Bab 8: Kamu mau apa?
Kau sedang memasang topeng lagi atau aku benar-benar salah menilaimu? ~Stella Patricia.
Perempuan itu aneh. Dijahatin dibilang raja tega. Dibaikin dibilang pura-para. Sekarang mau lo apa?" ~Ghazi Geraldo.
-Distaste-
Hari Rabu rasanya cukup melelahkan bagi Stella dan teman-temannya. Setelah berolahraga mereka harus menghadapi pelajaran yang cukup menguras tenaga juga, adiknya matematika bagi anak IPA yaitu Fisika. Pantas saja beberapa penghuni kelas IPA 1 memilih berada di kantin daripada di dalam kelas. Padahal Pak Waras sudah masuk sejak lima belas menit yang lalu. Alhasil didalam kelas hanya ada 80% dari total jumlah seluruhnya.
"Jangan lupa kerjakan juga tugas dari saya kemarin di buku LKS!" Pinta Pak Waras setelah selesai menulis beberapa catatan di papan.
"Bukunya dikumpulkan pak," sahut beberapa siswi.
"Kalau begitu salah satu dari kalian tolong ambilkan di meja saya!"
Semua penghuni kelas saling melempar pandangan. Sama-sama malas berjalan ke kantor. Pandangan mereka akhirnya jatuh pada siswi yang paling rajin diantara mereka, Stella. Perempuan itu mendengus saat mengerti arti tatapan teman-temannya. Dengan malas Stella berdiri dari tempat duduknya.
"Biar saya ambilkan pak," pamitnya kemudian menuju tempat yang dimaksudkan gurunya tadi.
Sampai di dalam kantor Stella sedikit tersentak melihat Ghazi, Dito, dan Stevi juga ada di dalam. Mereka bertiga sedang berbincang-bincang dengan guru BK, Bu Anjar. Stella pura-pura tidak menyadari kehadiran ketiganya dan melanjutkan aktivitasnya.
"Saya nggak mau tahu, pokoknya besok kalian harus sudah berangkat lengkap empat orang! Terserah satunya lagi siapa tapi, saya harap dia bisa menemani Stevi!" Pinta Bu Anjar pada ketiganya tegas.
Karena jarak mereka yang cukup berdekatan Stella dapat mendengar jelas semua ucapan Bu Anjar. Sejenak ia berpikir, mereka mau kemana? Tapi Stella tersadar. Ia bukan siapa-siapa sehingga harus memikirkan itu semua. Stella keluar dari ruangan tanpa menoleh pada ketiganya, hanya memberikan salam pada Bu Anjar.
***
Setelah bel ketiga berbunyi pertanda jam belajar sudah selesai. Satu persatu siswa-siswi SMA Angkasa meninggalakan area sekolah. Stella dan Gita yang sudah selesai berkemas segera meninggalkan kelas. Langkah keduanya terhenti saat sebuah suara memanggil salah satu dari keduanya.
"Stellaa dicariin Bu Anjar, disuruh ke kantor sekarang!" Ucap salah satu cewek berambut kriting. Dia adalah anak kelas IPA 2.
"Makasih ya," jawab Stella.
"Gue duluan ya La, ada urusan soalnya," pamit Gita sambil melambaikan tangannya pada Stella.
"Hati-hati ya, awas nginjek semut!" Gurau Stella yang dibalas juluran lidah oleh Gita.
Stella akhirnya menuju kantor guru. Sampai disana ia mencari keberadaan Bu Anjar. Guru itu terlihat serius menatap kertas-kertas di depannya.
"Permisi bu, saya dengar ibu nyari saya tadi," ucap Stella sopan.
Bu Anjar melepas kacamata yang bertengger di kepalanya. Dari wajahnya beliau terlihat lega atas kehadiran Stella. Bu Anjar mengambil selembar kertas dan menyerahkannya pada Stella.
"Besok kamu ikut seminar ya, perwakilan sekolah nanti sama Ghazi, Dito, dan Stevi juga?!" ujar Bu Anjar penuh harap.
Stella yang semula membaca kertas tersebut serius langsung terkejut ketika mendengar tiga nama yang disebutkan Bu Anjar. Dalam hati kecilnya Stella ingin sekali menolak tawaran tersebut tapi, melihat wajah orang di hadapannya sekarang membuat Stella mengurungkan niatnya.
"Iya bu," jawab Stella singkat.
"Makasih ya, hitung-hitung buat pengalaman kamu nanti," tutur Bu Anjar.
Setelah semuanya selesai Stella berpamitan untuk pulang dan mencium punggung tangan Bu Anjar. Niat hati ingin segera pulang Stella malah berbelok menuju ruang BEST saat mendengar ada sedikit keributan dari dalam. Stella mengintip dari balik jendela untuk memastika siapa yang ada di dalam. Aksinya terhenti saat dirinya mendengar sebuah suara yang sangat dikenalnya.
"Keputusan gue udah bulat, kalian setuju atau nggak terserah kalian," tegas Ghazi.
"Lo berubah ya Gaz," sinis Dito.
"Kamu suka sama Stella?" Tanya Stevi dengan wajah berkaca-kaca.
Mendengar namanya disebut Stella semakin merapatkan dirinya ke arah pintu yang kebetulan tertutup.
Ghazi menatap Stevi dengan raut wajah bertanya-tanya, "Lo ngomong apa sih? Nggak ada hubungannya Stev," geramnya.
Terjadi keheningan beberapa detik. Stella semakin penasaran dengan apa yang terjadi di dalam. Ia merasa apapun itu pasti berhubungan dengannya dan ini tidak baik.
"Gue nggak mau kalian salah paham, terutama lo Stev. Gue pilih Stella buat seminar bareng kita besok itu karena cuma dia satu-satunya yang bisa diajak kompromi. Tahu sendiri kan tadi Bu Anjar pesen kalau bisa perempuan. Nggak mungkin kan gue ngajak Rasta. Nanti lo sendiri Stev yang cewek, emang lo mau?" Jelas Ghazi panjang lebar. Kedua orang di depannya hanya diam, tidak menanggapi apapun yang keluar dari mulut adik kelasnya itu.
Sekarang Stella tahu mengapa Bu Anjar memilihnya. Sebenarnya itu bukan pilihan bu Anjar tapi pilihan Ghazi. Tapi, mengapa Ghazi memilihnya? Bukankah selama ini Ghazi membenci Stella atau itu hanya pemikiran Stella saja? Sebelum ketiga orang di dalam ruangan tersebut menyadari kehadirannya, Stella segera melangkahkan kakinya pergi.
***
Kamar dengan dinding berwarna hijau tosca dengan kombinasi putih ini menjadi tempat favorit Stella disaat dirinya sedang membutuhkan tempat curhat seperti sekarang. Ia lebih sering menghabiskan waktunya di kamar ini daripada kamarnya sendiri. Matanya sedari tadi memandang seseorang yang terbaring di depannya dengan infus menancap di tangannya dan alat bantu pernafasan lainnya dengan tatapan sendu.
"Mama apa kabar? Aku rindu sama mama." Stella memberikan jeda sebentar kemudian melanjutkan ucapannya, "Aku pingin main bareng sama mama, makan masakan buatan mama. Emang sih masakan bibi enak tapi, lebih enakan buatan mama. Mama cepet bangun ya!" Stella tersenyum miris.
Pneumonia atau radang paru-paru. Sejak divonis dokter menderita penyakit tersebut, Riana, mama Stella mulai kehilangan semangat hidupnya. Berkali-kali Stella menemukan mamanya berusaha mengakhiri hidupnya sendiri. Beruntung ada Bi Asih, pembantu mereka yang setia menemani mamanya saat Stella bersekolah. Sekarang, Riana hanya bisa berbaring di ranjang karena radang yang dideritanya sudah kronis.
Stella tersadar dari lamunannya saat sebuah tangan memegang bahunya perlahan. Bi Asih memandang Stella dengan senyum terukir di bibirnya. Ia merasa bangga terhadap Stella, disaat perempuan tersebut sudah bisa mendapatkan semua keinginannya dari papanya, Stella tetap setia merawat mamanya. Stella adalah anak yang tegar. Bi Asih memang sering melihat Stella murung saat menatap mamanya tapi sekali saja wanita itu tidak pernah melihat Stella menangis di depannya.
"Non udah pulang dari tadi?" Tanya Bi Asih basa-basi.
"Iya bi, kebetulan jalannya nggak macet jadi Stella cepet sampai rumahnya." Stella meraih tangan kanan Bi Asih. Menuntun sang pemilik tangan untuk duduk di depannya. Bi Asih duduk dengan pandangan mata ke bawah. Stella menatapnya lekat tapi, Bi Asih hanya menunduk ke bawah. Stella sudah bisa menebak apa yang terjadi.
"Lagi?" Tanya Stella tertahan.
Bi Asih meremas roknya. Bingung harus menjawab apa. Ia takut akan melukai hati perempuan yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri. Merasa genggaman di tangannya lebih erat, Bi Asih memberanikan diri menatap Stella. Dua detik berikutnya ia mengangguk. Sedangkan, Stella hanya tersenyum. Berusaha meyakinkan wanita di depannya bahwa dirinya baik-baik saja.
Bi Asih berdiri dari tempat duduknya. Menyadari jika Stella mungkin memerlukan waktu sendiri. Ia memeluk Stella sehangat-hangatnya. Berusaha menyalurkan kekuatan lewat pelukan tersebut. Bi Asih melepas pelukan tersebut dan memegang kedua bahu Stella, "Bibi percaya kamu kuat."
Setelah pintu benar-benar tertutup Stella menarik napas dalam-dalam. Ia kembali menatap mamanya.
"Oh iya ma, aku besok mau ikut seminar di Surabaya. Mama tahu, ini pertama kalinya aku ikut seminar , biasanya kan lomba hehe." Entah mengapa pikiran Stella tiba-tiba tertuju pada kejadian di ruang BEST tadi.
"Ma.... mama ingat kan cowok yang aku ceritain ke mama beberapa minggu yang lalu. Yang semejak kehadirannya semua mengabaikan aku. Aku tadi denger kalau dia yang ngusulin aku buat ikut seminar. Aku bingung ma? Apa sebenarnya aku cuma salah paham sama dia?"
Sudah beberapa menit tidak ada suara yang terdengar dari kamar itu. Stella sudah terbiasa bercerita tanpa menunggu jawaban mamanya.
Stella memandang mamanya tulus, "Selamat malam mama, nice dreams yaa. Stella sayang mama," ucap Stella sembari mencium dahi mamanya. Sebelum menutup pintu kamar tersebut Stella kembali tersenyum.
Sesampainya di kamarnya sendiri Stella langsung menjatuhkan tubuhnya di kasur berwarna oranye tersebut. Ia mengambil ponselnya di sebelah ranjang. Beberapa line yang masuk diabaikan Stella. Matanya membulat seketika saat melihat notifikasi pesan di ponselnya.
08×××: Gue Ghazi
Ghazigeraldo: Jangan lupa besok berangkat pagi!!
Ghazigeraldo: Telat satu detik gue tinggal!!
Stella mendengus membaca pesan terakhir dari Ghazi, "Biasanya juga dia sendiri yang telat," omelnya sendiri. Stella bingung harus membalas apa. Ini pertama kalinya Ghazi menghubungi Stella. Darimana cowok itu tahu nomornya?
StellaPatricia: Iya makasih
StellaPatricia: Dapet nomer gue darimana?
Stella merasa itu adalah kalimat yang tepat. Setelahnya ia membalas beberapa line dari teman sekelasnya sekaligus Gita yang sudah mengiriminya 75 pesan. Tanpa terasa sudah satu jam Stella berkutat dengan ponselnya. Pesan yang ia kirimkan satu yang lalu pada seseorang hanya dibaca oleh penerimanya tanpa dibalas.
"Fiks, gimanapun juga yang namanya es akan tetep jadi es." Stella tersenyum miring, mematikan ponselnya dan langsung tidur.
-Distaste-
@flower_flo wkwk gapapa dong, nanti gula di rumah Stella awet
Comment on chapter Senyuman Maut