Read More >>"> Kesempatan (Permulaan ) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kesempatan
MENU
About Us  

ADA satu hal yang merupakan kelemahan Emilia, tapi Alvaro menganggapnya sebagai hal yang menggemaskan. Kekasihnya itu sulit mengutarakan isi hati. Tidak seperti Alvaro yang cenderung bicara apa adanya, Emilia lebih banyak menutup diri. Namun, Alvaro acap kali sukses membaca isi pikiran Emilia, meski tak didahului keterusterangan. Seperti sekarang, saat Alvaro tahu Emilia sengaja berniat membersihkan kelas demi bisa pulang bersama. Semula Alvaro memang meminta Emilia pulang lebih dulu karena Alvaro sudah berjanji untuk tanding basket dengan kawan-kawannya sepulang sekolah hari ini. Ia pamit sebentar untuk ke toilet. Begitu melihat Emilia masih berada di kelasnya, Alvaro seketika sadar. Ia pun meloloskan secuil kebohongan; bahwa permainannya telah usai. Maka setelah membantu Emilia, Alvaro kembali ke lapangan, mengambil tasnya dan pamit demi mengantar Emilia pulang. Pacar yang baik sewajarnya demikian, bukan?

“Al, sini masuk dulu. Tante baru aja beres masak.”

Ajakan Tante Ema—ibu Emilia—membuat tatapan Alvaro yang semula tertuju pada Emilia yang baru melepas helm, berpindah ke wanita itu. Ada satu kesamaan antara Emilia dan ibunya. Selain tinggi tubuh mereka setara, keduanya memiliki sorot mata meneduhkan yang sama. Kualitas dalam diri Emilia yang membuat Alvaro selalu merasa nyaman meski hanya berpandangan. Emilia bagai mengalirkan energi positif lewat tatapannya. Suguhan serupa diberi ibu cewek itu, yang jika nama keduanya disandingkan, terasa seperti kembar.

“Wah, masa baru nongol langsung makan aja, Tan? Nggak tahu malu banget saya ini.” Alvaro terkekeh ringan seraya salim pada Tante Ema.

Tante Ema berdecak, menepuk lengan Alvaro. “Tante justru yang malah nggak tahu malu kalau nggak suguhin kamu makan, padahal udah ngantar Emi pulang.”

“Biar jadi pacar idaman, Tan.” Alvaro berseloroh santai, membuat Emilia dan ibunya tertawa.

“Ayo, masuk. Temenin Emi makan. Makannya jadi banyak kalau ada kamu. Yuk.”

“Jadi aku ini semacam penggugah selera?” tanya Alvaro geli saat Tante Ema masuk lebih dulu, meninggalkan Alvaro dan Emilia di teras rumah.

“Makan jadi lebih enak kalau ada teman.”

Meski Emilia berkata demikian, tapi Alvaro tahu tebakannya benar. Ia tergelak sambil mengangguk-angguk, lalu menyusul langkah Emilia masuk ke rumah.

Kenyamanan kediaman Emilia bisa dikatakan lebih terasa dibanding rumah Alvaro sendiri. Bangunan satu lantai dengan dua kamar itu memberi kesan sederhana, tapi aura kekeluargaan membuat Alvaro betah. Entah berapa kali ia menghabiskan waktu di sana hingga malam. Sayangnya, hari ini ia tidak bisa berlama-lama. Ada jadwal les yang mesti dipenuhinya. Dengan terpaksa selepas makan sebelum maghrib datang, Alvaro berpamitan.

“Les buat persiapan UAN, Al? Padahal kan masih lama,” ujar Tante Ema setelah Alvaro salim padanya sambil berkata terkait jadwal lesnya.

“Otak saya pas-pasan kalau dibanding Emi soalnya, Tan. Jadi perlu belajar dari sekarang,” kata Alvaro dengan nada bergurau.

Di sekolah mereka, penempatan kelas IPA-IPS ditentukan dari indeks prestasi. Siswa yang menempati ruang kelas pertama, artinya memiliki nilai paling tinggi. Alvaro berharap ia sekelas dengan Emilia. Nyatanya, ia berada di 2 IPA 5. Orangtuanya menganggap hal itu sebagai kemerosotan nilai sekolah sang putra, sehingga Alvaro pun didesak menghadiri les yang baru Alvaro penuhi sekarang, setelah masuk semester 2. Semester lalu, ada banyak program ekskul film yang mesti dituntaskan. Alvaro tidak ingin menelantarkannya. Syukurlah orangtuanya setuju, dengan syarat nilai Alvaro tak kurang dari delapan. Alvaro gagal di tiga ulangan harian; Fisik, Kimia, dan Matematika. Alvaro mendapat masing-masing nilai 7.50. Akibatnya, ia kini dilarang mengikuti ekskul apa pun lagi.

“Jangan merendah begitu, ah. Masuk Bina Pekerti aja udah hebat, lho.”

Alvaro tersenyum. SMA Bina Pekerti memang bukan sekolah terbaik pertama di kota mereka. Posisinya ada di peringkat ketiga. Meski begitu, tetap ada kebanggan tersendiri karena lolos seleksi ketat yang gagal dilewati banyak lulusan SMP. Jadi, ucapan Tante Ema sedikit-banyak benar adanya. Meski begitu, orangtua Alvaro menganggap keberhasilan putranya masuk bukanlah apa-apa, jika nilai-nilainya di sekolah di luar harapan.

Dering ponsel memecah kebersamaan mereka. Tante Ema pamit untuk menerima panggilan, setelah berpesan agar Alvaro tak kebut-kebutan. Alvaro menanggapinya dengan sebuah anggukan tanpa berniat memenuhi. Baginya, berkendara dengan kecepatan tinggi sangat sayang untuk dilewatkan, terutama jika jalanan lengang.  

“Hati-hati di jalan,” pesan Emilia begitu Alvaro mengenakan helmnya.

“Iya, Sayang.” Alvaro tersenyum. “Besok yakin nggak mau dijemput?”

Emilia mengangguk yakin. “Cuma sekali naik angkot kok.”

Di masa PDKT hingga awal-awal pacaran, Alvaro kerap menjemput Emilia sekolah. Rutinitas yang mulai berubah karena permintaan Emilia, beralasan ia ingin terbiasa menaiki angkutan umum. Padahal, Alvaro tahu motif sebenarnya karena jadwal les Alvaro. Dalam seminggu, Alvaro menghadiri les dalam empat hari, dan semuanya dijadwalkan pukul enam sore hingga delapan malam. Kadang pukul setengah sembilan kelas baru usai, setelah sang guru berbaik hati menambah waktu demi membahas soal yang dirasa sulit. Alvaro yakin Emilia mempertimbangkan kesehatan Alvaro. Meski Alvaro sesungguhnya tidak mempermasalahkan hal itu.

“Ya, udah. Aku berangkat, ya.”

Alvaro melirik jam tangannya. Ia pun bergegas mengendarai motornya. Pukul setengah enam sore, dan jarak yang mesti ditempuh sepanjang 10 kilometer. Dengan kecepatan tinggi, Alvaro bisa tiba tepat waktu. Sialnya, situasi jalanan padat merayap. Kelihaian Alvaro menyalip dan berkelit membuatnya mudah menyusup celah di antara mobil, tapi tak mensukseskannya tiba sesuai jadwal. Ia sampai di lokasi pukul enam lebih sepuluh menit. Setelah memarkirkan motornya, Alvaro berderap masuk.

Alvaro terlambat. Ia menyengir lebar pada guru Fisika dan duduk di bangkunya. Di kelas itu, ada 15 siswa dari berbagai SMA. Tempat duduk Alvaro berada di bangku terakhir dekat jendela yang memamerkan pemandangan malam tanpa bintang. Pendingin udara telah menyerbu tubuh Alvaro yang lembab, sehingga ia tak perlu mengipasi badan susah payah. Ia mengeluarkan buku modul dan pensil, bersiap konsentrasi, meski hanya 20 menit ia sanggup bertahan.

Pusat perhatian Alvaro beralih-alih. Ia sesekali mengecek ponselnya, membaca twit-twit ter-update di Twitter, melongok ke Path, dan berakhir di sebuah status salah satu teman sekelas di Facebook. Alvaro mencermati teori dan rumus di papan, berpindah ke catatannya, lantas meleng ke arah teman yang duduk di sebelahnya. Toni. Alvaro sudah berteman dengan cowok itu sejak SMP. Intensitas perjumpaan mereka berkurang karena bersekolah di SMA yang berbeda. Sebelum Alvaro mulai les, komunikasi mereka gencar kembali.

“Ngantuk gue,” bisik Alvaro.

Toni terkekeh pelan. “Lihat ini. Melek langsung pasti,” timpalnya sama berbisik, menyodorkan ponsel layar sentuh lewat kolong meja, memperlihatkan foto seorang perempuan berdada besar yang nyaris tumpah hingga Alvaro tersedak ludahnya sendiri.

“Kenapa, Al?” tanya guru yang baru menandai poin penting dalam materi.

“I-izin keluar sebentar, Pak. Minum. Nggak enak tenggorokan.” Alvaro menyengir menahan tawa.

Setelah guru memberi izin, Alvaro menyenggol lengan Toni dan beranjak. Di belakangnya, ia mendengar tawa pelan Toni. Alvaro mengulum gelak dan memfokuskan tatapannya ke depan, tanpa sengaja berserobok dengan sepasang mata cokelat Casimira Fortuna yang tengah menengok ke arahnya. Alvaro praktis tersenyum. Casimira—yang ia panggil Casi—membalasnya dengan pesona senyum yang tak pernah gagal membuat dada Alvaro berdesir halus.

Casi emang cakep banget. Ya ampun, senyum aja gue dibikin lemes begini.

Alvaro mengetuk meja Casi pelan dengan ujung jarinya sebelum ia menghilang di balik pintu, menunaikan niat berdasar kebohongannya tadi; mengambil minum.

Kelas Alvaro ada di lantai dua. Bangunan les ini adalah tiga ruko yang dijadikan satu, memiliki tiga lantai. Di tiap lantai, terdapat area duduk berhias sofa, rak buku dan tempat minum dengan jajaran gelas bersih yang dicuci setiap hari. Letaknya ada di sayap kanan, persis di depan jendela, yang jaraknya beberapa meter dari toilet.

Alvaro mengisi gelas dan menegak isinya pelan-pelan sambil menatap jalanan yang masih ramai. Lampu-lampu kendaraan serupa binar bintang di mata Casi. Shit. Alvaro berdeham, mengisi gelas sekali lagi. Ia tidak tahu ini bentuk anugerah atau bencana, memiliki teman sekelas di tempat les secantik Casi.

Casi bertubuh semampai, dengan rambut pendek seleher yang mengembang. Alvaro berani bertaruh, Casi adalah cewek yang pandai merawat diri. Gerai rambutnya saja tampak begitu halus hingga berulang kali mengundang tangan Alvaro untuk membelainya. Aromanya lembut, seharum tubuhnya setiap kali mereka di jarak dekat. Kulitnya putih mulus. Jika disandingkan dengan anggota girl band Korea, Casi sanggup menyaingi mereka. Dan yang paling membuai dari sosok itu adalah senyumnya. Bukan salah Alvaro kan, jika ia selalu berdebar jika mendapati Casi tersenyum padanya? Siapa pula cowok yang hatinya tidak ketar-ketir ditatap cewek secantik Casi? Keberadaan cewek itu pula yang membuat Alvaro lebih bersemangat untuk les, meski ia kerap didera kantuk. Tidak, tidak. Alvaro tidak berniat selingkuh. Casi adalah pemompa motivasinya, tidak lebih dari itu.

“Sebegitu enaknya sampai mengkhayati begitu?”

Alvaro nyaris tersedak. Ia menoleh ke sumber suara. Ia menelan teguk terakhir minumannya, lantas berdeham. Dadanya serta-merta berdentum-dentum karena mendapati Casi di hadapannya. Cewek itu pasti berumur panjang karena muncul saat Alvaro tengah memikirkannya.

“Hei. Mau minum juga?” Alvaro meletakkan gelasnya, lalu meraih gelas lain dan mengisinya tanpa menunggu jawaban Casi.

“Buat siapa?” tanya Casi geli.

Alvaro mengerjap. “Buat kamu. Mau minum, kan?”

Casi tergelak. Ia mengakhiri kucuran air dan meraih gelas itu. Tatapannya tak putus dari Alvaro.

“Aku ke sini buat ngobrol sama kamu, kok. Tapi makasih minumnya.”

Hm? Buat ngobrol sama gue? Alvaro menyimak Casi yang tengah menikmati minumannya. Tatapan mereka tak jua diakhiri, membuat Alvaro menelan ludah. Begitu habis, Casi mendesah panjang dan menyerahkan gelas itu pada Alvaro.

“Maunya sih begitu. Tapi kalau kita ngobrol, pasti guru curiga. Coba kalau kamu nggak telat, Al. Aku tadi datang lebih awal karena kupikir kamu juga begitu.”

Alvaro melirik gelas di tangannya sekilas. Ada apa ini? Sebagai teman les, hubungan mereka memang dekat. Tapi, Casi tidak pernah sefrontal ini, hingga mengaku sengaja datang lebih awal demi berbincang dengan Alvaro yang memang beberapa kali sempat menjadi murid pertama di kelasnya yang tiba lebih dulu. Jadi, apa tujuan Casi? Dilihat dari caranya menatap Alvaro saat ini, mustahil jika Casi hanya iseng.  

“Macet banget tadi,” kata Alvaro kembali menatap Casi. Ia diam sejenak. “Besok aku datang lebih awal deh. Gimana?”

Senyum Casi merekah. “Deal,” ujarnya. Ia mengeluarkan ponsel dari saku kemeja seragamnya, menyodorkannya pada Alvaro. “Minta nomor kamu, ya. Masa kita belum tukeran nomor, coba!”

Alvaro terkekeh seraya meletakkan gelas kembali di tempatnya, lalu menerima ponsel Casi yang ber-casing merah muda. “Kok bisa belum tukeran nomor, sih? Kita udah temenan berapa lama emang?” timpal Alvaro sambil memasukkan 12 digit nomornya di ponsel itu, lantas menyerahkannya kembali pada sang empu.

“Kamu nggak mau inisiatif minta nomorku, sih.”

Alis Alvaro terangkat tinggi mendengar pengakuan Casi, meski sekejap kemudian ia tersenyum miring. Ia bukannya tidak mau meminta nomor Casi. Alvaro sengaja tidak melakukannya.

Ponsel di saku celana Alvaro bergetar. Ia melihat nomor asing di sana.

“Nomorku. Save, ya,” ujar Casi.

“Siap, Nona.” Alvaro mengetik nama Casi dengan dada berdebar. Penukaran nomor ponsel adalah sebuah permulaan. Permulaan apa? Alvaro mengulum senyum.

“Kamu masuk duluan gih. Kalau bareng, mencurigakan.”

Alvaro mengangguk patuh, meski hatinya enggan. Ia masih ingin berbincang dengan Casi. “Duluan, ya,” pamitnya.

Casi melambai. Senyum Alvaro masih bertahan, bahkan setelah ia berbalik dan berjalan menuju kelasnya. Selepas ia membuka pintu dan duduk kembali di bangkunya pun, senyum itu tetap ada, hanya disembunyikan lewat lipatan bibir dan tundukan kepala.

Saat Casi akhirnya menyusul, tatapan mereka bertemu. Alvaro membuang napas dan pura-pura menulis. Ia sadar, ada sesuatu yang baru saja mulai di antara mereka.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
May be Later
13752      2026     1     
Romance
Dalam hidup pasti ada pilihan, apa yang harus aku lakukan bila pilihan hidupku dan pilihan hidupmu berbeda, mungkin kita hanya perlu mundur sedikit mengalahkan ego, merelakan suatu hal demi masa depan yang lebih baik. Mungkin di lain hari kita bisa bersanding dan hidup bersama dengan pilihan hidup yang seharmoni.
The Maiden from Doomsday
9898      2131     600     
Fantasy
Hal yang seorang buruh kasar mendapati pesawat kertas yang terus mengikutinya. Setiap kali ia mengambil pesawat kertas itu isinya selalu sama. Sebuah tulisan entah dari siapa yang berisi kata-kata rindu padanya. Ia yakin itu hanya keisengan orang. Sampai ia menemukan tulisan tetangganya yang persis dengan yang ada di surat. Tetangganya, Milly, malah menyalahkan dirinya yang mengirimi surat cin...
Melihat Mimpi Awan Biru
3374      1146     3     
Romance
Saisa, akan selalu berusaha menggapai semua impiannya. Tuhan pasti akan membantu setiap perjalanan hidup Saisa. Itulah keyakinan yang selalu Saisa tanamkan dalam dirinya. Dengan usaha yang Saisa lakukan dan dengan doa dari orang yang dicintainya. Saisa akan tumbuh menjadi gadis cantik yang penuh semangat.
Sadness of the Harmony:Gloomy memories of Lolip
598      321     10     
Science Fiction
mengisahkan tentang kehidupan bangsa lolip yang berubah drastis.. setelah kedatangan bangsa lain yang mencampuri kehidupan mereka..
Lost In Auto
1215      440     1     
Romance
Vrinda Vanita, adalah seorang remaja putri yang bersekolah di SMK Loka Karya jurusan Mekanik Otomotif bersama sahabatnya Alexa. Di sekolah yang mayoritas muridnya laki-laki, mereka justru suka pada cowok yang sama.
Vandersil : Pembalasan Yang Tertunda
337      243     1     
Short Story
Ketika cinta telah membutakan seseorang hingga hatinya telah tertutup oleh kegelapan dan kebencian. Hanya karena ia tidak bisa mengikhlaskan seseorang yang amat ia sayangi, tetapi orang itu tidak membalas seperti yang diharapkannya, dan menganggapnya sebatas sahabat. Kehadiran orang baru di pertemanan mereka membuat dirinya berubah. Hingga mautlah yang memutuskan, akan seperti apa akhirnya. Ap...
Pulpen Cinta Adik Kelas
455      263     6     
Romance
Segaf tak tahu, pulpen yang ia pinjam menyimpan banyak rahasia. Di pertemuan pertama dengan pemilik pulpen itu, Segaf harus menanggung malu, jatuh di koridor sekolah karena ulah adik kelasnya. Sejak hari itu, Segaf harus dibuat tak tenang, karena pertemuannya dengan Clarisa, membawa ia kepada kenyataan bahwa Clarisa bukanlah gadis baik seperti yang ia kenal. --- Ikut campur tidak, ka...
The Journey is Love
621      427     1     
Romance
Cinta tak selalu berakhir indah, kadang kala tak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Mencintai tak mesti memiliki, begitulah banyak orang mengungkapkan nya. Tapi, tidak bagiku rasa cinta ini terus mengejolak dalam dada. Perasaan ini tak mendukung keadaan ku saat ini, keadaan dimana ku harus melepaskan cincin emas ke dasar lautan biru di ujung laut sana.
Seiko
359      258     1     
Romance
Jika tiba-tiba di dunia ini hanya tersisa Kak Tyas sebagai teman manusiaku yang menghuni bumi, aku akan lebih memilih untuk mati saat itu juga. Punya senior di kantor, harusnya bisa jadi teman sepekerjaan yang menyenangkan. Bisa berbagi keluh kesah, berbagi pengalaman, memberi wejangan, juga sekadar jadi teman yang asyik untuk bergosip ria—jika dia perempuan. Ya, harusnya memang begitu. ...
ALACE ; life is too bad for us
1003      603     5     
Short Story
Aku tak tahu mengapa semua ini bisa terjadi dan bagaimana bisa terjadi. Namun itu semua memang sudah terjadi