebahagiaan, kesedihan, penyesalan, dan berbagai macam emosi lainnya bercampur dalam tulisan itu. Hingga akhirnya Evira menuliskan dua kata terakhir yang mewakili perasaannya untuk Rendy.
Setelah itu, ia melipat surat tersebut dan memasukannya kedalam amplop. Lalu menuliskan sebuah kata "Confession" di atas amplop tersebut. Ia akan memberikan surat ini kepada Rendy, meskipun ia tahu dampak terburuknya. Setidaknya, perasaannya tersampaikan dan membuat hatinya sedikit lega, karena tidak terus-menerus menyimpan perasaan menyakitkan ini.
'Aku pasti akan memberikan surat ini disaat yang tepat,
dan oh ya Rendy,
Aku Menyukaimu.'