ENTAH berapa lama telah berlalu sejak terakhir kali Emilia berbincang dengan Alvaro. Ia kehilangan jejak waktu. Ia bahkan tak lagi memiliki daya hidup. Emilia menjalani hari-harinya tanpa gairah apa pun, mengayunkan kaki tanpa tenaga seolah ia robot kehabisan powernya. Emilia kini hanya bisa digambarkan dalam satu kata; menyedihkan.
Langkah Emilia terputus di ambang pintu ruang guru saat ia melihat Alvaro di sana, berdiri memunggunginya menghadap wali kelas cowok itu. Emilia tergugu mendengar teguran keras yang ditujukan pada Alvaro terkait daftar absensinya yang buruk.
“Tiga hari, Al. Kamu nggak masuk tiga hari. Saya terpaksa memberimu SP2. Kamu tahu betul peraturan Bina Pekerti, dan kami nggak main-main soal kehadiran siswa. Dan nilai-nilaimu...”
“Emilia? Kenapa diam di sana? Kemari.”
Emilia tersentak saat guru PKN menegurnya. Ia lekas menyeret langkah ke sisi berlainan dengan keberadaan Alvaro, dan menyerahkan tugas hukumannya.
“Ini hukuman pertamamu di pelajaran saya. Nggak biasanya kamu melalaikan tugas dan nggak memperhatikan saya. Saya harap ini yang pertama dan terakhir, Emi.”
Emilia mengangguk kaku menerima peringatan itu. Hukuman itu memang yang pertama baginya di pelajaran PKN, tapi Emilia sudah mendapat teguran serupa di pelajaran lain. Sulit sekali bagi Emilia untuk berkonsentrasi pada sekolahnya akhir-akhir ini.
“Apa kamu seperti ini karena...”
Emilia melihat guru PKN-nya melirik ke arah Alvaro yang masih dinasihati. Emilia dan Alvaro tidak mengumbar hubungan mereka di depan guru atau siswa. Meski semenjak berpacaran mereka kerap berdua. Barangkali di salah satu kesempatan saat mereka bersama, guru melihatnya. Atau obrolan siswa yang memang cukup heboh membicarakan hubungan keduanya.
Emilia menunduk tanpa suara. Ia menggigit bagian dalam bibirnya resah. Guru di hadapannya mendesah pelan.
“Ibu paham kalau kamu gelisah mikirin Alvaro.” Suara guru wanita itu lebih pelan dan lembut dari sebelumnya. “Tapi, Emi, jangan menghancurkan masa depanmu sendiri karena orang lain. Bahkan jangan karena dirimu sendiri. Ibu tahu ini barangkali masa sulit bagimu, tapi kamu harus kuat menghadapinya, Emi.”
Sesungguhnya kalimat itu menohok hati Emilia. Namun, setelah ia mengangguk paham dan pamit keluar, tetap tak mudah baginya bangkit atas persoalannya dengan Alvaro, atau apa yang terjadi pada cowok itu. Baginya, Alvaro adalah segalanya. Ia menyayangi cowok itu dengan teramat. Maka, begitu Alvaro berada dalam keterpurukan dan mengabaikan hubungan mereka, Emilia bagai kehilangan pegangan. Ia bahkan tidak tahu apakah dirinya dan Alvaro masih berpacaran.
Aku nggak ngerti apa pun... Emilia membatin demikian puluhan kali selama berhari-hari. Ucapan Alvaro bagai tamparan keras untuknya. Emilia lekas memahami, bahwa selama ini ia memang payah mengerti akan Alvaro. Apa yang cowok itu pikirkan atau rasakan luput dari perhatian Emilia. Justru Toni dan Casi yang lebih mendalami perasaan Alvaro, membuat Emilia merasa begitu tertinggal dan menyesal. Maka meski hatinya teramat sakit begitu tahu hubungan Alvaro dan Casi lebih dari sekadar ‘pelarian’, Emilia tidak sepenuhnya bisa menyalahkan cowok itu. Andai saja Emilia lebih memahami penderitaan Alvaro, kejadiannya tidak akan seperti ini.
“Yang...” Emilia memanggil Alvaro lirih saat cowok itu keluar dari ruang guru. Emilia sengaja menunggunya. Ia ingin bicara.
Alvaro menoleh. Ia mengernyit, lalu menghampiri Emilia. Koridor lengang karena waktu pulang telah berlalu belasan menit lalu.
“Ada apa?” Alvaro bertanya datar, membuat nyali Emilia sempat menciut.
Emilia mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Bekal.
“A-aku bikin bekal buat kamu... Tadinya mau ngasihin pas istirahat, tapi...” Emilia tidak bisa memberikannya karena ia harus menuntaskan tugas hukuman PKN. Ia kira bekal itu akan terbawa kembali ke rumah dalam keadaan utuh, sebelum ia menemukan Alvaro di ruang guru tadi.
Saat Alvaro tidak bicara atau menerima bekal itu, Emilia mengangkat arah pandangannya pelan-pelan. Sorot mata Alvaro begitu dingin dan tak terbaca, membuat Emilia ingin menangis detik itu juga.
Sebelah sudut bibir Alvaro terangkat. “Mi, bekal terakhir yang kamu bikin aja nggak aku makan.”
Emilia tercekat.
“Casi nggak ngebolehin aku makan itu.” Alvaro tergelak ringan. “Cemburu dia. Makanya dia kasihin bekalnya ke ART.”
Telinga Emilia terasa berdengung-dengung mendengar pengakuan itu. Ia bagai dibanting keras ke tanah sekali lagi, membuatnya tak bisa merasakan detak jantung atau napasnya sendiri. Tangannya yang memegang bekal bahkan kaku dan mulai gemetar.
“Kamu tadi masih manggil aku ‘Yang’, ya?” Alvaro menyeringai aneh hingga Emilia tergugu. “Kamu masih anggap aku pacar emangnya, Mi?”
Emilia menelan ludah. “A-aku...nggak mau putus.”
“Kenapa?” Alvaro memasukkan tangannya ke saku celana. Kepalanya miring ke satu sisi, dan menghunjam Emilia dengan tatapan tajam.
Emilia menurunkan bekalnya dengan gontai.
“Aku sayang kamu, Al...” Suara Emilia begitu lirih hingga ia ragu Alvaro mendengarnya. Namun, saat rahang Alvaro menegang, Emilia yakin cowok itu menangkap kata-katanya. “Aku minta maaf nggak ada di sisi kamu... Nggak ngertiin kamu... Tapi aku nggak mau putus... Aku pengin ada buat kamu... Aku pengin kamu kayak dulu lagi... Aku bakal nemenin kamu...ngadepin semua...”
Sejenak Alvaro tidak menanggapi apa-apa. Ia lalu mendengus.
“Nemenin, ya?” Pandangan Alvaro tampak menerawang ke arah taman sekolah yang senyap. Saat ia mengembalikan tatapannya pada Emilia, ia berkata, “Mau nemenin aku ke kelab?”
Emilia mengerjap. “Yang...”
“Mau nggak?” Alvaro menyela dengan nada menantang. Ia lalu kembali menyeringai. “Nggak, kan? Jadi kamu nggak bisa nemenin aku, Mi. Cuma Casi yang bisa. Dia bahkan nggak cuma nemenin di kelab. Sampai kasur pun bisa.”
Bekal di tangan Emilia terjatuh begitu saja, menimbulkan bunyi samar yang menyakitkan. Alvaro hanya melihat pemandangan itu sekilas, lalu mengarahkan tatapannya lagi pada Emilia.
“Aku belum bilang ini, sih. Tapi biar kukasih tahu. Aku udah tertarik sama Casi sejak ngeliat dia pertama kali. Cakep banget anaknya, Mi. Orangnya supel, terus berani. Kalian beda banget sih emang. Tapi aku nggak pendekatan soalnya dia udah punya cowok. Aku juga males selingkuh. Cuma waktu Casi ngasih lampu hijau, ya udah kupepet terus. Kami akhirnya jadian.”
Napas Emilia luar biasa sesak.
“Waktu aku lari dari rumah, aku langsung ke rumah Casi. Dia nampung aku di sana. Kami tidur bareng di kasur yang sama.”
Emilia tidak lagi sanggup mendengar. Ia menutup kedua telinga dengan tangannya. Namun, Alvaro mencengkeram tangan Emilia dan menatapnya lekat.
“Dengerin, Mi. Kamu harus tahu.”
“Nggak—“
“Aku meluk dia semalaman. Itu asli bikin aku tenang banget. Kamu bisa kayak gitu, Mi? Aku pengin nyium kamu aja kamu nggak mau. Paling banter aku cuma meluk kamu. Itu pun bentar. Tapi Casi beda, Mi. Dia ada buat aku jiwa dan raga. Dia sayang sama aku. Dan aku juga sayang banget sama dia.”
Emilia sudah tidak lagi memiliki daya untuk menghalau pendengarannya. Ia membeliak dengan mata berkabut. Alvaro membuang napas dan melepas pegangannya.
“Aku lebih butuh cewek kayak Casi, Mi.”
Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Emilia tidak tahu berapa lama ia terpaku mendengar pengakuan itu, dan menerima tatapan kosong di mata Alvaro. Yang Emilia tahu hanyalah ia begitu terluka dan sesak, berupaya menyeret kakinya pergi dari sana. Suara-suara kendaraan di jalan bagai mewujud ucapan Alvaro, menghantam pendengarannya bertubi-tubi.
“Dia sayang sama aku. Dan aku juga sayang banget sama dia.”
“Aku lebih butuh cewek kayak Casi, Mi.”
Emilia kira, masih ada kesempatan bagi mereka bersama. Emilia bersedia berada di sisi Alvaro, membantu cowok itu menghadapi masalahnya. Karena sungguh, ia tidak sanggup berpisah. Berhari-hari tanpa Alvaro membuat Emilia begitu tersiksa. Itulah sebabnya ia kembali membuatkannya bekal, berharap menumbuhkan setitik kesempatan bagi keduanya untuk kembali.
Namun, Emilia keliru. Bagi Alvaro, dirinya tidak berarti apa-apa lagi. Cewek yang Alvaro inginkan hanyalah Casi.