HARI YANG CERAH
Jakarta 2018
Pagi – pagi sekali aku sudah bangun dan bersiap untuk pergi mencari pekerjaan. Ku lirik jam yang melekat di tanganku. Seharusnya Gara sudah sampai dari tadi tapi aku tak mendengar suara di bawah. Aku pun menyelempangkan tasku, kulihat penampilanku hari ini Perfect!! Gumamku dalam hati. Aku pun segera turun ke ruang makan karena mama sudah memanggilku sedari tadi. Rumah ini kembali ramai seperti dulu begitulah kata mama. Ketika sudah sampai di ruang makan ku lihat Gara sudah duduk dengan tenang dan memakan sarapan dengan lahapnya.
“Enak banget yang makan gratisan mulu” ucapku kepadanya lalu duduk di sampingnya dan mengambil selapis roti dan melahapnya dengan tenang.
“Sibuk banget sih ondel – ondel “ ucapnya sambil terus menguyah makanannya. Ku lirik dia dengan tajam
“Kalian ini dari dulu gak berubah selalu aja berantam.” Mama menggelengkan kepalanya melihat kami berdua. Setelah selesai memakan sarapanku aku pun langsung mengambil tas selempanganku.
“Pa ma Ara pergi dulu ya. Bye bang” kataku sambil menyalami papa dan mama.
“Buruan Gara aku dah telat nih” sungutku
“Elah baru juga jam 7. Buru – buru amat lo. Gara pergi dulu om tan” ucapnya sambil berlari menyusul Ara yang sudah pergi memasuki mobil. Mereka yang menyaksikannya hanya geleng – geleng kepala saja melihat kelakukan mereka.
Sebenarnya aku sempat berpikir untuk kerja di bidang hukum tapi sebenarnya itu bukan passion aku. Dari dulu papa selalu mendorong aku untuk kuliah di bidang hukum karena bang Paskal yang sudah memilih untuk masuk ke jurusan kedokteran. Jadi, akulah satu satu anaknya papa yang akan melanjutkan firma hokum papa yang sangat terkenal. Selama di Bandung aku menjadi seorang penulis. Maka dari itu aku gak ingin menjadi pengacaara untuk saat ini Karena aku masih akan mengeluarkan novel terbaruku yang masih tertunda.
“Lo mikir – mikir dong kalo mau ngajak keluar. Ya bilang kek kalo lo mau cari kerja.”
“Sorry dong Gara nya Ara” kekehku sambil mengedipkan mata sok imut.
“Menurut Lo gue cocok nya jadi apa ya”
“Jadi badut di Ancol cocok kok buat Lo”
“Ihh serius Gar. Gue tuh bingung mau kerja dimana.”
“Lo sih uda di tawari om Danu buat kerja di firma malah sok jual mahal.”
“Gue itu gak mau nantinya di kasih perlakuan khusus sama karyawannya papa.”
Gara hanya dapat menghela nafas mendengar tutur kataku. Aku pun berpikir apa aku minta bantuan aja sama si Qia. Aku pun memutuskan untuk menghubungi Qia bahwa aku sudah di Jakarta sekarang ini. Terpampang nomor Qia di layar ponselku, Sudah 5 tahun ini aku selalu menolak menerima segala panggilan dari Qia hingga akhirnya Qia tak pernah menghubungiku lagi hinga sekarang ini. Ku lirik lelaki yang disampingku ini. Aku sedikit ragu untuk menelepon Qia mengingat Gara berada di sampingku.
“Ekhemm” aku berdeham
“Hmmm, Gar kalau misalnya nih gue hubungi si Qia. Menurut lo gimana ?” kataku dengan hati – hati.
“Ya kok mau nelpon ya tinggal telpon aja kali” ketusnya
“Wess uda move on nih dedeq Gara sama cahabat Ara” ejekkuu dengan suara menyerupai anak kecil. Aku pun mencolek colek pipi Gara. Dia hanya mendengus melihat kelakuanku.
“Gue gak ada hubungan apa – apa tuh sama cahabat lo jdi gak ada kata move on” tegasnya
“Ohh berarti kalau kita ketemuan sama Qia lo bakal selo ae kan” ejekku lagi.
“Yaiyalah biasa aja dong” kata Gara dengan yakin.
“ Oke gue mau nelpon Qia dulu deh” kulirik Gara yang sudah keringat dingin. Aku terkekeh melihat dia yang dari dulu gak mau mengakui bahwa dia punya perasaan dengan sahabatku Qia. Pada bunyi sambungan kedua telpon gue telah di angkat Qia.
“Araaaaaaaa” teriak di sebrang telepon. Aku spontan menjauhkan pnselku dari telinga ku.
“Qiaa, ih jangan teriak deh”
“Alhamdulillah ya gusti. Setelah 5 tahun dia nelpon hambamu ini” Qia mulai lagi deh dramanya.
“Gue kangen banget nih sama lo.”
“Gue juga tau. Ketemuan yuk. Di café yang biasa waktu SMA dulu kita datangi. Gara jugak ajak aja”aku melirik Gara dengan usil
“Ya pasti lah cepupu gue di ajak. Nih orangnya juga lagi sama gue”
“oke see you ra”
“okee” panggilan pun sudah terputus.
Aku dan Gara pun segera menuju ke café tempat kami bertemu. Sepanjang perjalan menuju ke café, aku hanya diam melihat jalanan dari balik kaca. Memperhatikan kendaraan yang berlalu lalang. Jakarta dengan kesibukannya membuat aku terkadang merasa lelah. Karena itu aku lebih memilih Bandung daripada Jakarta ya walaupun alasan pertama ku pergi dari Jakarta karena Arash. Kenapa aku masih memikirkan dia sih . Aku menggelengkan kepala berusaha mengusir nama itu dalam otakku.
“Awas teleng tu kepala lo” sindir Gara tanpa melihatku sedikit pun. Tumben sekali dia focus menyetir begitu biasanya mulutnya kayak si mondi peliharaannya eyang. Btw, mondi itu monyet kesayangannya eyang aku hehehe.
“Eh, serah gue la” ucapku dengan sewot.
Tak terasa akhirnya kami sampai di depan café, aku mencoba menetralkan degup jantungku ntahla mengapa aku tiba – tiba begini. Apa karena akan berjumpa dengan Qia atau karena kenangan yang pernah terjadi didalam sana. Aku masih diam di bangku penumpang. Sosok di sampingku ternyata jugak masih berdiam diam.
“Tumben gak kayak orang gila Gar” ucapku pelan
“Gue kok deg degan ya. Ini cuman seorang Qia Gar. Gila lo deg degan cuman karena si mulut halilintar” Gara berbicara pada diri nya bukannya menjawab pertanyaanku. Aku hanya dapat menahan tawaku ternyata Gara belum dapat move on dari Qia.
“Buruan yuk turun “ Gara masih mencoba menetralkan jantungnya. Aku tekikik melihat tingkahnya kapan lagi bisa melihat Gara yang kalem begini.
“Alay banget sih kayak mau ketemu presiden aja lo.” Dia hanya mendengus dan bergegas turun. Aku pun melangkahkan kakiku ke dalam café. Ku pegang gagang pintu café tempat aku dan Arash dulu menghabiskan waktu berpacaran disana. Ku buka pintu café itu, kupandangi keseluruh café tak banyak yang berubah hanya ruanganya yang lebih besar dan warna cat dinding yang telah berubah. Aku tersenyum mengingat tempat ini adalah tempat favoritku dulu. Ku sebarkan pandanganku seluruh ruangan untuk mencari keberadaan Qia. Kebetulan hari ini café sangat padat sekali. Dapatku lihat Qia melambaikan tangannya kearahku. Aku pun melambaikan tanganku dengan senyum yang lebar.
“Qiaaaaaaaaaaa” teriakku dengan senang
“Araaaaa bebeb ku” teriak nya tak kalah dengan ku di peluk nya tubuhku dengan erat. Ya ampun aku sangat rindu dengan suara halilintarnya Qia kalau kata Gara sih gitu.
“Daebakkkk lo makin cantik aja ra” katanya sambil meneliti penampilan ku
“Gue rapi gini karena mau cari kerja tau” kami pun kembali duduk dan langsung memesan makanan.
“Sumpah demi apa lo bakalan di Jakarta sekarang!!” ucapnya dengan keras
“Suara lo gak berubah ya” bercandaku.
“ Eh ada Gara ya” Astaga jadi Qia baru sadar di sebelah gue ada Gara . kulihat Gara hanya senyum kaku.
“Ra, ini Gara kan? Sepupu lo yang mulut nya mirip Sampah itu” kulihat Gara melotot mendengar perkataan Qia. Aku terkekeh melihat tingkah Gara. Aku hanya menganggukan kepala ku sambil menahan ketawa pertanda menyetujui perkataan Qia.
“Abaikan aja dia. Apa kabar sih lo Qi”
“ Gue baik. Harusnya gue nanya lo lah. Kabar lo gimana?”
“Ya seperti yang lo liat “
“Kelihatannya sih baik tapi gak tau hati nya” sindirnya aku hanya berdecih mendengarnya. Tak lama kemudian pesanan kami pun datang. Aku menyeruput milkshake alpukatku dengan nikmat sambil melamun.
“Terus lo mau cari kerja dimana ra?” ku tolehkan kepalaku kearah Qia yang terus saja mengoceh dari tadi
“belum tau sih tapi kayak nya di firma hukum”
“Kenapa gk di firmanya bokap lo aja sih"
“Gue gak mau nanti di kira masuk kesana karena papa lagi”
“Eh kayak nya gue harus pergi. Udah jam segini mesti cari kerjaan jugak.” Aku bangkit dari bangku yang ku tempati dan berpamitan dengan Qia. Aku dan Gara segera pergi ke firma hukum yang ada di Jakarta. Gara sedari tadi masih saja diam tak mengatakan sepatah kata pun kepada ku. Aku pun memutuskan untuk berdiam diri sambil memikirkan apa sebaiknya aku meminta bantuan kepada kak Dinar. Karena yang ku dengar kak Dinar bekerja di firma hukum juga.
“Gar kita ke firma hukum tempat kak Dinar kerja ya.” Ucapku akhirnya.
“Emang lo tau alamat nya?” aku tidak tau alamat kantor tempat kak Dinar kerja. Apa aku telpon aja ya orangnya tapi aku ragu untuk berbicara dengannya. Ahh kenapa aku harus khawatir dengan kak Dinar Pikirku. Aku pun memutuskan untuk menelepon kak Dinar.
“Halo” jawab di sebrang sana.
“Halo kak. Ini Ara”
“Ara?” dia diam sejenak “ Aranya Arash?” aku berdecih mendengar jawabannya.
“Ini Ara kak. Bukan Aranya Arash.”aku mendengar dia terkekeh.
“Ada apa ra? Butuh bantuan kakak?”
“Iya lagi butuh nih” kulirik Gara yang masih tenang.
“Oke butuh apa? Kakak bisa bantu selain urusan hati sama tu orang”
“Ishh enggak ada hubungannya dengan dia kak”
“Oke oke. Terus ?” kak Dinar masih terkekeh.
“Aku butuh kerjaan. Di kantor kakak masih butuh karyawan gak ?” dia terdiam sejenak. Tak menjawab pertanyaanku.
“Ada sih. Yauda datang aja ke kantor kakak dek”
“Makasih kak nar” aku tersenyum dengan lebar dan memutuskan sambungan telponku.
Gara pun melajukan mobilnya menuju ke kantor kak Dinar setelah aku menunjukkan alamat. Aku akan memutuskan untuk mencoba mendatangi kantor kak Dinar untuk meminta bantuan kepadanya. Sesampainya disana aku langsung turun dan berjalan menuju lobi. Gara memutuskan untuk menunggu di mobil saja katanya dia sedang badmood setelah bertemu dengan Qia. Aku hanya menggelengkan kepala ku melihat kelakuannya mirip sekali dengan anak ABG.
“Permisi mbak, ruangannya Pak Dinar yang mana ya?” ucapku kepada resepsionis.
“Kalau boleh tau ada urusan apa ya mbak” ujar mbak resepsionis tersebut dengan ramah.
“Saya ingin bertemu mbak. Saya teman nya” kataku
“Baiklah sebentar akan saya sampaikan.” Aku pun menunggu di ruang tunggu sembari melihat – lihat interior di kantor kak Dinar yang termasuk bagus ini.
“Araaa” aku menolehkan kepalaku ke sumber suara yang memanggil nama ku. Aku tertegun melihat Arash berdiri di belakangku yang sedari tadi tak ku sadari. Rasa nya kaki ku lemas seketika, lidahku kelu tak mampu mengatakan apapun kepadanya. Dia hanya memandangku dengan datar tapi matanya menyiratkan kerinduan yang mendalam. Ya aku bukannya kege-eran tapi begitu lah yang kulihat sekarang.
“Arash” ucapku dengan santai mencoba menutupi suaraku yang bergetar.
“Kamu kenapa datang kemari?”
“Aku ingin menemui kak Dinar”
“Dinar sedang tak di kantor. Kalau aku boleh tau ada urusan apa?” Sial kak Dinar membohongiku.
“Aku dengar kak Dinar kerja disini. Aku sedang mencari pekerjaan jadi ku pikir mungkin disini ada menerima lowongan kerja”
“Ayo ikut lah keruanganku” ucapnya singkat. Aku hanya diam membeku tak tau harus mengatakan iya atau menolak. Dia yang menyadari kegugupanku kemudian meraih tanganku dan menuntunku ke ruangannya. Aku terpekik merasakan tangannya yang hangat menyelimuti tanganku.
“Ara bisa sendiri” ucapku sambil mengerucutkan bibirku. Aku kesal dengan perlakuannya kepadaku padahal beberapa hari yang lalu kami bertemu dia hanya diam saja tapi sekarang malah memberiku kenyamanan.
“Saya kira kamu butuh saya dampingi” bisiknya tepat di telingaku. sepertinya dia sedang menggodaku sekarang ini. Ternyata, Arash tak berubah sama sekali dia masih saja suka menggodaku padahal telah banyak peristiwa yang terjadi antara kami berdua.
Penulisan kata ku disambung dengan kata yang mendahuli, atau kata di belakangnya. Salam.
Comment on chapter Prolog