"Setiap orang pasti memiliki kesalahan. Jangan jadikan hal itu sebagi tolak ukur dalam penilaian seseorang." ~ Stella.
"Sekali saja seseorang memberi kesempatan untuk lolos maka berulang kali dia akan kabur lagi." ~ Ghazi.
-Distaste-
Pukul 07:10. Waktunya siswa-siswi SMA Angkasa melakukan rutinitasnya, yaitu upacara bendera. Sebagian dari mereka sudah memenuhi area lapangan, dan sisanya bermalas-malasan cantik di dalam kelas. Termasuk cewek berambut sebahu ini, siapa lagi kalau bukan Gita Abella. Sedari tadi ia sibuk mondar-mandir di depan kelas dan mengecek ponselnya berulang kali.
"Aduh Stella kemana ya? Udah gue line kok nggak dibales sih," gerutu Gita seraya menghentakkan kakinya bergantian ke lantai, jengkel.
"Apa dia nggak masuk?" Tanyanya sendiri.
Gita terus mengirim pesan pada Stella. Pasalnya cewek itu kemarin bilang masuk sekolah, tapi sampai sekarang belum datang. Tidak biasanya Stella begini.
Setelah menunggu dua menit, ponsel Gita akhirnya berbunyi
Stellabawel: Git gue telat!!
Stellabawel: Ban gue bocor
"Mampus dah." Gita menepuk jidatnya. Ia langsung mengambil topinya di meja dan melesat ke lapangan.
Di sisi lain, seorang cewek hampir meremas ponselnya. Rasanya ia ingin mengeluarkan semua umpatan jika saja saat ini ia tidak sedang di tempat umum. Setelah mengirim line pada Gita, Stella menghampiri montir yang Memperbaiki sepedanya. "Pak udah selesai?"
"Udah neng." Montir tersebut mengangkat kesepuluh jarinya dengan memberi isyarat harga menambal ban motor tersebut.
Setelah memberikan uang Stella langsung melesatkan motornya menuju area sekolah.
***
Lapangan SMA Angkasa sekarang penuh dengan siswa-siswi yang melakukan upacara.
Rasta dan Ghazi baris di sebelah Gita. Rasta mengerutkan keningnya. "Loh Ta tumben sendirian. Stellanya mana?" Bisiknya pelan.
"Anu ras, em- itu." Gita bingung harus memulai dari mana.
"Apaan sih Ta? Jelas dikit napa!" Ujar Rasta.
Gita menarik lengan Rasta agar tinggi mereka sejajar dan berbisik tepat di telinganya. "Stella telat. Bannya bocor." Gita takut jika Rasta akan melaporkan Stella pada anggota BEST lainnya. Ia tahu betul pantang untuk anggota BEST melanggar peraturan sekolah atau mereka akan hengkang dari BEST.
"Loh terus sekarang Stella dimana?"
Gita mengendikkan bahu. Sedetik kemudian ponselnya berbunyi. Untunglah mereka ada di barisan belakang sehingga tidak ada penjagaan guru.
Stellabawel: Gue di gerbang belakang
Stellabawel : Tolongin dong????
Rasta tidak sengaja mengintip ponsel Gita. "Gue aja," ujarnya lalu meninggalkan barisan dan menuju lapangan belakang.
Stella persis seperti maling sekarang. Mengintip ke area sekolah melalui celah kecil tembok di depannya. Ia terlonjak saat ada seseorang yang memanggilnya. "Woi Stella," panggil Rasta.
"Rasta." Stella langsung menghampiri Rasta yang tengah berusaha membuka gerbang. "Rasta tolongin gue," ujarnya panik.
"Iya tenang aja," jawab Rasta santai.
Setelah pintu gerbang terbuka Stella langsung masuk. "Alhamdulillah." Stella mengelus dada. Ia laku membetulkan kuncirannya yang sempat berantakan karena ulahnya sendiri. Sampai tidak menyadari jika Rasta sedari tadi memperhatikannya sambil tersenyum.
"Gue kira cewek kayak lo nggak bakal telat," celetuk Rasta tiba-tiba.
Stella menyengir. "Gue juga manusia kali, wajar dong telat. Eh btw makasih ya udah bantuin tadi. Kok tahu sih kalau gue disini?"
"Apa sih yang nggak gue tahu." Rasta melipatkan tangannya di depan dada. "Gue kan adiknya Roy Kiyosi," ujarnya membuat Stella terbahak.
"Oh jadi ini kerjaan kalian." Sebuah suara berhasil mengagetkan mereka berdua. Stella nenoleh dan matanya membulat seketika.
"Hello bray," sapa Rasta enteng lalu menghampiri Ghazi. Sedangkan Stella membeku di tempatnya.
Tatapan Ghazi kali ini sedikit intens kepada Stella. "Lo Stella kan?" Tanya Ghazi. Stella hanya mengangguk dan tidak berani menatap lawan bicaranya.
"Habis ngapain aja jam segini baru dateng?" Sarkas Ghazi.
"Ban gue bocor." Stella memberanikan diri angkat bicara dan menatap Ghazi. Manik mata mereka bertemu. Saling menatap dalam diam. Pada detik ke tujuh Ghazi membuang tatapan dan meninggalkan Stella dan Rasta berdua.
***
Dewi Fortuna mungkin sedang menaungi Stella sekarang. Ia berhasil melewati hari ini tanpa ada panggilan guru BP. Artinya, Stella aman. Ghazi tidak melaporkannya. Ia memasukkan buku-bukunya ke dalam tas bersiap untuk pulang.
"Tuh kan bener gue. Ghazi itu nggak seburuk yang lo pikirin," celetuk Gita.
Stella menghembuskan nafas panjang. "Ya kan siapa tahu, abis dia natap gue gitu banget tadi," sanggah Stella. Keduanya hendak meninggalkan kelas jika saja Dyto tidak masuk ke dalam kelas mereka tiba-tiba.
"Kak Dyto," ucap Stella dan Gita berbarengan.
"Stella, lo ikut gue sekarang!" Pinta Dyto tegas dan meninggalkan ruang kelas IPA 4.
"Git, gimana ini. Pasti Kak Dyto udah tahu. Gue harus gimana ini?" Stella panik bukan main sekarang. Ia sudah mencak-mencak di tempatnya.
"Aduh udah deh La, buruan susulin Kak Dyto! Kelarin semuanya aja sekarang. Gue nggak ikutan loh, jangan bawa nama gue nanti." Gita juga ketakutan sekarang. Ia tidak siap jika harus keluar dari BEST.
"Au ah serah." Stella segera berlari menyusul Dyto.
Yang dikhawatirkan Stella benar terjadi. Keduanya memasuki ruangan BEST. Disana sudah ada Ghazi yang duduk di salah satu kursi sambil memainkan ponselnya. Stella berdiri di sebelah Ghazi. Dyto menghadap keduanya dan meletakkan tangannya di meja. Terjadi keheningan kurang lebih lima menit.
"Jadi, gue denger dari Ghazi kalo lo tadi telat dan berusaha masuk lewat gerbang belakang. Apa itu benar Stella Patricia?" Dyto menyebutkan nama Stella lengkap.
"Em-iya kak. Soalnya ban aku tadi bocor," jawab Stella.
Dyto mengepalkan tangannya. Wajahnya memerah sekarang. "Gaz lo urus sendiri anggota lo! Karena ketuanya sekarang lo bukan gue," pungkas Dyto lalu meninggalkan ruangan.
Tinggallah mereka berdua. Ghazi tetap asyik memainkan game di ponselnya seperti menganggap tidak ada siapapun di ruangan ini. Stella sudah kesal setengah mati sekarang tapi ia sadar jika saat ini dirinya yang bersalah. "Gazhi gue minta maaf. Janji deh nggak bakal ngulangin lagi," ujar Stella.
Ghazi menghentikan gamenya dan berdiri menghadap Stella. "Semudah itu?"
"Maksutnya?" Tanya Stella bingung.
"Semua orang juga bisa kalau sekadar bilang maaf. Lo itu sekretaris BEST. Hargai organisasi ini dikit bisa kan? Kalau lo emang nggak minat ikut BEST lo bisa keluar sekarang juga, daripada bikin malu," ujar Ghazi.
"Kok lo ngegas sih. Oke gue ngaku kalau gue salah tapi bukan berarti lo bisa ngatain itu semua ke gue." Stella membela diri.
"Emang nyatanya lo gabisa kerja," sarkas Ghazi.
"Gue kan cuman telat. Nggak usah nyakut pautin sama kinerja gue dong!!" Nada bicara Stella naik satu oktaf.
"Lo punya sopan santun apa nggak sih? Disini gue ketua lo bukan temen lo!" Ghazi juga menaikkan suaranya.
"Gue nggak terima kalau lo nyeret kinerja gue. Gue akuin kalau gue salah tapi masalah kinerja gue selalu maksimal," bantah Stella lagi.
"Oh ya?" Ghazi tersenyum sinis.
Stella langsung melebarkan matanya. Rasanya ia ingin melakban mulut Ghazi dengan plester seratus lapis sampai Ghazi tidak bisa berbicara. Daripada berdebat karena masalah sepele, Stella memutuskan untuk pulang.
-Distaste-
@flower_flo wkwk gapapa dong, nanti gula di rumah Stella awet
Comment on chapter Senyuman Maut